Tuan dan Nona Kesepian #UnlockNow

40
5
Deskripsi

“Ada yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang cintanya sudah habis untuk orang lama, Bim."

“Ada juga yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang jiwanya udah mati tapi fisiknya masih hidup. Apakah kamu memang begitu, Dru?”

Drupadi nyaris kehilangan segalanya—rumahnya, tunangannya, dan sang kakak. Di saat hidup terasa sulit dan dunia seolah tidak berteman dengannya, tanpa sengaja Drupadi bertemu dengan seorang lelaki bermata kesepian bernama Bima.

Bima sudah kehilangan seseorang—kekasihnya....

SATU

Tempat Bersejarah untuk Mereka yang Hampir Menyerah

  

“Kamu habis dari makamnya Maya, Mas?”

“Iya, Ma.”

“Udah di mana sekarang?”

“Di jalan pulang,” jawab Bima dengan helaan napas panjang di akhir kalimatnya. “Aku nggak sampai malam kok di sana.”

“Hmmm.” 

Gumaman itu menandakan masih adanya kekhawatiran di suara sang ibu, tapi Bima memilih untuk tidak memperpanjang percakapan tersebut. “Aku matiin dulu kalau gitu teleponnya ya, Ma.”

Setelah jawaban iya diterima dari ibunya, Bima menyudahi percakapan itu. Hari ini seharusnya jadi hari ulang tahun kekasihnya, Maya. Tapi karena Maya telah meninggal, tentu Maya tidak bisa merayakannya lagi.

Karena jatah hidupnya sudah habis. Sudah tak ada lagi lilin yang harus Maya tiup. 

Mengingat hal itu membuat Bima menggeram pelan. Rasanya selalu sakit saat ia mengingat perempuan yang tangannya tak bisa ia genggam lagi itu.

“Pak, Pak, berhenti di sini aja, Pak.” Rasa sesak itu mendorong Bima untuk meminta kepada sopir taksi yang mengantarnya pulang, supaya berhenti saat itu juga. 

“Lho, udah sampai di tujuannya, Pak?” Sang sopir tentu saja kebingungan. “Katanya tadi masih tiga belokan tadi.”

“Iya,” jawab Bima cepat. “Di sini aja, Pak.”

Taksi berhenti di depan sebuah rumah dan Bima mengulurkan uang kepada sang sopir untuk ongkosnya hari ini. Taksi biru muda itu segera berlalu dari hadapan Bima begitu ia keluar. 

Rasanya menyegarkan saat angin sepoi sore itu menampar pelan wajah Bima. Lelaki dengan tinggi 180 cm dan mengenakan pakaian kerjanya—setelan celana jeans dan kemeja yang sudah kusut yang juga dipadupadankan dengan sneakers itu, menghirup udara dalam-dalam.

Sekuat tenaga, Bima berusaha meminimalisir rasa sesak itu. Saat dadanya tak seberat tadi, barulah Bima menoleh ke sekitar dan mendapati kalau dirinya benar-benar bukan di rumahnya, tapi di depan sebuah rumah dengan neon box bertuliskan Rumah Komiko. 

“Rumah Komiko?” Bima mengamati neon box yang menggantung di depan sebuah rumah berlantai dua dengan cat salem dan pagar hitam, yang tadi ia belakangi.

Di bawah tulisan Rumah Komiko, terdapat sebaris kata yang dituliskan dengan huruf yang lebih kecil. 

 

Rumah Komiko!

Sewa komik dan novel di sini!

 

“Oh….” Bima menggumam secara spontan. Ia ingat akan tempat ini. Dulu saat masih kuliah, BIma dan Maya sering pacaran di sini.

Bima maniak komik, Maya maniak novel. Tempat yang dulu ramai saat Bima masih SD hingga SMA ini, akhirnya jadi tempat pacaran Bima dan Maya. Bima baru berhenti berkunjung ke sini ketika kondisi Maya sudah tidak memungkinkan lagi, juga saat tempat ini hanya buka di akhir pekan. 

Karena kenangan yang tiba-tiba melintas, Bima pun mendekat pada pagar rumah tersebut. Bima juga ingat kalau ruang baca milik penyewaan komik dan novel itu adalah sebuah bangunan yang agak kecil dan terpisah dari rumah utama. Seperti sebuah paviliun, tapi letaknya tak jauh dari depan rumah utama.

Selain dengan bangunan utama, Rumah Komiko juga berhadapan langsung dengan taman kecil yang kini tidak terlalu terawat. Pintu kacanya terlihat dari pagar, ada papan bertuliskan OPEN yang menggantung di tengah-tengah pintu.

“Permisi.” Bima mengetuk gembok pagar yang tergantung dari celah yang biasa digunakan untuk membuka pagar tersebut.

“Iyaaa, sebentar.”

Seseorang keluar dari Rumah Komiko. Sosok itu adalah seorang perempuan yang kini menghampiri pagar dan membukanya sedikit, kemudian menatap Bima dengan bingung kala mereka sudah berhadapan. “Siapa ya?” 

“Saya mau ke Rumah Komiko.” Bima menunjuk bangunan satu lantai yang pintunya kini terbuka. “Buka kan?”

“Eh?” Perempuan itu menatap Bima dan Rumah Komiko secara bergantian. “Ng… nggak sih.”

“Itu papannya bilang buka.”

“Saya lupa balik papannya, Mas,” kata perempuan itu. “Maaf ya, kamu langganan di sini? Mau balikin komik atau gimana?”

“Saya udah lama nggak pinjem komik di sini,” terang Bima, matanya tak henti mengamati perempuan yang hanya membuka sedikit pagar rumahnya itu dengan saksama. 

Perempuan itu lebih pendek dari Bima yang perlu agak menunduk saat menatapnya. Wajahnya tanpa riasan dan kantong matanya seakan berteriak, aku belum tidur!, kepada semua orang yang melihatnya.

Siapa perempuan ini? Kayak familier tapi aku nggak kenal, pikir Bima. Bukan dia yang biasanya jaga di sini.

“Rumah Komiko per minggu ini akan tutup permanen,” jelas si perempuan bermata panda yang sore ini berpakaian santai, dengan kaos gombrong yang panjangnya hampir selutut dan celana training yang warna hitamnya sudah pudar. 

“Pindah?”

Perempuan itu mengangguk. “Iya, kami mau pindahan, jadi ini saya lagi beres-beresin isinya. Kalau kamu ada pinjem dan mau balikin, kamu bisa balikin paling lambat tanggal 28 bulan ini.”

“Bakal buka lagi di lokasi baru?”

Sadly, nope.” Saat menjawab pertanyaan Bima barusan, perempuan itu terlihat benar-benar sedih. “Kita akan bener-bener tutup.”

“Oh….” Lagi…. Bima kehilangan lagi hal-hal yang mengingatkannya dan memiliki sejarah antara dirinya dan Maya.

“Ada yang mau ditanyakan lagi?”

Bima kembali menatap pintu Rumah Komiko, kali ini cukup lama dan untungnya perempuan itu cukup sabar menunggunya. 

Sampai kemudian kesabaran itu sepertinya sudah habis dan perempuan bermata panda tersebut berkata, “Kalau nggak ada yang—”

“Saya boleh beli semua komik dan novel yang ada di sini?” sela Bima dengan cepat sebelum ia kembali diusir.

“Hah?!”

Jangankan perempuan itu, Bima sendiri sebenarnya terkejut dengan apa yang baru saja keluar dari bibirnya. 

“Saya boleh beli semua komik sama novelnya?” 

Bima kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan lebih yakin supaya raut horor dan tidak percaya yang ada di wajah perempuan itu menghilang.

“Saya dulu pelanggan tetap di sini dan sekarang nyari koleksi komik yang ada di sini pasti udah susah.” 

Itu penjelasan yang masuk akal, batin Bima, cukup salut dengan dirinya yang kini mengarang alasan dengan mudah dan secepat kilat. “Gimana?”

“Yakin?” tanya si perempuan dengan sangsi. “Ini buku lama lho, udah lama nggak ada koleksi baru. Kondisinya ya… sebagaimana buku lama.”

“Saya yakin.” Bima mengangguk. Ia sudah telanjur menceburkan diri, jadi sekalian saja.

Bima bisa membaca ulang semua komik favoritnya sekaligus mengenang kebersamaannya dengan Maya. Meskipun Bima tidak mungkin membeli bangunannya, tapi setiap buku di sana pernah jadi saksi bahwa Bima pernah hidup dan bahagia.

Mungkin kalau dihitung-hitung, buku itu bisa nemenin aku mengingat Maya lagi sampai dua tahun berikutnya. Pemikiran itu terbit begitu saja di benak Bima. Sudah dua tahun Bima ditinggal mendiang kekasihnya, tapi ingatan Bima akan Maya tidak pernah luntur sedikit pun. 

Semua orang pergi secara bergantian, kehilangan adalah satu hal yang pasti. Akan tetapi, Bima juga bisa memilih untuk tetap menjaga dan memelihara apa yang ia punya tentang Maya—dengan caranya sendiri.

“Hmmm.”

“Saya tinggal di kompleks ini juga kok,” imbuh Bima lagi, perempuan ini masih belum yakin dengan tawarannya. “Udah langganan lama, jadi semoga kamu nggak berpikir kalau saya berniat jahat.”

“Masuk dulu deh, coba lihat koleksinya dulu. Kalau yakin, baru nanti kita hitung-hitung biayanya.” Perempuan itu membukakan pagarnya lebih lebar. “Orangtua saya ada di rumah, jadi kalau kamu macam-macam, kamu tahu kalau nggak cuma saya yang kamu hadapi.”

Peringatan yang diberikan secara tegas dan dengan mata melotot itu, anehnya tidak mengintimidasi Bima. Bima hanya merasa geli, tapi tak urung ia pun mengangguk. 

Spontanitas Bima membawanya mengikuti perempuan dengan rambut yang dikucir asal-asalan itu menuju Rumah Komiko. Seperti sudah terbiasa, Bima melepas sepatunya dan menaruhnya di rak yang ada di samping pintu. Suasana bangunan itu masih sama. Dindingnya dipenuhi rak berisi komik dan novel beraneka genre. 

Aroma khas kertas yang biasa digunakan untuk komik dan novel segera menyambut Bima, membangkitkan nostalgia yang membuainya dalam setiap langkah.

“Kayaknya yang biasa jaga tempat ini bukan kamu.” Bima menghampiri deretan komik Slam Dunk yang dulu bisa ia baca sampai tamat berkat Rumah Komiko. Sekarang Bima ingat, perempuan pemilik Rumah Komiko yang dulu ia sering temui, memang dikenal sangat kutu buku dan memiliki koleksi yang tidak main-main.

Banyak anak iri dengan koleksi si pemilik Rumah Komiko, makanya saat Rumah Komiko dibuka dan menyewakan koleksinya dengan harga yang tidak lebih dari seharga teh gelas, tempat ini selalu ramai selama bertahun-tahun.

“Ke mana mbak yang dulu jaga Rumah Komiko ini? Pindah juga?”

Tidak ada jawaban yang menyahut pertanyaan Bima. Bima pun berbalik, untuk mendapati perempuan itu tengah menatapnya seolah Bima adalah alien.

“Semacam itu,” jawab si perempuan pada akhirnya. “Dulu saya sering juga gantian jaga tempat ini, tapi nggak pernah lihat kamu.”

“Mungkin kamu jaga tempat ini setahun atau dua tahun belakangan?” tebak Bima. “Saya masih sering dateng ke sini sampai tiga tahun yang lalu. Habis itu… nggak sempat.”

“Oh….”

“Habis saya jarang dateng, Rumah Komiko cuma buka pas weekend aja kan?”

“Iya. Nggak ada yang jaga lagi soalnya.”

I see.”

Jadi mau beli komiknya?”

Pertanyaan itu menyentak Bima untuk kembali ke hal yang semula membawanya ke sini. Bima menatap deretan komik Slam Dunk, Full Metal Alchemist, hingga Naruto yang memenuhi satu sisi dinding. 

Tatapan Bima jatuh agak lama di dua bean bag yang ada di sudut ruangan, dekat dengan sebuah meja kecil di mana sebuah reed diffuser terletak di sana.

Di sudut itulah, Bima biasanya membaca komik bersama Maya yang membaca novel roman favoritnya. Tak jauh dari bean bag itu, ada rak berisi novel dari penulis lokal yang karyanya sering dibaca Maya.

“Jadi,” putus Bima. 

Bima yakin perempuan yang kini berdiri di samping meja khusus untuk menerima uang sewa komik dan novel itu, mungkin sedang menganggap Bima sebagai orang gila. Tidak ada penanda yang menandakan bahwa semua buku itu dijual, tapi sepertinya si perempuan atau pemilik tempat ini, mau merelakan koleksinya untuk Bima.

“Beneran, Mas….”

Dari tatapan bingungnya, Bima tahu kalau ini saatnya ia memperkenalkan diri. Perempuan ini benar-benar bukan perempuan yang dulu sering Bima temui di sini. “Bima.” Bima mengulurkan tangannya.

“Drupadi.” 

“Kayak yang di Mahabharata?” 

Dulu Maya suka sekali dengan cerita Mahabharata. Maya bahkan pernah berkhayal kalau mereka dipertemukan karena ia menyukai cerita Mahabharata, sebab nama Bima adalah salah satu dari lima Pandawa. 

“Iya, tapi panggil Dru aja biar gampang.” Ekspresi perempuan yang ternyata bernama Dru itu melunak. “Tahu kisah Drupadi emangnya?”

“Nama saya ada di Mahabharata, yang mana juga berhubungan dengan Drupadi kan.”

Koneksi yang terjalin di antara mereka cukup aneh, tapi senyum tipis terukir di wajah Bima kala bertukar tatap dengan Dru.

Dru sendiri hanya menggeleng pelan, tapi ia terlihat geli dengan pembicaraan mereka barusan. “Saya hitung dulu totalannya.”

Anggukan Bima segera menjawabnya. Bima pun menunggu dengan sabar, sambil sesekali mengedarkan pandangannya, mencoba mereka ulang masa-masa bahagianya dengan Maya.

Orang bilang, kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang. Tapi kini Bima membuktikan bahwa setitik kebahagiaan yang pernah ia rasakan, nyatanya bisa ia rasakan kembali dengan sejumlah angka.

***

“Mama emangnya nggak apa-apa pindah dari rumah ini dan rumahnya kita jual? Bukannya Mama sayang banget sama rumah ini?”

“Mama sayang sama rumah ini, Mbak. Kita semua mendewasa di sini. Tapi… Mama lebih sayang lagi sama mbakmu, kamu, dan Tara. Kalau kita bisa pindah, buat apa kita bertahan satu kompleks sama mantan tunanganmu itu? Mama nggak mau kamu jauh lebih sakit hati daripada sekarang.”

 

Bunyi lakban yang ditarik menyadarkan Dru. Dru mendongak dari kardusnya yang sudah terlakban rapi dan beralih ke lelaki yang kini duduk di atas bean bag sambil mengepak buku-buku milik Rumah Komiko.

Sejujurnya, kehadiran lelaki itu sangat tidak diduga-duga. Dru dan keluarganya memang akan pindah dari rumah ini. Semua komik serta novel di sini adalah hal yang Dru pikirkan sejak dua hari yang lalu.

Di rumah baru nanti semua buku dan komik ini nggak akan muat, batin Dru sambil menggeser kardus tadi dan mengambil kardus kosong lainnya. Dru dan keluarganya akan pindah ke perumahan yang lebih sederhana daripada perumahan mereka yang sekarang, luas rumah baru mereka nanti pun jauh lebih terbatas.

Makanya persoalan mengenai koleksi Rumah Komiko ini, sudah beberapa hari membuat Dru pusing.

“Buku ini nantinya mau diapain?” Akhirnya Dru memberanikan diri untuk bertanya pada si pembeli, yang akhirnya Dru kenali namanya sebagai Bima.

Namanya agak familier, mungkin memang benar ia adalah tetangga Dru di sini tapi rumahnya bukan di gang ini—makanya Dru tidak mengenalnya. Atau namanya emang pasaran aja ya?

“Mau dibaca ulang,” jawab Bima yang juga sudah mengetahui nama Dru. “Saya nggak mungkin buka rental komik kayak gini, jadi ya buat koleksi pribadi aja.”

“Oh….”

“Kamu nggak sayang jual semua buku ini?”

“Sayang sih,” aku Dru jujur. 

Bagaimana kalau nanti Yumna—kakaknya sekaligus pendiri Rumah Komiko—tahu kalau semua koleksinya dijual? 

Membayangkannya saja Dru tidak berani. 

“Tapi di tempat baru nanti, nggak ada tempat buat ini semua. Lagian buku kesukaan kakak saya nggak ada di sini, jadi ya lumayan amanlah kalau yang di sini dijual.”

“Oh, jadi yang punya tempat ini kakakmu?”

Dru berdiri untuk meraih setumpuk komik Nakayoshi dari rak untuk ia susun ke dalam kardus. “Iya, mungkin yang sering kamu temuin dulu ya Mbak Yumna atau adekku, Tara. Mereka berdua yang sering jaga di sini.”

Bima hanya mengangguk, ia kembali fokus memasukkan komik-komik tersebut ke kardus. Sebenarnya Dru sudah menawari Bima untuk mengambil buku-buku itu besok atau Dru bisa mengantarnya ke rumah lelaki itu. 

Akan tetapi, Bima menolak dan mengatakan kalau ia diperbolehkan merapikan buku itu hari ini juga, ia akan melakukannya. Mungkin Bima bisa membawa apa mampu dirinya packing di hari ini.

Dru menatap tumpukan kardus di dekat pintu dengan sedih. Selain hubungannya dengan sang mantan tunangan, rupanya Dru tidak bisa mempertahankan rumah orangtuanya serta tempat favorit kakaknya—Rumah Komiko. 

“Dulu sering ke sini buat baca komik?” Dru memutuskan untuk kembali basa-basi kepada Bima. Bagaimanapun, lelaki itu secara tidak langsung membantu Dru membayar truk untuk memindahkan isi rumahnya di akhir bulan nanti.

Komik serta novel-novel ini tidak bisa ia beri harga selayaknya buku baru, tapi Bima bersedia membelinya di harga yang adil, tidak menganggap semua koleksi di sini hanya buku loak yang dihargai per kilogram. 

“Sering.” Bima mengangguk. Tangannya berhenti bergerak dan ia menatap bean bag di sebelahnya, membuat Dru mengikutinya karena penasaran. Jawaban Bima adalah hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Dru.

“Dulu saya sering pacaran di sini. Jadi anggep aja saya lagi beli kenangan saya, bukan cuma buku-bukunya.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tuan dan Nona Kesepian (2) #UnlockNow
34
2
Jangan lupa like sama komentarnya yaa. 😘***TUAN DAN NONA KESEPIANDUA – Rasa Sakit yang Menjelma menjadi Bagian dari Mereka“Aku udah transfer balik uang kamu, yang gantinya biaya resepsi kita kemarin.” Arjuna berdeham beberapa kali setelahnya. “Kuharap kali ini kamu nggak transfer balik ke aku. Anggep aja itu tanggung jawab terakhirku ke kamu, karena pernikahan kita yang batal.”Dru mendengus dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Pernikahan yang batal,” ulang Dru dengan tawa sinis di ujungnya. “Bagi kamu mungkin yang saat itu batal dan hancur cuma acara pernikahan, bukan hubungan kita yang dijalin selama setengah periode cicilan KPR.”Dilarang menyalin, memperbanyak, dan menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan