Alara - Bab 16,17,18

1
1
Deskripsi

Selamat membaca! 

Bab 16 

 

Warning!

Sebelum membaca, aku mau ingatkan kalau bab ini penuh  dengan kebenciannya Alara. Jika merasa tidak nyaman, bisa di-skip  saja.




 

Alara selesai membereskan rumah saat tamu tak diundang mengetuk pintu. Menilik dari jendela dan tahu siapa yang datang, perempuan itu putuskan untuk tak membukakan pintu.

Ketukan di pintu mulai terdengar kasar. Alara putuskan untuk masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Ia menyibukkan diri dengan ponsel, meski itu tak seratus persen mengalihkan atensi.

"Alara! Saya tahu kamu di rumah! Buka pintunya!"

Kening Alara perlahan berkerut. Ia benci teriakan itu. Rasanya membuat ubun-ubun panas. Alara ingin sekali menendang pintu rumahnya, sampai orang di luar sana ikut terpental.

"Anak macam apa kamu itu, hah?! Ayahmu sendiri sakit, dan kamu bisa tidak peduli?! Dasar anak durhaka kamu, Alara! Anak durhaka seperti kamu pasti akan dapat ganjaran!"

Sudah ribuan kali Alara mendengar kalimat serapah semacam itu. Beberapa orang meyakinkan Alara kalau sumpah itu tak akan terjadi, sebab bukan orang di luar sana yang berhak mengatur nasib orang.

Alara percaya itu. Namun, tetap saja hatinya sakit disumpahi dan dimaki seperti sekarang. Memang apa salahnya? Memang Bik Rosa yang di luar sana itu siapa, sampai punya kuasa untuk menghakimi perbuatan Alara?

Rasanya, Alara ingin membeberkan perbuatan orang yang Rosa sebut ayah tadi. Namun, ia yakin itu hanya pekerjaan sia-sia. Sebab Rosa sama saja dengan pria jahat itu.

"Alara! Lihat saja nanti! Kamu akan menderita! Kamu dan ibumu akan mati mengenaskan! Terkutuklah kamu, Alara!"

Tak terima ibunya ikut-ikutan disumpah, Alara keluar dari kamar. Perempuan itu membuka pintu, ditatapnya si pelaku keributan dengan sorot penuh kebencian.

"Kamu itu anak macam apa, Alara? Ayahmu itu sakit! Kamu sama sekali nggak mau menjenguknya? Kamu harusnya sadar Alara! Kamu kecil dulu, siapa yang memberi kamu makan dan merawat kamu?"

Selalu itu. Seolah tak ada hal lain, Rosa selalu mengungkit ini. Soal lelaki itu yang sudah memberi Alara makan dan membesarkan.

Memang apa yang istimewa dari itu? Bukankah hal itu wajar dilakukan orangtua untuk anak? Alara memangnya minta dilahirkan?

"Durhaka kamu, Alara! Hidupmu nggak akan bahagia! Kamu akan menderita, sampai kamu minta ampun ke Ayahmu!"

Alara menjatuhkan air mata, tetapi kebencian di matanya tidak pudar. Kalau saja bisa, ia ingin melakukan sesuatu yang jahat pada kakak ayahnya ini. Namun, Alara pikir itu adalah perbuatan orang tidak waras. Alara masih ingin dipandang waras.

"Sekali lagi, aku ulangi." Alara berucap dengan suara serak.

Di saat itu, Buk Rio datang dengan seorang pria. Tetangganya Alara itu memberi waktu untuk Alara bicara.

"Aku enggak mau mengurusi dia. Mau dia sakit atau enggak, udah bukan urusanku lagi. Jadi, jangan datang dan bikin keributan di sini sembarangan." Alara tidak berteriak, meski sekarang hatinya terasa sangat sakit.

"Anak durhaka kamu, Alara!"

Alara mengangguk. "Biarkan aku jadi anak durhaka. Itu bukan urusanmu. Jangan datang kemari lagi."

Usai Alara bicara, Buk Rio mendekati gadis itu. Ia pegangi lengan Alara.

"Iya, Buk Rosa. Jangan begini. Ibu selalu datang dan bikin ribut di sini. Apa baik marah-marah dan berkata kasar sama keponakan sendiri?"

"Jangan ikut campur, ya! Saya nggak punya urusan sama kamu!" Rosa menunjuk-nunjuk wajah Buk Rio.

"Saya bisa ikut campur. Ibuk membuat keributan dan mengganggu warga sini. Selalu mengeluarkan kata-kata nggak pantas pula. Alara juga merasa seperti diteror. Ini ketua RT di sini."

Ternyata laki-laki yang Buk Rio bawa adalah ketua RT di sana. Pria itu pun memberi saran kepada Rosa, agar kalau memang ada yang perlu dibicarakan, ya, dibicarakan dengan baik.

"Bertamu baik-baik. Masuk ke rumah, bicara dengan selayaknya."

Kemarahan Rosa makin bertambah. Ia menatap nyalang pada Alara. "Kamu bangga dibelain mereka? Besar kepala kamu, dasar anaknya jalang! Kamu sama saja dengan ibumu, sama-sama jalang!"

Mendengar kata-kata tak pantas itu, Buk Rio pun meminta Rosa untuk pergi. Ketua RT tadi juga menyarankan hal sama.

"Tidak sedap didengar telinga, Buk Rosa. Sama keponakan sendiri kenapa kasar sekali. Kalau memang Alara punya salah, bisa diberi nasihat baik-baik." Pak RT itu menyuruh Rosa pergi. Setelah Rosa pergi, ia pun juga pamit. Sebelum itu, beliau memberi pesan pada Alara untuk tak sungkan memanggilnya kalau Rosa datang dan membuiat keributan lagi.

Alara mengusap mata dan pipinya. "Makasih udah dibantuin, ya, Buk," ucapnya sembari menunduk pada Buk Rio.

Buk Rio mengangguk. "Ibuk tahu apa yang terjadi. Ibuk tahu kalau ayahmu itu meninggalkan Buk Artha demi perempuan lain. Kalau kamu keberatan mengurusi ayahmu yang sekarang sakit-sakitan, ibuk rasa bisa paham, Alara."

Alara mengangguk saja. Gadis itu pun pamit untuk masuk. Ia butuh waktu untuk menangis dan meratap, seorang diri.

Tak ada yang akan bisa mengerti apa yang Alara rasakan. Meski berkata benci, tak sudi bertemu dengan Radit, ayahnya, tetap saja ia juga punya rasa bersalah. Bagaimanapun, Alara sadar lelaki itu adalah ayahnya.

Namun, luka yang pria itu berikan menjadi penghalang untuk Alara untuk sekadar datang dan bertatap muka.

Dua puluh lima tahun pernikahan ayah dan ibunya. Alara kerap melihat lelaki itu memukul ibunya. Meski demikian, kala itu Alara tak pernah membenci Radit.

Alara tak pernah berusaha mencampuri lebih jauh urusan ayah dan ibunya, karena tahu sang ayah bukan tipe orang yang mau mendengarkan perkataan orang lain yang dirasa akan merugikan. Karena itu, Alara selalu diam.

Namun, dua tahun lalu, saat ayahnya membawa seorang perempuan yang diperkenalkan sebagai kekasih, Alara merasa tak bisa diam lagi. Ia marah. Perempuan itu menaikkan nada bicara pada Radit, kemudian dihadiahi tamparan.

Setahun lamanya Alara menjalani hidup bagai di neraka. Orang-orang menggunjingkan ayahnya. Ayahnya menjelek-jelekkan Alara dan sang ibu pada orang-orang.

Alara dan ibunya dikatai perempuan-perempuan tidak beres. Yang biasanya hanya menumpang hidup dan memanfaatkan Radit. Lelaki itu mulai mengungkit segala hal dan meminta Alara membalas semua yang sudah diberikan.

Mulai dari memberi makan, membesarkan, membawa ke rumah sakit, sampai menyekolahkan. Radit menuntut Alara membayar semua itu. Maka, Alara mengambil keputusan.

Ia sudah cukup dengan semua penghinaan dan sikap Radit.

Dengan persetujuan Alara, Artha mengusir Radit di satu suatu malam, setelah pria itu nyaris membakar istri dan putrinya. Semua orang marah, terlebih keluarga besar Radit. Mereka menyebut Artha perempuan tidak beres, perempuan tidak benar, dan wanita jalang.

Maka kemarahan dan kebencian Alara pun makin terpupuk.

Tetangga menggunjingkan ia dan sang ibu. Keluarga besar Radit tak berhenti datang, marah-marah dan memaki-maki mereka. Alara patah hati. Ia tak terima diperlakukan demikian.

Memang, orang-orang itu tahu apa?

Bagi mereka, Radit memang baik. Pria itu tak pernah memukul mereka. Radit tak pernah memaki mereka, seperti yang selama ini Alara dan ibunya dapatkan. Jelas, bagi mereka, Radit adalah orang baik.

Lantas, apa luka, sakit hati yang Alara dan ibunya punya adalah sebuah halusinasi?

Alara bahkan sampai takut untuk keluar dari rumah, karena tak sanggup menghadapi orang-orang. Alara takut dinilai buruk dan tak mampu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Apa itu semua kurang cukup? Apa semua kesedihan itu harus dilupakan hanya karena tetangga dan keluarga merasa Radit menilai pria itu sebagai orang yang baik?

Setahun belakangan, Radit saki-sakitan. Pria itu kecekalaan dan tak bisa berjalan. Dia juga ditinggalkan pacarnya. Lalu, Rosa dan kerabat Radit yang lain berbondong-bondong mengatai Alara durhaka karena tak pernah datang menjenguk.

Sungguh, mau dipikir berapa kali pun, Alara merasa dirinya sudah dikhianati. Apa ia tak pantas marah? Tak pantas sakit hati, hanya karena yang membuat lukanya itu adalah sang ayah?

Apa seorang anak itu bukan manusia, hingga tak berhak merasa marah, sedih, kecewa dan membenci ayahnya?

Alara tahu, jika ia menanyakan itu pada orang-orang, mereka akan bilang, ya, anak tak boleh begitu pada orangtua. Maka Alara putuskan untuk bertanya pada siapa pun.

Ia akan menghadapi ini sendirian. Menangis sendirian, membenci sendirian. Entah sampai kapan.

 

 

Bab 17 

 

 

Sibuk ke sana-kemari. Mengurusi ini dan itu seharian, sepulangnya ia dari kebun, Barata langsung menuju rumah Alara. Pria itu punya oleh-oleh. Singkong dan pisang dari kebunnya.

Alara suka keripik pisang. Perempuan itu bilang bisa membuatnya, karenanya Bara bawakan pisang. Singkong yang montok-montok ini akan ia hadiahkan untuk sang calon mertua.

Melajukan sepeda motornya dengan wajah semringah, Barata sampai di rumah Alara setengah jam kemudian. Menenteng pisang dan singkong di tangan, pria itu menginjak teras rumah Alara sembari memanggil si gadis.

Tak lama, Artha tampak keluar dari rumah. Wanita itu menyambut Bara dengan senyum lebar.

"Wah, bisa dibikin kolak ini." Artha menerima buah tangan si lelaki dengan semringah.

"Ala belum pulang kerja?" Barata menilik ke dalam rumah. Ia bingung apa gadis itu tak mendengar panggilannya, hingga tak keluar dari rumah.

"Ala nggak bilang dia sudah berhenti kerja?" Artha tampak melempar tatapan iba saat Bara menggeleng.

"Dia udah tidur?" tanya Bara berusaha tak terlihat kecewa.

"Lagi sakit. Dari kemarin demam. Kecapekan mungkin."

Dengan perasaan luar biasa kecewa, Barata memasuki kamar Alara, usai Artha memberi izin. Pria itu melipat dahi, sorot matanya redup saat mendapati Alara terbaring di ranjang.

Wajah perempuan itu pucat dan terlihat lelah. Bara yakin, Alara juga kehilangan berat badan, sebab gadis itu tampak tenggelam di bawah selimut tebalnya.

Bara membawa tubuhnya untuk duduk di tepian kasur Alara. Memandangi perempuan yang tertidur itu, Bara makin kecewa. Kali ini bukan karena Alara tak mengabari apa-apa padanya. Lelaki itu kecewa pada dirinya sendiri.

Kenapa Bara tak bisa membuat Alara terbuka padanya? Kenapa ia tak mampu membuat Alara merasa bisa menceritakan apa pun kepadanya? Jangankan soal sudah berhenti kerja, sakit saja Alara tak mau memberitahu.

"Ala," panggil Bara. Lelaki itu menyingkap selimut Alara untuk bisa menyentuh tangan si gadis.

"Kenapa sakit, sih, La? Kamu tuh udah kurus. Pakai sakit segala, kamu bisa tinggal tulang."

Duduk di sana dan terus menggenggam tangan Alara, Bara akhirnya melihat perempuan itu terjaga setengah jam kemudian. Bara melempar tatapan sok kesal. Namun, tangannya mengusap kepala Alara lembut.

"Kenapa nggak kasih tahu kalau lagi sakit?"

"Abang baru datang?"

"Kenapa bisa sakit, sih, La?"

Bibir Alara menjungkit sedikit. Ia mulai hapal gerutuan ini. Dan entah kenapa, ia senang mendengarnya. Perempuan itu menatapi Bara lekat-lekat.

"Mau apa? Haus? Atau mau ke kamar mandi?"

Alara menggeleng. Mengumpulkan keberanian, menepikan rasa malu, perempuan itu berkata, "Aku sakit."

Dua alis Bara saling mengait. "Harusnya kamu bilang dari kemarin. Kalau aku nggak datang, aku nggak a--"

"Kalau aku minta dipeluk sekarang, bakal aneh enggak?"

Tanpa menunggu Bara menjawab, Alara bangun untuk duduk. Perempuan itu menyelipkan dua lengannya di bawah ketiak Bara. Mata gadis itu berkaca-kaca saat menyandarkan pipinya di lengan Bara.

"Aku sakit," ulangnya sambil menahan isakan. "Waktu itu, habis dipeluk gini, sakitnya hilang."

Entah kenapa, saat itu Bara merasa kalau sakit yang Alara maksud bukanlah deman yang perempuan itu derita. Ia juga merasa, pelukan yang Ala berikan, seolah gadis itu sedang meminta tolong padanya.

Sempat terdiam sesaat, Bara balas memeluk Alara seerat yang ia bisa. Dagunya bertumpu di atas kepala perempuan itu, sesekali ia memberi kecupan.

"Sakitnya bakal pergi habis ini. Kamu boleh peluk aku selama yang kamu mau." Berusaha membuat Alara merasa aman, Bara tahu-tahu merasa gusar entah karena apa.

***

"Ceritakan apa pun yang kamu tahu soal Ala."

Ditodong pertanyaan itu oleh Bara, Adi mematikan rokok. Pria itu menatap Bara sungguh. Mereka bertemu di sebuah kafe sore ini. Itu atas permintaan Bara.

Adi tahu Barata mulai bisa membaca sikap Alara. Pertanyaan pria itu barusan buktinya. Bara mungkin sudah menemukan sesuatu.

Tidak menunjukkan, tetapi Adi merasa sedikit senang. Jarang ada yang orang yang bisa mengerti Alara. Melihat Bara sampai meminta bantuannya untuk mengetahui sesuatu seperti sekarang, Adi makin yakin kalau gurunya itu memang pantas untuk sang sahabat.

"Bapak mau tahu soal apa?"

"Apa pun yang aku nggak tahu soal Alara."

"Makanan kesukaan? Keripik pisang, coklat, bis--"

"Kamu tahu bukan itu maksudku, Di," sela Barata tak sabar.

Adi mengulas senyum. "Aku nggak punya hak mengatakan apa pun, meski sebenarnya pengen banget."

Dengan senang hati sebenarnya Adi ingin menjelaskan semuanya. Membantu Alara membuat Bara memahami apa yang gadis itu rasakan. Namun, Adi punya janji pada temannya itu.

Bara menatap lelaki di depannya dengan mimik datar. Pria itu semakin yakin dengan firasat yang dipunya.

Entah kenapa, Bara merasa kalau Alara itu punya masalah besar. Perempuan itu punya sesuatu yang disimpan dan membuatnya sakit seperti kemarin. Namun, Bara tak tahu apa itu.

"Alara punya utang besar?" tebak Bara asal.

Adi terbahak. "Kurang kreatif. Memang, kalau punya utang gede, bisa bikin orang jadi suka ngurung diri dan menghindari orang-orang?"

"Alara pernah sampai kayak ansos gitu?"

Adi mengangguk sembari menatapi ujung meja. "Beberapa bulan kayaknya. Sampai gak mau ke teras. Aku pernah  sengaja nungguin dia, tapi sampai malam, dia gak keluar.  Tapi, pesanku dibalas."

Barata pernah mendengar ini dari Adi. Katanya, mengajak Alara keluar dari rumah itu hampir mustahil. Itulah kenapa saat Adi bilang Alara ikut di liburan tempo hari, Bara tanpa pikir dua kali memutuskan juga ikut.

Bara juga sudah lihat sendiri bagaimana Alara berusaha menghindari orang-orang di liburan kemarin. Gadis itu lebih banyak menghabiskan waktu sendirian. Bahkan saat ke hutan pun, Alara tak mengajak siapa-siapa.

"Kamu nggak mau bagi ke aku kenapa dia sampai kayak gitu? Apa ada kejadian yang bikin dia trauma?" Bara masih berusaha mengorek.

Di depan Bara, Adi tersenyum kuda. "Bukan ranahku. Ala bisa jahit mulutku kalau aku beneran mencampuri sampai situ."

"Ala nggak bakal beneran jahit mulut kamu."

Kepala Adi mengangguk. Ia setuju itu. "Tapi, dia yang bakal tutup mulut sama aku, alias gak mau ngomong, alias gak mau ketemu aku selamanya. Gak, makasih."

Sorot mata Bara tampak menyelidik. "Kamu pernah suka sama Alara?"

Adi menaikkan satu alis. Dagunya terangkat tinggi. "Pertanyaan wajib semua cowok yang pengen dekatin Ala."

"Kalian bersahabat sejak SMA. Wajar dong? Persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan itu hampir mustahil."

Mengangguk-angguk, Adi membalas, "Di mataku Ala bukan perempuan biasa. Dia adik perempuanku. Jadi, apa jawaban ini cukup memuaskan, calon adik ipar?"

Lelaki itu terpingkal. Membayangkan kalau suatu saat mantan gurunya akan jadi adik iparnya, Adi tergelak dengan perasaan geli.

Tersenyum sekilas, Bara berusaha  menyembunyikan rasa leganya. "Tanggungjawab sama omonganmu. Jangan sampai menikung guru sendiri."

Tawa Adi berangsur reda. Wajah pria itu dihiasi ekspresi serius. "Tanggungjawab juga sama niatmu. Jangan sampai aku harus musuhan sama guruku sendiri." 

 

Bab 18 

Pertemuan dengan Adi kemarin membuat Bara mendapatkan banyak hal. Salah satunya, dari mulut Adi sendiri Bara akhirnya tahu kalau lelaki itu hanya menganggap Alara adik. Yang kedua, Bara mendapat saran.

Untuk bisa tahu apa yang membuat Alara seolah punya masalah besar, maka Bara harus datang ke gadis itu setiap hari. Bara melakukan itu. Bukan hal sulit, pun itu sesuatu yang memang ia sukai.

"Aku tuh udah sembuh sejak kemarin, ya." Alara mendongak pada Bara yang barusan menarik lengan dan mengalungkannya di bahu si lelaki. "Ngapain di papah begini, hah?"

Menemukan sorot jengkel di mata Alara, Barata tersenyum-senyum. "Aku gendong  aja mau?"

Menghela napas susah, Alara mengadu pada ibunya. "Ibuk! Bang Bara pegang-pegang aku!"

Dari arah dapur, Artha yang tadinya sedang menyiapkan bubur sumsum tertawa saja.

"Nak, Bara. Jangan begitu," katanya seolah percaya pada aduan Alara. "Nanti saya adukan ke ketua RT mau?"

Bara mengangguk. "Ide bagus. Biar sekalian dinikahkan."

Lelah menghadapi dua orang itu, Alara menarik tangannya dari bahu Bara. Perempuan itu memilih pergi ke toilet dan menuntaskan hajat.

Selesai dari kamar mandi, Alara duduk di teras. Ia ingin sedikit menikmati udara di luar kamar, setelah hampir lima hari hanya terbaring di karena sakit. Tak lama, Barara menyusul dengan segelas teh manis hangat.

"Mentang-mentang udah sembuh, aku mau dibuang gitu aja?" protes pria itu karena tak kunjung melihat Alara menoleh.

"Kamu enggak ke kebun, Bang?" tanya Alara seolah tak mendengar apa-apa.

"Masih dibersihin dan mau dipupuk dulu lahannya. Mungkin sebulan lagi baru nanam lagi," jelas Bara.

Alara menoleh dengan mata berbinar. "Aku ikut boleh?"

Barata melirik dengan sorot sok menilai. "Gajinya per hari. Memang kamu kuat panas-panasan?"

"Cuma lihat enggak boleh?" Alara sadar diri kalau tubuhnya terlalu ringkih untuk profesi bertani. "Hari itu pernah ikut Ibu panen sayur. Enggak kuat panas."

"Pingsan?"

Membuang muka, Alara mengangguk pelan. Rasanya ia malu sekali.

"Selain nggak tahan panas, apa lagi yang nggak bisa kamu tahan, Ala?" Pria itu menatapi sisi wajah Alara dalam. "Apa yang bikin kamu sakit kayak kemarin?"

Alara membalas tatapan Bara dengan sorot sendu.

"Entah kenapa, aku merasa yang kamu maksud kemarin bukan demammu. Sama kayak waktu kita ketemu di depan gang. Apa yang bikin kamu sakit, Ala?"

Alara menggeleng pelan. Perempuan itu menunduk, menekuri ujung kakinya. "Kamu enggak akan paham. Yang ada, kamu bakal ngejauh. Dan aku sangat enggak tahu diri karena enggak mau kamu ngejauh sekarang."

***

Pagi-pagi sekali Barata sudah bertamu ke rumah Alara. Artha yang hendak berangkat berjualan dibuat terheran-heran. Ia kira si pria mendapat musibah.

"Mau ajak Alara ke kebun, Buk. Kalau masih pagi, nggak terlalu panas," jelas Bara sambil tersenyum-senyum.

Mengangguk dengan perasaan lega, Artha pamit untuk berjualan. Lima belas menit kemudian, Barata pun berangkat bersama Alara.

Mereka sampai di kebun milik Barata pukul tujuh pagi. Sudah ada beberapa pekerja yang datang. Alara dibuat takjub karena luasnya lahan yang akan ditanami.

Alara gantian menatapi wajah Barata. "Kamu orang kaya, ya, Bang?"

Mengerutkan dahi, Bara membiarkan pertanyaan itu menguap. "Nanti, tanah yang udah digemburkan ini dikasih lubang dulu. Habis itu, baru benih jagungnya dimasukkan." Pria itu menjelaskan.

Sepanjang penuturan yang Barata berikan, Alara menyimak dengan sungguh. Baginya, ini sesuatu yang baru dan ternyata seru juga. Siapa sangka, dari bertani seseorang bisa jadi kaya?

Alara terkejut saat tahu berapa ton jagung kering yang bisa Bara hasilkan dari lahan ini. Belum lagi, pria itu masih punya ladang yang disewakan pada petani lain.

"Nah, yang itu udah dilubangi." Barata melepas topi dari kepala, lalu  memakaikannya pada Alara. "Kalau kamu mau coba nanam, ayo ke sana, mumpung belum panas."

Bara menuntun Alara ke lahan yang sudah mulai dikerjakan. Ia meminta izin pada beberapa pekerjanya yang sudah mulai menanami.

"Izin diganggu sebentar, ya, Ibuk-Ibuk," kata Bara dengan senyum.

Ibu-ibu di sana mengangguk dan balas tersenyum. Salah satunya menawarkan untuk meminjamkan sepatu botnya untuk Alara pakai.

"Kasihan, kakinya nanti kotor."

Komentar ibu-ibu itu membuat Alara menunduk dalam dan malu setengah mati. Ia pasti sedang diledek karena datang hanya dengan sandal jepit. Salahkan Bara yang mendadak mengajak ke sini.

"Mau pakai sepatu itu, La?" tawar Bara. Ia juga baru sadar kalau Alara hanya mengenakan sandal tipis. Tumit gadis itu bahkan sudah sedikit kotor karena terkena tanah saat mereka berjalan kemari.

Alara menatap dongkol pada Bara. "Memangnya kalau ke kebun itu mau peragaan busana, Bang? Kan memang harus kotor."

Disemprot dengan kalimat bernada jengkel, Barata tertawa girang. "Aku cuma takut kakimu yang kayak kaki bayi itu kotor, Sayangku. Tengok, jari sama tumitmu merah-merah, persis bayi."

Menekuk dahi, Alara menunduk untuk melihat kakinya. Apa yang salah dengan itu? Dan satu hal, ia bukan bayi.

"Aku bukan bayi," bantahnya seraya melirik kesal.

Bara mengangguk. "Oke-oke. Silakan, ambil benih jagung ini, taruh di lubang, terus tutup. Nanti keburu panas, aku nggak mau kamu sakit kepala."

"Aku pakai topi. Dan ini masih panas pagi hari." Sembari mengomel, Alara mengambil benih jagung dari tangan Bara.

Perempuan itu membungkuk. Melihat biji jagung di tangan, ia bertanya, "Abang, taruh berapa biji jagungnya?"

"Cukup tiga, Sayangku. Kalau cintaku padamu, baru tak terhingga."

Alara menggigit bibir menahan malu, saat ucapan Bara disambut gelak tawa dari orang-orang di sana.

"Mas Bara, jangan lupa undangannya, ya."

"Akhirnya, ya, Mas Bara. Setelah bertahun-tahun."

Menepuk-nepuk lubang yang sudah ia tutup, Alara bersungut dalam hati. Apa keinginan untuk diajak kemari adalah salah? Kenapa rasanya Alara malu sekali?

***

Bara mengajak Alara pulang pukul sebelas siang. Itu pun setelah ia sedikit memaksa, karena si perempuan masih ingin menontoni beberapa anak yang memancing belut di sawah.

"Sekalian makan siang aja, ya? Apa mau pulang aja? Kamu capek, Sayang?"

Alara mengusapi telinga. Bahunya terangkat. "Aku geli dengar kamu ngomong kek gitu, Bang. Bisa berhenti enggak?"

Tertawa, Bara mengangguk saja. "Langsung makan aja, ya, Yang."

"Abang!"

"Apa?" Bara menoleh sesaat dengan ekspresi seolah tak mengerti. "Aku udah nggak manggil sayang, loh. Ayang doang."

"Terserah."

Membiarkan Alara beristirahat untuk beberapa menit, Bara kembali buka suara saat melewati sebuah bangunan. Ia pelankan laju mobilnya.

"Ala, lihat rumah itu." Bara menepikan mobil di depan sebuah rumah asri dengan banyak pohon dan halaman luas. "Bagus nggak?"

Mengamati sesaat, Alara mengangguk. "Rumah siapa?"

"Rencana mau kubeli. Itu lagi dijual."

Alara mengangguk saja.

"Rencanaku, kita nanti tinggal di sini aja. Biar dekat sama kebun. Cuma sepuluh menit naik kendaraan. Tapi, ya, gitu. Nggak seramai di dekat jalan besar sana."

Mata Alara membola mendengar itu. "Kita?"

Si lelaki mengangguk yakin. "Aku, kamu, dan anak-anak kita." Senyum pria itu lebar sekali. Matanya berbinar.

Mengabaikan debar di dadanya, Alara tersenyum kaku. "Terserah Abang aja," katanya seraya memalingkan wajah. Perempuan itu mematikan harapnya yang tiba-tiba saja tumbuh.

Bersama Bara, di mana pun, itu impian Alara sejak dulu. Namun, bisakah itu terjadi?

"Udah aku DP." Bara melajukan mobil lagi.

Kepala Alara menoleh secepat kilat. Ia menatap Barata tak percaya. "Aku belum bilang setuju, Abang."

Pria di belakang kemudi itu mengangguk. "Aku tunggu sampai kamu setuju. Yang penting rumah kita udah aku DP. Nanti keduluan dibeli orang. Aku tahu kamu suka rumah yang punya halaman luas di depan dan belakang."

"Kamu berlebihan, Bang," ucap Alara putus asa. Perempuan itu hampir menangis.

Bara menggeleng. "Aku cuma mempersiapkan yang terbaik untuk kamu. Supaya saat kamu bilang siap nanti, kamu enggak akan kekurangan apa pun saat bersamaku. "

Ia menoleh dengan senyum teduh pada si perempuan. "Semoga kamu segera yakin kalau aku nggak main-main ...." Mata pria itu berkilat jahil setelahnya. "Sayangku," tambahnya dengan lengkungan manis di bibir. 
 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mahira - 17
2
0
Tersenyum kuda sesaat, Riga kemudian menekuk wajah. Bukan begitu cara mainnya, Mahira. Aku yang meludahi, kau yang membersihkan. Pria itu terpingkal sembari memegangi perut.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan