Alara - Bab 13,14,15

2
1
Deskripsi

Selamat membaca! 

Bab 13 

 

"Kalau ini cuma untuk nurutin permintaan Tante Artha, bagus kamu pulang."

Kalimat sinis yang kesekian kali Barata lontarkan kembali tak Alara tanggapi. Perempuan itu membantu si lelaki minum, usai selesai menyuapi bubur.

Barata terdengar meringis saat kembali berbaring. Alara mengamati wajah pria itu dengan raut cemas.

"Apanya yang sakit?"

Tadinya ingin pulang, tetapi Alara putuskan untuk menemani Bara sedikit lebih lama. Perempuan itu membantu si pria makan. Kebetulan, kata Mora, Bara memang belum makan sejak pagi.

Saat ini ia dan Bara ada di kamar si pria. Alara baru akan pulang kalau Bara sudah minum obat dan tidur.

"Bang? Apanya yang sakit?" ulang Ala karena Bara tak kunjung menjawab dan hanya terus menatapi.

Bara menggeleng pelan. "Cuma kerasa nggak nyaman di perut. Kembung kayaknya."

Mengangguk, Alara memeriksa tas. mengambil minyak kayu putih dari sana, kemudian kembali duduk di tepian ranjang Bara.

"Sini, aku sapukan minyak kayu putih." Alara menuang minyak itu ke telapak tangan. Perempuan itu mendekat pada Bara, untuk kemudian menyingkap kaus si lelaki.

Alara membalurkan minyak hangat itu di perut dan dada Bara. Biasanya, kalau ia merasa kembung, ia juga melakukan ini. Lumayang membuat nyaman. Semoga bekerja juga pada Bara.

"Ala," panggil Bara.

"Ya?" Alara menatap penuh atensi.

"Enak, La."

"Apanya?"

Wajah mirip robot yang sedari tadi coba Bara buat seketika hilang. Pria itu tersenyum dengan rona semringah. Ia pegangi pergelangan tangan Alara yang telapaknya masih menempel di dada.

"Ini. Diusap gini, enak."

Sadar apa yang sedang Bara bicarakan, Alara langsung mencubit dada pria itu. Ia tarik tangannya dari dalam kaus.

Mengulum senyum, Barata mengubah posisi tidur jadi menelungkup. Ia singkap kaus hingga leher.

"Usapin ke punggung juga, La. Biar enak. Maksudnya, biar hangat."

Tersenyum kecil, walau menerka ini hanya akal-akal Bara, tetapi Alara tetap membalurkan minyak kayu putih tadi di punggung si lelaki.

"Udah," beritahu si gadis saat pekerjaannya rampung.

Barata kembali berbaring miring menghadap Alara usai minum obat. Ia biarkan tubuhnya dipakaikan selimut hingga pinggang. Setelahnya, lelaki itu asyik memandangi wajah Ala.

"Kamu tidur. Habis bangun nanti, mudah-mudahan demamnya udah turun."

Barata meraih tangan Ala. Membuat gadis itu menyentuh pelipisnya yang kemarin lecet karena jatuh.

"Aku jatuh kemarin. Pas pulang dari kebun. Di sini luka."

Ala terlihat sedih. "Sakit? Sampai harus dijahit?"

"Sakit. Tapi, bukan itu yang paling sakit."

Alara sudah mendengar ini dari Mora tadi. Saat ia dibantu wanita itu menyiapkan bubur. Katanya beberapa hari lalu Bara jatuh dari sepeda motor hingga kaki dan pelipis lelaki itu terluka.

"Kakinya yang paling sakit?" tebak Alara sembari menyingkap selimut untuk memeriksa pergelangan kaki Bara.

"Yang paling sakit, pas aku jatuh, aku ...."

"Kamu apa?" Alara menanti dengan ekspresi muram.

"Aku panggil kamu, tapi kamu nggak datang."

Alara tertegun. Ia bisa merasakan kesedihan di cara Bara menatap juga bicara.

"Abang pikir aku super hero? Dipanggil pas Abang lagi dalam bahaya, terus aku bakal datang?"

"Kapan Adi kasih kabar kalau aku sakit? Tiga hari lalu? Lima hari lalu?"

Kepala Alara tertunduk. Ia tak bisa jelaskan kalau hari itu, ia ingin segera menemui Bara. Ala harus terlihat konsisten dengan pengakuan kalau ia tak menginginkan Bara.

"Apa sedikit pun, kamu nggak punya keinginan untuk jenguk aku, La?"

Alara berkedip demi menghalau sesuatu yang merembes di mata.

"Nggak usah jenguk. Dengar aku sakit, apa kamu nggak ada rasa ingin tahu? Telepon, atau minimal tanyain kabar aku lewat pesan?"

"Apa kamu nggak pu--"

Alara terbawa perasaan. Perempuan itu bersikap impulsif, menyela ucapan Bara dengan sebuah kecupan di sudut bibir pria itu.

Alara menjauhkan wajah. Ia tatap mata Bara dengan kedua matanya yang basah. "Cepat sembuh, ya. Hati-hati kalau kerja. Aku pulang dulu."

***

Bara harus memikirkan ini. Ia merasa sikap yang Alara tunjukkan sewaktu menjenguknya kemarin amat janggal. Maka, waktu yang harusnya dipakai untuk istirahat pria itu gunakan untuk mencerna keadaan.

Pertama, pengakuan Alara kalau mereka harusnya menjaga jarak usai kejadian saat liburan. Itu sangat tak masuk akal. Bagaimana bisa gadis itu bahkan sempat menghapus nomornya?  Bara tebak, kalau bukan karena untuk memulangkan jaket, mereka tak akan pernah bersua lagi.

Kedua, perasaan Bara yang berkata bahwa ada kemungkinan kalau Alara sebenarnya juga memiliki rasa padanya. Buktinya, di beberapa kesempatan, entah Alara sadar atau tidak, gadis itu bersikap sangat manis dan nyaris tak berjarak, bahkan jika mereka hanya sekadar mengobrol.

Entah itu hanya besar kepala atau berhalusinasi, Bara kerap menemukan sorot mata yang berbeda tiap kali Alara menatapnya.

Lalu, yang kemarin. Setelah hampir satu bulan mereka tak berinteraksi, Alara datang menjenguk. Bara ragu kalau kedatangan itu semata karena Artha yang menyuruh. Alara terlihat seperti perempuan yang tak akan mau dikendalikan orang lain.

Artinya, Alara masih peduli. Dan ciuman itu? Untuk apa itu Alara lakukan, kalau bukan karena si perempuan juga punya perasan? Benarkan? Ini sangat janggal.

Alara seolah menunjukkan kalau ia bukannya tak mau dengan Bara, hanya saja perempuan itu punya sesuatu yang membuatnya ragu.

"Apa Ala nunggu aku cerita soal masa laluku?" terka Bara.

Bara hanya memberitahu soal perceraiaan sekilas. Apa karena itu Alara ragu mengambil sikap?

Bisa jadi. Besar kemungkinan memang itulah alasannya. Bara harus mencari tahu.

Melirik jam di nakas, pria itu menemukan kalau sekarang sudah pukul delapan malam. Kalau pergi ke rumah Ala, ia akan sampai di sana setengah jam kemudian. Apa tak masalah bertamu selarut itu?

Apa dia memastikan lewat telepon saja? Ah, tidak-tidak. Alara mungkin menutupi kebenaran. Ala pandai membuat orang terpengaruh denga kata-kata. Bara harus melihat ekspresi perempuan itu secara langsung.

"Ah, kapan pagi datang?" gumam pria itu sembari menekan kepalanya dengan bantal. Ia amat tidak sabar.

***

Akhirnya Bara bersyukur ia tak punya jadwal mengajar pagi lagi. Usai sarapan, ia langsung berangkat ke rumah Alara. Sengaja tak memberi kabar, agar bisa menikmati ekspresi terkejut Alara.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Barata yang dibuat terkejut karena mendapati rumah Alara kosong.

"Cari siapa, Mas?"

Bara melihat seorang wanita seumuran ibunya Ala datang dari seberang rumah.

"Ala pindah, ya, Buk?" Barata cemas atas pertanyaan yang ia karang sendiri.

Buk Rio menggeleng dengan senyum di wajah. "Ala pergi kerja. Sudah sebulan dia kerja di toko oleh-oleh. Perginya pagi, pulang sekitar jam lima. Kalau Buk Artha, biasa, pergi berjualan."

Bara menarik napas lega. "Ala kerja?"

Buk Rio mengangguk. "Mau ke sana saja? Saya tahu alamatnya. Kalau mau, biar saya kasih."

Bara mengangguk antusias. Gegas ia catat alamat yang Buk Rio berikan di ponsel. Setelahnya, pria itu pun pamit. Segera meluncur ke tempat Alara bekerja.

 

 

Bab 14 

"Kamu kenapa tega ngomongin aku di belakang, sih, Alara?"

"Aku pikir kamu pendiam. Aku cerita karena kukira kamu bisa dipecaya. Kenapa kamu ngomong gitu sama Rita?"

Tadinya ingin mengabaikan ini. Namun, Alara tiba-tiba saja merasa benar-benar muak. Ia muak pada manusia-manusia bermuka dua seperti Rita.

Alara menutup buku folio di depannya. Pada Rita dan Soraya yang berdiri di hadapan, gadis itu melempar tatapan bosan. Begitu pula kepada beberapa karyawan perempuan yang berdiri di dekat meja kasir, yang sengaja ingin menontoni kericuhan yang mungkin saja terjadi.

Tidak. Alara tak akan memberikan kericuhan.

"Siapa yang  bilang aku sebut kakak perempuan haus belaian?" tanya Alara tanpa menyaring kalimat.

Soraya menunjuk Rita. "Dia bilang kamu sebut aku gitu karena udah tiga kali menikah. Aku juga nggak mau gagal sampai tiga kali, Ala. Aku cerita karena kukira kamu akan bisa paham. Tapi, kenapa kamu malah bilang aku begitu?"

Menoleh pada Rita, Alara menemukan perempuan itu tersenyum miring. Alara yakin kalau mantan penjaga kasir itu benar-benar ingin menendangnya keluar dari toko ini.

Tak cukup memfitnahnya sebagai pencuri pada owner, sekarang melakukan hal sama pada Soraya?

"Ada apa ini?" Tak lama Inka si pemilik toko datang. Perempuan itu mendapat keterangan situasi dari pegawai lain. Ia pun coba menengahi.

"Kamu benar dengar Alara bicara begitu soal Soraya, Rit?" tanya Inka sangsi.

Rita mengangguk. "Aku dengar pakai dua telingaku, loh, Buk. Masak salah?"

Inka menatap kasihan pada Alara yang masih saja bungkam. Ia bingung. Sebenarnya, ia yakin ini cuma salah paham. Meski baru sebulan bekerja, ia bisa membaca karakter Alara. Gadis itu tak suka mencampuri urusan orang lain, terlebih menghina seperti yang Rita tuduhkan.

"Kamu jujur aja, Alara. Kamu bener ngatain aku begitu? Kenapa?"

Alara balas menatap Soraya dengan sorot tenang. "Apa kalau aku menjelaskan, Kakak akan percaya? Setelah aku kasih cerita yang menurutku benar, apa Kakak akan mengubah tuduhan tadi? Aku enggak mau ngerjain sesuatu yang sia-sia."

Menimbang sesaat, Soraya mengangguk yakin. "Aku juga mau dengar cerita dari kamu, La. Biar adil, nggak cuma dari Rita doang."

Mengangguk satu kali, Alara berkata, "Aku enggak ngatain Kakak. Dalam hati pun enggak, karena aku tahu itu bukan hakku menghakimi mau berapa kali pun Kakak udah menikah."

"Terus? Kenapa Rita bilang kamu sebut aku kek gitu?"

"Coba Kakak tanya dia. Di menit ke berapa waktu dia bicara, aku menginterupsi ocehan dia dan ngatain Kakak kek gitu. Aku cuma diam pas dia cerita soal Kakak kemarin."

Soraya mulai sangsi pada pengakuan Rita. "Kamu nggak lagi fitnah Alara, 'kan, Rit?"

"Apa untungnya aku fitnah dia, sih, Soraya? Dia ini cuma lagi ngeles. Biasa, sok baik." Rita menatap benci pada Alara.

Alara menatapi Soraya yang tampak kebingungan. "Capek, enggak, Kak, kek gini?"

Alara teringat kala dirinya yang juga pernah berada di posisi Soraya. Mendengar orang lain menghina kita, rasanya memang menyakitkan.

"Aku benar-benar enggak pernah ngatain Kakak. Untuk apa? Sayangnya, memang enggak ada CCTV atau orang yang bisa aku jadikan saksi."

Alara mendesah susah. "Aku minta maaf kalau Kakak masih yakin aku memang ngelakuin itu."

Alara beralih menatap Inka. "Maaf, Buk. Kayaknya saya harus berhenti. Kerja di sini seru. Tapi, ada sesuatu yang rasanya enggak bisa saya hadapi. Mulai besok, saya berhenti, ya, Buk."

Inka terlihat tak rela. "Jangan begitu, Alara. Saya senang kamu kerja di sini. Nanti, yang lain biar saya cari saja biar sama-sama enak."

Inginnya, Alara meminta Inka untuk memecat Rita saja. Namun, Ala sadar kalau toko ini bukan miliknya. Daripada meminta orang lain pergi, bukankah lebih bagus kalau ia saja yang mundur? Daripada harus lelah menghadapi orang dengan dua wajah?

"Halah, kamu cuma takut, 'kan? Karena udah ketahuan suka ngatain orang?" ejek Rita yang tersenyum puas.

Alara hanya tersenyum tipis pada wanita itu. "Aku masih yakin sama hukum karma, kok, Kak. Jangan takut. Kalau Kakak tanamnya ubi, yang Kakak panen pasti ubi, enggak mungkin berubah jadi kacang tanah."

Usai mengatakan itu, saat Alara hendak membuka kembali buku folio dan melanjutkan pekerjaan di hari terakhirnya, gadis itu tak sengaja menatap ke depan. Ia mematung di tempat kala menemukan ada seorang pria di sana.

Pria itu berdiri dengan tangan bersedekap di dada. Menatap Alara dengan senyum yang entah artinya apa. Yang jelas, Alara dibuat berdebar.

"Abang?"

Barata berjalan masuk. Pria itu berdiri di dekat meja kasir. "Ada dodol, nggak, Mbak?"

Alara mengangguk kaku. Ia menunjuk ke rak berisi beraneka macam dodol.

"Kalau keripik pisang?"

Kembali kepala Alara mengangguk. "Di situ," katanya seraya mengarahkan telunjuk ke kiri ruangan.

"Kalau bilang mau bawa pulang Mbaknya, please ngangguk juga, ya?"

"Hah?"

Barata tertawa. Pria itu menyimpan kedua tangannya di saku celana. Menatap Alara dengan sorot penuh damba. "Wahai Alara yang cantik. Kamu benar-benar bikin aku nggak bisa mikirin apapun selain kamu."

***

Sebenarnya Alara bisa makan di toko. Seperti yang sebulan terakhir perempuan itu lakukan. Namun, ada Barata hari ini.

Pria itu bersikeras menunggui hingga Alara pulang. Takut Bara tak puas dengan lauk bekalnya, maka Alara mengajak pria itu ke rumah makan terdekat.

"Kenapa cuma dlilihatin? Kamu mau protes karena yang nyendok nasimu abang-abang yang jual dan bukan aku?"

Alara sudah mulai makan sejak tadi. Namun, Bara malah terus menunduk dan menatapi nasi di piringnya.

Barata melirik tanpa menaikkan wajah. Lalu, pria itu mengangguk, sembari tersenyum lebar sekali.

"Waktu istirahatku cuma satu jam. Selesai enggak selesai, aku harus balik."

Mengangguk setengah hati, Bara mulai memegang sendok. Menuang kuah kuning ke atas nasi, kemudian mengambil satu potong ayam untuk lauk. Pria itu makan dalam diam selama beberapa menit.

Alara membiarkan Barata. Meski sedikit tak nyaman karena wajah lesu pria itu, seolah makanan yang mereka nikmati tak enak. Alara menunggu hingga piring Barata kosong.

"Nah, sesuap." Saat Bara akan minum, Alara mengulurkan tangan yang berisi sesuap nasi. Tanpa sendok.

Tampak terkejut sesaat, Bara gegas memajukan wajah. Ia pegangi pergelangan tangan Alara, kemudian menuntun gadis itu untuk menyuapi.

"Udah? Sekarang kenyang?" ejek Alara.

Bara mengangguk, sembari menelan kunyahannya dengan ekpsresi nikmat. Pria itu makin yakin. Selain Alara, tak pernah ada perempuan yang bisa memperlakukannya sebaik ini. Diam-diam Bara jadi paham mengapa kemarin mantan istrinya harus selingkuh.

Biar dia bisa bertemu Alara, 'kan?

***

Alara memalingkan wajah ke jendela, setelah sejak tadi sibuk menatapi Bara yang mengemudikan mobil. Pria itu sungguh menungguinya hingga pulang bekerja. Seolah tidak punya hal lain yang bisa dikerjakan.

"Capek, Bos?" tanya Bara iseng.

"Memang ada kerjaan yang enggak capek?" balas Alara.

"Sejak kapan kamu kerja di situ?"

"Sebulan lalu."

"Dan sama sekali nggak kasih tahu aku." Bara mengangguk dengan ekspresi kecewa.

"Memang situ siapa? Pacar? Suami?"

Kekehan Bara terdengar. "Pancing terus. Giliran dipepet, malah kabur."

Alara ikut tertawa.

"Sebelum kerja di situ, selama ini kamu di rumah aja?" Bara pernah mendengar ini dari Adi. Namun, hanya sekilas. Kali ini si pria itu benar-benar ingin tahu.

"Iya. Nganggur. Makan dan tidur."

Bara menggeleng dengan kekehan lagi. "Adi bilang kamu itu penulis."

"Mulutnya Adi ini perlu dijahit keknya," komentar Ala seraya mengeluarkan ponsel dari tote bagnya.

"Kamu mau marahin dia?"

Jemarinya sibuk mengetik pesan, Alara mengangguk.

Melihat itu, ada rasa tak rela yang Barata rasakan. Jadi, begini cara Alara bersikap pada Adi? Enak sekali Adi bisa menerima dan mengirim pesan pada Alara tiap waktu, ya? Namun, pria itu berusaha mengendalikan rasa cemburunya .

"Jadi, kalau bisa dapat duit dengan kerja dari rumah, kenapa milih kerja di luar?"

Alara menyimpan ponselnya. "Mau cari pengalaman baru. Sesekali, uji nyali, biar hidup enggak terlalu biasa."

"Apa yang di kolam renang hari itu juga uji nyali?"

Kepala Alara menoleh cepat ke arah si lelaki. "Bisa dibilang begitu." Ia terdengar ragu.

Kebetulan Barata membahas ini, Alara jadi ingin meluruskannya.

"Terakhir kali, waktu itu, di mobil pas Abang antar aku pulang habis ultahnya Arsen."

Barata mengangguk.

"Abang juga ngungkit ini. Dan aku menangkap, Abang merasa aku manfaatin waktu itu. Maaf kalau Abang merasa kek gitu. Anggap aja waktu itu aku lagi hilang waras atau apa."

"Berarti, itu perkosaan, dong?"

Alis Alara mengait. "Apa aku memaksa Abang?" Ia berusaha mengingat. Tahu-tahu wajah Alara memanas.

"Menurut kamu? Apa waktu itu aku bersikap kayak orang terpaksa?"

Menatap lurus ke depan, Alara berusaha membongkar memorinya. Dimulai dari kolam renang, kemudian Bara yang membawanya ke kamar pria itu. Lalu ....

Alara menggeleng kuat. Bayangan keintiman ia dan Bara tahu-tahu sudah memenuhi kepala. Membuat tubuhnya merasa gerah.

"Aku enggak tahu," kata perempuan itu dengan kepala tertunduk.

Bara tersenyum miring melihat reaksi Alara itu. "Aku menganggap kalau kamu memang memanfaatkan aku waktu itu."

Alara sadar ia tak bisa menyalahkan Bara atas pemikiran itu. Memang, ia yang memulai duluan. Alara yang mencium Bara duluan sewaktu mereka di kolam renang.

"Boleh sekarang aku balas manfaatin kamu, Ala?"

Menegakkan kepala, Alara menemukan wajah serius Bara. Pria itu tak terlihat seperti sedang bercanda. Diam-diam Alara menelan ludah.

"Maksud Abang?"

Barata menatap ke depan. "Kayak kamu yang manfaatin aku malam itu. Aku juga mau melakukan hal sama. Kamu benar, La. Aku baru sadar. Tujuanku ajak kamu menikah memang demi itu."

 

 

Bab 15 

 

Selama perjalanan Alara terus menunduk. Matanya sudah basah. Jemarinya saling meremas di pangkuan.

Tak ia sangka Barata akan melakukan ini. Pria itu bilang ingin membalas Alara atas apa yang perempuan itu lakukan sewaktu liburan. Karenanya, Barata ingin mereka ke hotel malam ini.

Dengan iming-iming tak akan mengganggu Alara lagi setelah ini, Alara setuju. Ia bersedia dibawa ke hotel. Namun, bukan berarti perempuan itu tidak takut.

Ia gemetar. Perasaannya juga luar biasa sedih. Ternyata, Bara tak setulus yang ia pikir. Selama ini, pria itu bersikap seolah benar-benar menginginkan Alara sebagai istri. Nyatanya, lelaki itu hanya ingin menjadikan Alara alat pemuas nafsu.

Alara bisa merasakan kalau mobil yang Bara bawa berhenti. Perempuan itu menggigit bibirnya kuat.

"Turun, La."

Suara Bara terasa amat menyeramkan. Pria itu tak lebih dari seorang lelaki jahat kini. Alara luar biasa menyesal sudah menganggap Bara sebagai orang baik sebelum ini.

Bara turun lebih dulu. Pria itu memutari mobil, kemudian membukakan pintu untuk Alara. Melihat si gadis bergeming di tempat, ia berjongkok.

"Udah sampai, Ala."

Pada Bara yang membantu melepas seat belt, Ala melempar tatapan terluka. Tak perempuan itu tahan air mata yang sudah tumpah.

Di depan Alara, Bara malah tersenyum-senyum. "Kenapa nangis?"

Alara menggeleng. Ia seka pipi dan mata yang basah. "Aku cuma kecewa. Kukira, kamu enggak akan sejahat ini."

Niatnya ingin menatap bangunan hotel, Alara terperanjat saat menemukan kalau bangunan di depan mobil itu bukanlah hotel, melainkan sebuah rumah.

Rumah yang Alara kenali. Dengan mata lebar, ia menoleh lagi pada Bara. Lelaki di depannya memperdengarkan tawa.

"Apa sekarang udah yakin kalau niatku memang bukan untuk sekadar bisa tidur sama kamu, La?"

Kali ini air mata Alara yang jatuh adalah bentuk dari perasaan lega. Perempuan itu menarik napas dalam. Ia biarkan isakan lolos dari mulut.

"Mama bikin acara makan malam. Aku juga sebenarnya lupa kalau hari ini lagi ulang tahun," jelas Bara sambil mengusap pelan kepala Alara.

Alara berusaha mengusaikan tangis. Ia menatap Bara dengan perasaan menyesal. Ia sudah menilai pria itu buuk tadi.

"Ini nangis karena takut atau apa, La?"

"Takut," aku Alara.

Bara tak melepas senyum dari wajahnya. Pria itu merentangkan kedua lengan. "Sini peluk, biar nggak takut lagi."

"Boleh?"

Lelaki itu mengangguk. "Janji nggak dibawa ke hotel."

Alara tertawa dengan mata basah di pelukan Bara. "Bercandamu kayak beneran, Bang. Kukira kamu memang cuma pengin nidurin aku. Aku bahkan udah ngatain kamu dalam hati."

"Ngatain apa? Bajingan? Berengsek?"

"Penjahat kelamin."

Tawa Bara berderai. Ia eratkan dekapan pada Alara. "Apa sekarang udah yakin? Sebagai tambahan, aku udah selesai dengan masa laluku, La. Semisal kamu ragu karena ngira aku masih terbayang-bayang mantan istri, kamu salah. Dia selingkuh, ingat dia aku malah marah dan bukannya mengharap balikan."

Tak mendengar Alara menyahut, Bara menarik diri. Namun, Alara mengencangkan belitan lengan di leher pria itu.

Bara membuat usapan naik-turun di punggung Alara. "Aku bener-bener bikin kamu takut, ya? Maaf, ya, Cantik."

Alara berdeham pelan. Perasaannya kembali baik. Ia jadi berpikir. Kalau memang Bara hanya ingin mengulang apa yang terjadi saat liburan, benar. Pria itu bisa melakukan ini. Menuntut pertanggungjawaban Alara, membawa gadis itu ke hotel. Namun, Bara tidak melakukan demikian.

Pria itu malah datang tiap hari. Membawakannya benda-benda yang disenangi. Merawat Alara saat sakit. Bahkan, barusan, membagi masa lalunya dengan begitu terbuka.

Apa sungguh Bara serius? Pria itu serius ingin menikahi Alara? Kenapa?

"Ala?"

"Hm?" Alara menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Bara.

"Aku, sih, suka kamu peluk gini. Tapi, Anin udah bolak-balik ngintip dari dalam rumah. Kayaknya, kamu udah ditungguin."

Teringat penjelasan Bara soal acara makan malam dan perayaan ulang tahun, Alara jadi menggeleng susah.

"Aku enggak mau masuk. Mataku pasti bengkak." Ia sembunyikan wajah di bahu Bara. "Abang ulang tahunnya enggak bisa besok aja? Aku mau pulang."

Suara tawa Bara lepas. Pria itu mencium puncak kepala Alara. "Mau matamu bengkak atau nggak, kamu itu yang paling cantik untuk aku. Masuk, yuk?"

Alara merasai jantungnya berdebar heboh mendengar pujian itu. "Abang kayaknya salah lihat. Seumur hidup belum pernah ada yang bilang aku cantik."

"Berarti aku satu-satunya. Bagus. Mulai sekarang, sampai seumur hidup kita, aku akan terus bilang kalau kamu itu cantik."

"Tukang bohong."

"Alara yang paling cantik untuk Bara."

"Diam, Bang." Alara merasakan pipinya menghangat. Bibirnya tahu-tahu ingin melengkungkan senyum.

"Cuma Alara yang paling cantik di mata Bara."

Dengan perasaan ragu dan malu, lima menit kemudian Alara mengikuti Bara untuk masuk ke dalam rumah. Perempuan itu tadinya berjalan di belakang, tetapi si pria menarik tangannya.

"Jalannya di samping. Kalau di belakang, nanti hilang," canda Bara sembari menggenggam tangan Alara. Pria itu melebarkan senyum saat si gadis tak menolak.

Menginjak lantai ruang tamu rumah Bara, Ala merasa detak jantungnya makin kencang.

"Ma?" panggil Bara.

Alara berusaha menghapus ekspresi cemberut dari wajahnya. Namun, perempuan langsung memucat saat menemukan ruang yang ia dan Bara datangi sudah penuh.

Banyak orang di ruang tamu itu. Dan parahnya, semuanya tengah menatap pada Alara.

"Alara udah datang," kata Bara dengan nada girang.

Alara menoleh pada lelaki di sampingnya. Bara tersenyum, seolah tak merasa bersalah. Lalu, Alara menatap lagi pada orang-orang di ruang tamu. Mereka semua tersenyum, tetapi Alara tahu mata mereka tengah menilai.

"Halo, Alara," sapa Andre adiknya Bara.

Alara melempar senyum ke sana.

"Ditungguin dari tadi, loh." Anin menghampiri. Ia berdiri di samping Alara. "Kirain Bang Bara gagal ajak kamu ke sini. Aku ketar-ketir dari sore."

Berusaha tidak gugup, Alara menyahut, "Abang baru bilang barusan. Dari siang nungguin aku kerja. Enggak kasih tahu kalau ada acara di sini."

Anin melempar senyum pada kakaknya. "Mau kasih kejutan ceritanya?"

"Beneran terkejut dia." Sampai nangis, sambung lelaki itu dalam hati.

"Jadi, Alara baru pulang kerja? Capek, dong. Pantes matanya agak bengkak. Kamu ngantuk, Sayang?"

Gelagapan, Alara menggeleng. "Enggak, Buk."

Setelahnya, Alara dikenalkan pada semua orang di sana, yang ternyata adalah keluarga Bara. Ada sepupu lelaki itu, om, tante, bahkan teman-teman dekat Bara.

Alara benar-benar dibuat gelagapan selama acara makan malam itu. Ia bahkan sengaja permisi ke toilet sebab merasa tak nyaman terus ditatapi atau diberi senyum oleh keluarga Bara.

Alara bisa sedikit menepi dari keramaian itu saat ia putuskan membantu mencuci piring di dapur. Sambil menyabuni piring, perempuan itu menekuk dahi. Ia lelah.

Setelah dibuat salah paham, Bara malah membawanya ke sini. Bertemu dengan keluarga besar pria itu pula. Rasanya, semua energi Alara sudah habis.

"Loh? Kenapa di sini, Kak?" Anin tampak terkejut saat menemukan calon kakak iparnya sedang mencuci piring. "Nggak usah, Kak. Kan ada yang Bik Arum yang ngerjain."

Alara memberi senyum simpul. "Enggak pa-pa. Ini tadi sisa dikit, kok."

Anin menatap Alara dengan mata berbinar. "Makasih udah datang, ya, Kak. Bang Bara beneran berharap Kakak datang."

Mengangguk saja, Alara mulai menumpuk piring yang sudah bersih.

Melirik ragu, akhirnya Anin menyuarakan pertanyaan, "Kakak nggak suka Bang Bara, ya?"

Gerakan tangan Alara memelan. "Kenapa bilang gitu?" tanyanya hati-hati.

"Bukan karena dia abangku, aku bilang begini, ya. Tapi, serius. Bang Bara itu laki-laki baik, kok, Kak. Dia sopan, nggak sungkan bantu orang lain. Agak kaku memang."

"Kaku?" Alara tanpa sadar tertarik akan penilaian itu. "Dia kayaknya suka bercanda. Ngomongnya juga jago."

Mata Anin berbinar. "Sama yang dulu kaku, Kak. Sama semua cewek sebelum Kakak kayaknya juga begitu."

Diam-diam Alara mengulum senyum.

"Cuma sama Kakak dia kek gitu. Sok kegantengan, mesem-mesem, dan nggak malu ngegombal, bahkan di depan kami."

Anin mengamit lengan Alara hati-hati. "Aku nggak pernah lihat dia sesenang sekarang. Bahkan waktu dia punya istri, dia nggak kek gitu. Jadi ...." Perempuan itu menatap Alara penuh harap.

"Titip Abangku, ya, Kak. Walau selama ini dia nunjukin sikap baik-baik aja, tetap bagus dikerjaan, aku tahu. Sebenarnya dia itu rindu seseorang yang bisa bikin dia kayak sekarang. Sejak kecil, dia itu dituntut bertanggungjawab, karena dia sulung, pun laki-laki pula. Kadang aku ngerasa, dia selalu dahulin orang lain, daripada dirinya."

Anin bercerita kalau sejak remaja, Bara selalu bisa mengurusi dirinya sendiri. Andre yang nakal, Justin dan Anin yang manja kerap membuat ibu mereka kewalahan. Maka, Bara selalu menjadi anak yang bisa diandalkan entah itu membantu mengurusi adik dan rumah, juga mengurusi dirinya sendiri.

Saat menikah dulu, Bara hanya ingin hal sederhana dari Jesica. Bara ingin istrinya itu mengurusinya. Bukan 24 jam mengekori Bara ke mana-mana. Sekadar menyiapkan makanan, mengambilkan kemeja yang akan dipakai atau hal sederhana lainnya.

Namun, Bara tak pernah mendapatkan itu. Meski demikian, si lelaki tak marah. Ia terima Jesica apa adanya.

"Tapi, ya, gitu. Malah Mbak Jes yang selingkuh." Menemukan ekspresi murung Alara, Anin menambahi. "Abangku kasihan kan, Kak?"

Alara tersenyum setengah hati. Namun, mata gadis itu tak bisa sembunuikan rasa sedih yang ada.

"Ala?"

Suara Bara yang muncul di dapur membuat Ala dan Anin menoleh serempak.

Bara berjalan dengan langkah lebar saat mendapati Alara di depan wastafel dengan wajah muram.

"Anin? Kamu apain dia? Kamu suruh cuci piring?" Pria itu memasang wajah galak pada adiknya.

Alara langsung menepuk punggung pria itu. "Aku yang mau bantu-bantu. Dari datang aku enggak ngerjain apa-apa," jelasnya.

Bara mengangguk. Ia mengajak Alara untuk duduk di halaman belakang. Ia tahu Alara mulai tak nyaman dengan suasana yang ada.

"Wah, sepi." Ala menghela napas lega saat duduk di bangku halaman. Tempat itu hanya dihuni ia dan Bara.

"Capek? Mau dipijit?"

Alara menggeleng. "Punggungi aku."

Mengangkat alis sebentar, Bara menurut. Ia punggungi si perempuan. Baru saja ingin bertanya, ia merasa punggungnya ditimpa sesuatu.

"Aku aneh, ya? Ketemu orang rame rasanya capek. Padahal, keluarganya Abang baik-baik."

Bara tersenyum lega mendengar itu. "Kamu risih karena terus-terusan dilihatin mereka, ya?"

Alara berdeham. "Mereka kayak lagi mai cari sesuatu atau pengin tanya sesuatu gitu."

"Mereka kepo."

"Kepo? Soal?"

"Soal siapa sih perempuan ini? Alara ini siapa sampai bisa bikin Bara tergila-gila?"

"Oh, gitu." Alara berpura percaya saja.

"Serius, ih." Bara berusaha meyakinkan.

Hanya diam dan menatapi tanaman di depannya, Alara kemudian berkata, "Selamat ulang tahun, ya. Panjang umur, sehat selalu. Semoga apa pun yang Abang mau, bisa Abang raih."

"Amin!" sahut Bara kencang. "Siapa pun tahu kalau yang aku mau sekarang cuma satu."

Tahu apa yang Bara bicarakan, Alara memilih untuk tutup mulut. Ia ingin mengatakan sesuatu. Namun, perempuan itu tak mau merusak suasana hati Bara yang kelihatannya sedang baik.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Alara - Bab 16,17,18
1
1
Selamat membaca!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan