DJ - Bab 15

1
0
Deskripsi

Selamat membaca, sehat selalu. 

Dream Journey - Bab 15 

"Lo bilang apa, sih, sama bapaknya si Tius?"

Aku sedang mengenakan sepatu saat bang Renhard kembali menyuarakan pertanyaan yang sudah ia ulang-ulang sejak kemarin. Padanya aku melempar senyum.

Urusan Tius selesai dengan jalan penuh air mata. Renhard menceritakan pada anak itu kalau ayahnya ditahan, dikurung dan diberi hukuman karena sudah memukul dia. Tius menangis. Dia meraung-raung minta diantar ke tempat ayahnya.

Ditanya apa masih mau tinggal bersama, dia mengiyakan. Ditanya bagaimana kalau dia dipukul lagi, dia menjawab,

"Kalau Tius masak nasi dan cuci baju, Bapak tidak akan pukul."

Mataku berkaca-kaca mendengar jawaban anak itu. Besar sekali hatinya. Dan perihal pertanyaan yang bang Renhard terus tanyakan tadi disebabkan karena habis aku dan ayahnya Tius bicara berdua, lelaki itu tersedu-sedu. Dia memeluk anaknya, lalu meminta ampun.

Anak dan ayah itu kembali tinggal bersama sejak kemarin sore. Tiap hari akan akan pihak hukum yang mengawasi apa ayahnya Tius menepati janji untuk berubah atau tidak. Semua terselesaikan.

"Heh, Serin!" Bang Renhard memanggil sambil menarik ujung rambutku.

Tidak sakit. Dia menarik rambutku pelan saja, hanya bercanda. Namun, aku mau membuat huru-hara. Kuadukan dia pada kak Fani.

"Kak Fani!" teriakku dari teras. "Aku dijambak bang Renhard."

Dari dalam rumah kak Fani datang. "Lo belum jadi lakik udah main KDRT?" Dipukulnya punggung bang Renhard kuat.

Aku tertawa melihat bang Renhard meringis. Sepatu sudah terpasang, saatnya berangkat. Ini hari Minggu, ada kegiatan lomba di lapangan, setelah ada pelayanan kesehatan gratis dan kegiatan membuat kerajinan tangan. Yang bertugas untuk kegiatan pelayanan kesehatan dan pembuatan kerajinan tangan sudah berangkat dari pagi, sekarang kami akan menyusul.

Setelah semua beres berkemas, satu per satu mulai berjalan. Bang Renhard masih mengikutiku dan kak Fani. Dia masih penasaran soal ayahnya Tius. Kasihan juga karena dia terus-terusan dipukul kak Fani, aku pun memberitahu.

"Aku pernah lihat foto ibunya Tius," beritahuku memulai. "Tius, tuh, mirip banget sama ibunya. Itu yang aku tanyain ke bapaknya."

Bang Renhard melipat dahi.

Aku berdecak malas. "Aku bilang gini, 'Kalau bapak secinta itu sama istri, kenapa bisa benci Tius? Tius itu bagian dari istrinya bapak, orang yang bapak cintai. Wajahnya saja mirip. Apa bapak enggak akan menyesal kalau kehilangan Tius juga? Cuma dia yang bapak punya sekarang.' Gitu."

Lelaki itu bertepuk tangan. "Mulut lo pinter banget, ya? Kecuci otak orang ngobrol sama lo."

"Bukan," bantahku. "Dasarnya, perasaan dan emosi itu adalah bagian yang paling mudah disentuh dan paling bisa menggerakkan seseorang. Asal kita mau mengerti perasaan seseorang, kita bisa kasih pengaruh ke dia."

Suara tepuk tangan bang Renhard makin keras. "Pemain!" ejeknya.

Di sebelah kananku kak Fani mencebik. "Nggak guna kalau sampai sekarang masih jomblo! Belum ngerasain enaknya ciuman sama making lo-"

"Fani, mulut lo perlu gue jahit?"

Kami bertiga berhenti berjalan dan serempak menoleh ke belakang. Ternyata ada bang Yugi di sana. Bukannya dia jalan di depan?

***

Harusnya aku ikut lomba lari berpasangan yang diadakan hari ini. Sejak jauh hari aku sudah janji akan jadi pasangan Tius. Namun, karena aku dan Tius tak kunjung kompak, Tius melarang ikut. Dia ingin menang katanya. Sebagai ganti, anak itu mengajak bang Yugi. Menyebalkan. Aku dicampakkan.

Mereka sudah bersiap di garis start. Kaki kanan bang Yugi sudah diikat dengan kain dan disatukan dengan kaki kiri Tius. Meski kecewa tak bisa turun berpartisipasi, tetapi aku cukup senang. Tius tampak bersemangat. Dia mengincar sepatu bola yang jadi hadiah lomba ini agaknya.

Dari pinggir lapangan aku menatapi anak itu dengan senyum terkembang. Beberapa kali dia bicara pada bang Yugi, memberi instruksi dan membagi strategi sepertinya. Mereka tampak solid sekali.

"Kak Serin!" Tius memanggilku.

Kudatangi dia, ternyata Tius haus. "Bagi minum, tolong?" pintanya.

Kuberikan botol air minum padanya. Saat itu kulihat tali sepatunya lepas. Aku pun berjongkok untuk membetulkan itu. Namun, si bocah malah salah paham.

"Kenapa tali sepatu saya dibuka lagi? Kakak mau bikin kami berdua susah?" tuduhnya.

Aku mendongak dengan wajah tak terima. "Ini tali sepatumu lepas. Aku membantu, kenapa malah dimarahi?"

"Bukan marah. Saya kira Kakak mau bikin kami berdua kalah." Dia tersenyum, aku tertawa sambil menalikan sepatunya.

Lomba dimulai. Tius nyaris jatuh beberapa kali. Namun, tekadnya lumayan gigih. Dia terus berusaha berlari selaras dengan bang Yugi. Sampai akhirnya mereka mencapai garis akhir. Sayang, mereka di urutan ke tiga.

Bukan sepatu bola, Tius menerima selusin buku tulis, buku gambar, pensil dan pensil warna sebagai hadiah. Mukanya cemberut, tetapi setelah diberi pengertian oleh bang Yugi akhirnya anak itu menunjukkan senyum.

Dia pamerkan itu padaku. "Nanti saya ajak bapak menggambar," katanya dengan mata berbinar.

Kuberi anggukkan. Tak sengaja melihat bang Dimas, aku terpikirkan sesuatu. Selama di sini, aku belum mengambil gambar apa-apa. Jadi, kuminta bang Dimas memotret aku dan Tius.

"Udah? Satu aja?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Nanti fotonya kasih Tius satu."

Bang Dimas memberi jempol, kemudian berkeliling lagi untuk mengabadikan gambar dari kegiatan lain.

Aku masih asyik mendengarkan Tius bercerita, saat bang Yugi menghampiri. Dia membawa selembar kain di tangan.

"Berani ikut lomba kayak Tius tadi nggak?" tantangnya.

Segera aku menggeleng. Aku sudah minta kak Fani menjadi rekan. Namun, perempuan itu menolak. Katanya, takut bulu di kakinya rusak karena akan diikat pakai kain.

"Kak Fani enggak mau. Takut bulu kakinya rontok," beritahuku dengan tampang kesal.

"Bukan bareng Fani. Bareng gue, ayok?" Dia mengulurkan tangan padaku.

Pelan-pelan kupalingkan wajah padanya. Lelaki itu berkedip santai, jantungku mulai lari di tempat. Uluran tangannya yang kupandangi dengan tak percaya membuat perut mulas.

"Sana, Kak Serin." Tius mendorongku beranjak dari kursi panjang. "Nanti dapat hadiah."

Tidak dapat hadiah juga tidak masalah, Tius. Menjadi rekan lomba bang Yugi saja sudah luar biasa. Masalahnya, aku takut. Bagaimana kalau aku gugup, salah tingkah, melakukan sesuatu yang memalukan dan membuatnya kalah?

"Nggak mau?" tanya bang Yugi mulai tak sabar.

"Bukan gitu," bantahku sambil meraih tangannya agar tidak menjauh. "Kalau kalah gara-gara aku, gimana?"

Pria itu tersenyum tipis. "Yang penting mau dulu, menang-kalah belakangan," sahutnya seraya menggenggam balik tanganku, kemudian membawaku ke arena lomba.

Bang Yugi berjalan ke arena lomba. Itu hal biasa, kalau saja pria itu tak menggandeng tanganku. Bisa kulihat beberapa orang menatap kami dengan raut terkejut. Bahkan kak Fani berseru heboh.

"Heh, Yugi Arghana! Ngapain lo gandeng-gandeng si Serin? Dia pacarnya Renhard, Yugi! Pebinor!"

"Dimas!" Gantian bang Renhard yang berteriak. "Abadikan gambar langka ini! Yugi akhirnya gandeng cewek lagi setelah sepuluh tahun!"

Aku tak berani lagi mengangkat kepala. Bang Yugi malah sibuk mengikat kaki kami. Dia terlihat tidak terganggu sama sekali dengan ejekan dua temannya yang rusuh itu.

Juri lomba mulai memberi aba-aba untuk peserta. Detak jantungku makin tak karuan. Sudah cemas akan menjadi sebab bang Yugi kalah, aku masih harus berdebar gugup dan salah tingkah karena kini pria di sebelah memegang tanganku, kemudian menyelipkan jemarinya.

Ampun. Perutku mulas. Merasai jemarinya yang panjang, kukuh dan hangat itu secara langsung membuat semua rambut di tubuh berdiri. Aku sekuat tenaga menahan diri agar tidak terbang atau meleleh.

Beruntung sekali perempuan yang nanti tangannya digandeng dan digenggam seumur hidup oleh bang Yugi. Dia sepanjang usia akan bisa menikmati hangat, nyaman dan amannya genggaman ini. Enak sekali dia, aku jadi iri.

"Kanan dulu?" tanyanya menyamakan keputusan akan melangkah dengan kaki apa dulu.

Aku mengangguk kaku. Yang mana saja terserah, Bang. Bersama kamu, aku yakin sejahtera.

"Pegangan," katanya lagi sambil menggoyang pelan tangan kami.

Ragu aku menggenggam balik tangannya. Darahku berdesir setelahnya. Gatal lidah ingin bertanya padanya.

Pegangan seumur hidup padanya boleh tidak, ya?

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dream Journey
Selanjutnya DJ - Bab 16
1
0
Selamat membaca.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan