Alara - Bab 22,23,24

1
0
Deskripsi

Selamat membaca! 

Bab 22 

Alara luar biasa senang saat menerima pesan berisi pemberitahuan jika ia diterima bekerja. Perempuan itu mengabari ibunya yang masih berada di pasar. Setelahnya, ia bersiap untuk berangkat.

Walau dapat shift siang, Alara merasa bersemangat karena ini hari pertamanya bekerja.

Setengah jam kemudian, Alara sudah di teras dan mengenakan sepatu. Saat itu, ia melihat Rio datang.

"Ada apa?" tanya gadis itu penuh atensi.

"Diterima kerjanya?"

Alara mengulas senyum, kepalanya mengangguk. "Karena itu, perlu apa? Aku mau berangkat."

"Butuh ojek aku lagi, nggak?" Rio menawarkan.

Menimbang sejenak, Alara menggeleng. "Mau nyobain naik angkot."

Rio mengangguk saja. "Aku cuma mau tanya. Kamu belum nikah, kan, ya?"

Tangan Alara yang semula sedang membuat simpul tali sepatu seketika berhenti. Ia mulai heran. Kenapa semua laki-laki yang dikenal selalu menanyakan dan membahas hal ini?

"Di muka aku ada tulisannya, ya? Belum menikah, gitu? Jadi, setiap orang yang datang pasti bakal tanya dan bahas itu," gerutu si gadis.

Rio tertawa pelan. "Kamu idaman soalnya. Sebrengsek-brengseknya cowok, pasti mau dapat istri yang baik-baik. Kayak kamu ini."

"Aku juga brengsek, kalau kamu mau tahu."

"Oh, ya? Mana percaya." Lelaki itu memberi senyum mengejek pada Alara.

"Aku belum nikah. Dan enggak pengin nikah. Apa urusanmu di sini udah selesai?"

Rio mengangguk. "Aku udah pernah dengar itu dari Adi, ngomong-ngomong."

"Adi lagi, Adi lagi," sungut Alara.

"Kamunya cuma mau dekat sama Adi. Ya kami terpaksa modusin Adi biar dapat informasi."

Rio kemudian berjongkok di depan Alara. Membuat wajah mereka sejajar. Untuk sebentar, pria itu terpesona dengan kepolosan yang terpancar dari wajah Alara. Namun, ia juga dibuat tertantang dengan sorot menantang yang selalu Alara punya di matanya.

Gadis di depannya ini masih saja cantik, seperti saat mereka masih SMP dulu.

"Aku menawarkan kesepakatan," tutur Rio memulai.

"Kesepakatan?"

"Ibuku udah nangis-nangis suruh aku menikah. Dan aku rasa, kamu juga udah didesak untuk berumah tangga. Sebenarnya, aku juga belum ada niat nikah. Merasa belum siap aja. Nah, kita berdua agaknya sepaham. Jadi, kenapa nggak kerjasama aja?"

"Apa untungnya?"

"Kita bisa bikin orangtua kita nggak khawatir lagi soal hidup kita setelah mereka nggak ada." Rio terdengar menghela napas. "Ibuku tiap hari bertanya soal siapa yang akan rawat aku kalau nanti dia udah nggak ada. Capek aku, La. Padahal, belum tentu ibuku berpulang duluan daripada aku, 'kan?"

Ada binar setuju di mata Alara yang menatap Rio serius. Gadis itu mengangguk. "Lagian, memangnya kita enggak bisa ngurus diri sendiri?"

Rio menjentikkan jari. "Uang, bisa cari sendiri. Mau beli apa-apa, atau mau jalan-jalan ke mana aja, bisa. Masalah teman? Kan bisa pacaran. Atau kalau memang butuh teman di ranjang, ada yang menyediakan jasa. Biar ada yang masakin? Aku bisa masak. Nggak bisa masak, kan ada rumah makan. Kenapa, sih, orang harus dipaksa nikah, padahal bisa bahagia sendirian?"

Alara tampak takjub. Baru kali ini ia bertemu orang yang pemikirannya serupa. Adi saja masih berharap bisa menemukan tambatan hati dan menikah. Belum lagi, seseorang yang belakangan sering Alara pikiran. Namun, lihat Rio ini.

Pria itu begitu masuk akal. Tidak heran dia sampai diboyong ke cabang pusat perusahaannya di luar kota. Laki-laki itu sungguh menggunakan otak dengan benar.

"Pantes kamu bisa kerja di perusahaan besar. Otakmu keren, ya," puji Alara terus terang.

Tersenyum bangga, Rio memastikan jawaban Alara. "Jadi, gimana? Kita sepakat? Pernikahan ini cuma kerjasama biasa. Kerjasama yang menguntungkan."

Mata Alara menyipit. Perempuan itu kembali membereskan tali sepatunya, seraya menimbang. Apa yang Rio tawarkan terdengar sangat masuk akal. Itu solusi untuk dirinya menjauh dari Bara dan juga menenangkan sang ibu.

"Tenang, La. Kamu masih dapat bonus lain kalau setuju," timpal Rio dengan suara membujuk.

"Apa aja?"

"Rumah ini jadi milik Tante Artha. Ditambah, aku punya satu rumah yang udah lama kubeli. Kita akan tinggal di sana dan jadi hak milik kamu."

"Itu aja?"

"Kamu bebas kalau mau kerja. Nggak kerja juga nggak masalah, nanti aku bukain usaha biar kamu ada pemasukan sendiri, selain uang bulanan dari aku." Rio berkedip lucu saat Alara menoleh padanya. "Gimana? Menjanjikan, 'kan?"

Alara bersikap jujur dengan mengamini itu lewat anggukkan kepala. "Tapi ...."

"Nggak perlu dijawab sekarang." Rio memotong. Pria itu menjauhkan tangan Alara, kemudian menggantikan gadis itu untuk membuat simpul tali sepatu. "Aku di sini lumayan lama. Kamu bisa pikir-pikir dulu."

"Kamu dipecat?"

"Eh? Aku ambil jatah liburan yang udah bertahun-tahun nggak diambil. Mana berani aku ajak kamu kerjasama, kalau udah nggak kerja. Meski nggak kerja pun, aku nggak bakal jadi miskin. Tabunganku banyak, La."

Si gadis mengangguk saja. Tali sepatunya selesai diikat, gadis itu berdiri. "Aku berangkat kerja dulu, ya."

"Jangan lupa pertimbangkan tawaranku, ya. Aku serius kali ini. Nggak kayak waktu SMP dulu." Lelaki itu tertawa saat mengingat perbuatannya sewaktu SMP.

"Oke. Balik, gih, ke rumahmu. Aku pergi dulu."

Rio melambaikan tangan meski Alara hanya membalasnya dengan lirikan tak suka. Pria itu menatapi si gadis, hingga menghilang di ujung gang. Saat Alara sudah tak tampak, senyumnya yang lebar perlahan lesap. Berganti dengan senyum kecil yang terlihat getir.

***

Mendapat hari libur pertama setelah dua minggu bekerja, Alara bersumpah ia tak akan bangkit dari ranjang. Perempuan itu merasa semua tulangnya sakit dan kebas. Ia butuh berbaring seharian dan mengisi daya dengan tidur. Namun, niat itu diganggu oleh seseorang yang terus-terusan mengetuk pintu rumah.

Alara sudah sengaja mengabaikan itu sejak tadi. Namun, tampaknya orang yang hendak  bertamu punya jiwa pantang menyerah. Alara hanya berharap kalau bukan Rosa pelakunya.

"Kenapa?" sembur Alara saat menemukan Rio berdiri di depan pintu rumahnya.

Laki-laki itu tersenyum kuda, kemudian mengangsurkan sebuah piring berisi nasi putih.

"Ibu sama Ayah pergi. Aku lagi demam dan pengen makan telur sambal."

Mulut Alara menganga mendengar itu. Ia bersumpah akan menendang Rio sesegera mungkin, kalau saja tidak mengingat jasa ibunya lelaki itu pada keluarganya.

"Telur sambal yang gimana, sih?" Alara mengacak rambut sembari menuntun Rio ke dapur.

Laki-laki itu duduk di kursi makan. "Telurnya kamu rebus dulu, habis itu digoreng. Setelahnya dimasak sama sambal."

Mengangguk saja, Alara mulai mengerjakan pesanan si tetangga. Sepanjang kegiatan, ia terus mengingat perbuatan baik ibunya Rio, agar kesabaran senantiasa mengiringi.

"Yo, Ibumu me--" Alara menggantung ucapan saat menengok ke belakang dan menemukan Rio memejam dengan kepala tergolek di atas meja makan.

Perempuan itu menghampiri dengan raut cemas. Baru ia sadari jika anak tetangganya itu tampak pucat. Ia periksa dahi Rio, ternyata benar, demam pria itu parah.

"Rio," panggilnya coba membangunkan.

Rio membuka mata. "Telurnya udah?"

Alara menggeleng. "Kamu udah ke dokter belum?"

Si pria tersenyum dengan satu mata terpejam. "Cuma demam. Nggak perlu cepat-cepat ke dokter. Yang penting, aku makan banyak, nanti juga sembuh."

Mengangguk saja, Alara merasa bukan kapasitasnya memaksa lelaki itu. Ia hanya menghidangkan satu gelas air hangat setelah itu, kemudian kembali mengolah telur.

"Ala, bayangin kalau aku nggak punya kamu."

"Hah?"

"Kalau misalnya aku nggak punya tetangga yang mau direpotkan kayak kamu, gimana nasib aku? Sakit, sendirian, bisa-bisa aku mati membusuk di rumah dan nggak ada yang tahu."

Sepenuhnya Alara membalik badan. Ditatapnya Rio yang sudah duduk tegak dengan tatapan menyelidik.

"Ibumu cuma pergi sebentar. Bukan pergi, terus enggak pulang lagi. Mati membusuk di rumah, enggak ada yang tahu? Kamu berlebihan kayaknya."

Rio melempar senyum simpul. "Bayangkan, kalau orangtua kita udah sepuh dan berpulang duluan. Kita sakit, sendirian di rumah, mati sendirian."

Kali itu kening Alara yang berkerut pelan-pelan terurai. Ia seolah paham apa yang sedang Rio coba sampaikan.

Rio menatap Alara dalam. "Maafin aku. Tapi, aku nggak pengen mati sendirian. Karena itu ...."

Alara bungkam. Ia tak tahu harus bagaimana menanggapi percakapan yang terasa aneh ini.

"Karena itu, gimana jawaban kamu atas tawaran aku? Lama bener mikirnya, La." Rio kembali tersenyum jenaka.

Melihat itu Alara dibuat penasaran. Ada yang aneh. Ada yang tak biasa dengan teman SMP-nya ini. 
 

Bab 23 

Adi tak langsung menuju rumah Alara. Lelaki itu lebih dulu singgah di rumah Rio. Alara memberitahu kalau Rio pulang dan menawari sesuatu.

Jelas Adi tak akan berdiam diri. Ia perlu memastikan sesuatu. Memastikan kalau Rio tak akan melakukan sesuatu yang merugikan Alara.

"Pasti Alara yang kasih tahu." Usai menyapa Adi dan mempersilakan lelaki itu duduk di kursi teras, Rio langsung menuju inti pembicaraan.

"Jangan bilang ini juga bercandaan lo kayak dulu."

Alara pernah mengenalkan Rio pada Adi. Rio ini, kata Alara, adalah salah satu teman sekelasnya saat SMP. Mereka tidak dekat, tetapi kerap pulang sekolah bersama karena bertetangga.

Dulu, waktu SMP, Rio pernah mengajak Alara menikah. Saat itu, Rio yang masih bocah membawa sebuah kalung dan cincin mainan. Katanya ia suka Alara dan ingin menjadikan gadis itu istri.

Dari Alara, beberapa hari lalu Adi mendengar kalau ajakan menikah itu kembali Rio ungkit. Dan Adi perlu memastikan kalau itu hanya gurauan semata, seperti dulu.

"Gue nggak bercanda. Nggak mungkin juga sampai pulang demi bercandaan," jawab Rio lugas.

"Terus? Lo kira Alara bakalan mau?"

Rio mengangkat bahu. "Setidaknya, dia mau mikirin dulu."

Menarik napas, kemudian mengembuskannya, raut wajah Adi berubah serius. "Alara udah dilamar orang," katanya terus-terang.

"Siapa? Lo? Bukannya lo bilang dia cuma adik. Jilat ludah sendiri, ya? Wah, be--"

"Bukan gue!" sela Adi bercampur kesal. "Ada cowok mapan, dewasa dan sayang banget ke Ala."

"Gue maksudnya?"

Adi berdecak. "Lo kalau cuma mau buang waktu untu ngisi liburan, mending nggak usah gangguin Ala, deh."

"Kan Ala belum bilang setuju sama lamaran itu."

"Tahu dari mana?"

"Buktinya, dia bilang mau pertimbangkan tawaran gue."

Adi tak bisa membalas lagi. Itu benar. Alara tak mungkin berkata akan memikirkan soal tawaran Rio, kalau sudah yakin memilih Barata.

Adi mendadak dibuat pusing dengan masalah temannya. Jelas-jelas ia tahu kalau Ala punya perasaan pada Barata. Bukannya menerima pinanngan pria yang dicintai, kenapa Alara malah mengurusi si Rio yang tidak jelas ini?

"Tuh dia pulang." Rio beranjak dari kursi. Pria itu menyebrang untuk menghampiri Alara.

Adi juga ikut. Pria itu membawa sekalian motornya. Saling bertukar pandang dengan Alara, lelaki itu tersenyum jenaka karena diberi tatapan penuh selidik.

"Sejak kapan kalian dekat?" tanya Alara. Ia cukup terkejut saat menemukan Adi malah ada di terasnya Rio, dan bukan di rumahnya.

"Aku cuma mau bahas sesuatu sama Rio," jelas Adi. "Jangan posesif gitu, ah."

"Bahas sesuatu? Soal? Perusahaan tempat kalian kerja merger atau ada proyek kerjasama?" desak gadis itu karena belum menemukan jawaban memuaskan.

Adi berdecak. "Iya, iya. Kami bahas kamu. Puas?"

"Aku? Kenapa aku jadi topik pembahasan dua laki-laki macam kalian?"

Di samping Alara, Rio tertawa. "Ketus banget, sih? Kok bisa cewek ketus gini bikin sayang?"

Sayang.

Sayang katanya.

Rio yang mengucapkan kalimat itu, tetapi Alara malah melihat bayangan orang lain di pelupuk matanya.

Sayangku.

Ala sayang.

Seketika suasana hati Ala jadi kelabu. Keinginannya untuk bisa bersua atau sekadar mendengar suara lelaki itu makin menjadi-jadi.

Ke mana sebenarnya Barata? Pria itu pergi ke mana, hingga bisa lupa pada Alara? Benarkah Bara sudah lupa? Mudah sekali? Bukankah dulu lelaki itu bilang ingin menjadikan Alara istri? Kenapa secepat ini bisa menghapus Alara dari hidup?

Tidak datang. Tidak lagi pernah mengirimi pesan. Bahkan telepon saja tidak. Apa Bara akhirnya sadar kalau sebenarnya pria itu memang tak menginginkan Alara sebanyak yang pernah dikatakan? Selama ini, Bara hanya merasakan eforia sesaat karena apa yang terjadi di liburan itu? Atau pria itu hanya sekadar penasaran dan tidak sungguh-sungguh?

"Oi!" Adi menepuk lengan Alara. Gadis itu tampak larut dalam lamunan. "Lamunin siapa, hayo? Bara, ya?"

Melempar tatapan sok tak peduli, Alara bertanya, "Dia masih tinggal di Bumi apa udah pindah ke Mars?"

"Kenapa?" tanya Adi dengan sorot mengejek. "Kengen, ya?"

Alara menaikkan satu alis, berusaha mempertahankan ekspresi sinisnya. "Heran aja. Bisa tiba-tiba kayak hilang ditelan bumi."

Adi menampilkan senyum simpul. "Kasih aku izin ngabarin dia kalau kamu nyariin. Aku berani jamin, detik ini juga, dia datang ke depan kamu."

"Oh, bisa teleportasi dia?"

"Bisa segalanya, demi Alara." Adi sengaja menaik-turunkan alisnya saat Alara menengok dengan mimik geli.

Alara beranjak dari kursi. "Teruskan aja obrolan kalian tadi."

Masuk ke rumah, Alara berniat segera mandi, lalu tidur sebentar sampai ibunya pulang. Namun, Adi membuat masalah. Bukannya pulang, temannya itu malah meminta dibuatkan makanan.

"Lapar, La. Buatkan apa gitu? Mi instan sama telur juga boleh."

Tak hanya Adi, Rio juga mengekori Alara masuk ke rumah. Tetangganya itu lebih parah. Minta dibuatkan teh hangat katanya.

Berdiri di depan pintu kamarnya, Alara menatap dua lelaki yang menghuni sofa ruang tamu dengan pandangan galak. Namun, bukannya takut, dua pria itu malah menertawainya.

"Kalian enggak malu di rumah cewek yang cuma sendiri? Enggak tahu norma kalian?"

Adi langsung duduk tegak. "Ini bukan pertama kalinya kita berduaan doang di rumahmu, ya." Pria itu mengarahkan telunjuknya pada Alara. "Jangan ngadi-ngadi."

"Kan ada Adi, La. Dia mana mungkin biarin aku jahatin kamu." Itu pembelaan dari Rio.

Tahu kalau usahanya mengusir dua laki-laki aneh itu tak akan membuahkan hasil apa-apa, Alara menyerah. Perempuan itu masuk ke kamar hanya untuk menyimpan tas. Setelahnya, ia pergi ke dapur untuk jadi asisten rumah tangga dadakan di rumah sendiri. Membuatkan mi instan dengan telur, juga teh hangat untuk dua tamu tak diundang.

Beberapa menit bergulir. Saat Ala membawa semangkuk mi dan segelas teh hangat ke depan, perempuan itu melihat seorang pria di ambang pintu rumahnya. Barata.

Lelaki itu menenteng buah tangan di kanan tangan, kemudian menyungging senyum amat lebar. Dari belakang Bara, Artha terlihat muncul.

"Ibu ketemu Bara di jalan. Ibu ajak sekalian. Wah, lagi pada main, ya?" sapa wanita itu pada Adi dan Rio, kemudian pergi ke dapur untuk bersih-bersih.  

Alara berusaha bersikap biasa. Perempuan itu menghidangkan mi dan teh di meja. Ia sempat melihat Adi tersenyum licik padanya. Ala yakin, kemunculan Bara di sini ada turut campur temannya itu.

"Aku pulang, ya, Ala."

Kalimat sarat rajukan itu membuat Alara urung berjalan ke dapur. Perempuan itu berbalik, untuk menemukan kalau Bara sudah menekuk wajah. Mata pria itu memicing, tetapi dahinya berkerut sedih.

"Disapa pun nggak," sungut Bara. "Katanya aku dicariin."

Menatapi wajah merajuk itu, tahu-tahu perasaan Alara jadi baik.

"Aku pulang aja?"

"Halo?" sapa Alara. Hal itu langsung direspon Adi dengan batuk palsu. Alara langsung melotot ke sana. "Makan aja mi-mu, Adi!"

Adi tersenyum-senyum, kemudian duduk di lantai untuk menyantap mi. Pura-pura tak terganggu dengan pertemuan aneh pasangan kekasih itu.

"Nggak ditawarin masuk?"

Alara baru sadar kalau Bara masih berdiri di luar rumah. Pria itu masih berpijak di teras. Alih-alih meminta lelaki itu masuk, Alara malah menghampiri.

Dengan sangat sadar Alara meraih pergelangan tangan kanan Bara, kemudian menarik pria itu untuk dituntun masuk.

"Udah, udah diajak masuk. Abang masih mau merajuk?"

Wajah muram Bara hilang. Pria itu tertawa. "Biar nggak merajuk, biasanya harus dipeluk." Sambil bicara, mata pria itu berkedip cepat-cepat.

Melempar tatapan ngeri, Alara mendorong Bara agar duduk di sofa. "Udah, ngumpul aja kalian bertiga. Terserah mau bahas apa dan ngelakuin apa. Yang penting, secepatnya angkat kaki dari rumahku. Kalian pikir ini warung kopi, seenak jidat ngumpul-ngumpul enggak jelas!"

Habis mengomel, Alara langsung bergegas ke dapur. Ia butuh mandi dengan air dingin untuk meredakan kesal dan juga menenangkan jantung yang debarnya menggila sejak kedatangan Bara.

Bab 24 

Bara menempati sofa yang dihuni oleh Adi. Kehadiran seorang lelaki asing di ruang tamu itu langsung menarik atensinya.

"Temanmu?" tanya lelaki itu pada Adi.

Adi terlihat tersenyum kaku. Pria itu terdiam, Bara melihat lelaki asing tadi mengulurkan tangan ke arahnya.

"Rio, tetangga depan rumahnya Ala. Teman SMP-nya Alara juga."

Menyambut uluran tangan itu, Bara menjabatnya dengan kernyitan di dahi. Ia baru tahu kalau tetangga depan rumah Alara punya anak laki-laki. Spa sedekat itu dengan Ala hingga bisa bertamu begini?

"Selama ini nggak pernah kelihatan." Bara menarik tangannya, kemudian memberi tatapan serius pada Rio.

"Selama ini kerja di luar kota. Baru-baru ini aja pulang, karena ada urusan penting."

Melirik pada Adi, Bara makin penasaran saat menemukan temannya Alara itu berpura memalingkan pandangan.

"Mau pindah kantor?" korek Bara lagi.

Rio menggeleng. "Mau nikah," jawabnya cepat.

"Oh. Selamat kalau gitu."

Rio menggeleng dengan bibir manyun. "Alanya belum bilang setuju."

Tepat saat itu, wajah Bara terasa kaku. Pria itu berhenti berkedip untuk beberapa saat, kemudian lipatan dahinya makin dalam.

"Ala?"

"Iya. Ala ini memang dari dulu susah banget dideketin. Beribu jurus nggak satu pun mempan. Kali ini, ini yang terakhir gue nyoba. Moga berhasil, deh. Doain, ya?" Tatapan Rio tampak penuh permusuhan sekarang.

Melihat senyum miring lelaki di depannya, Bara dengan spontan menggeleng. "Doain diri sendiri aja sampai sekarang belum dikabulin."

"Memang, doanya apa?"

"Biar Ala nerima lamaran saya."

Dengan cepat atmosfer di ruang tamu itu menjadi sedikit canggung dan penuh dengan aura permusuhan. Baik Bara maupun Rio saling menatap dan berusaha untuk tak berkedip.

"Udah ngelamar Alara?" Rio buka suara sembari melipat lengan di depan dada. "Alara yang tinggal di rumah ini?"

"Alara yang tinggal di rumah ini," jawab Bara penuh kesungguhan. "Sejak dua bulan lalu," katanya dengan senyum penuh kemenangan.

Rio mengangguk dengan senyum di wajah. "Saingan dong kita."

Bara mengangguk mantap. "Silakan."

Tampil percaya diri, sesungguhnya Bara amat ketar-ketir. Mengambil hati Alara saja masih jauh dari kata berhasil. Sekarang, masih harus punya saingan.

Berat ternyata. Bara berdoa semoga ia kuat dan jalannya dipermudah. Setidaknya, dibanding orang bernama Rio itu, Bara sudah punya satu pendukung. Adi, temannya Alara yang tadi mengabari kalau Alara mencarinya.

***

"Ala."  Di depan pintu kamar Alara, Adi mengetuk dengan wajah ditekuk. "Serius mau biarkan Tante Artha yang cuciin piring aku? Ala, keluar, ah."

Setelah mandi, Alara sama sekali tak keluar dari kamar lagi. Perempuan itu sengaja pura-pura tidur, mengunci pintu dan membiarkan tiga laki-laki aneh di rumahnya berbuat sesuka hati.

Satu jam berlalu, Alara malah mendengar Adi mengetuk-ngetuk pintu. Ditambah gerutuan dan permintaan tak masuk akal yang disuarakan dengan nada sok mengatur.

Alara ingin sekali mengabaikan itu. Namun, ia kasihan pada sang ibu. Wanita itu pasti kewalahan menghadapi orang-orang aneh yang bertamu tanpa diundang itu. Malas-malasan, Alara terpaksa beranjak dari kamar.

Gadis itu masih menemukan Bara dan Rio di rumahnya. Berusaha tak menatap Bara berlama-lama, ia gegas bergerak ke dapur. Menuruti perintah Adi, mencucikan mangkuk bekas mi lelaki itu.

Namun, saat memeriksa wastafel, Alara tak menemukan satu pun perkakas kotor di sana. Ketika akan berbalik, ia mendapati Bara datang dari ruang tengah.

"Adi," panggilnya pelan.

Belum sempat Ala menggapainya ruang tengah, perempuan itu lebih dulu diadang Bara. Si lelaki bahkan memegangi lengannya agar tak bisa ke mana-mana.

"Aku cuma mau pamit pulang, La."

Ala menyerah. Perempuan itu melirik sekilas, lalu mengangguk. "Oke," katanya dengan perasaan bingung.

Alara bingung. Ia gugup bertemu Bara setelah sekian lama. Rasanya ingin melarikan diri, jangan sampai jantungnya yang menarik heboh  diketahui si lelaki. Namun, ia juga sedikit kecewa karena pria itu pamit pulang.

"Sebelum pulang, bisa aku tanya beberapa hal?"

Alara menengok. Ia menahan senyum saat menemukan kalau sorot mata yang Bara perlihatkan terlihat membujuk, tetapi juga tajam di saat bersamaan. Jika diingat-ingat lagi, Bara sepertinya memang selalu begini.

"Aku nggak suruh kamu senyum."

"Aku enggak boleh senyum?" tantang Ala.

"Nggak!"

"Ih, sejak kapan jadi galak?"

"Sejak sok ngilang, tapi ternyata nggak dicariin."

Tawa Alara lepas begitu saja. Perempuan itu merasa mendapat hiburan saat melihat wajah merajuk lelaki dewasa di hadapan.

Bara memasang senyum palsu. "Hahaha, lucu, ya? Bagimu itu lucu?" Pria itu menampilkan wajah datar setelahnya.

"Siapa suruh ngaku pura-pura ngilang?"

"Jadi, ternyata kamu nungguin si Rio itu pulang?"

"Tahu dari mana aku nyariin kamu?"

"Orang yang kamu tungguin itu dia?"

"Bukannya tadi mau pamit?"

"Rio itu orang yang selama ini kamu' cin-"

"Abang," potong Ala dengan nada mengancam. Pandangan gadis itu mengancam. "Enggak usah sok bikin asumsi ngawur. Semua yang Abang bilang tadi itu fitnah. Mau aku laporkan polisi?"

"Laporkan untuk kasus apa?"

"Pencemaran nama baik?" Alara bingung.

"Cantiknya nggak ada obat memang."

"Hah?"

Bara maju satu langkah. Pria itu memegangi wajah Alara kemudian mendekatkan wajahnya. Ia miringkan kepala tanpa melepas tatapan dari Alara yang sudah mematung di tempat.

Satu kecupan Bara berikan di pipi gadis itu. "Jangan goyah. Entah yang datang Rio tetanggamu atau Rio pembalap. Oke? Ingat selalu kalau ada laki-laki yang masih nungguin kepastian dari kamu. Duda satu ini masih kamu gantungin."

Alara gemetar menemukan teduhnya tatapan yang Bara berikan. "Ak--aku enggak janjikan apa-apa, Bang."

Bara mengulum senyum. "Aku janji sama diriku sendiri. Nggak akan aku berhenti ngejar kamu, sebelum kamu bilang iya, setuju mau menghabiskan sisa umur sama aku."

"Itu urusanmu," elak Alara.

Lelaki itu memicing dengan tatapan menuduh. "Kamu yang mulai juga."

Bungkam, Alara tak bisa temukan bantahan apa pun. Bara benar. Ia yang memulai ini. Ia yang duluan menggoda Bara di liburan tempo hari.

"Lagian, aku ini manusia biasa, La. Bayangkan udah berapa penolakan yang kamu kasih. Tapi, aku nggak ngerasa gentar sedikit pun. Nggak pernah kepikiran menyerah. Menurutmu, apa ini sepenuhnya keinginanku?"

Membalas tatapan Barata dengan tajam, Ala membalas, "Enggak udah berusaha cuci otak aku."

Bara tertawa. "Nggak gitu, Sayangku. Ini betulan. Gimana bisa cuma gara-gara kejadian satu malam, pikiran sama hatiku isinya jadi kamu semua? Bayangkan, siapa kira-kira yang bisa melakukan ini sama aku? Siapa yang bisa ngatur supaya manusia biasa ini nggak ngelirik cewek lain sedikit pun, walau terus dijutekin? Siapa yang kasih aku keberanian sampai bisa bertindak sejauh ini? Siapa yang kasih aku keyakinan kalau suatu saat rumah yang baru aku beli itu akan ditempati sama kamu?"

Mata Alara membola. "Rumahnya udah Abang beli?"

"Nggak ngapel kemari karena ngurus rumah itu, Yang. Surat-suratnya sengketa. Aku sampai harus nyamperin si pemilik sebenarnya ke luar kota."

"Sampai ke luar kota?"

Bara mengangguk. "Tapi, udah beres kok sekarang. Rumah itu udah milik kita." Dua alis pria itu naik-turun dengan mata berbinar.

Membasahi bibir, Alara bertanya, "Kenapa sampai segitunya, Bang?" Perempuan itu sedih karena merasa sudah membuat Bara susah.

"Rumahnya bagus, Yang. Dekat sama kebunku juga. Aku yakin kalau kamu bakal senang tinggal di sana. Jauh dari keramaian, asri pula."

Alara tertunduk dengan rasa bersalah yang makin besar. Ia semakin takut kalau-kalau bisa saja menyakiti Bara.

Tanpa mengatakan apa-apa, Bara membawa Alara ke dalam dekapan. "Aku pulang dulu, ya. Udah hujan ternyata."

Bara meninggalkan di dapur, satu menit kemudian barulah Ala sadar kalau di luar sedang hujan. Perempuan itu bergegas menyusul Barata ke depan.

"Gak bawa jas hujan?" Adi bertanya pada Bara yang sudah bersiap pulang.

Bara menggeleng.

"Aku punya satu. Gak mungkin aku bagi dua, 'kan?" seloroh temannya Alara itu.

"Nggak masalah. Hujan-hujanan udah biasa."

Alara yang melihat Bara sudah akan meninggalkan teras, sigap menarik lengan lelaki itu. "Aku punya jas hujan. Tunggu aku ambilkan."

Tersenyum-senyum, Bara menggeleng. "Nggak pa-pa, Yang. Paling basah."

"Tunggu sini."

Saat Ala sudah akan masuk ke rumah, Bara malah iseng melompat ke halaman dan berdiri di tengah hujan.

"Abang!" panggil Alara panik.

Barata lupa umur. Pria itu kembali berdiri di teras dan tertawa-tawa. "Udah basah. Nggak pa-pa aku pulang gini aja. Nanti kalau jas hujanmu aku pinjam, kamu pakai apa? Ak--"

"Abang tunggu di sini!" sergah Alara mutlak. "Tunggu aku ambilkan jas hujannya! Enggak usah banyak protes, bisa?"

Bara menatapi gadis yang mengomel itu dengan senyum lebar. Hatinya luar biasa baik. Apalagi ketika Alara hanya melengos pergi usai ia beri kalimat tanda terima kasih.

"Gila, Yang. Marah aja kamu itu cantiknya tumpah-tumpah. Aku kuat nggak, ya, kalau seumur hidup sama makhluk luar biasa cantik kek kamu gini?"

"Terserah!"

Jangan lupakan ekspresi geli yang Alara berikan sebagai respon. Meski malam ini hujan, tetapi hati Barata terasa sangat hangat karenanya. 

 

Bersambung ....

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Alara - Bab 25, 26, 27
1
0
Selamat membaca! 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan