Tuan dan Nona Kesepian (4) #UnlockNow

33
1
Deskripsi

Sebenernya lagi writer's block sih, jadi nulis ini sekalian pelarian sekaligus healing, wkwkwk. Jangan lupa like sama komentarnya yaa. 😘

***

TUAN DAN NONA KESEPIAN

EMPAT – Alasan yang Seharusnya Tidak Ia Dengar

“Kemarin si brengsek itu transfer balik uang acara nikahan kami yang batal itu, Mbak.” Dru mendengus tatkala mengingat bagaimana Arjuna dengan pongahnya mengatakan bahwa Dru lebih butuh uang tersebut daripada dirinya. 

“Emang lumayan sih uangnya, tapi tetep aja aku nggak sudi terima uang dari...

EMPAT

Alasan yang Seharusnya Tidak Ia Dengar

  

Belakangan ini Dru mulai akrab dengan aroma disinfektan yang mengelilinginya. Sore ini ia berjalan dengan tenang, sambil sesekali menyapa para perawat yang sudah mulai ia kenal baik saking seringnya ke rumah sakit ini.

“Mau jenguk Mbak Yumna ya?” tanya Risa, salah satu perawat yang akrab dengan Dru, karena ia yang sering bertemu dengan Dru saat menjenguk sang kakak. 

Yumna sudah dirawat sejak lima bulan yang lalu. Kecelakaan yang menimpanya setelah jam pulang kantor saat itu, membuatnya dalam kondisi bisa bertahan hidup dengan bantuan alat-alat penunjang hidup yang terpasang di tubuhnya. 

Sejak dirawat secara intensif itulah, hampir setiap hari keluarga Yumna bergantian menjenguk dan menjaganya di rumah sakit. Makanya Dru bisa akrab dengan sebagian besar perawat di rumah sakit ini.

“Iya. Udah makan belum, Mbak?” Dru menyodorkan tote bag dengan logo Hokben di tangannya kepada Risa. “Tadi aku sekalian beli buat makan Papa sama Mama. Dimakan ya, Mbak, sama temen-temennya.”

Risa menatap Dru dengan tidak percaya dan masih enggan untuk menerima makanan yang dibelikan untuk dirinya dan beberapa perawat yang berjaga bersamanya. “Dru… ngerepotin banget lho.”

“Nggaklah, Mbak, mana ngerepotin sih? Yang masak kan bukan aku,” tukas Dru dengan senyum di bibirnya. “Diterima ya, Mbak, nanti pas ada waktu, dimakan, hehehe.”

“Makasih lho, Dru. Mbak terima ya.” 

“Sip, Mbak. Kalau gitu aku ke kamar Mbak Yumna dulu ya.”

Risa mengangguk dan menepuk bahu Dru dengan gestur bersahabat beberapa kali, sebelum membiarkan Dru berlalu menuju salah satu kamar yang dihuni Yumna.

Langkah Dru berhenti di depan pintu kamar rawat inap Yumna. Tangannya sudah hendak terangkat menyentuh kenop pintu, tapi berhenti di udara begitu rasa sesak tiba-tiba muncul di dadanya.

Selalu begini, pikir Dru sambil memejamkan mata, lalu berusaha mengatur napasnya baik-baik. Belakangan ini Dru selalu merasa bahwa ia sering merasa sesak napas begitu mendekati kamar Yumna. 

Apakah karena kecemasan yang berlebihan? Entah apa penyebabnya, Dru tidak tahu pasti.

Bagi Dru, Yumna adalah sahabat terbaik yang bisa ia miliki. Di saat semua sahabatnya kala semakin dewasa semakin sibuk dengan kehidupan mereka, selalu ada Yumna di sisi Dru kapan pun ia membutuhkannya—dan juga sebaliknya. 

Jadi sewaktu Dru dikabari Yumna kecelakaan dan kondisinya sangat parah… separuh jiwa Dru rasanya pergi begitu saja.

“Mbak? Baru sampai?”

Dru mundur selangkah saat tiba-tiba pintu kamar dibuka dari dalam dan sang ibu, Aida, menyapanya. 

“I-iya, Ma.” Dru berdeham beberapa kali untuk menghilangkan kegugupannya. “Mama mau ke mana?”

“Mau beli makan. Mau ikut?”

“Nggak usah, Ma, aku udah beliin nih.” Tangan kanan Dru mengangkat tote bag yang ia bawa. “Yuk, makan. Aku udah beli buat Papa, Mama, sama aku.”

“Oke, ayo, kalau gitu.” Aida menggandeng tangan kiri Dru dan mengajaknya masuk. 

Di kamar tersebut, ada ayah Dru—Seno, yang menyambutnya dengan senyum walau wajahnya terlihat lelah. 

“Baru sampai, Mbak?”

“Iya. Papa sama Mama udah lama?”

“Lumayan. Mamamu duluan yang sampai sih tadi.” Seno menepuk sisi kosong di sofa yang ia duduki. “Harusnya kamu tuh langsung pulang aja ke rumah, Mbak. Emang nggak capek dari kantor langsung ke sini?”

“Nggak kok. Papa sama Mama aja habis kerja selalu ke sini, masa aku yang lebih muda malah ngeluh capek juga?”

Kedua orangtua Dru masih bekerja, jadi yang menjaga Yumna sehari-hari selagi semua orang bekerja adalah perawat rumah sakit dan Tara, adik Dru yang baru lulus kuliah dan baru akan mulai bekerja purnawaktu mulai minggu depan.

Sebenarnya Seno sudah harus pensiun tiga bulan yang lalu. Akan tetapi biaya rumah sakit yang harus mereka tanggung, membuat Seno mengurungkan niatnya. Jadilah ia bekerja untuk kontrak selama satu tahun, supaya masih bisa membantu biaya kehidupan sehari-hari keluarga serta perawatan Yumna.

“Katanya Tara kejebak macet di Pancoran. Jadi Papa suruh dia langsung pulang ke rumah aja daripada mampir ke sini pas kemaleman,” kata Seno ketika Dru membukakan tiga kotak makan untuk mereka. 

Dru melirik sekilas tas laptopnya. “Hari ini dia ke mana emangnya, Pa?”

“Katanya ada interview di daerah Tebet, terus lanjut ngerjain kerjaan freelance-nya sambil ketemu calon klien juga.”

“Wah, sibuk banget dia,” komentar Dru yang menuai tawa dari kedua orangtuanya. “Tapi nggak apa-apa sih. Paling kalau besok dia lowong, dia juga ke sini.”

Nggak apa-apalah, mending dia sibuk begitu daripada kelamaan sedih, pikir Dru. Selain dirinya dan kedua orangtua mereka, Tara si bungsu juga sangat sedih akan kondisi Yumna. 

Setelah wisuda dan sambil berusaha mencari pekerjaan, Tara-lah yang banyak menghabiskan waktu di rumah sakit menjaga Yumna kalau sedang tidak harus benar-benar pergi keluar.

“Mending begitu, daripada dia di rumah sakit full seharian,” timpal Aida. “Mama mau kita mulai bener-bener bagi waktu antara kerja, istirahat, dan nemenin Mbakmu. Mbakmu pasti nggak mau hidup kita berhenti di satu titik aja tanpa ada kemajuan.”

Tanpa dikomando, ketiganya menoleh ke arah ranjang di mana Yumna masih berbaring tenang dengan mata terpejam. Satu bulan pertama saat Yumna dinyatakan belum bisa bangun dari ranjangnya, kehidupan keluarga mereka memang seperti berhenti di satu titik.

Di mana yang mereka pikirkan hanyalah Yumna dan kondisinya. Mereka tetap makan, tidur, dan bekerja, tapi semua itu dilakukan hanya karena sudah menjadi rutinitas. Pikiran dan hati mereka hanya tertuju pada kondisi Yumna yang tidak kunjung menunjukkan perubahan.

“Bener. Papa setuju.” Seno yang terlihat lebih tua beberapa tahun hanya dalam lima bulan belakangan, menepuk bahu Dru dengan lembut. “Kalau kamu perlu istirahat atau mungkin pergi liburan sehari atau bahkan seminggu, pergi aja nggak apa-apa, Mbak. Biar bikin kamu rileks. Kan yang jagain mbakmu di sini ada banyak.”

Pemikiran meninggalkan kakaknya lebih dari sehari tidak pernah terlintas di benak Dru sekalipun. Dru hanya ingin bersama kakaknya, menemani Yumna sampai ia sadar dan mendampinginya hingga sehat kembali. 

“Papamu bener, Mbak.” Kali ini Aida yang bersuara. “Kamu yakin nggak mau liburan atau pergi ke mana sebentar gitu, Mbak? Beberapa bulan ini pasti berat banget buat kamu. Suasana baru mungkin akan sedikit membantu kamu.”

“Mmm….” Dru tahu, Seno dan Aida pasti khawatir pada dirinya sejak ia memberi tahu mereka, bahwa pertunangannya dengan Arjuna sudah berakhir. “Nanti ajalah, Ma, Pa, pas Mbak Yumna sembuh. Kan enak tuh, bisa jalan-jalan bareng.”

Baik Sena dan Aida sama-sama menggeleng tidak setuju, tapi Dru menggenggam tangan mereka berdua, meyakinkan mereka bahwa ia baik-baik saja.

Selagi Dru juga berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia bisa baik-baik saja.

***

“Kemarin si brengsek itu transfer balik uang acara nikahan kami yang batal itu, Mbak.” Dru mendengus tatkala mengingat bagaimana Arjuna dengan pongahnya mengatakan bahwa Dru lebih butuh uang tersebut daripada dirinya. 

“Emang lumayan sih uangnya, tapi tetep aja aku nggak sudi terima uang dari dia. Cuma ya daripada aku transfer balik dan dia transfer lagi, akhirnya aku diemin. Capek kalau kejebak di lingkaran setan sama dia.”

Yumna masih memejamkan mata, tapi tetap tidak mengurungkan niat Dru untuk bercerita. Yumna yang masih bertahan karena alat-alat di sekitarnya, memang memiliki peluang untuk kembali sadar yang sangat kecil. Tapi sekecil apa pun peluang itu, Dru tetap ingin bertahan.

Sekecil apa pun peluang tersebut.

“Tadinya uang itu aku mau pakai buat bantu-bantu bayar rumah baru kita, atau perabotannya gitu lho, Mbak,” cerita Dru lagi. 

Dru pernah membaca bahwa orang yang sedang koma atau seperti Yumna, kemungkinan besar bisa mendengar apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya.

Meski Dru tidak tahu apakah hal itu benar adanya atau tidak, tapi Dru tetap melakukannya. Mungkin saat Yumna nanti sadar, Yumna tidak akan mengingat hal yang Dru ceritakan. Tapi Dru tidak keberatan untuk mengulang semua ceritanya lagi asalkan Yumna nantinya sadar. 

“Tapi Papa sama Mama nggak ngizinin. Katanya disimpen aja buat nikah nanti, entah sama siapa.” Dru meringis saat mengingat hal tersebut. “Tapi males banget kalau bayar nikahanku nanti pakai uang bekas gagal nikah. Jadi bala nggak sih, Mbak? Bingung juga sih buat apa uangnya, takut buat bayar rumah juga jadi bala… buat beli perabotan jadi bala…. 

“Akhirnya aku masukin reksadana aja. Anggep aja aku lagi cuci uang.” Dru tertawa sendiri pada istilah yang baru saja ia gunakan. “Kalau Mbak bangun, Mbak pasti akan marahin aku saat ini. Karena waktu malem-malem aku mau tidur, aku suka kepikiran… sebenernya apa sih salahku sampai Arjuna selingkuh? Setelah tahun-tahun yang kami habiskan bersama….

“Kalau alesannya karena ada yang nggak cocok dari kami, kenapa nggak dari dulu? Atau dia malah udah selingkuh dari dulu ya, Mbak?” Dru tertawa getir. “Aku bener-bener nggak tahu. Aku juga baru tahu sekarang ini kalau perselingkuhan yang dilakukan orang lain ternyata bisa ngehancurin kepercayaanku terhadap diriku sendiri.”

Dru menatap wajah pucat Yumna dan mengusap pipi kakaknya yang semakin tirus. 

“Nggak, aku nggak terlalu sedih. Jangan bangun karena khawatirin aku, Mbak. Tapi bangun karena kamu emang pengen dan bisa bangun,” gumam Dru dengan napas tertahan. 

“Patah hati ini aku yakin akan berlalu kok. Aku janji, setelah patah hati ini aku akan lebih bahagia daripada sebelumnya. Dan saat Mbak bangun, aku juga janji Mbak akan denger ceritaku soal Arjuna dalam situasi di mana aku udah ikhlas.”

Dru menunduk dan akhirnya satu air mata lolos, turun membasahi pipinya dan tidak dapat ia tahan lagi. Dru memang sakit hati atas perselingkuhan Arjuna, tapi yang jauh lebih membuatnya sedih adalah hari demi hari di mana Yumna masih menutup matanya.

Dering alarm mengejutkan Dru yang segera mendongak. Ia meraih ponselnya dari dalam nakas dan mendapati bahwa sudah waktunya ia pulang. Orangtuanya tadi mengatakan bahwa mereka menunggu Dru di Dunkin’ Donuts, mereka memberi waktu untuk Dru mengobrol dengan Yumna berdua saja.

Dru bicara sambil menggenggam tangan Yumna dengan erat. “Aku pulang dulu ya, Mbak. Weekend nanti aku nginep deh, biar jagain Mbak. Maaf ya, Mbak, kami belum ada yang bisa nginep lagi di weekdays ini.” 

Karena keterbatasan keluarganya, mereka semua masih tetap harus bekerja dan yang bisa menginap di hari kerja hanya Tara, itu pun tidak setiap hari.

Mereka sekeluarga mencoba percaya bahwa meskipun mereka tidak ada di setiap detiknya bersama Yumna, Yumna akan aman dan terus menuju sehat di bawah pengawasan para dokter dan perawat. 

“Dah, Mbak Yumna.” Dengan enggan, Dru bangkit dari duduknya. “Sampai ketemu besok, Mbak.”

Dru pun keluar dari kamar rawat inap Yumna, lalu bertemu lagi dengan Risa yang ternyata baru hendak pulang. Seperti biasanya juga, Dru menitipkan sang kakak pada para perawat yang berjaga malam dan mengatakan untuk tidak sungkan menghubunginya, jika sesuatu terjadi pada Yumna.

Langkah Dru membawanya turun ke lobi, di mana orangtuanya masih menunggu di gerai donat yang memang ada di sana. Saat baru keluar dari lift, ia melihat seseorang yang mirip Arjuna berjalan dari arah yang berlawanan dengannya. 

“Beneran Arjuna?” gumam Dru lagi. “Ngapain dia di sini?”

Dru hampir melengos, tapi tak jadi saat seorang perempuan dengan perut yang mulai membesar menghampiri Arjuna. Meski Dru hanya bisa melihat figur wajah perempuan itu dari samping, tapi Dru tetap mengenalinya. 

Dia adalah perempuan yang sama dengan yang Dru pergoki berciuman dengan Arjuna, satu bulan yang lalu. Perempuan itu hari ini mengenakan pakaian yang panjangnya sampai betis, juga berwarna gelap. Tapi Dru tetap bisa melihat bagaimana perut perempuan itu… seperti orang yang sedang hamil.

Mata Dru melebar saat melihat bagaimana Arjuna menyambutnya dengan senyum dan merangkul pinggangnya, kemudian mencium pipinya dengan mesra. Mereka lanjut berjalan menuju pintu dan sepertinya tidak menyadari bahwa Dru melihat mereka. 

Tangan Dru mengambil ponselnya tanpa pikir panjang, ia mengetik nomor Arjuna yang sialnya, masih ia hafal di luar kepala meski kontaknya sudah dihapus dari ponselnya. Sambil menunggu teleponnya diangkat Arjuna, Dru mengikuti pasangan tersebut dari jarak aman.

Arjuna terlihat berhenti melangkah sambil memegang ponselnya, kala tiba di luar lobi. Lelaki itu terlihat bicara sejenak dengan calon istrinya, kemudian berjalan agak menjauh.

“Tumben kamu telepon.” Itulah sapaan Arjuna begitu menjawab panggilan Dru. “Kamu telepon bukan karena mau transfer uang yang kemarin itu lagi kan?”

“Setelah aku lihat kelakuanmu hari ini, aku jadi makin yakin untuk simpen aja uang itu.” Dru mendengus.

“Hari ini?”

“Kenapa sebulan yang lalu aku nggak nyadar ya kalau selingkuhanmu lagi hamil?”

Arjuna terlihat menengok ke segala arah begitu mendengar pertanyaan Dru. Dru tersenyum sinis, ia tetap berdiri di tempatnya, yang tak jauh dari pintu kaca.

“Habis periksa rutin ya?” tanya Dru lagi dengan santai, berbanding terbalik dengan emosinya yang melambung tinggi. “Jadi selain menjalin hubungan dengan dia, kamu juga tidur sama dia.”

“Dru—”

“Untunglah sejak awal aku waras, aku memilih ninggalin kamu dan nggak mengemis untuk lanjutin pertunangan kita meskipun gedung udah dibayar DP-nya.” Dru tertawa kecil. “Kayaknya waktu mamamu mohon-mohon supaya nikahan kita nggak batal, beliau belum tahu soal kehamilan selingkuhanmu ya?”

Di seberang sana, Arjuna terdiam. Lelaki itu sudah menemukan Dru dan kini berbalik sehingga mereka bertukar tatap, meski ada jarak beberapa meter di antara mereka.

“Selamat ya.” Tentu tidak ada ketulusan dari apa yang diucapkan Dru tersebut. “Kamu hebat banget nipu aku selama kita pacaran, Arjuna. Makasih ya, karena kamu udah nunjukin ke aku kalau emang nggak semua orang dan hubungan layak untuk dipertahankan.”

 

 

Jangan lupa like dan komentarnya, hihihihi~~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tuan dan Nona Kesepian (5) #UnlockNow
32
5
Ayo temenin Bima sama Dru makan nasi goreng, wkwkwk. Jangan lupa like dan komentarnya yaa~***TUAN DAN NONA KESEPIANLIMA – Anak Kucing yang Telantar “Apa aku terlihat sangat menyedihkan saat tadi di halte?”Lagi-lagi Bima tidak langsung menjawab, sebab ia pernah bertanya hal yang sama pada keluarganya di satu bulan pertama kepergian Maya. Dilarang menyalin, memperbanyak, dan menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan