Baby, Hubby, Serendipity - Bab 3

2
0
Deskripsi

Warning! 18+

Demi sejumlah uang, Leandra bersedia mengandung anak seorang pria bernama Sabda Sanjaya. Mulanya mengira hanya harus meminjamkan rahim, Lea malah dijadikan istri.

Demi seorang bayi, Lea harus bersedia punya suami. Suatu kebetulan pun terjadi. Ternyata, kekasih Sabda adalah Rhea, mantan sahabat Lea yang dulu sudah pernah mengambil kekasihnya.

Bayi, suami, dan keberuntungan berupa kesempatan. Akankah Lea memilih memanfaatkan peluang balas dendam yang ada? Akankah ia memilih merebut Sabda...

Lea dan Sabda sudah menentukan jadwal. Mereka akan melakukan pembuahan dua kail dalam seminggu. Dan Rabu ini adalah yang pertama di minggu ini.

Jika kemarin mereka melakukannya di rumah Lea, hari ini pasangan suami istri memadu kasih di kamar Sabda, di apartemen pria itu.

Besar sekali memang pengaruh Ani bagi Sabda. Wanita itu hanya tinggal perintah, dan Sabda akan menjelma robot yang akan senantiasa menuruti semua apa yang ibunya katakan.

Sejak kemarin Lea pindah ke sini. Awalnya memang berat sekali. Namun, demi misi, perempuan itu  mengesampingkan egonya.

"Mas, tolong bantalnya," pinta Lea pada sang suami. Yang diminta diberikan, perempuan itu menyelipkannya di bawah pinggul.

Masih di atas ranjang dengan tubuh dibalut selimut hingga leher, Lea memejam. Perempuan itu berharap. Semoga yang kali ini berhasil. Agar tak ada malam-malam lain yang harus ia habiskan dengan Sabda.

"Sakit?" Sabda memeriksa ke bawah selimut. Ia langsung dihadiahi tendangan oleh si perempuan.

"Ngapain kamu, Mas?!" Lea melotot, setengah bangun dari posisi tidur.

"Kamu pakai bantal untuk apa? Masih sakit memangnya?"

Kembali berbaring, Lea menggeleng. "Biar cepat jadi. Kamu tadi serius, 'kan?"

Sabda yang duduk di ujung ranjang terkekeh. "Mana bisa serius. Muka kamu saja mengundang cemooh."

"Muka aku memangnya kenapa, Mas? Apa sejelek itu? Kamu ini enggak pernah diajari sopan santun waktu sekolah?"

Sabda hanya mengangguk-angguk. Pria itu beranjak dari duduk. "Kamu mau tidur tanpa mandi dulu?"

Lea langsung membuang muka. "Beneran enggak diajarin sopan santun kamu, Mas." Pipinya merah melihat Sabda berdiri menjulang dalam keadaan polos.  

Lagi-lagi si pria tertawa. "Mandi kamu. Saya nggak suka tidur dengan orang jorok dan bau."

Si istri mengangguk. "Iya, bentar lagi. Biar masuk semua ini."

Ucapan Lea langsung dibalas Sabda dengan lemparan guling. Pria itu mengerutkan dahi pada istrinya.

"Sok ngomongin sopan santun ke saya. Kurang bercermin kamu memang."

 

***


Saat Sabda pulang tadi, Lea sedang di dapur. Tengah menyiapkan santap malam mereka. Permintaan si suami membuat perempuan itu harus menunda waktu tidur untuk kembali berkutat dengan sayur dan telur.

Hari ini Lea hanya akan membuat menu sederhana. Tumis sawi, sambal dan telur rebus. Entah Sabda akan memakannya atau malah menghina masakan itu, si perempuan tak peduli.

Pukul enam lewat, makanan Lea siap. Bertepatan dengan Sabda yang baru saja keluar dari kamar. Baru bangun tidur.

Hebat memang pria itu. Saat Lea masih harus mengurusi dapur dan sumur, lelaki itu bisa bersenang-senang dengan kasur.

"Saya mau makan," kata Sabda sembari mendaratkan bokong di kursi makan.

Supaya tidak bolak-balik ke kamar dan dapur lagi, Lea putuskan untuk ikut makan sekalian. Awalnya, perempuan itu hanya akan mengambil piring dan nasi untuk diri sendiri. Namun, ada rasa tak enak. Jadi, ia siapkan sekalian nasi untuk Sabda.

Sejak tinggal bersama suaminya, kebutuhan hidup Lea ditanggung penuh oleh Sabda. Bukan lagi Nyonya Ani, seperti di awal pernikahan. Karena itu, meski sangat ingin memaki atau memukul Sabda, Lea akan mengurungkan niat tersebut, ketika ingat bahwa Sabda sudah menafkahinya.

"Pakai sambal, Mas?" Lea menoleh pada suaminya.

"Pedas, tidak?"

"Ada rawit, dua. Aku enggak tahan kalau sambalnya pakai rawit banyak."

"Sakit perut?" Sabda selesai mengupas dua telur rebus.

Lea mengangguk. "Jadi? Pakai atau enggak?"

Sabda mengangguk. Pria itu mengambil satu butir telur lagi untuk dikupas. Setelah selesai, ia taruh di piring milik Lea.

Duduk di kursinya, Lea melirik pada Sabda.

Sabda yang menyadari itu menaikkan satu alis. "Jangan besar kepala kamu. Saya kupaskan sekalian untuk kamu, karena kamu udah ambilkan nasi untuk saya. Saya nggak suka utang budi."

Dahi Lea berkerut. "Kenapa aku cuma dikasih satu? Aku masak lima tadi, Mas. Pas, dua-dua, sisa satu. Mas makan dua, aku cuma dapat satu?"

Si suami melipat bibir ke dalam. Ia memalingkan wajah sejenak, kemudian mulai menyendok nasi ke mulut.

"Mas itu kenapa segitu enggak sukanya, sih, sama aku? Mas pikir aku suka gitu sama Mas? Kita ini sama-sama enggak suka. Tapi, kita punya kepentingan yang sama. Apa engg--"

Omelan Lea itu dihentikan Sabda dengan sebutir telur. Pria itu memasukan satu telur rebus miliknya ke mulut si istri.

"Makan. Kamu saya kasih dua. Udah? Bisa kita makan tanpa omelan?"

Lea mengangguk. Perempuan itu keluarkan telur tadi dari mulut, kemudian mengikuti Sabda untuk mulai makan.

Urusan perut selesai, bukannya pergi tidur, Lea malah tertarik dengan tontonan yang dinikmati Sabda. Perempuan itu izin bergabung, si lelaki membolehkan.

"Horor, kan, Mas? Tadi katanya enggak!" protes Lea setelah mengikuti film selama setengah jam.

"Penakut. Hantunya nggak seram, kok. Nyeremin kamu, Percaya, deh. Lihat sendiri."

Untuk membuktikan itu, Lea bertahan sedikit lebih lama di sofa. Ia menanti sampai sosok hantu di film muncul. Sayangnya, semua tokoh setan di film itu tidak punya adab. Suka muncul tanpa permisi.

Lea melonjak saat wajah putih dan mata hitam tanpa bola mata muncul memenuhi layar. Perempuan itu menghambur ke arah Sabda, menyembunyikan wajahnya di dada si lelaki.

"Setan!" jerit Lea ketakutan.

"Nyeremin kamu, 'kan?" Tawa Sabda berderai.

"Udahan belum, Mas? Hantunya udah pergi?" Lea masih tak ingin menatap ke depan. Ia merapatkan wajah ke dada suaminya dan memejam kuat-kuat.

"Belum. Dia mau ngajak kamu kenalan kayaknya."

"Mas!"

"Sabda?"

Dua suara berbeda. Dengan intonasi yang juga berbeda. Yang satu terkejut, yang satu memelas takut.

"Rhea?"

Pelan-pelan Lea menjauhkan wajahnya dari dada Sabda. Perempuan itu menoleh ke belakang dan mendapati seseorang yang ia kenali.

"Rhea?" ucap Lea tak percaya.

"Jadi, sibuknya lo ini, Sab? Lo masih ingat punya pacar atau nggak?" Rhea bersedekap. Matanya menatap nyalang ke arah si pacar.

Lea berdiri. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuh yang terasa kaku. "Kamu pacarnya Mas Sabda?" Bibir perempuan itu bergetar. Debar jantungnya mulai tak karu-karuan.

Rhea tersenyum sinis. "Kenapa? Lo terkejut?" Senyum Rhea sirna. "Murahan," ujarnya tanpa sungkan.

Lea mengusap wajah. Berkedip beberapa kali, demi memastikan dirinya tak salah lihat. "Kamu Rhea Suandi? Benar Rhea yang du--"

"Iya, Lea. Gue memang Rhea. Rhea Suandi, pacarnya Sabda dan teman sekelas lo dulu waktu SMA. Kenapa? Lo terkejut? Gue juga, sih, awalnya. Tapi, sekarang gue ngerasa biasa saja. Gue memang udah tahu semurahan apa lo itu. Entah dulu atau sekarang. Sama aja, murah!"

Tak ingin mengatakan apa-apa lagi, Lea meninggalkan ruang tamu. Perempuan itu masuk ke kamar, kemudian mengunci pintu.

Tubuh Lea merosot jatuh di balik pintu. Perempuan itu merasakan gejolak emosi yang campur aduk. Terkejut, marah, tetapi juga malu.

Jadi, pacarnya Sabda adalah Rhea? Kekasih suaminya yang menolak hamil hingga mengharuskan Nyonya Ani punya cucu dari wanita lain, adalah Rhea Suandi?

Rhea yang adalah sahabat Lea saat di SMA dulu? Rhea yang pernah mengatai Lea murahan dan menuduhnya suka menggoda pria-pria? Rhea yang sudah merebut pacar Lea dulu?

Wah! Sempit sekali ternyata dunia itu, ya?

 

***


"Lea, saya perlu ambil kemeja saya. Buka pintunya."

Lea terbangun dari tidur. Usai membuka kelopak mata, perempuan itu langsung duduk setelah mendengar suara Sabda di luar sana.

Sedikit sempoyongan membukakan pintu, kepala Lea membentur kusen. Perempuan itu mengaduh, meringis, lalu berjongkok seraya menggosok dahi.

Sabda berkacak pinggang. "Yang punya masa lalu itu kamu dan Rhea. Kenapa saya yang jadi korban?"

Si perempuan mendongak. "Maaf, Mas. Aku beneran lupa bukain kunci kamar. Aku ketiduran."

Lelaki di sana berdecak saja. "Siapkan kemeja saya, tolong. Saya masih harus siapkan sarapan."

Lea mengangguk, lalu berdiri. Perempuan itu hampir meraih gagang pintu lemari, sampai suara Sabda terdengar.

"Beneran kamu semurah itu? Kamu beneran menggoda pacarnya Rhea waktu SMA dulu? Kamu ajak tidur?"

Tangan Lea mendadak gemetar dan dingin. Perempuan itu berbalik, menatap suaminya dengan mata memerah.

"Dia cerita begitu sama kamu, Mas?"

"Jawab saya. Sejak dulu, kamu memang sudah menghalalkan semua cara untuk mendapatkan apa yang kamu mau? Termasuk merayu pacar sahabatmu sendiri?"

Air mata Lea tumpah. Perempuan itu gegas memalingkan wajah dari Sabda. Ia buka lemari, kemudian mulai memilih kemeja.

"Terserah Mas saja mau percaya atau enggak. Saya enggak mau mengatakan apa pun soal itu."

Sabda terdiam cukup lama, sampai akhirnya berujar, "Oh, kalau seperti itu, berarti Rhea benar. Kamu memang pernah mengajak tidur pacarnya, hanya demi membuat Rhea dicampakkan."

Lea menahan isakan. Kalau memang Sabda ingin meyakini hal itu, terserah si pria saja. Lea tak ingin peduli. 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Baby, Hubby, Serendipity - Bab 4
0
0
Warning! 18+Demi sejumlah uang, Leandra bersedia mengandung anak seorang pria bernama Sabda Sanjaya. Mulanya mengira hanya harus meminjamkan rahim, Lea malah dijadikan istri.Demi seorang bayi, Lea harus bersedia punya suami. Suatu kebetulan pun terjadi. Ternyata, kekasih Sabda adalah Rhea, mantan sahabat Lea yang dulu sudah pernah mengambil kekasihnya.Bayi, suami, dan keberuntungan berupa kesempatan. Akankah Lea memilih memanfaatkan peluang balas dendam yang ada? Akankah ia memilih merebut Sabda dari Rhea, seperti apa yang dulu Rhea lakukan padanya? Dan, bisakah Lea percaya menitipkan anaknya pada Rhea yang jelas-jelas masih sangat membencinya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan