
Jangan lupa like dan komentarnya yaa~
***
TUAN DAN NONA KESEPIAN
TUJUH – Belum Saatnya untuk Diceritakan
“Move on dan jalanin hidup kamu, Bim. Jangan tinggal di satu hari yang sama. Ya?” pinta Marissa sungguh-sungguh. “Jodohnya kamu sama Maya ya cuma sampai di akhir hayatnya Maya. Tante nggak mau, kepergian Maya juga membawa separuh jiwa kamu sampai kamu nggak bisa menerima orang lain lagi di hidup kamu.”
Dilarang menyalin, memperbanyak, dan menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis.
TUJUH
Belum Saatnya untuk Diceritakan
Kalau dulu saat Maya masih hidup, rutinitas Bima di Minggu pagi adalah jogging di kawasan Gelora Bung Karno, sekarang rutinitas Bima adalah mengunjungi makam Maya.
Memang tidak bisa setiap minggu, tapi dalam sebulan, pasti lebih dari sekali Bima berkunjung ke sana. Orang-orang menyebut Bima sebagai orang yang sulit move on dan menyedihkan, sebagian lagi ada yang menyebutnya terlampau setia dan romantis. Tapi apa pun itu, Bima tidak benar-benar peduli dengan pendapat orang lain.
Bima hanya peduli pada pendapat Maya, yang sekarang pendapatnya sudah tidak bisa ia dengar lagi.
“Bima.”
Seorang perempuan paruh baya yang fisiknya mirip dengan Maya, datang menghampiri Bima. Bima segera berdiri dan mencium punggung tangan perempuan yang sudah ia hormati layaknya ibu sendiri—Marissa, ibu Maya.
“Pagi, Tante.”
“Pagi, Bim.” Marissa tersenyum dan menepuk bahu Bima dengan keibuan. “Udah di sini aja kamu pagi-pagi begini.”
“Tante juga.”
“Karena Tante tahu kamu akan ada di sini juga.” Marissa terkekeh. “Mau temenin Tante ngopi dan makan siang setelah ini? Papanya Maya lagi di luar kota nih, jadi Tante sendiri ke sini.”
“Lho, nggak dianterin Mariska, Tante?” Mariska adalah adik Maya yang usianya hanya terpaut tiga tahun dari Bima dan seringnya, Marissa diantar Mariska kalau sedang berkunjung ke makam Maya.
“Nggak, Tante sama sopir. Dia baru pulang jam satu tadi karena mesti lembur. Tante mana tega bangunin dia.”
Bima mengangguk mengerti dan mereka berdua duduk di samping makam Maya, di atas tikar yang sejak tadi digelar Bima setibanya di makam mendiang kekasihnya.
Area pemakaman itu masih sepi, karena saat ini pun terhitung masih pagi dan bukan masa di mana orang-orang berbondong ziarah ke makam keluarga. Bima memang biasa datang di waktu sepagi ini. Maya selalu menyukai pagi hari, apalagi di akhir pekan. Makanya Bima selalu berusaha untuk datang ke sini saat hari masih pagi.
Udara di pagi hari biasanya masih lebih segar, walaupun segarnya udara Jakarta tentu saja tidak bisa disamakan dengan udara di daerah lain. Bagi Maya yang setahun sebelum kepergiannya divonis waktunya tak lama lagi oleh sang dokter, bisa bangun di pagi hari adalah hal yang sangat ia syukuri sampai di detik terakhir hidupnya.
“Tante kangen sama Maya.” Marissa membuka percakapan di antara mereka setelah memanjatkan doa untuk Maya. “Kamu masih kangen sama Maya?”
“Masih, Tante. Setiap hari….”
“Maya beruntung bisa dipertemukan sama orang baik kayak kamu, Bima.” Marissa mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Bima menoleh dan mendapati bahwa Marissa menatapnya dengan intens. “Tante nggak akan capek ngomongin ini, Bim…. Makasih ya, udah nemenin Maya, Bim. Berkat kamu, Maya jadi tahu rasanya punya seseorang yang selalu ada di samping dia.”
“Aku juga ngerasa hal yang sama kok, Tante,” timpal Bima. Senyumnya terkembang kala teringat bagaimana Maya pun selalu ada di sampingnya, seperti bagaimana tadi Marissa menyebut peran Bima di dalam hidup Maya.
Mereka membicarakan banyak hal sampai matahari mulai meninggi. Bima memang sudah lama dekat dengan keluarga Maya, apalagi saat Maya mulai intensif dirawat di rumah sakit, Bima selalu menemaninya.
“Kabar kamu gimana selama ini, Bim? Sehat kan?” Marissa bertanya selagi mereka berjalan menjauhi makam Maya, setelah lebih dari satu jam berada di sana.
“Sehat, Tante. Tante sendiri apa kabar?”
“Baik juga kok. Kita ngopi dan makan siang dulu yuk, Bim.”
“Ayo, Tante.”
“Kamu bawa mobil?”
Bima menggeleng.
“Terus naik apa ke sininya?”
“Naik GrabBike.” Bima memamerkan cengirannya.
Marissa menatap Bima dengan tatapan yang tidak bisa Bima tebak maknanya. Perempuan paruh baya itu seperti memiliki sesuatu yang ingin ia bicarakan, tapi tidak diutarakan karena yang Marissa katakan setelahnya adalah, “Ya udah, bareng sama Tante aja kalau gitu ya.”
Bima mengiakan dan keduanya masuk ke mobil Marissa yang sudah menunggu di depan gerbang pemakaman. Bima membukakan pintu untuk Marissa dan perempuan paruh baya tersebut mengucapkan terima kasih. Mereka tidak pergi terlalu jauh, hanya ke sebuah kedai kopi yang sering Bima kunjungi selepas berkunjung ke makam Maya.
“Ada hal yang menarik nggak, Bim, belakangan ini?” tanya Marissa saat kopi pesanan mereka berdua diantarkan oleh pramusaji.
“Menarik?” Bima mencoba mengingat-ingat. Rutinitas hariannya masih sama seperti biasanya—bangun tidur, pergi bekerja, kemudian pulang ke rumah.
Hal baru yang belakangan ini terjadi padanya adalah ia yang spontan membeli koleksi Rumah Komiko dan pertemuannya dengan Dru.
Apa itu termasuk hal menarik yang bisa ia ceritakan kepada Marissa?
“Kayaknya nggak ada, Tante.”
“Masa sih?” Marissa tersenyum lebar. “Ini udah lumayan lama lho, Bim. Masa nggak ada yang menarik sih?”
“Kan kita baru ketemu tiga minggu yang lalu, Tante.”
Pertanyaan Marissa membuat Bima agak kebingungan. Namun, saat melihat bagaimana raut wajah Marissa yang tenang dan benar-benar menanti jawabannya, membuat Bima mulai mengerti apa yang dimaksud.
Dengan sabar, Marissa menambahkan, “Maksudnya, setelah Maya pergi, bukan setelah pertemuan terakhir kita.”
Bibir Bima terkatup rapat dan Marissa mengusap pelan tangan Bima yang melingkupi cangkir kopinya. Marissa memang sangat peduli pada Bima, apalagi setelah kepergian Maya. Di dalam beberapa kesempatan, Marissa secara lembut mengingatkan Bima bahwa ia tidak boleh hanya terpaku pada kepergian Maya.
Hidup Bima masih panjang, menurut Marissa. Maya pun tidak akan rela jika Bima selalu menetap di satu titik yang sama tanpa mempertimbangkan untuk melangkah maju.
“Tante seneng banget, Bim, kamu sangat sayang sama Maya. Tapi… kita semua tahu Maya udah nggak ada.” Marissa bicara dengan lembut supaya Bima dapat mengerti apa yang sebenarnya ia maksud.
“Kamu nggak bisa terus berhenti di Minggu pagi begini, Bim. Om, Tante, Mariska, dan Maya pengen hal yang sama—pengen kamu lanjutin hidup kamu. Kami harap kamu nggak sungkan dan mau untuk bertemu dengan orang lain, juga hal-hal menarik di luar sana.”
“Tante….” Bima hendak membantah, tapi tatapan mata Marissa yang mengingatkannya dengan Maya, membuat kata-kata yang sudah ada di ujung lidah Bima, tertelan lagi.
“Move on dan jalanin hidup kamu, Bim. Jangan tinggal di satu hari yang sama. Ya?” pinta Marissa sungguh-sungguh. “Jodohnya kamu sama Maya ya cuma sampai di akhir hayatnya Maya. Tante nggak mau, kepergian Maya juga membawa separuh jiwa kamu sampai kamu nggak bisa menerima orang lain lagi di hidup kamu.”
Apa yang dikatakan Marissa memang benar, hampir semua orang di sekitar Bima juga mengatakan hal yang serupa.
“Aku… belum bisa, Tante,” sahut Bima setelah berpikir cukup lama.
“Belum bukan berarti nggak bisa kan, Bim?” tanya Marissa, lembut suaranya menenangkan Bima. “Tante nggak bisa maksa kamu untuk move on, juga nggak akan menyuruh kamu ngelupain Maya begitu aja.”
Bima mengangguk pelan, sepenuhnya mengerti dan Marissa terlihat senang akan hal tersebut.
“Yang Tante harapkan cuma… kalau saatnya tiba, kalau ada perempuan lain yang membuat jantung kamu kembali berdebar untuk dia, kamu jangan pegang kenangan kamu sama Maya terlalu erat ya. Kadang kita perlu melepaskan untuk mempertahankan sesuatu.”
***
“Pasar Baru! Pasar Baru!”
Seruan petugas halte TransJakarta itu menyadarkan Bima dari kegiatannya membaca komik. Bima melangkah keluar sambil menenteng komik yang ia bawa. Saat tadi ke makam Maya, Bima memang membawa ransel yang berisi iPad, komik, dan beberapa keperluan lainnya.
Sepulang dari makam, Bima memang tidak pernah langsung pulang ke rumah. Pulang ke rumah dan hanya berdiam diri di kamar membuatnya semakin teringat dengan Maya.
Setelah makan siang dengan Marissa, Bima berpamitan dan memilih menaiki bus pertama yang datang saat ia tiba di halte. Bima tidak memiliki tujuan tertentu, jadi ia hanya mengikuti bus tersebut sampai tiba di tujuan akhir.
Karena tak jauh dari area Posbloc, Bima memutuskan untuk melangkah ke bangunan kantor pos yang kini dihuni banyak tenant lokal tersebut. Langkahnya membawa Bima ke Canggu Bakehouse, ia memesan segelas kopi untuk menemaninya dan duduk sofa yang paling dekat dengan jendela.
Selain menjadi junior art director, Bima juga masih menekuni hobinya menggambar. Kalau sedang senggang, Bima membuka commission untuk umum atau menerima proyek dari beberapa brand. Di hari Minggu ini, Bima hendak menyelesaikan proyek yang ia terima beberapa waktu lalu dari sebuah brandkosmetik, di mana mereka ingin Bima mendesain packaging produk kolaborasinya dengan salah satu influencer ternama.
Selesai menata iPad-nya di meja, Bima mengeluarkan komiknya untuk ditaruh di meja dan saat sedang membuka salah satunya secara random, sesuatu meluncur dari antar halamannya ke atas pangkuan Bima.
“Foto?” Selembar foto polaroid kembali hadir di atas pangkuannya, meluncur dari antara komik yang tadi ia baca.
Bima mengamati foto itu dan mendapati dua orang perempuan di lembar foto seukuran kartu ATM itu. Mata Bima memicing, ia mengenali salah satunya sebagai Dru. Butuh waktu yang agak lebih lama untuk Bima mengenali siapa perempuan satunya.
“Kakaknya Dru?” gumam Bima lagi secara spontan. Akhirnya Bima mengenali siapa perempuan di sebelah Dru, yang senyumnya sangat mirip dengan Dru.
Dia adalah Yumna, yang beberapa waktu lalu sempat Dru ceritakan sekilas kalau sedang dirawat di rumah sakit. Bima ingat kalau perempuan itu juga yang menjaga Rumah Komiko semasa Bima kuliah dan sering ke sana dengan Maya.
Karena masih tidak punya nomor telepon Dru, Bima mencoba mengingat nama lengkap Dru yang tempo hari ia lihat di ID Card-nya. Bima pernah melihat sekilas dari ID Card yang tergantung di lanyard Dru. Lelaki itu mencoba mencari namanya di Instagram dan menemukannya. Nama dan foto akun tersebut sama dengan Dru, jadi Bima mencoba mengirim pesan.
BimaMahaprana: Dru, ini aku, Bima yang rumahnya tiga belokan dari kamu. Ada fotomu yang kutemuin lagi dari komik. Mau aku balikin?
BimaMahaprana: (send a photo)
BimaMahaprana: Kasih tahu aja mau aku kasih pas kita ketemu di halte atau terserah, senyamannya kamu aja.
Bima menaruh ponselnya ke atas meja setelah mengirim pesan tersebut ke akun Instagram Dru. Ia mulai membuka file-nya di Procreate, tapi baru beberapa gores, matanya kembali melirik ponselnya.
Kapan perempuan itu akan membalas pesannya?
***
“Ngapain juga aku di sini?” gumam Bima setelah GrabBike yang tadi ia tumpangi dari Posbloc sampai ke rumah Dru, sudah berlalu dari hadapannya.
Ia mendekat ke pagar, untuk menemukan bahwa pintu utama rumah dan Rumah Komiko tertutup rapat. Tanamannya pun banyak berkurang di halamannya. Entah kenapa, rumah itu terlihat… kosong.
“Dru!” panggil Bima sambil menggoyangkan gembok yang tergantung di pagar. “Dru!”
Bima memanggil beberapa kali, tapi tak kunjung ada sahutan. Keputusan untuk datang langsung ke rumah Dru adalah hal yang ia pikirkan di atas motor tadi, spontan tercetus karena pesannya tak kunjung dibaca Dru di Instagram.
Lima belas menit menunggu, Bima memutuskan untuk pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki. Sebelum masuk ke rumah, ia menyempatkan diri untuk melirik ke rumah yang katanya akan ditempati oleh mantan tunangan Dru.
Rumah itu terlihat sepi, tapi jauh lebih hidup dibanding rumah Dru yang baru saja ia kunjungi.
“Ma,” sapa Bima kepada Laras—ibunya, yang duduk di sofa ruang tengah sambil menonton televisi.
“Baru pulang, Mas?”
“Iya.” Berbeda dengan biasanya, kali ini Bima tidak langsung ke kamarnya. Ia duduk di samping ibunya dan menaruh tasnya di sofa.
“Ma….”
“Apa, Mas?”
“Kenal sama tetangga kita yang di blok 7A nggak?”
“7A berapa?”
“Blok 7A nomor 4,” jelas Bima yang mengingat jelas nomor rumah Dru karena tadi mengamati dinding pagarnya cukup lama, di mana ada papan nomor rumah yang tergantung di sana.
“Oh, kenal. Itu rumahnya Pak Seno sama Bu Aida. Bu Aida itu satu pengajian sama Mama,” jelas Laras. “Kenapa?”
“Mama kenal sama orang sana?”
“Ya kenal dong, kan masih satu RT, Mas.”
“Oh, iya.” Bima tertawa pelan. “Aku lupa papaku itu Pak RT.”
Laras yang tadinya menjawab sambil lalu, menoleh pada Bima dan tertawa kecil. “Bisa-bisanya lupa sama Pak RT,” ledeknya. “Kenapa emangnya, Mas?”
“Nggak apa-apa.”
“Tumben nanya soal tetangga.” Laras mengubah posisi duduknya menjadi menyamping, Bima pun melakukan hal yang sama supaya bisa bicara dengan nyaman. “Kenapa, Mas? Kamu kenal sama mereka?”
“Nggak sih….”
“Atau sama anaknya?”
Mau tak mau, Bima mengangguk, “Iya, kenal sama anaknya.”
“Kok bisa?” Laras benar-benar heran, terlihat dari bagaimana kedua alisnya yang naik dan tatapan matanya. “Kamu kan selama ini jarang main sama anak-anak sini, Mas. Belakangan juga nggak terlalu ngeh sama orang-orang di gang ini.”
“Nggak sengaja kenal, Ma.” Dengan sabar, Bima menjelaskan, “Aku baru kenal sama adeknya yang punya rental komik yang dulu sering aku datengin sama Maya itu, waktu kemarin beli koleksi mereka.”
“Oh… itu kamu beli dari sana.” Laras mengangguk-angguk. “Terus kenapa kamu nanyain mereka?” tanya Laras lagi.
Mata Laras memicing dan ia mendekat kepada sang putra sulung. “Jangan-jangan kamu masih ngutang ya pas beli komik-komik itu, Mas?”
“Nggaklah, Ma,” tukas Bima yang geli akan tuduhan ibunya. “Itu semua udah lunas kok.”
“Terus kenapa nanyain mereka?”
“Ada barang yang ketinggalan di komiknya, aku mau balikin.”
“Emang kamu nggak punya nomor orang yang transaksi sama kamu?”
Bima menggeleng dan Laras meresponsnya dengan decakan lidah.
“Mama masih satu grup sama ibunya sih di grup pengajian. Mau Mama mintain nomornya ke Bu Aida?”
Opsi itu terdengar menarik, sekaligus merepotkan banyak orang. “Aku udah kirim pesan di Instagram, cuma belum dibales aja. Nanti kalau pesanku nggak dibales-bales, baru deh aku minta tolong Mama.”
“Oke.” Laras mengiakan dengan cepat. “Mereka pasti udah pindah ke rumah barunya. Kemarin mereka pamitan sama Papa kok, katanya.”
“Pindah?”
“Iya, kamu nggak tahu?” Laras balik bertanya, ketika Bima menggeleng, Laras kembali menambahkan, “Mama pikir kamu tahu, kan kamu beli komik mereka.”
“Iya sih….”
“Iya, kami mau pindahan, jadi ini saya lagi beres-beresin isinya. Kalau kamu ada pinjem dan mau balikin, kamu bisa balikin paling lambat tanggal 28 bulan ini.”
Bima baru ingat kalau di pertemuan pertama mereka, Dru sudah menyinggung soal pindah rumah. Sekarang tanggal 29, pantas saja tidak ada siapa-siapa di rumah Dru.
“Nanti aku tunggu balesan dia ajalah,” putus Bima. Tangannya meraih tas yang tadi ia taruh di bawah dan berdiri dari duduknya.
“Tumben, Mas,” komentar Laras saat Bima hendak pamit mau ke kamarnya.
“Tumben apa, Ma?”
Jawaban Laras selanjutnya membuat Bima terpaku di tempatnya.
“Tumben kamu mau peduli sama hidup orang lain, Mas.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
