2. Cuti

7
1
Deskripsi

Tuhan menciptakan banyak tempat-tempat indah di Indonesia, tapi kamu masih betah di Jakarta?
- Sal, karyawan yang baru berani ambil cuti

 

 

Lima menit sebelum jam delapan malam. Tak ada yang tersisa dalam lima baris panjang kubikel di ruangan berukuran 7 x 10 meter persegi itu kecuali Sal. Lampu TL di langit-langit sudah redup. Jendela besar di salah satu sisi ruangan menampilkan ruas jalan MT Haryono yang di dominasi warna merah menyala dengan latar city light yang berpendar terang. 

Sal mendesis. Ia gulung lengan kemejanya hingga siku, meraih tumbler diatas meja, meneguk isinya, lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Matanya tak bisa lepas dari layar komputer yang menampilkan Microsoft Excel dengan ratusan kolom berisi angka-angka desimal. Dengan lihai jarinya menggerakkan pointer naik turun, berhenti pada sebuah kolom, mengetik formula pada kolom tersebut, menggerakkan pointer nya lagi untuk mencari kolom yang lain dan mengetik formula yang hampir mirip. Begitu terus sejak tadi.

Tiba-tiba diantara keheningan itu, datang seorang pria bertubuh kecil. Rambutnya cepak klimis, kulitnya sawo matang. Mengendap-endap di belakang Sal, menyeringai jahil hingga terlihat gigi gingsulnya, lalu menepuk pundak pria tampan tersebut.

Sal terlonjak sedikit di kursi. Nyaris melempar mouse di tangan. "Mas Bian, Astaghfirullah! Kirain siapa," cetusnya sambil mengelus dada.

"Hehe, ampun, Mas. Kaget, yo?" Mas Bian cengar-cengir tanpa rasa bersalah. Bersandar di dinding kubikel sambil mengintip monitor di hadapan Sal. "Masih kerja lho?"

Sal menyugar rambut dan menyandarkan punggung ke kursi. "Iya, ada dokumen kontrak yang harus gue cek buat rapat bareng vendor besok pagi. Lo sendiri baru balik?"

"Iyo. Iku loh, drafter banyak yang cuti. Jadi ghue deh yang disuruh back up kerjaan."

Mas Bian ini baru delapan bulan pindah dari Semarang ke Jakarta, dengan dalih beradaptasi, lucu sekali mendengarnya bicara lo-gue diantara logat Jawa nya yang masih melekat kental.

Sal menahan tawa. "Pada kemana emang?"

"Cuti Mas, liburan. Pak Agung nang Jogja, Mbak Anggun malah jauh ke Singapur. Lagi musim liburan sakjane."

"Anak sekolah baru selesai ujian, Mas." Sal ingat ibunya bilang kalau sepupu-sepupunya akan berkumpul di Bandung akhir pekan ini setelah selesai ulangan tengah semester.

Mas Bian manggut-manggut. "Lho nggak ikut liburan toh, mas?"

"Mas, nggak usah pake lo-gue." Sal akhirnya tertawa juga. Sudah sering dia meminta Mas Bian untuk tidak buru-buru beradaptasi, terutama soal logat dan bahasa sehari-hari. "Kemarin temen-temen pada ngajak road trip ke Sumatera sih."

"Wih, Sumatera Mas? Keren. Ghue paling jauh baru Jakarta ini, Mas." Mas Bian tampak terpesona.

"Iya, itu kan kalau jadi."

"Emang kenapa nggak jadi, Mas? Kayaknya Mas Sal jarang cuti."

Mas Bian benar. Kalau dipikir-pikir, Sal memang hampir tidak pernah ambil cuti panjang. Tidak ada kebutuhan. Paling-paling satu atau dua hari untuk urusan keluarga yang masih di sekitar Jakarta atau Bandung. Waktu liburannya terpusat di tanggal-tanggal merah atau weekend. Juga untuk beberapa alasan, ia selalu menolak tiap kali Raya memintanya ikut road trip.

"Kapan lagi toh, Mas? Uangnya ada, waktunya ada, mumpung belum nikah, puas-puasin jalan sama teman-teman, Mas." Mas Bian tiba-tiba sok bijak. Padahal usianya sendiri lima tahun dibawah Sal.

"Emang lo kalau liburan mau kemana?" ganti Sal bertanya.

"Ya, ghue sih. Paling keliling Jakarta aja dulu, Mas. Jalan-jalan ke Ragunan. Sama kulineran di... di mana itu namanya, yo? Mawai?" 

"Melawai." Sal mengoreksi.

"Nah iyo itu. Jarene Mbak Anggun disana banyak kafe lucu-lucu, Mas. Mboh lucune koyok opo. Karyawannya mungkin sing lucu yo, Mas? Mas pernah kesana?"

Sal geli sendiri melihat betapa polosnya ekspresi Mas Bian saat mengatakan itu. "Pernah."

"Sama yang di Jakarta Utara itu, Mas. PIK yo namanya?" Mas Bian masih melanjutkan.

Sal mengangguk. Ia dengarkan dengan seksama deretan nama tempat yang sudah ia hapal mati rute dan spot-spot menariknya. Yang membuat Asta menyematkannya titel 'anak nongkrong Jakarta', selagi Raya justru diberi gelar 'joki lintas provinsi'. Padahal, ia juga pernah kok berlibur ke Bali. Bersenang-senang di Batu Night Festival, menikmati sunset di Gili Trawangan, atau makan rawon langsung di Surabaya, meski semua perjalanannya ia tempuh melalui jalur udara. Tim fancy holiday, of course. Sudah kerja lembur bagai kuda, masa iya liburan pun harus menguras tenaga.

Celotehan Mas Bian akhirnya terhenti kala ponselnya berdering. Temannya sudah menjemput. Jadi ia meminta izin untuk pamit pulang lebih dulu.

Sepi lagi. Sal menatap malas pada layar monitor berisi ratusan angka di depannya. Semangat lemburnya telah hilang sejak perbincangan perihal liburan bersama Mas Bian tadi. Ia buka laci mejanya, meraih ponsel yang sejak tadi bersembunyi disana, dan mendapati beberapa pesan masuk dari adik perempuannya juga grup 'Fantastic 4 Under 30'.

Asta:
Vin, Raya sama lo?

Gavin:
Iya, masih di kantor. Hapenya mati

Asta:
Masih lama?

Gavin: 
Biasa, tergantung mood

Asta:
Lo nemenin sampe selesai?

Gavin:
Satu jam lagi gue balik

Sudah sepuluh tahun sejak grup percakapan ini dibuat oleh Asta. Tiga hari setelah pertemuan pertama mereka di masa orientasi fakultas teknik yang mengharuskan mereka terlibat dalam satu kelompok yang sama. Sal ingat kesan pertamanya untuk Raya. Meski bukan termasuk peserta yang menonjol dalam kelompok, Raya begitu lugas saat berbicara. Kepribadiannya hangat. Ramah, dipenuhi senyum di wajah. Membuat siapapun ingin berkenalan dengannya. Tak terkecuali Sal, yang awalnya tak ingin punya teman di masa orientasi. Juga Gavin yang tak banyak bicara, atau Asta dengan sikapnya yang cuek dan santai itu.

Puncaknya ketika Raya dengan berani membela Asta yang dimarahi senior saat makan roti di jam diskusi. Raya bilang makan itu hak dasar manusia, tidak sepatutnya dimarahi, ditambah Asta sedang tidak makan sesuatu yang berat dan menganggu jalannnya diskusi. Lagipula, ia merasa si senior sebaiknya bertanya dulu soal kondisi Asta. Bagaimana jika ia punya maag, jika ia belum sarapan, tak tahan lapar, lalu pingsan, dan berakhir merepotkan banyak pihak.

Setelah perdebatan sengit selama lima belas menit, Asta akhirnya dimaafkan. Sebagai gantinya, Raya tetap dihukum karena sudah bersikap tidak sopan dengan lari lima belas putaran. Gavin, yang saat itu tak tega melihat Raya berlari sendirian, ikut menemaninya keliling lapangan. Besoknya, sebagai ucapan terima kasih, Asta mentraktir mereka makan sushi di mall terdekat kampus, dan lalu entah bagaimana, tau-tau mereka sudah bertukar banyak cerita dan jadi tak terpisahkan dalam waktu singkat.

Kini, sepuluh tahun berlalu, sudah banyak momen yang mereka lewati di sepanjang waktu tersebut. Bersamaan dengan ratusan janji dan deret panjang harapan serta cita-cita yang mereka susun untuk diri mereka sendiri ataupun untuk persahabatan mereka. Salah satunya, road trip menuju kampung halaman Raya di Kerinci.

Sal ingat janji itu mereka buat tiga tahun lalu di apartemen Raya. Saat gadis itu mengundang mereka untuk makan malam bersama dalam rangka syukuran karena telah berhasil membeli mobil pertamanya. Disana pula ia mengutarakan keinginannya untuk membawa mobil itu ke kampung halaman orang tuanya di Kerinci. Meski gadis itu menggaris bawahi satu hal, ia tak akan pernah kembali kesana tanpa ketiga sahabatnya, yang kemudian mereka - meski Sal tak ingat bagaimana ia mengatakannya - menyanggupi hal tersebut.

Sal mengecilkan layar Excel nya. Ragu-ragu menekan ikon Microsoft Words yang sejak tadi aktif di taskbar, hingga muncul seketika rentetan panjang tulisan dengan judul pengajuan cuti di atasnya. Setelah berpikir selama beberapa menit, ia tersenyum. Diantara rutinitasnya yang monoton dan membosankan, ini mungkin akan jadi hal paling berani yang pernah ia lakukan seumur hidupnya.

---

Gavin sedang bersandar di kap mobilnya dengan ponsel di tangan saat mendapati Stargazer putih memarkirkan diri tepat di sebelahnya. Keluar dari sana, Sal, sudah mengganti kemejanya dengan kaus hitam, membawa kantung plastik berisi sesuatu yang wangi, berjalan mendekat dan mengangkat satu tangannya yang bebas untuk ber-high five ria dengan Gavin.

"Tumben lo baru balik?" tanya Gavin.

"Nunggu macet."

"Macet kok ditungguin."

Sal tertawa pelan. Ia keluarkan satu minuman isotonik dari dalam plastik, dan menyerahkannya pada Gavin.

Pria itu menyambutnya dengan senyuman. "Makasih."

"Raya mana?"

"Di ruang rapat. Masuk aja, udah nggak ada orang kok," jelas Gavin sambil membuka tutup botol minuman yang Sal berikan, dan meneguk isinya.

"Terus ini lo mau langsung balik?"

"Jemput nyokap dulu di rumah kakak gue. Mumpung Rendra udah tidur. Kasian dari kemarin mau pulang ketahan terus sama ponakan gue." Gavin mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku celana , menekan tombol unlock, dan melompat naik ke kursi kemudi. "Oh iya, ingetin Raya buat minum obat, Sal. Dia masih asik daritadi."

Alis Sal terangkat satu. "Nggak lagi kambuh, kan?"

"Nope, just Raya being Raya." Gavin menutup kembali pintu mobilnya. Menurunkan kaca jendela. "Titip Raya, ya Sal."

"Oke. Lo hati-hati dijalan."

Gavin menyatukan telunjuk dan ibu jarinya, membuat O di udara. Dan sedetik kemudian membawa mobilnya keluar dari pelataran parkir, berbaur dengan mobil-mobil lain di jalan.

Sal membalikkan badan. Bergegas memasuki kantor yang sepi.

Kantor mereka sejatinya adalah sebuah rumah tua dua lantai peninggalan era kolonial Belanda yang dibeli orang tua Asta belasan tahun silam. Luas bangunannya mencapai 300 m persegi dengan halaman yang luasnya cukup untuk menampung sepuluh mobil sekaligus. Sudah dipugar dan diperbaiki sebelum dialihfungsikan sebagai kantor sehingga memiliki kesan modern dan klasik di waktu yang bersamaan.

Sal masuk ke salah satu ruangan yang pintu kacanya terbuka sedikit. Menampilkan Raya yang tengah berkonsentrasi penuh di depan laptop, duduk membelakangi pintu, dalam balutan blouse violet dan rambut yang digelung asal dengan sebatang pensil.

"Vin, kayaknya kita bikin split level aja deh area foyer-nya. Ruangan mereka sempit soalnya, biar ada kesan-" Kalimat Raya menggantung di udara saat melihat pria yang berdiri di sebelahnya bukan lagi pria yang menemaninya beberapa menit lalu. "Lah Sal?" Kepalanya celingukan. Mencari seseorang. "Gavin mana?"

"Udah balik barusan." Sal duduk di samping Raya.

"Balik? Kok nggak bilang-bilang?"

"Bilang ke gue. Katanya mau jemput nyokapnya dulu di rumah Kak Gema."

Bibir Raya mengerucut. Sedikit kesal Gavin meninggalkannya tanpa izin lebih dulu. Meski sebenarnya, ia juga tau kalau dirinyalah yang terlalu fokus bekerja sampai-sampai tak mendengar Gavin berpamitan padanya.

"Ah, sebentar." Sal tiba-tiba bangkit dari kursi. Keluar dari ruang rapat, lalu kembali tak sampai satu menit dengan dua piring dan dua sendok di tangan.

"Belum makan kan, lo?"

Raya menggeleng singkat, acuh tak acuh. Sudah kembali memberi perhatian penuh pada desain rumah dua lantai di laptopnya. Mulutnya terdengar menggumamkan angka-angka.

"Makan, terus minum obat, ya? Kata Gavin lo belum minum obat." Sal dengan cekatan melepaskan karet pembungkus kertas nasi dan menatanya diatas piring.

Raya tak menyahut. Tangannya masih bergerak lincah diatas keyboard.

Berinisiatif, Sal menarik laptop tersebut dan menukarnya dengan sepiring nasi goreng yang barusan ia buka.

"Nanti lagi kerjanya, makan dulu." Kini Sal mengganti mouse di tangan Raya dengan sendok.

Raya melotot. Tapi tak bisa marah karena Sal menampakkan senyum termanisnya. Pria itu hanya sedang berusaha menjalankan tugasnya sebagai sahabat yang baik.

"So tell me, what's now?" tanya Raya, to the point. Tau persis Sal tak memintanya makan dengan cuma-cuma.

Sal pura-pura sedih. "Astaga, Ra. Su'udzhon banget lo sama gue."

"Lo selalu ada maunya tiap bawain gue makanan begini."

Pria itu tertawa renyah. Membuatnya makin terlihat tampan. "Kali ini nggak kok."

"Minta saran kado buat Nadhira lagi?"

"Nggak usah ngeledek deh, Ra. Gue jomblo sekarang." Sal menyuap nasi goreng ke mulut.

"Ya siapa tau aja lo mau ngajak balikan." Gadis itu memotong telur dadar di piringnya. Masih berpikir. "Minta setirin ke Bandung?"

"Kok lo tau sih keluarga gue mau ngumpul di Bandung?" Sal menoleh takjub. Tapi kemudian menggeleng cepat. "But no, it isn't."

"Mau curhat lo ya?"

"Nggak, Raya sayang." Sal tertawa lagi. Sejak kapan mereka butuh waktu khusus untuk curhat? Biasanya juga main asal todong kuping.

"Terus? Udah lo hapus foto-fotonya?"

"Ra, nggak usah mancing deh. Gue kesini cuma pengen minta temenin makan."

Raya menyipitkan mata. Tak sepenuhnya percaya pada ucapan jejaka Bandung tersebut. Tapi akhirnya ia mengalah, dan berusaha untuk makan nasi gorengnya dengan lahap.

Hening sejenak. Tinggal beberapa suap sebelum nasi goreng Sal benar-benar tandas.

"Oh iya, soal liburan ke Sumatera itu." Sal berkata ragu-ragu. "Kalo ngga sama gue, gimana, Ra?"

Raya menahan kerupuknya di depan mulut. "Gue nggak mau jalan kalo kalian minus satu."

"Kenapa?"

"Gue udah pernah bilang kan? Sumatera itu spesial banget buat gue. Satu-satunya tempat dimana gue tahu gue pernah sebahagia itu punya keluarga. Ada banyak memori di setiap kilometernya, Sal. Dan gue -" Raya memberi jeda. Mengatur nafasnya yang mendadak sesak.

Sal menunggu dengan sabar.

"Gue nggak mau nangis-nangis sendirian di jalan. Gue nggak mau kambuh pas ketemu nenek gue disana. Gue mau hepi selama perjalanan gue di lintas Sumatera sama kayak hepinya gue waktu kecil dulu."

"Dan lo butuh kita?"

"Memori paling jelek sekalipun bisa gue ketawain kalau sama kalian." Raya tertawa kecil. Melanjutkan suapannya lagi.

Selama beberapa detik Sal terdiam memperhatikan Raya. Selalu ada kesedihan di kedua bola mata gadis itu meski wajahnya tengah berseri-seri. Ada luka yang tergores dengan begitu dalam, sampai-sampai kehadiran mereka bertiga masih belum cukup untuk bisa menyembuhkannya. Luka itu menganga lebar, sulit tertutup, dan masih seringkali berdarah saat bersinggungan dengan sesuatu yang pedih. Tentang orang tuanya, tentang keluarganya, maupun memori masa kecilnya. Dan keyakinan mereka tentang setiap luka pasti ada obatnya, tak sejalan dengan keyakinan mereka tentang dimana obat itu berada.

"Woy, bengong lo. Kesambet?"

Sentuhan tangan Raya di pundak Sal membuyarkan lamunanya. Pria itu lantas merogoh kantung celananya, membuka folder pesan terkirim di email, dan menyodorkan ponselnya pada Raya.

Gadis itu mengerutkan kening. "Apa nih?"

"Baca dong."

Raya menurut. Setelah memasang wajah serius, di detik ketiga, air mukanya berubah sumringah. "Sal! Ini serius?!"

"Seminggu cukup kan?" Sal tersenyum.

"Demi apa lo?!" Raya masih tidak percaya.

"Demi elo nih. Seneng, kan?"

"Seneng banget banget! Astaga. Thank you, Sal!" Raya melompat di kursinya. Memeluk Sal sebentar. "Nggak nyangka lo bisa juga ngirim email cuti ke HRD lo." Raya kembali melirik ponsel Sal untuk memastikan ia tak salah membaca.

Sal tertawa. "Kampret."

"Kok tiba-tiba, sih?"

"Nggak tahu, mendadak suntuk aja. Kalau dipikir-pikir semua kegiatan gue selalu berpusat di Jakarta. Capek. Gini-gini aja. Kayaknya lo ada benernya soal bikin core memory  di umur kita yang sekarang."

"Agak sentimentil ya. Gue kira karena galau berat," ejek Raya.

"Gue masih punya satu cewek cantik disini, ngapain gue galau berat."

"Yee, cari cewek lagi deh lo mendingan. Geli gue di gombalin lo."

"Nggak mau, maunya gombalin Raya aja."

"Sinting!" Raya menjitak kepala Sal.

Sal mengaduh pelan, tertawa kencang.

Saat Raya masih meneliti kata perkata dalam surat cutinya, Sal bangkit dari kursi. Meremas kertas nasi gorengnya yang sudah habis, membuangnya ke tempat sampah plastik di ujung ruangan, lalu berjalan sedikit ke sisi meja yang lain untuk meraih tas Raya yang tergeletak disana. Mengeluarkan empat botol obat yang tak pernah absen Raya bawa.

"Minggu depan, kita jalan. Jadi sekarang, jaga kesehatan, jaga mood biar stabil. Lo harus sehat, biar cuti gue nggak angus." Sal menyerahkan obat-obat tersebut pada Raya.

Raya menerimanya sambil tersenyum. "Kalo lo yang sakit gimana?"

"Ini pertama kalinya gue bisa cuti selama ini. Gue sih yakin lo nggak bakal ngebiarin gue sakit."

Raya tertawa kencang. Sal ada benarnya. "Diet nasi padang seminggu ini ya. Kalo perlu gue kirimin katering makan sehat deh tiap hari."

Sal kembali duduk di kursinya. Membantu Raya mengeluarkan butir-butir obatnya. "Lo aja yang masakin gue gimana?"

"Bayar?"

Sal menunjuk ponselnya yang masih tergeletak diatas meja. "Tuh, cuti gue."

"Ooh!" Mulut Raya membola. "Jadi ini maunya?"

Sal tergelak. "Gue kangen fine dining di apartemen lo nih. Kapan dong open house lagi?"

Raya terkekeh. "Abis road trip ya?"

"Bener?" Sal menusuk air mineral gelasan yang ada diatas meja rapat dan memberikannya pada Raya.

"Bener. Bawel." Raya mengambilnya setelah memasukkan obat ke mulut.

Sal tersenyum senang. "Yaudah, pulang yuk."

"Pulang?" Raya hampir tersedak. "Lo aja duluan. Kerjaan gue belum kelar."

"Gila, nungguin lo kelar mah bisa sampe subuh. Big no, kita pulang sekarang." Sal mulai menggulung kabel charger laptop Raya.

"Udah, lo duluan aja. Gue mau nginep."

"Gue tarik lagi cutinya nih."

"Sal..."

"Oke, gue nginep disini juga kalo gitu." Sal menghentikan aktivitasnya. Melangkah keluar dari ruang rapat. "Gue tidur di ruangan lo ya? Di mobil lo ada sleeping bag kan? Tolong ambilin dong."

"Salman!"

Kepala Sal menyembul lagi dari balik pintu. "Apa sih? Gue mau tidur."

Raya menghela napas panjang. Mengalah. "Bantuin gue beres-beres, gue pulang sekarang."

Sal sumringah. Senang triknya berhasil. "Gitu dong!" Ia kembali masuk ke dalam ruang rapat. Menarik pensil yang sejak tadi menggulung rambut Raya hingga rambut gadis itu terurai kembali, dan mengacaknya beberapa kali.

"Awas lo ya kalo rese pas road trip."

Sal menunduk sedikit agar bisa mendekatkan wajahnya pada wajah Raya. "I can't promise."

Raya melotot. Siap nyerocos lagi sebelum Sal melanjutkan, "But I promise to make you happy along the road."

– – – 

 

68747470733a2f2f73332e616d617a6f6e6177732e636f6d2f776174747061642d6d656469612d736572766963652f53746f7279496d6167652f586857387043737045555f4130773d3d2d313437333330363633312e313832376463326430306164643538353331323130383938383339392e6a7067?s=fit&w=1280&h=1280


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 1. Rencana Mendadak
8
0
Ada temen patah hati? Ketawain, terus ajak healing! - Geng pertemanan manusia-manusia menjelang 30 tahun
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan