Cerpen - Mirah dan Arganta
Judul: Bukti Cinta
Blurb:
Pertunangan mereka adalah karena perjodohan. Mirah takut dirinya membebani Arganta, menjadi hal lainnnya yang pria itu terima karena desakan orang tua.
Namun, bukan itu alasan Mirah tiba-tiba membatalkan perjodohan dan menikah dengan Alvaro. Mirah hanya ingin membuktikkan severapa besar cintanya pada lelaki itu.
Cerpen - Mirah dan Arganta
Judul: Bukti Cinta
Blurb:
Pertunangan mereka adalah karena perjodohan. Mirah takut dirinya membebani Arganta, menjadi hal lainnnya yang pria itu terima karena desakan orang tua.
Namun, bukan itu alasan Mirah tiba-tiba membatalkan perjodohan dan menikah dengan Alvaro. Mirah hanya ingin membuktikkan severapa besar cintanya pada lelaki itu.
*
*
*
*
*
Pengacara Tampan Argantara Kembali Memenangkan Kasus Besar.
Headline berita itu tak sengaja ditangkap mata Mirah ketika si perempuan sedang berselancar di salah satu situs berita. Gadis itu tersenyum tawar, kemudian menaruh ponselnya ke atas tempat tidur. Ia berbaring.
Bukan hal baru. Arganta memang salah satu pengacara tersohor yang sering menjadi pemberitaan. Arganta Narendra. Advokat andal yang beberapa kali membela artis yang bermasalah dengan hukum, pun sering memenangkan kasus-kasus besar.
Pria itu punya nama besar, ketenaran. Bergelimang harta. Amat sangat jauh di atas Mirah yang hanya seorang guru sekolah dasar. Karena kesenjangan itulah, sewaktu pertama kali tahu jika dirinya dijodohkan, Mirah sempat tak percaya dan menolak.
Salah satu pria incaran di negeri ini, apa mau Arganta membiarkan gadis sederhana menjadi pendamping? Namun, diluar dugaan Mirah, Arganta malah setuju.
Mereka berkenalan lebih jauh. Berkencan. Dan sebulan lalu, sudah bertunangan.
Kedua keluarga mendesak ia dan Arga segera menikah, Mirah gamang setengah mati. Ia belum yakin pada Arganta.
Arganta itu pandai sekali mengendalikan diri. Pria itu selalu terlihat ramah. Suka menebar senyum pada semua kenalan. Di saat bekerja, Arga bisa jadi pria yang sangat serius. Hampir tak pernah pria itu menyungging senyum ketika ada di ruang persidangan. Tak jarang membuat lawannya ciut nyali duluan.
Belakang, Mirah tahu mengapa Arga bisa demikian. Pria itu bisa dengan cepat mengubah sikap dan ekspresi wajahnya, sebab sedari kecil sudah dipaksa demikian.
Sebagai anak tunggal dari keluarga yang punya nama baik, Arga dituntut untuk bisa membanggangkan. Sejak dulu, ia tak punya waktu untuk bermain. Harus belajar. Alih-alih berteman, Arga diajarkan untuk membuat relasi dengan anak yang setara dengan dirinya.
Singkat cerita, Arga mengaku hidupnya bukan miliknya. Pendidikan, cara bersikap, teman, semuanya sudah diaturkan dan dipilihkan oleh orang tuanya. Termasuk perjodohan mereka. Itu juga salah satu tuntutan orangtua.
Karena itulah Mirah gamang. Ia paham bagaimana tidak bebasnya Arga selama ini. Pria itu hanya menjalankan keinginan orang lain. Terkekang, tersiksa. Dan Mirah tak ingin menjadi salah satu hal yang membuat Arga merasa terbebani.
Di atas tempat tidurnya, Mirah mengehela napas. Perempuan itu menaikkan selimut. Berusaha lelap, sebab hingga kini tak juga mendapat solusi atas masalah yang tengah membelit.
Mirah bisa saja menyudahi perjodohan. Namun, hatinya sedikit tak rela. Meski diawali dengan keterpaksaan, belakang hati Mirah sudah terpaut pada Arga. Dan kalau Mirah memutuskan untuk lanjut, menikah, ia takut. Ia tak mau menggenggam bahagia yang semu.
"Rah?"
Pintu kamar Mirah terbuka, bersamaan dengan masuknya Sofia, kakaknya. Mirah melempar tatapan malas ke sana. Gadis itu sudah tahu apa yang hendak kakaknya bicarakan.
"Aku mau tidur, Kak. Please, jangan ribut." Mirah menaruh bantal di atas kepalanya.
Sofia tak menghiraukan itu. Ia duduk di pinggir ranjang, menarik bantal tadi agar menjauh dari wajah sang adik.
"Arga menang lagi. Gila, ini kasus besar. Selain dapat fee gede, dia pasti makin terkenal. Cepet-cepet minta dinikahi, Rah." Rona kagum mengisi kedua binar di mata Sofia.
"Ih, kamu, tuh kelewat dingin tahu, Rah!" Sofia menepuk lengan si adik. "Udah telepon Arga belum? Kasih selamat, kek. Ajak apa gitu."
Mirah bergeser ke sisi ranjang yang lain. Sengaja ia memunggui Sofia. "Ini tuh udah malam. Dia juga lagi sibuk sama teman-temannya paling."
Sebenarnya, berita kemenangan Arga ini sudah Mirah terima kemarin malam. Arga sendiri yang memberitahu. Karenanya, si perempuan tidak terlalu terkejut.
Ia juga sudah mengucapkan selamat. Dan tak ada alasan untuk mengganggu Arga lagi. Mirah tak ingin merusak suasana hati pria itu dengan terpaksa meladeninya.
"Ya kamu kan tunangannya, Rah! Hubungin, gih!" Sofia melempar tubuh bantal ke tubuh Mirah. "Cuek banget, sih? Nanti si Arga diambil orang, baru tahu rasa kamu! Tunanangan kamu itu cowok paling diincar abad ini, Mirah!"
Si adik bangun dari posisi tidur, kemudian berpindah ke sofa. "Mbak kalau mau ribut, jangan di kamar aku. Aku ngantuk, sumpah."
Tepat saat Mirah sudah merebahkan diri di sofa, pintu kamar itu diketuk.
"Aku datang terlalu malam, ya, Rah?"
Sofia memasang senyum lebar, Mirah menoleh dengan ekspresi heran.
"Ya ampun, sampai disamperin. Memang kelewatan ini si Mirah." Sofia melempar pelototan pada adiknya. Memberi kode. Tak lama kemudian, ia pun pamit dari sana.
Mirah menyipitkan mata agar bisa melihat waktu di jam di atas nakas. Benar. Ini pukul sembilan.
"Kamu bukannya lagi ada acara sama rekan kantormu, Ga?" Gadis itu bangkit dari sofa. Ia menghampiri si lelaki.
Sudah berdiri berhadapan, Mirah melipat dahi sebab Arga tak kunjung menjawab dan malah terus menatapi.
"Kenapa?" Perempuan itu mengusap wajahnya. Takut ada sesuatu di sana dan membuat Arga jadi seperti ini.
Arga mengulas senyum. "Aku belum makan. Mereka pesan yang enggak enak. Aku pengin mi rebus."
Ada rasa iba yang menyelimuti hati Mirah. Untuk makanannya pun, Arga tak boleh memilih sendiri? Sebenarnya, kehidupan macam apa yang pria itu jalani?
Gadis itu mengangguk. Kakinya berjalan melewati pintu dan Arga, kemudian menuju dapur.
"Duduk aja dulu. Sepuluh menit? Pakai telur?" Seperti tahu bahwa dirinya akan diekori, Mirah tanpa menoleh, memberi perintah.
Perempuan itu sibuk dengan panci dan kompor. Sepuluh menit kemudian, semangkuk mi rebus ia sajikan di depan Arga.
Arganta makan, Mirah duduk di kursi seberang pria itu. Diam-diam ia mengingat semua hal yang pernah Arganta bagi padanya.
"Aku merasa hidupku bukan punyaku."
Di balik semua keberhasilan yang ia punya, Arga pernah mengatakan kalimat itu pada Mirah. Ketika pria itu setengah mabuk.
"Aku pengin jadi dokter. Tapi papa daftarkan aku ke jurusan hukum."
"Aku pengin kayak anak laki-laki lain. Bolos, ngerokok, main bola, pergi bareng teman-teman. Tapi, itu semua dipandang enggak berguna sama Papa dan Mama."
"Aku punya banyak teman. Tapi, kamu mau tahu satu rahasia. Kalau aku enggak berhasil kayak sekarang, kujamin mereka enggak akan mau ngelirik aku."
"Aku jelek, Rah. Bodoh. Karena itu, aku berusaha segila mungkin untuk jadi pintar dan tampan."
Di malam itu, ketika mendengar Arga memuntahkan semua beban, Mirah tersentuh. Karena itulah Mirah tak pernah menolak permintaan Arga. Sekecil apa pun hal yang pria itu inginkan, ia akan berusaha memenuhinya. Seperti sekarang misalnya.
Walau sudah mengantuk, meski sekarang sudah pukul sembilan malam. Mirah tetap mau turun ke dapur untuk meracik semangkuk mi rebus untuk Arga.
"Rah?"
Panggilan itu membuat si perempuan terkesiap. "Ya?" tanyanya sedikit gelagapan.
"Ngantuk banget?"
Mirah tersenyum ketika menemukan mangkuk di depan Arganta sudah kosong. Gadis itu menggeleng. "Pakai supir, enggak? Mukamu kelihatan capek banget."
Arganta bersandar. Ia menggeleng. "Capek banget harus bicara berjam-jam dan ketawa bareng mereka."
Mirah tersenyum sinis. "Mereka kan temanmu. Gimana bisa kamu merasa terbebani waktu ngobrol sama mereka."
"Aku enggak suka mereka. Topik mereka enggak jauh-jauh dari harta, uang, posisi dan aib orang lain."
Berusaha tak terlihat mengasihani, Mirah bertanya, "Terus, kamu ini suka diajak ngobrol soal apa? Ulat kuning? Atau kapan kira-kira si tokoh botak di kartun merah kuning lulus TK?"
Arganta menggeleng. Pelan-pelan ekspresinya mencair.
"Terus? Mau ngomongin apa? Ah, ini aja. Coba temukan alasan kenapa angka tiganya Ferdian itu selalu terbalik."
Alis Arganta mengait. "Ferdian?"
Mirah mengangguk. Perempuan itu menopang dagu dan memajukan bibir. "Murid aku, Ga. Heran. Angka satu sampai sepuluhnya bisa benar. Giliran disuruh buat angka tiga, terbalik."
Bibir Arganta melengkung. Matanya tak berpindah dari wajah cemberut si tunangan.
"Kenapa, ya, Ga? Kamu bisa kasih solusi, enggak?"
Aganta dengan cepat menggeleng. "Mana aku tahu," jawabnya puas.
Mirah menekuk wajah. "Giliran sengketa tanah warisan aja kamu ngerti. Urus orang cerai aja paling gesit."
Mirah ikut terseyum ketika di depannya Arganta tertawa. Perempuan itu mendapat rasa lega karena reaksi si lelaki.
"Rah, aku pengin ngomong, bisa?"
Si perempuan mengangguk. Ia santai, sebab tak mengira tunangannya akan membahas sesuatu yang penting.
"Kapan kira-kira kamu bersedia aku nikahi?"
Kedua mata Mirah mengerjap. Ia tak siap dengan topik itu. Perasaannya makin gugup ketika Arganta menggenggam tangan.
Gadis itu menelan ludah berkali-kali sebelum akhirnya buka suara. Jika Arga ingin membahas ini, maka sebaiknya mereka membicarakannya sampai tuntas.
"Aku enggak mau kamu nikahi kalau cuma karena terpaksa, Ga."
Mirah merasa hatinya kebas. Namun, perempuan itu menguatkan tekad. Lebih baik sakit karena kebenaran, daripada menikmati bahagia semu. Selain itu, Mirah tak mau bersama dengan Arga, sedangkan pria itu sama sekali tak mengingkannya.
"Kamu yang bilang. Pendidikanmu, teman-temanmu, pekerjaanmu, semua diatur dan ditentukan papa dan mamamu. Dan kamu merasa terkekang akan itu."
Tangannya yang masih dalam genggaman Arga, Mirah tarik. Perempuan itu menunduk. Menahan tangis. Di titik ini ia sadar sudah sedalam apa arti Arganta bagi hidupnya.
"Aku enggak mau jadi salah satu hal yang membuat kamu terkekang."
Mirah beranjak dari kursi makan. Ia menatap Arga penuh kasih sayang. "Aku tahu kamu menerima perjodohan kita karena desakan orang tua. Jadi, biarkan aku yang memberitahu pembatalannya ke orangtua kita."
Arganta yang tak mengatakan apa-apa membuat Mirah menganggap pria itu sepaham.
"Kamu udah selesai makan, 'kan? Mari, aku antar sampai depan."
Malam itu, Mirah melepaskan cinta pertamanya.
***
Perut kenyang, sudah segar habis mandi, tetapi Arga tak bisa lelap. Padahal, tubuhnya sudah lelah sekali.
Bayangan wajah Mirah yang sedih dan berkata ingin menyudahi hubungan mereka menari di pelupuk mata tiap kali ia memejam. Membuat hati dilanda nelangsa.
Awal mengenal Mirah, Arga menilai gadis itu sebagai perempuan jutek. Bicaranya irit sekali. Tidak manja meski anak bungsu. Dan ... senyumnya cantik.
Untuk memenuhi permintaan ibunya, Arganta bersedia dijodohkan dengan Mirah. Ibunya Mirah adalah teman semasa sekolah Mamanya. Meski saat itu belum punya keinginan untuk menikah, Arganta yang memang terbiasa patuh setuju saja.
Ia dan Mirah mulai sering bertemu. Mereka pergi jalan-jalan berdua, makan dan nonton bioskop berdua dan banyak hal lainnnya. Perlahan, Arga menemukan sesuatu yang berbeda pada Mirah. Hal yang tak ia temukan pada orang lain.
"Arga jelek!"
Semua perempuan melirik bahkan tak sungkan menatap penuh minat pada Arga. Lelaki itu terbiasa mendapat pujian soal wajahnya yang rupawan. Namun, Mirah mengatainya jelek, tiap kali kesal.
"Arga jelek! Aku titip hadiah itu untuk sepupuku, ya! Kamu pura-pura lupa, 'kan?"
Di atas ranjangnya, mengingat kejadian-kejadian kala Mirah mengatainya jelek, Arga tersenyum semringah.
"Enggak becus! Dimintai solusi begini aja kamu enggak bisa! Katanya lawyer famous! Lerai anak SD tengkar aja kamu enggak mampu!"
Jadi, Mirah pernah mengajak Arga menghadiri acara ulang tahun seorang murid. Di acara itu ada dua bocah bertengkar, ketepatan Arga berdiri di dekat sana. Arga tak mau menengahi karena merasa ada orang tua si anak yang akan melakukannya. Dan apa? Ia kena semprot Mirah.
Terbiasa dipuji karena hasil kerjanya selalu memuaskan, Arga dikatai Mirah tidak becus. Bukan hanya sekali. Perempuan itu sengaja sekali membawa permasalahan bocah-bocah kecil muridnya ke depan Arga dan meminta solusi.
"Gimana, ya, supaya Ardi dan Johan ini enggak tengkar terus? Mereka hobi ngejekin nama orang tua soalnya. Padahal, sebangku."
Mana Arga paham. Dia tak terbiasa mengurusi bocah ingusan. Namun, meski dikatai tak kompeten, alih-alih marah, Arga malah merasa sangat senang.
Bersama Mirah, Arga merasa menjadi manusia normal. Ia bukan lelaki paling rupawan di dunia. Di mata Mirah, Arga bisa terlihat jelek. Di dekat Mirah, Arga boleh menjadi orang tidak becus yang tak mampu menyelesaikan masalah. Bukan melulu menjadi orang yang didatangi dan diharukan memecahkan perkara pelik. Arga boleh salah, ia punya ruang untuk berkata tidak mampu.
Bersama Mirah, Arga merasa menjadi manusia biasa. Yang punya kelemahan, keburukan. Laki-laki itu merasa dirinya utuh.
"Aku enggak mau jadi salah satu hal yang membuat kamu terkekang."
Arganta luar bisa terkejut ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Mirah. Ia tak tahu sikapnya yang mana yang membuat perempuan itu mengira bahwa yang selama ini ia perlihatkan hanya sandiwara.
Mulanya, Arga memang begitu. Ia menganggap hubungan dengan Mirah hanya formalitas. Satu hal lainnnya yang harus ia turuti dari orangtua. Namun, sekarang sudah tidak demikian.
Arga bersikap seperti apa yang ia mau ketika bersama Mirah. Kalau tidak, mana lelaki itu berani datang ke rumah si gadis pukul sembilan malam, hanya untuk minta dibuatkan mi rebus.
Sekarang, Mirah berkata ingin menyudahi hubungan mereka. Kepala Arga pusing karena tak tahu harus melakukan apa. Ia paham, Mirah tak akan bisa percaya dengan mudah bila perasaannya hanya diungkap lewat kata.
Mirah terlalu banyak tahu tentang sisi gelap Arga yang tak pernah dijamah orang lain. Karenanya, sekadar kata tak akan mempan untuk gadis itu. Namun, apa? Arga harus membuktikan perasaanya lewat apa?
***
Seminggu kemudian, kabar bahwa Mirah menginginkan pembatalan perjodohan menjadi topik utama yang diangkat Hari, papanya Arga, di meja makan. Tentu saja, Arga mendapat komentar buruk. Ia disebut gagal mencuri hati Mirah.
"Padahal, mama itu suka sekali pada Mirah, Arga. Kenapa, sih, kamu tidak bisa merebut hatinya?"
Pada ucapan sang ibu, Arga tak berniat menimpali. Pria itu mengurungkan niatnya untuk sarapan. Ia perlu segera bertemu Mirah.
Berkendara secepat mungkin menuju rumah Mirah, Arga dipersilakan menemui si perempuan. Tak hanya keluarganya, keluarga Mirah pun terlihat sedih dengan pembatalan yang ada.
Arga menemui Mirah di kolam renang di belakang rumah. Gadis itu sedang duduk di pinggir kolam. Arga menghampiri.
"Rah, kamu perlu dengar penjelasan aku." Arga menyalahkan dirinya sebab tak kunjung menemukan cara untuk menyakinkan Mirah.
Si perempuan menengok. Ada seulas senyum di wajahnya.
"Udah selesai, Ga. Kamu bebas sekarang. Om dan Tante udah janji enggak akan paksa kamu tunangan sama aku atau perempuan lain."
Arga terperangah mendengar itu. Ia yakin, Mirahlah yang meminta itu pada papa dan mamanya.
"Rah, kamu harus dengar aku dulu. Aku enggak main-main sama kamu. Benar, di awal aku menganggap hubungan kita cuma formalitas. Ta--"
"Udah, Ga!"
Tak pernah Arganta duga Mirah akan terlihat semarah sekarang. Perempuan itu menyelanya dengan suara tinggi dan raut wajah keruh.
"Ini udah selesai. Aku dan kamu udah enggak ada hubungan apa-apa lagi. Dan ... dalam waktu dekat aku akan menikah."
Mirah sudah akan pergi, Arga gegas mencekal tangan perempuan itu. Apa katanya? Menikah?
"Apa maksud kamu, Rah?"
Mirah memalingkan wajah. "Aku akan segera menikah. Kamu tahu sendiri umurku udah banyak."
Lelucon macam apa ini? Mirah ingin menikah? Tapi bukan dengan dirinya? Arga merasa berang luar biasa.
"Siapa? Kamu mau menikah dengan siapa?" tantang si lelaki. Ia tahu benar, selama ini tak ada orang lain yang mendekati Mirah selain dirinya.
Mirah tak memberi jawaban. Malam itu, Arga pulang dengan tangan kosong dan hati remuk.
***
Lepas dari Mirah, hidup Arganta makin kelabu. Setiap hari lelaki itu habiskan hanya untuk bekerja. Jika sudah tak kuat pada kesepian yang melanda, ia akan melampiaskannya dengan minum di kelab malam. Bahkan, pernah satu pagi Arga terbangun di hotel, dengan keadaan tanpa sehelai pakaian.
Arga kehilangan tujuan. Sudah tak ada tempat untuknya melepaskan semua penat. Sudah tak ada Mirah yang bersedia mendengar keluh-kesah. Arganta hilang arah.
Malam ini, perasaan kosong di hatinya semakin menjadi. Walau sudah berbotol-botol alkohol ia teguk, Arganta tetap merasa luar biasa sesak. Ia ingin mengamuk, menghancurkan apa saja dan memukul siapa saja.
Beruntung, sebelum semua itu terjadi, Arganta melihat Mirah. Entah itu hanya ilusi dari keadaannya yang sudah tidak sadar atau benar kenyataan, si lelaki tak peduli. Ia rengkuh Mirah seerat yang dibisa.
"Aku rindu. Jangan tinggalkan aku, Rah. Aku enggak bisa napas dengan benar."
Entah apa yang terjadi setelah itu, Arga tiba-tiba saja terjaga di sebuah kamar hotel. Bukan mimpi, sosok Mirah yang tadi sempat ia peluk masih ada di dekatnya. Tak menyia-nyiakan waktu, Arganta kembali merengkuh gadis itu.
Pria itu menyalurkan semua rasa rindu dan putus asanya lewat banyak ciuman. Mirah sama sekali tak menolak, bahkan seolah memprovakasinya.
"Rah?" Arganta merintih dengan geraman rendah ketika merasakan lembutnya bibir Mirah menghisap kulit lehernya. Pria itu berdenyut, meronta ingin memangsa.
Mirah menatap Arganta sayu. Perempuan itu naik ke pangkuan Arga, kemudian mendekatkan wajah. Menyerahkan bibirnya untuk kembali disentuh si lelaki.
Nyala hasrat berkobar di mata Arga. Tak ada yang lebih cantik daripada Mirahnya, terlebih ketika gadis itu meliuk di atas pangkuan dan menekan dirinya yang sudah sekeras kayu.
"Aku mau kamu, Rah."
Kalimat itu ibarat permintaan izin dari Arga. Dan anggukkan Mirah adalah bentuk persetujuan yang tentu tak akan sanggup Arga tolak.
***
Dua minggu setelah malam itu, Arganta putuskan untuk datang ke rumah Mirah. Gadis itu meminta agar mereka tak bertemu dulu, tetapi ia tak bisa melakukan itu. Terlebih, setelah apa yang mereka lakukan di hotel.
Arga berniat segera menikahi Mirah. Ia akan paksa saja gadis itu, kalau-kalau menolak. Toh, apa yang telah mereka lalui cukup membuktikan jika memang ada rasa yang bertaut. Namun, bukannya menjemput bahagia, kedatangan Arga ke rumah Mirah adalah untuk menjemput duka.
Hari itu, Mirah dan keluarganya tidak ada di rumah. Mereka semua pergi, menghadiri pernikahan Mirah. Mirah akan menikah dengan pria yang tak pernah Arga sangka.
Pria itu adalah Alvaro. Salah satu pemilik bisnis dunia malam. Arga mengenalnya karena ada kenalannya yang bekerja pada Varo.
Arganta tak tinggal diam. Ia menyusul ke lokasi persat dan langsung mendatangi ayah dan ibu Mirah. Memberitahu siapa itu Alvaro. Namun, kedua orang itu hanya bisa menunduk dengan ekspresi sedih.
"Kami bisa apa, Ga? Mirah yang menginginkan semua ini."
Tak putus asa, Arganta menemui Mirah. Menerobos ruangan yang gadis itu huni sebelum acara pernikahan berlangsung.
"Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Mirah?" Berapi-api mata Arganta menatap wajah cantik Mirah. Pria itu merasa luar biasa iri, sebab wajah cantik Mirah hari ini bukanlah untuknya.
"Kenapa kamu bisa di sini, Ga? Cepat pergi. Nanti Alva datang dan lihat kamu."
Arga menepis tangan Mirah. Pria itu merapatkan gigi. "Hentikan ini. Kamu sama aja menyia-nyiakan hidupmu kalau menikah dengan dia. Dia penjahat, Mirah."
Mirah menggeleng. "Please. Pergi, Arga. Pergi."
Arga berusaha melunakkan hati. Pria itu menangkup wajah Mirah dalam kedua tangan. Menatap mata gadis itu, ia selipkan permohonan di sana.
"Jangan menikah dengan dia. Dia enggak baik. Dia bukan orang baik. Kamu dalam bahaya kalau menikah dengan dia."
Bukannya melihat Mirah luluh, Arganta malah mendapat satu tamparan di pipi. Mirah sekali lagi mengusirnya.
Habis kata. Habis harap. Arganta yang kebingungan angkat kaki dari sana. Mirah menolaknya, untuk yang kesekian kali. Perempuan itu tidak menginginkannya, bahkan tega memukulnya. Jadi, untuk apa Arga bertahan? Ia bahkan sudah tak lagi punya harga diri.
Jadi ternyata, alasan tak ingin Arga terkekang hanya kebohongan? Kebenarannya, Mirah sudah punya lelaki pilihan sendiri. Dan itu bukan Arga.
Hari itu, Arga bersumpah. Ia akan selalu membenci perempuan bernama Mirah itu. Sungguh dalam luka yang perempuan itu torehkan di hati Arga. Seumur hidup tak akan cukup untuk mengobatinya.
***
Enam tahun kemudian ....
Arganta tersenyum puas kala kliennya dinyatakan memenangkan perkara dan berhak atas ganti rugi. Pria itu berdiri dari duduk, sembari melempar sorot benci pada Alvaro yang terlihat santai saja.
Keluar dari gedung sidang, Arga melipat tangan di depan dada saat melihat Alvaro mendatanginya.
Kebetulan. Kali ini Arga membela seseorang yang punya masalah dengan Alvaro. Dan pria itu berhasil menang. Walau ini tak sebanding dengan yang sudah Alvaro lakukan, tetap saja Arga ingin terlihat luar biasa puas.
"Selamat," kata Alvaro sembari mengulurkan tangan.
Mengangguk pongah, Arga menyambut. Mereka berjabat tangan.
"Kau tahu? Aku sejak lama membenci keluargamu. Ayahmu pernah membela atasan ayahku yang jahat."
Arga menyembunyikan rasa terkejutnya dengan senyum sekilas.
"Aku juga membencimu karena mengikuti jejak ayahmu yang licik itu."
Arga menyahut, "Akan sulit menjelaskan pada orang yang tidak mengerti hukum, kalau yang berhak dibela bukan hanya mereka yang benar."
Sekarang, giliran Alvaro yang menaik-turunkan kepala. "Kau bajingan. Keluargamu buruk. Hidup kalian terlalu beruntung untuk punya nama besar seperti sekarang."
"Terima kasih pujiannya," jawab Arga luar biasa senang.
"Dan sialnya, kau semakin beruntung karena punya Mirah."
Nama itu disebut, air muka Arga menggelap. Pria itu kehilangan senyum tenangnya. Matanya berkilat penuh dendam pada Alvaro.
Arga boleh beruntung di hal lain. Enam tahun belakangan, karirnya makin melejit. Namun, semua pencapaian itu tak ada apa-apanya, sebab pria itu kehilangan hal yang paling berarti.
"Bagaimana kabar Mirah sekarang?"
Ada cekungan di antara alis Arga. Ia menanti Alvaro meneruskan ucapan. Firasatnya mengatakan akan mendengar sesuatu.
"Kutebak, kau tidak tahu di mana dia." Alvaro tersenyum getir. "Perempuan satu itu sungguh keras kepala. Kuberikan segalanya, tapi dia memilih pergi."
Mata Arga membola. Tangannya yang dingin mengepal kuat di sisi tubuh.
"Kau berusaha memprovokasiku?" Arga bicara dengan gigi rapat.
Alvaro menggeleng. "Mirah menemuimu malam itu, 'kan? Dia memintaku memberi izin sambil menangis."
Arga hilang kesabaran. Ia cengkeram kemeja depan si lawan bicara. Tempo Alvaro bercerita sungguh lambat, untuk dirinya yang menggebu-gebu.
Mendapat serangan dari Arga, Varo menyeringai. "Kau tidak tahu kenapa Mirah sampai mau menikah dengan sampah sepertiku?"
Gigi Arga bermelatuk. Urat di atas pelipisnya mencuat. "Jika kau ingin mengatakan sesuatu, katakan dengan benar, bedebah," desisnya berusaha menahan diri.
"Kau ingat kau pernah terbangun di kamar hotel sendirian? Aku menjebakmu. Mengambil foto telanjangmu dengan seorang gadis. Kau mabuk, jadi tak melakukan apa-apa."
Tubuh Arga menggigil mendengar itu.
"Aku memberikan foto itu pada Mirah. Kukatakan kalau akan menyebarkannya dan membuatmu hancur." Alvaro tersenyum licik. "Aku tak perlu mengulang bagaimana perasaanku padamu, 'kan?"
Arga melepas cengkeraman tangannya dari kemeja Alvaro. Pria itu kalut. Wajahnya pucat dan ia kebingungan.
"Kau benar-benar bisa hancur kalau foto itu tersebar. Karirmu akan jatuh, pun orang-orang akan kehilangan rasa hormat padamu. Lalu, Mirah memohon."
Mata Arga memerah. Rahangnya bergetar menahan emosi yang siap meledak. Besar sekali kebenaran yang ia lewatkan ini.
"Dia siap memberikan apa saja sebagai ganti untuk menyembunyikan foto itu. Maka aku meminta dirinya."
Lalu Mirah membatalkan perjodohan dan berkata akan segera menikah. Perempuan itu bahkan sempat memberikan hadiah perpisahan paling indah untuk Arga. Dan apa? Arga bersumpah untuk membencinya seumur hidup.
"Di mana dia sekarang?"
Alvaro menggeleng. "Aku memberikan segalanya. Percayalah, dia perempuan yang mudah membuat orang lain jatuh hati. Aku tulus menginginkan dia ada di sampingku. Tapi, dia meminta kebebasan. Maka aku memberikannya."
Arga merasa jantungnya ditusuk tombak. Sakit, tetapi tak ada darah yang terlihat.
"Aku bisa saja membayar orang tadi untuk tutup mulut, Arga. Tapi, aku rela dilaporkan ke polisi, demi bisa bertemu denganmu. Kau selalu menghindar tiap kali aku berusaha menjelaskan semuanya. Jadi, karena kita sudah bicara, tugasku sudah selesai. Kalau kau bertemu Mirah, beritahu dia kalau aku merindukan masakannya."
***
Tidak berlama-lama, Arga mengerahkan semua kekuatannya untuk mencari Mirah. Banyak detektif ia sewa. Uang bukan masalah. Arga siap membayar berapa pun.
Pencarian itu berlangsung satu bulan, sampai akhirnya Arga mendapat kabar di mana Mirah berada. Pria itu pergi ke sana, seorang diri.
Mirah tinggal di sebuah desa. Tidak mau membuang waktu untuk mengintai, Arga datang bertamu.
Pintu rumah itu Arga ketuk dengan perasaan tak karuan. Ada rindu, sesal dan juga gugup. Sudah enam tahun, apa Mirah masih akan mengenalinya?
Yang paling penting, apa perempuan itu sudi memberinya maaf?
"Cari siapa, Om?"
Yang membuka pintu adalah seorang gadis kecil. Arga terkejut karena cara anak itu menatap. Hal itu langsung mencuri atensinya.
"Mirah. Apa Mirah tinggal di sini?"
Gadis itu mengangguk. "Ibu lagi pergi ke warung. Mau tunggu? Silakan duduk di teras, Om."
Jantung Arga berdebar kencang. Ia duduk di kursi plastik yang ada di teras rumah kecil itu. Si anak kecil tadi menghilang, kemudian muncul kembali dengan segelas air putih.
"Om temannya Ibu?"
Alih-alih menjawab, Arga malah tergerak menyentuh pipi si gadis kecil. "Namamu siapa?" tanyanya lembut.
"Reta. Areta. Om?"
Arga tersenyum lebar. Entah mengapa hatinya begitu haru.
"Arga--"
"Arganta?" Si bocah kecil menyela. "Arganta?" ulangnya bersemangat dengan mata membulat.
Si lelaki terbeliak. "Kenapa kamu tahu nama saya?"
Ujung bibir Reta terangkat. "Ibu selalu doakan Arganta tiap tanggal 17 November. Aku juga disuruh doakan Arganta supaya selalu sehat dan panjang umur. Om Arganta temannya Ibu itu?"
Haru begitu saja menyeruak. Arga menarik bocah kecil itu untuk dipeluk. Debar di dadanya terasa tak asing. Perasaan seperti ini pernah ia punya ketika Mirah di sisinya.
"Mirah ibumu, Nak?" tanya pria itu dengan bibir bergetar.
"Iya."
"Berapa umurmu sekarang?"
Belum sempat Reta menjawab, Arga mendengar suara langkah. Pria itu menoleh dan menemukan Mirah.
"Arga?" Wanita itu terlihat terkejut. Barang belanjaannya bahkan sampai terjatuh ke tanah.
"Ibu!" Reta berlari menghampiri ibunya. "Nama Om ini Arganta. Apa dia Arganta yang selalu kita doakan?"
Mirah menahan diri untuk tak menangis. Perempuan itu meminta Reta masuk ke rumah. Ia mengajak Arga untuk duduk di teras.
Bingung akan mengatakan apa, Mirah hanya bisa bungkam di menit-menit awal.
"Rah."
Panggilan itu nyaris membuat pertahanannya luruh. Perempuan itu mengepalkan tangan di atas pangkuan agar tangis tak segera pecah.
"Matanya mirip aku, Rah. Dia siapa?"
Tangis Mirah pun tumpah. Perempuan itu sesenggukkan, kemudian mengangguk pelan. Reta memang punya mata yang serupa dengan Arga.
"Namanya Areta. Lahir di bulan Mei, enam tahun lalu. Dia pintar ngomong."
Bukan itu yang Arga ingin dengar. Pria itu menatap Mirah sungguh. "Dia siapa, Rah? Kenapa bisa matanya mirip aku?"
Mirah memalingkan muka. "Kamu mau apa ke sini? Dari siapa tahu aku ada di sini?"
Arga menelan ludah. Ia mengatur emosi agar bisa bicara lebih baik. "Alvaro udah kasih tahu semua sama aku. Alasan kenapa kamu menikah dengan dia. Aku udah tahu semua. Kecuali, satu. Kenapa matanya Reta mirip aku?"
Melihat sorot menuntut di mata Arga, Mirah menyerah. Toh, memang tak sepantasnya ia menyimpan semua ini lebih lama. Reta perlu tahu siapa Arganta yang selama ini ia suruh untuk didoakan.
"Bukan cuma mata. Golongan darahnya juga sama seperti kamu, Arga. Dia putrimu."
Tangis Arga terdengar. Pria itu sungguh merasa menyesal. Kelalaiannya dulu sudah menyebabkan orang-orang yang ia cintai mengalami hal buruk.
"Kenapa kamu enggak kasih tahu aku soal foto itu? Aku bisa lakukan sesuatu, Rah."
Mirah menggeleng. "Karirmu bisa hancur. Aku enggak bisa bayangkan gimana marahnya papa dan mamamu."
"Lalu kamu? Kamu selama ini berkorban banyak, demi aku. Padahal, aku berusaha membenci kamu karena merasa kamu mencurangi aku."
"Enggak masalah, Arga. Enggak masalah." Mirah tak keberatan, sebab itu adalah salah satu bukti bahwa ia mencintai Arga.
Arga meraih tangan Mirah. Pria itu memberikan kecupan di telapaknya. "Apa masih boleh aku menginginkan kamu? Kalian berdua?"
Mirah tampak cemas. "Alvaro, di--"
"Aku enggak peduli, Rah. Aku enggak peduli. Kalau aku enggak bersama kamu, segalanya enggak berarti apa-apa." Arga menekuk lutut di depan Mirah. Pria itu memohon. Kalau Mirah ingin dirinya melakukan lebih dari itu, maka ia siap.
Mirah menangis. Namun, kali itu bukan karena takut atau sedih. Arga berhasil meyakinkannya untuk mengambil keputusan berbeda. Pria itu jauh-jauh ke sini. Mencarinya dan menemukan mereka.
"Biarkan aku bersama Reta, Rah."
Dan permintaan itu membuat Mirah mengangguk. Perempuan itu sudah cukup membuktikan cintanya diam-secara diam. Sekarang, saatnya membiarkan Arga melihat besarnya cinta itu tanpa harus bersembunyi.
Selesai.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰