11. Teman Bodoh Asta

3
0
Deskripsi

Tak ada yang benar-benar pergi jika ditakdirkan untuk tinggal. 
Sama seperti tak ada yang benar-benar hilang jika ditakdirkan untuk kembali.
- Prahasta Adi Wijaya

Tak ada yang paling menyebalkan dibanding melihat orang frustasi karena cinta, terlebih jika itu sahabatmu sendiri. 

Setidaknya, itu yang Asta rasakan ketika Sal kembali menghisap rokoknya dan menyembulkan asapnya di udara. Membuatnya menyatu dengan kepulan uap tipis dari cangkir kopi yang baru mendarat di meja mereka. Ada sepiring mantau goreng dan semangkuk laksan diantara cangkir-cangkir kopi bermotif bunga hijau itu. Milik Asta, yang tak pernah ambil pusing perihal jam makan malam. 

"Kayaknya seru kalau lihat Raya marah-marah." Asta nyeletuk. Merogoh ponsel dari kantung celana, membuka fitur kamera, dan mengarahkannya ke wajah Sal.

Sal berdecak. Segera menutupi wajah dengan satu tangan yang bebas, sementara satu tangan lain yang memegang rokok ia sembunyikan di balik punggung. "Jangan macem-macem ya, Ta," tukasnya kesal.

"Lagian kenapa sih? Masih galauin Dhira?" 

Ia tahu betul sahabatnya bukan perokok ulung. Terakhir ia lihat Sal merokok, setahun lalu di parkiran rumah sakit saat pria tampan itu sedang menunggui sang ibu yang kemoterapi akibat kanker lambung stadium tiga. Ditambah pekerjaan kantor yang menumpuk, kelalaian rekan satu tim yang dibebankan padanya, juga ayah Nadhira yang kembali menanyakan perihal kelanjutan hubungan mereka, Sal butuh nikotin untuk menjernihkan kabut dalam pikirannya.

Dan Raya tidak pernah suka melihat Sal - atau salah satu dari mereka - merokok.

Pertanyaan Asta dibalas dengusan pelan oleh Sal. "Ngapain gue ngegalauin orang yang udah bahagia sama pilihannya, Ta?" 

Munafik. Kalimat itu jelas tak berlaku jika nama Nadhira berganti Raya. 

Sudut bibir Asta naik sebelah. "Cepet nih move on nya. Udah ada target baru?"

Sal menyisip kopinya sebelum menjawab. "Menurut lo?"

Asta terdiam sejenak, matanya menyapu seluruh area outdoor lantai dua Rajawali Kopitiam yang kini mereka duduki. Lampu gantung yang menyala kuning menampilkan kesan hangat di malam yang dingin. Sudah jam sepuluh tapi sejumlah bangku dan meja besinya masih dipenuhi oleh pengunjung. 

"Tempat lo ada lowongan nggak?" Sal bertanya sebelum Asta sempat membuka mulut. 

"Jadi ini soal kerjaan?"

"Mau cari suasana baru aja."

Asta meraih satu mantau goreng dan menggigitnya. "Lo bilang atasan lo lagi promosiin lo buat jadi manager engineering?"

"Nggak minat. Nanti gue malah makin sibuk, jarang ngumpul, lo kangen."

"Tai." Kali ini Asta yang mendengus. Ia lempar gumpalan tisu bekas lap meja tadi ke wajah Sal yang menyeringai lebar. 

"Udah nggak ada alasan gue stay di kantor yang sekarang, Ta." Sal menghisap rokoknya lagi sebelum melanjutkan. "Bokapnya Dhira bangga banget punya calon mantu yang kerja di perusahaan 9 Naga. Dengan gaji gue yang gede, mungkin dia pikir anaknya bisa hidup terjamin. Tapi sekarang gue udah nggak sama Dhira, jadi gue udah nggak perlu impress siapapun. Gue mau kerja lebih santai, mau punya banyak waktu buat diri gue sendiri, mau jalan-jalan."

Asta menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Alisnya terangkat satu. "Kayaknya ini bukan cuma soal kerjaan."

Sal tersenyum. Menjentikkan rokok hingga abunya berjatuhan ke asbak beling di atas meja.

"Raya?" tebak Asta.

"Kebaca ya?"

"After all this time?"

"Always."

Asta bertepuk tangan sambil ber-wow dramatis. "Nggak nyangka selama ini gue temenan sama Severus Snape."

"Itu pujian?"

"Berarti tinggal tunggu waktu aja sampai gue liat lo lagi jagain anaknya Raya dari jauh."

"Sialan." Sal tergelak. "Jomblo seumur hidup dong gue."

"Kok bisa sih?"

Mendadak hening. Sal putar rokoknya yang mulai memendek itu di celah jari, lalu mengedikkan bahu.

Ini bukan kali pertama pembahasan seputar Raya terjadi diantara mereka berdua. Asta sampai gerah mendengar beragam alasan Sal menunda-nunda pernyataan cintanya pada Raya. Mereka bahkan sempat menyusun rencana sempurna - yang Asta sebut misi pernyataan cinta Salman Alamsyah - di hari wisuda mereka. Tapi belum sempat bertemu Raya, Sal lagi-lagi tak ingin melanjutkannya. Seakan kehilangan semangat setelah tiba di medan pertempuran. Ketika pria itu bilang tak akan melakukannya lagi, berjanji tak akan mengejar Raya lagi, Asta dalam hati tak ingin percaya meski mau tak mau tetap mendukung keputusan sahabatnya. Hingga akhirnya, anggapan Asta terbukti hari ini.  

Sal tersenyum miring. "Bego ya gue?" 

"Tolol." Asta mengoreksi. "Seharusnya lo bisa ngungkapin perasaan lo sejak lama. Bukannya malah sok-sokan ngelepasin Raya dan pacaran sama cewek lain. Emang enak hidup sama perasaan yang belum selesai selama bertahun-tahun?"

Nggak. Sal menjawabnya dalam hati. Sedetik kemudian, lagu Andai Dia Tahu dari Kahitna terdengar dari speaker yang menggantung di sudut-sudut ruangan. Tidak terlalu kencang, tapi menggaung di telinga Sal seperti sebuah ejekan. 

"Terus, rencana lo apa sekarang?"

Sambil memenuhi kembali mulutnya dengan asap, Sal menimbang-nimbang rencana yang melintas di benaknya. "Gue mau lebih deket sama Raya."

"Nggak ada yang lebih deket sama Raya selain kita, Sal."

"Selain kalian." Sal menyela cepat seraya menunjuk Asta dengan rokoknya. "Gue nggak termasuk." 

Asta comot lagi satu mantau goreng sebelum memasang posisi siap mendengarkan. 

"Gue nggak selalu bisa dateng tepat waktu tiap kali Raya butuh kita, Ta. Ada banyak hal yang belum gue pahami soal dia. Soal rasa sakitnya, keluarganya, perasaannya. Di banding elo, atau bahkan Gavin..." Ada hembusan kasar keluar dari nafasnya yang kini bau tembakau saat ia menyebut nama itu. "Terlepas dari perasaan gue, sebagai sahabat pun gue nggak bisa disebut baik."

"Karena itu lo berniat ngelamar kerja di tempat gue?"

Sal tak menjawab. Pandangannya lurus pada ujung rokok yang baru saja ia tekan di asbak. Titik-titik merah di baranya memadam perlahan, memunculkan desis pelan sebelum benda tersebut berubah total menjadi sampah. "Gue... belum terlambat kan, Ta?" 

"Lo ngebandingin diri lo sama apa?" Asta melipat lengannya di depan dada. Menyembunyikan hasrat menempeleng kepala pria menyedihkan itu. "Kalo sama situasi, perjalanan lo masih panjang. Masih banyak hal yang perlu lo lakuin buat bikin Raya sembuh dari traumanya. Tapi kalo sama dia..."

Seketika Sal menaruh perhatian penuh pada Asta. Punggungnya menegak tanpa ia sadari. 

"... gue rasa lo kalah selangkah sih," lanjut Asta enteng. Wajah Sal yang berubah muram membuatnya menambahkan satu kalimat lagi. "Tapi ngeliat dia ngejagain Raya bertahun-tahun tanpa pergerakan apapun, gue rasa kalian berdua begonya hampir mirip."

Sal tertawa sarkastis. "Seenggaknya gue nggak bego sendirian."

Jeda sebentar. Asta menyuap sesendok laksan ke mulut. "Kayaknya gue tau sekarang kenapa gue dikirim Tuhan buat jadi temen kalian."

Sal membentuk kata 'kenapa?' dengan gerakan kepalanya.

"Buat bikin kalian pinter."

Alih-alih kesal, keangkuhan yang Asta ekspresikan kali ini justru membuat Sal tertawa. "Pinter, tajir, ganteng. Pantes lo nikah duluan, Ta."

Ganti Asta yang tertawa kencang. "Kalau lo berani jatuh cinta, tandanya lo juga harus berani bertanggung jawab, Sal. Ungkapin, jangan jadi pengecut. Jangan bikin sepuluh tahun lo nggak punya harga diri cuma karena lo mencintai diam-diam, atau hidup bertahun kedepannya dengan dihantui pertanyaan gimana kalau begini dan begitu. Hidup terlalu singkat buat nunggu."

Asta benar. Terlepas dari apapun hasilnya nanti, sudah waktunya ia mengungkapkan perasaannya pada Raya. Satu dekade bukan waktu yang sebentar untuk membuat hatinya menjadi lebih kuat dalam menerima keputusan apapun dari Raya. Kalaupun hasilnya berakhir buruk, setidaknya ia bisa move on dengan tenang. Untuk saat ini ia hanya merasa Raya perlu tau ada seseorang yang menyanginya dengan tulus di antara hidupnya yang rumit, dan itu sahabatnya sendiri. Salman Alamsyah.

Di antara jeda yang hening itu, Asta menghabiskan laksannya. Sementara Sal sibuk mengamati pasangan lansia berwajah oriental yang duduk di seberang meja mereka. Nampak serasi dalam kemeja kotak-kotak berwarna peach. Berinteraksi dalam dialek Mandarin bercampur bahasa Palembang yang Sal tidak tahu artinya, tapi terdengar dan terlihat romantis. Terutama ketika pria berambut putih itu mengusap sisa makanan yang menempel di sudut bibir istrinya.

Sal mendadak tersenyum. Diraihnya korek api di sisi cangkir, dan menyalakan satu rokok yang tersisa. "Ungkapin... ya?" desisnya pelan. 

"Satu pesen gue, Sal." Asta tiba-tiba melipat tangannya di atas meja. Mencondongkan tubuh ke arah sahabatnya. "Lo boleh nggak tau kapan lo jatuh cinta. Tapi lo harus tau kapan waktunya berhenti."

Lagu di speaker kini berganti Risalah Hati-nya Dewa 19. Refrain nya bekerja seperti sebuah mantra penyemangat. Sal hisap rokok terakhirnya malam itu, juga mungkin rokok terakhirnya untuk berbulan-bulan kedepan. Membiarkan aroma tembakau memenuhi indra penciumannya. Membiarkan nikotin menguasai pikirannya. Dan membiarkan dua zat tersebut bertansformasi menjadi sebuah memori dalam otaknya.

Kelak, jika ia mencium wangi tembakau, dimanapun, terutama jika sedang bersama Raya, maka ia akan mengingat nasihat sahabatnya malam ini.

---

Raya mengerjapkan mata. Tak menyangka akan menemukan keramaian setelah melewati gang sempit nan remang yang menjadi jalan pintas penghubung hotel dengan jalur arteri kota Palembang. 

Dari dua jalur yang tersedia di jalan besar itu, salah satunya di tutup sempurna untuk memfasilitasi Sudirman Night Walk yang membentang di sepanjang naungan jalur LRT. Ada berbagai pertunjukan live music yang digelar di beberapa titik, komunitas seni, penjual pakaian, juga street food yang penjualnya saling meneriakkan mantra pemanggil pelanggan. 

"What the hell?" Raya bergumam pada dirinya sendiri. Sedikit terkejut mengetahui Palembang seramai ini di malam minggu.

"Di Benteng Kuto Besak lebih rame lagi kalo lo mau jalan sepuluh menit kesana."

Raya menggeleng cepat. "Nggak makasih." Bukannya ia tak suka olahraga, tapi jalan kaki selarut ini jelas bukan ide yang bagus. Gadis itu menegakkan tubuh saat tiba-tiba teringat sesuatu. "Sal sama Asta disini juga jangan-jangan?"

"Sal? Disini?" Alis Gavin terangkat satu. "Kayaknya nggak mungkin." 

Benar juga. Di Jakarta saja, ia rela berkendara puluhan menit dari rumahnya di Jatiasih hanya demi menjajal kafe legendaris di Jakarta Barat. Ia tak akan mungkin melewatkan kesempatan mencari kafe autentik di kota ini.

Gavin lantas menunjuk bangku besi di trotoar. "Sebentar ya, gue beliin minum dulu," katanya, sebelum beranjak ke minimarket 24 jam tak jauh di sisi kanan mereka. 

Mainan baling-baling yang berkelap-kelip ketika di terbangkan, mendominasi pemandangan di sekeliling Raya. Dalam radius sepuluh meter saja, ada tiga kelompok yang memainkan benda tersebut. Kesemuanya pasutri muda membawa anak. Yang segaris dengan tempat duduknya saat ini memiliki anak perempuan berusia lima, berkali-kali minta bantuan ayahnya lantaran tak pernah berhasil melempar benda plastik itu ke udara. Sementara si ibu, mengabadikan momen menyenangkan mereka. 

Raya mendesah pelan. Ternyata, sudah sejauh ini ya? Tak ada lagi masakan enak Ibu di meja. Tak ada lagi kejutan dari Ayah selepas pulang kerja. Tak ada lagi waktu nonton bersama hingga ia tertidur dan Ayah membopongnya ke kamar diam-diam. Tak ada lagi yang memanggilnya masuk ke dalam rumah tiap maghrib datang. Tak ada lagi suara lembut Ibu menyebutnya cantik sehabis mandi dan berganti pakaian. 

Seandainya ia tahu jadi dewasa tak semenyenangkan ini, maka akan ia habiskan masa kecilnya hanya untuk meringkuk dalam pelukan Ayah dan Ibu sambil mengucapkan I love you setiap hari. 

Dering ponsel membangunkan Raya dari lamunan. Ada panggilan masuk dari Salman. Raya ikat rambutnya dengan cepat sebelum menggeser tombol hijaunya. 

"Halo."

"Eh halo, Ra. Belum tidur?"

"Belum, gue lagi diluar. Di bawah LRT."

"Hah? Sama siapa? Sendiri?"

"Nggak, sama Gavin."

Hening sejenak. Hanya terdengar batuk pelan disusul suara tawa ringan Asta di seberang sana. Sal pasti sedang mengaktifkan speaker di ponselnya. 

"Mau nitip sesuatu? Gue lagi di kopitiam. Ada hakau, pangsit, laksan kalo lo masih laper." Raya bisa membayangkan pria itu membaca buku menu. 

Gadis itu menggeleng pelan. "Nggak deh. Disini juga banyak jajanan."

"Hmm..." Sal terdengar mengangguk. "Oke."

"Oh iya, Gavin nggak bawa hape. Kunci kamar kalian di titip ke resepsionis, ya." 

"IyaBilang sama Gavin jangan kelamaan, udah malem."

"Lo berdua juga." Raya memutar bola mata. 

Tepat disaat sambungan telepon terputus, Gavin keluar dari minimarket dengan dua gelas plastik di tangan. Ia serahkan satu yang berisi matcha frappe pada Raya seraya bertanya. "Siapa?"

"Salman. Lagi di kopitiam katanya." Raya berterima kasih dengan mengayun pelan minumannya.

"Udah mau balik? Lo udah bilang kan kuncinya gue titip di resepsionis?"

Raya tak menjawab. Perhatiannya terfokus pada minuman lain di tangan Gavin. Seingatnya, minimarket itu tak menjual jus segar. "Itu apa?"

Gavin menoleh sekilas. Tangannya sibuk membuka bungkus sedotan. "Ini? Caramel macchiato."

"Buat siapa?"

"Gue." 

Mata bulat Raya melebar. Yakin tak salah dengar. "Lo minum kopi?!"

Kontras dengan ekspresi Raya yang terkejut, Gavin justru dengan santai menaruh kedua siku di atas lutut sambil meminum kopi karamelnya. "Lagi pengen aja - Aw!" Pria itu mengelus lengannya yang mendadak dipukul Raya. "Kenapa sih?"

"Heh! Lo nggak inget ngeluh pusing tadi pagi? Kok bisa-bisanya jam segini malah minum kopi?"

"Ya siapa tau aja pusing gue ilang total habis minum ini - Ssh, Ra! Sakit!" Kali ini pukulan Raya lebih kencang dari sebelumnya.

"Gue serius, Gavin!" Raya mendelik. Jika tak ingat Gavin pernah sakit perut karena dipaksa Asta minum latte, ia tak akan seprotektif ini.

Pria itu terkekeh pelan. "Iya, ampun." Ia geser tubuhnya beberapa senti ke samping untuk menghindari kemungkinan hantaman Raya selanjutnya. "Setengah gelas deh, ya?"

"Seperempat!"

"Seperempat lebih deh." Gavin mengangkat gelas di tangannya. "Enak loh, ternyata." 

Raya bersedekap, memicing tajam.

Tak ingin membangunkan singa betina yang tertidur, Gavin akhirnya menyerah. Biar bagaimanapun, mengalah adalah jalan tercepat dalam menghadapi emosi wanita. Ia satukan telunjuk dan ibu jarinya hingga membentuk O di udara, membuat kesepakatan. 

Biar begitu, Raya masih enggan mengalihkan pandangannya dari Gavin. Ada sorot kecemasan dalam manik hitamnya yang terlalu berlebihan untuk perkara caramel macchiato di malam hari. Cemas berbalut tanda tanya yang Gavin tau menggantung di matanya sejak siang tadi. 

"Ini... masih soal Lampung, kan?" tebak Gavin.

Raya taruh minumannya ke sisi tubuh sebelum memberi perhatian penuh pada pria itu. "Lo tau nggak yang tadi itu serem banget?"

"I know. Tapi jujur gue juga nggak ngerti kenapa tiba-tiba gue nggak bisa denger apapun. Otak gue nge-blank banget tadi." Gavin terenyuh melihat wajah muram Raya. Gadis itu ternyata benar-benar mencemaskannya. Ia lanjutkan kalimatnya dengan suara lebih lembut, "Maaf ya, udah bikin lo khawatir."

"Lupain aja, lagian kalo di inget-inget, gue juga sering bikin kalian jantungan kayak gini. Gue juga hampir terjun dari balkon tadi." Raya menarik pandangannya dari wajah Gavin. Udara terasa sejuk tapi telapak tangannya dipenuhi keringat dingin. "Itu kan, alasan lo ngajak gue keluar malam ini?"

Gavin tak menjawab. Tak juga terkejut karena Raya telah menebaknya dengan benar. 

"Nggak ada yang ngasih tau gue, kalo ternyata segitu menakutkannya ngeliat sahabat lo hampir mati di depan mata lo sendiri. Dan kalian hampir selalu ngeliat itu di gue. Jadi... maaf."

"Nggak usah minta maaf, gue tau itu di luar kehendak lo. Lagipula, kematian itu hal yang pasti. Terlepas dari siapapun yang akan pergi lebih dulu - entah gue, elo, Asta, atau Salman - kalo emang udah waktunya mati, ya udah mati aja. Sama kayak kalo belum waktunya mati, mau lo lompat dari lantai seratus pun, Tuhan juga nggak akan peduli. Jadi bukan, bukan kematian lo yang bikin gue takut. Tapi... perasaan kehilangannya." Gavin amati sejenak kedua tangan Raya yang mengepal kuat sebelum menambahkan. "Nggak ada yang paling menyakitkan dibanding rasa rindu sama orang yang udah nggak satu dunia lagi sama kita. Dan lo tau itu."

Realita yang dihantarkan Gavin melalui kalimatnya menampar Raya dengan amat sangat keras. Menghangatkan kedua bola matanya, membawanya kembali pada ingatan yang sudah susah payah ia kubur rapat-rapat sejak enam bulan silam. Mengingatnya saja terasa sesak. Apalagi, sampai sekarang ia tak tahu harus mengisi perasaan kehilangan itu dengan rasa rindu atau kebencian.

"Ada banyak orang yang berhasil melepaskan dengan ikhlas, Ra. Tapi cuma sedikit yang berhasil menikmati perasaan kehilangannya. Masalahnya, gue takut gue nggak ada diantara keduanya ketika lo pergi. Jadi," Gavin menyerong tubuh dan menatap Raya lurus-lurus. "Jangan mati dulu ya? Kasih gue waktu lebih lama buat bantuin lo nyari semua jawaban dari setiap pertanyaan lo selama ini. Biar perasaan kehilangan gue, nggak diiringi sama penyesalan."

Manik hitam itu menyeret Raya jauh hingga ke ruang ingatannya yang terkunci begitu rapat. Yang nyaris tak pernah ia buka lantaran bipolar yang ia derita memaksanya untuk terus memutar memori yang sama tentang ayah dan ibu setiap harinya. Membuatnya terjebak dalam masa lalu yang seharusnya sudah jauh-jauh ia tinggalkan sejak lama. Padahal, ruang yang terkunci itu menyimpan begitu banyak kenangan bahagia. Dipenuhi oleh canda tawa Raya bersama ketiga temannya.

"Iya." Raya mengangguk cepat dengan suara yang bergetar. Ia jejakkan kakinya untuk menahan rasa mual akibat harus bersusah payah menelan kembali luapan emosi yang sudah dijung lidah. Tubuhnya seketika menggigil kala menyadari obat-obatannya tertinggal di kamar. "Gue janji. Gue janji ini yang terakhir. Gue nggak akan bertindak bodoh lagi. Gue mau sembuh. Mau hidup lebih lama sama kalian. Gue mau sembuh."  

Harus. 

Dan dari caranya mengigit bibir, menunduk sambil mengerang pelan, lalu berhitung satu sampai sepuluh dengan tangan yang dikepal kuat-kuat, sudah cukup menjadi bukti bagi Gavin kalau gadis itu bersungguh-sungguh ingin melawan dirinya sendiri kali ini. Sedikit lagi sampai fase depresifnya bangkit dan ia menahannya dengan sebaik mungkin.

"Serotonin dan endorfin, lo butuh ini sekarang." Gavin menyelipkan sebatang coklat berbungkus ungu di antara celah jemari Raya. Di awal masa bipolarnya, Gavin menyebut makanan ini baik untuk menjaga mood sekaligus jadi pengganti obat dalam kasus-kasus skala kecil. 

"Lo akan nemenin gue terus kan, Vin?"

Gavin tak langsung menjawab. Alih alih, binar matanya justru menampakkan keraguan. Ia buka mulutnya selama beberapa detik, meyakinkan kalimat yang tepat sebelum berujar, "Lo nggak akan pernah sendirian, Ra."

Hanya dengan mendengar itu saja, Raya merasa jadi lebih tenang. Ia kuatkan dirinya untuk menegakkan punggung sambil mengatur jantungnya yang berdegup tak karuan. Dadanya masih terasa sesak. Dengan tangan yang bergetar hebat, ia buka bungkus coklat di tangannya dan menggigitnya besar-besar.

"Makasih udah bertahan sampai hari ini, Ra," kata Gavin lagi. Kali ini sambil tersenyum. "Lo hebat, dan akan selalu begitu di mata gue."

---

---

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 12. PDKT?
3
0
Nggak apa-apa kalo kamu emang belum suka sama aku hari ini. Kita coba lagi besok, ya? Aku temenin. - Salman, di depan replika pelaminan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan