A&D - Bab 5

2
0
Deskripsi

"Dan itu salah satu alasan kenapa gue setuju ide Anggara untuk suruh lo nikahin Aria. Gue tahu kalau lo pernah nemenin Aria ke kamar mandi, pas dia cuma sendirian di rumah."

"Aku tuh gak kayak perempuan lain. Manja-manja kayak orang gak bisa ngapa-ngapain."

Pada Agnes yang bicara, Dewa melempar senyum simpul. Pria itu tampak mendengarkan penuh atensi sembari menikmati steaknya.

Malam ini, ia dan Agnes pergi berdua saja. Makan malam berdua, sembari saling berbagi cerita agar lebih dekat. Sedari tadi, Dewa seru mendengarkan cerita-cerita Agnes soal dirinya sendiri.

Perempuan itu mengisahkan soal dirinya  yang sudah bekerja keras mulai dari sekolah, sampai saat ini. Agnes itu anak pertama dan menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal.

"Mas niatnya mau pacaran dulu apa langsung menikah?"

Pertanyaan itu membuat Dewa tersenyum lebih lebar. "Pacaran dulu. Saya butuh waktu lebih untuk meyakinkan diri sendiri kalau soal komitmen."

Agnes mengangguk, tetapi tampak tak senang dengan jawaban itu. "Aku, sih, lebih senang kalau langsung menikah. Umur segini udah gak masanya pacaran lagi. Urusan yakin atau gak, harusnya udah bisa disimpulkan dari pertemuan pertama."

Dewa mengangguk. Ia lanjutkan makan, walau tahu saat ini Agnes sedang menatapi lekat.

"Aku suka sama Mas."

Kali ini Dewa berhenti makan. Ia membalas tatapan Agnes tak kalah serius.

"Mas gimana? Kalau misal memang belum yakin untuk naik ke jenjang pernikahan sesegera mungkin, biar aku tahu untuk mundur. Gak buang-buang waktu."

"Terima kasih untuk sikap terus-terang kamu. Kamu gadis yang baik dan cantik. Kamu mandiri. Paket komplit untuk jadi calon istri. Tapi, maaf sekali. Saya belum kepikiran untuk menikah dalam waktu dekat."

Sorot mata Agnes menampilkan kekecewaan. "Padahal, aku berharap besar sama Mas. Aria benar. Mas itu laki-laki yang sabar. Idaman aku."

Dewa memberi senyum menyesal.

"Kalau begitu, saya pamit, ya, Mas. Terima kasih untuk waktunya." Agnes berdiri, kemudian mengulurkan tangan.

Dewa juga beranjak dari kursi, lalu menjabat tangan gadis itu. "Terima kasih untuk waktu kamu. Semoga segera mendapat laki-laki yang cocok."

Agnes pergi, Dewa kembali duduk dan melanjutkan kegiatan makan. Pria itu tersenyum-senyum mengingat predikat sabar yang Agnes sampaikan tadi.

Sabar dari mana? Dewa sama sekali bukan pria sabar. Kalau dia sabar, dia akan melobi Agnes untuk memberi waktu lebih bagi mereka untuk lanjut saling mengenal. Bukan malah menolak seperti yang tadi dilakukan.


***


"Agnes bukan tipe lo?" Arsen bertanya sembari mendorong stik kayunya.

Bunyi bola biliard yang bertabrakan terdengar di ruangan itu. Susunannya menjadi tak beraturan di atas meja. Membuat Arsen harus mengamati serius, demi mencari bola mana yang harus ia sodok selanjutnya.

"Dia hobi membicarakan dirinya sendiri. Egois dan keras kepala juga keknya."

Arsen terpingkal. Ia tegakkan punggung ke arah Dewa. Kehilangan minat pada permainan dan lebih ingin mendengar cerita sang sahabat.

Dewa sendiri yang mengajaknya kemari, tempat biasa mereka menghabiskan waktu. Bangunan yang mirip rumah, tetapi berisi ruang karoke, ruang biliard dan kamar ini milik Arsen. Tempat Arsen biasa menyendiri dan berduaan dengan Dewa kalau sedang butuh teman.

"Lo baru ketemu dua kali, Tupai." Arsen masih tertawa mengejek.

Di sofa yang ada di sudut ruangan, Dewa membaringkan tubuh. Kepalanya rebah di lengan sofa.

"Pertama, dia bisa nyeritain dirinya sediri selama berjam-jam. Gimana pintarnya dia waktu sekolah, gimana dia kerja keras untuk jadi tulang pungung keluarga. Dan gimana bedanya dia dari cewek kebanyakan."

Arsen mengangguk-angguk. Pengamatan yang cukup detil, pikirnya. Sudah pasti Dewa memang punya pertimbangan mendasar kenapa sampai menolak gadis cantik macam Agnes.

"Kedua, dia bisa gak pedulian. Waktu gue bilang Aria sakit, dia lebih milih lanjut nonton, daripada susul Aria ke toilet." Dewa menggeleng tak paham.

"Mungkin, dia mikir Aria, kan, udah besar. Bisa ngurus diri sendiri."

"Memangnya orang dewasa yang sakit gak butuh ditengokin dan dipastiin keadaannya baik-baik aja?" Mata Dewa melotot tak senang.

Arsen mengulum senyum. Ia suka reaksi Dewa ini. Membuatnya punya celah untuk menyisipkan rayuan.

"Kok lo sesewot ini? Marah banget kayaknya. Alasan utama lo nolak Agnes bukan karena dia ogah nengokin Aria, 'kan?"

"Salah satunya."

"Salah satunya atau yang utama?"

Dewa mengernyit. Ia merasa Arsen sedang menuduh. "Norak," protesnya sembari memalingkan wajah ke langit-langit ruangan.

Arsen tertawa. "Ingat, ya. Tawaran Anggara tinggal dua minggu lagi sebelum expired. Pikirin mateng-mateng, sembari lo milih-milih cewek yang dibawain Aria."

Mendengar itu Dewa langsung menoleh lagi pada sang karib. Alisnya tampak mengait bingung. "Aria itu beneran suka gue, gak, sih? Kenapa bisa dia malah cariin gue pacar?

Arsen mengedikkan bahu. "Gak paham gue sama manusia satu itu. Padahal, gue udah sering mancing. Siapa tahu dia keceplosan gitu."

"Lo sendiri ... yakin gue pantas nikahin adek lo? Aria itu adek lo, Arsen. Lo tahu gimana keadaan gue."

Arsen mengangguk. "Lo gak sakit jiwa. Lo punya kerjaan. Dan kayak yang selalu Aria bilang ...."

"Apa? Aria bilang apa?" kejar Dewa tak sabar.

"Mas Dewa itu cowok baik." Arsen menirukan apa yang pernah ia dengar dari Aria.

"Dia gak kenal gue, Sen." Dewa memberi tatapan gusar pada temannya. "Lo lebih kenal gue. Luar, dalam."

"Dan itu salah satu alasan kenapa gue setuju ide Anggara untuk suruh lo nikahin Aria. Gue tahu kalau lo pernah nemenin Aria ke kamar mandi, pas dia cuma sendirian di rumah."

Terkejut rahasianya diketahui Arsen, Dewa langsung duduk. Pria itu gelagapan. Beberapa kali mengusap wajah.

"Gue bisa jelasin, Sen."

Arsen terpingkal melihat reaksi itu.

"Waktu itu udah malam. Lo tahu, waktu SMP, Aria itu penakut banget. Lo sama Anggara lagi di rumah sakit nemenin nyokap lo. Cuma ada supir dan satpam waktu itu."

Terbiasa bertamu dan main berjam-jam di rumah Arsen, pernah satu malam Dewa diminta menemani Aria yang sendirian di rumah. Si gadis yang penakut ingin ke kamar mandi waktu itu. Jadi, sebagai satu-satunya orang yang ada di sana, Dewa harus turun tangan dan menemani.

"Sumpah, gue gak lakuin apa-apa. Pintunya dikunci dari dalam sama Aria. Gue nunggu di depan kamar mandi." Dewa berusaha menjelaskan. Ia tak mau sampai temannya salah paham, karena kejadian ini ia sembunyikan selama bertahun-tahun.

Bagaimana juga, Aria itu perempuan. Meski sudah menganggap gadis itu seperti adik sendiri, tetap saja pasti ada sekat di antara mereka. Dan karena tak ingin Arsen salah paham dan merusak persahatan mereka, Dewa menyimpan kejadian ini selama bertahun-tahun. Ia bahkan membuat Aria berjanji untuk tak menceritakannya ke siapa pun.

"Gua tahu, Tupai. Gak mungkin juga gue cuma diem kalau malam itu lo ngapa-ngapain adek gue."

Dewa mengusapi dadanya lega.

"Mungkin, sejak itu Aria mulai tertarik sama lo. Dia sering bilang lo baik dan selalu suruh gue bagi bekal ke lo sejak itu."

"Itu cuma hal remeh yang memang udah  seharusnya dilakuin. Aria berlebihan," bantah Dewa.

"Lo gak bisa ngatur lewat cara apa hati lo bakal jatuh cinta. Mungkin, Aria ngerasain perasaannya mulai tumbuh sejak itu. Sampai sekarang."

Bertukar pandang beberapa saat dengan Arsen, Dewa langsung merebahkan kembali tubuhnya ke sofa. Pria itu berdecak kesal. Lagi-lagi Arsen berusaha mempengaruhi otaknya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya SA - Bab 1,2,3
3
0
โ€œKamu senang jadi janda dua kali?โ€
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan