Tuan dan Nona Kesepian (10) #UnlockNow

24
2
Deskripsi

Jangan lupa like dan komentarnya yaa~

***

TUAN DAN NONA KESEPIAN

SEPULUH – Dru Lupa Seperti Apa Dirinya yang Dulu 

“Kamu….” Lelaki itu terlihat ragu untuk lanjut bicara, tapi Dru menaikkan alisnya, ia menunggu apa yang sebenarnya ingin dikatakan Bima. 

“Apa, Mas?”

“Lagi ada masalah?”

“Banyak sih.” Giliran Dru yang tertawa kecil, meski tawa itu lebih banyak sedihnya daripada cerianya. 

“Mau didengerin?” tawar Bima. “Atau mau disimpen sendiri?”

Dilarang menyalin, memperbanyak, dan menyebarkan sebagian atau...

SEPULUH

 Dru Lupa Seperti Apa Dirinya yang Dulu

  

Memiliki teman pulang-pergi ke kantor selain Arjuna setelah bubarnya hubungan mereka adalah hal yang tidak pernah Dru harapkan. Dru pikir ia akan sendirian dan kalau mau jujur, ia agak tidak terbiasa dengan kesendirian yang tiba-tiba jadi teman akrabnya.

Selama menjadi kekasih Arjuna, Dru bisa dibilang hampir selalu bersama dengan Arjuna. Paling-paling kalau salah satu dari mereka ada yang lembur, baru mereka tidak bersama.

“Aku bawa komik lebih, kamu mau baca?” 

Tawaran itu seperti penyelamat bagi Dru, bagai pelampung yang dilempar untuk Dru ketika ia hampir tenggelam dalam lamunan kenangan lamanya.

“Nggak deh,” tolak Dru pada Bima yang duduk di sebelahnya. 

Sudah hampir satu bulan sejak tawaran spontan mengenai pulang-pergi bersama ke Halte Lebak Bulus, dicetuskan oleh Bima. Dru yang seumur hidupnya bisa dihitung dengan jari kapan ia mengambil keputusan secara spontan, memutuskan untuk menerima tawaran Bima. 

Sejak saat itu, mereka bisa dibilang pulang dan pergi bekerja bersama. Karena sudah punya nomor telepon masing-masing, Bima dan Dru saling menghubungi lewat WhatsApp kalau mau pergi dan pulang. Kadang-kadang mereka tidak bisa pulang bersama, sebab Bima lembur hingga pukul satu pagi atau Dru yang langsung pulang dengan Tara dari rumah sakit usai menjenguk Yumna.

“Tumben nawarin komik.” Dru baru ingat kalau ini pertama kalinya, Bima menawarinya komik yang ia bawa untuk Dru baca. 

Terkadang mereka memang mengobrol di sepanjang jalan, tapi sering juga keduanya sibuk dengan kegiatan sendiri-sendiri—Bima membaca komik, Dru menonton drama Korea dari ponselnya, atau keduanya tertidur hingga mereka tiba di tujuan. 

“Kamu melamun, soalnya. Kayak orang lagi banyak masalah.”

Dru tersentak kaget. Apa ia memang semudah itu untuk dibaca? “Oh, ya?” 

“Mau pengalihan?” Bima menyodorkan komik yang tadi ia baca dan Dru pun menerimanya. 

Thanks, kayaknya aku emang butuh,” aku Dru yang memutuskan untuk jujur. “Makin dipikirin malah makin pusing.”

“Aku bawa lima komik kok hari ini.”

“Makin banyak ya jumlah komik yang kamu bawa.” Dru ingat kalau tadinya Bima hanya membawa tiga komik di pertemuan pertama mereka, lalu meningkat ke empat komik dan kini jadi lima.

“Aku suka baca komik juga di sela-sela jam istirahat kantorku dan kecepatan membacaku meningkat karena makin sering baca.” Bima mengeluarkan satu komik lagi untuk dirinya baca, karena komik yang tadi di tangannya sudah ia serahkan kepada Dru.

“Pengalih perhatian yang bagus ya.”

“Lumayan, thanks to you.”

Thanks udah bantu ongkos angkut barang-barangku ke rumah baru,” ucap Dru dengan blak-blakan.

Bima tertawa kecil dan kini ia benar-benar menatap Dru dengan tatapan teduh yang jarang Dru lihat sebelumnya. “Kamu….” Lelaki itu terlihat ragu untuk lanjut bicara, tapi Dru menaikkan alisnya, ia menunggu apa yang sebenarnya ingin dikatakan Bima. 

“Apa, Mas?”

“Lagi ada masalah?”

“Banyak sih.” Giliran Dru yang tertawa kecil, meski tawa itu lebih banyak sedihnya daripada cerianya. 

“Mau didengerin?” tawar Bima. “Atau mau disimpen sendiri?”

Keduanya bertukar tatap—Dru menatap Bima dengan penuh pertimbangan, sedangkan Bima menatap Dru penuh keteduhan yang menawarkan kenyamanan. Selain pulang bersama, Bima dan Dru juga sering saling mendengarkan permasalahan masing-masing.

Tidak setiap hari, memang. Tapi kalau salah satu di antara mereka merasa sedang butuh telinga untuk jadi pendengar, maka akan ada yang bicara dan ada yang hanya mendengarkan. 

“Katanya semakin tipis harapan buat Mbak Yumna sadar.” Bibir Dru kembali terkatup rapat setelah mengutarakan hal yang beberapa hari ini terus berputar di benaknya. “Papa sama mamaku mulai… gimana ya ngomongnya? Putus asa… mungkin?”

Dulu Dru tidak percaya bahwa seseorang yang sedang sedih bisa tersenyum dan mengelabui banyak orang. Pemikiran itu berubah seiring berjalannya waktu, di mana Dru harus berusaha terlihat baik-baik saja di depan banyak orang walau hatinya babak belur. 

Rupanya hal tersebut juga dilakukan orangtuanya. Dru tahu kalau hati mereka masih sangat berat untuk menerima kondisi Yumna, tapi semua semakin jelas ketika semalam ia tidak sengaja mendengar percakapan mereka.

“Mereka ngomong sama kamu?”

“Nggak.” Dru menggeleng pelan. “Aku nggak sengaja denger pas semalem mereka ngobrol. Papa dan mamaku… mulai memikirkan untuk cabut alat-alat yang ada di tubuh Mbak Yumna.”

Bima terlihat terkejut, tapi ia tidak berkomentar apa pun dan mengangguk sangat samar, menandakan bahwa Dru bisa lanjut bercerita.

“Sebenernya sejak awal kami udah dikasih tahu, kemungkinan untuk Mbak Yumna sadar itu kecil banget. Tapi kami nggak mau langsung putus harapan, makanya kami sepakat untuk Mbak Yumna di-support alat-alat itu, siapa tahu… belum waktunya Mbak Yumna pergi.

“Menurutku dengan adanya kesempatan untuk pakai life support begituberarti bisa aja ada juga kesempatan untuk Mbak Yumna bener-bener akan sadar lagi. Tapi kayaknya papa dan mamaku mulai nggak melihat harapan itu lagi.”

“Apa yang kamu pikirkan soal keputusan itu?”

“Aku… aku nggak tahu.” Dru menatap bagian belakang komik yang tadi diberikan Bima kepadanya. Di sana, terdapat label Rumah Komiko yang tidak dilepas oleh Bima karena sudah menempel selama bertahun-tahun.

Dru ingat kalau ia sering membantu Yumna untuk menempeli label-label tersebut di koleksi komik dan novelnya. Dulu Yumna sering bercanda kalau seandainya ia meninggal lebih dulu, semua koleksinya akan ia wariskan kepada Dru. Karena dibanding Tara, Dru-lah yang paling sering membaca. 

“Aku masih mau berharap Mbak Yumna akan bangun lagi, suatu hari nanti….

Tapi aku juga merasa kalau harapan itu semakin jauh.

Dru tidak menyuarakan pemikiran terakhirnya tersebut, tapi dari bagaimana tatapan Bima terarah padanya, Dru tahu kalau Bima juga tahu mengenai hal tersebut. Bima tahu bahwa Dru juga mulai putus asa dan keputusasaan itu membuat Dru takut.

“Aku takut kalau aku mulai putus asa, Mbak Yumna akan menganggapku pengecut karena nggak berani berjuang lebih keras lagi untuk dia. Sedangkan aku tahu, kalau posisinya dibalik, Mbak Yumna pasti akan selalu berjuang untukku.”

Dru menghela napas dalam-dalam. Ada kelegaan yang sedikit ia rasakan usai menceritakan beban pikirannya pada Bima.

“Kalau dari cerita-ceritamu soal Mbak Yumna, aku yakin dia nggak akan menganggap kamu pengecut.”

“Masa?” Dru tidak yakin pada dirinya sendiri. “Aku aja kabur dari kenyataan kalau mantan tunanganku hampir tinggal di satu perumahan yang sama denganku.”

“Kalau masalah kabur dari kenyataan, aku juga kabur kok.” 

Ada sentuhan hangat di atas punggung tangannya yang sejak tadi memegang komik milik Bima dan Dru tercekat karenanya.

“Setiap orang pasti pernah kabur sejenak, Dru. Tapi aku yakin, kamu bisa kembali ke titik semula,” tambah Bima lagi. “Kalau aku aja yang baru kenal kamu nggak menganggap kamu pengecut cuma karena kamu punya ketakutan, pasti Mbak Yumna juga akan berpikiran yang sama denganku.”

Bima menjauhkan tangannya dari tangan Dru yang tadi ia usap selama beberapa detik. Dru tidak tahu mana yang lebih menghangatkannya—antara tangan Bima, kata-katanya, atau sesederhana kehadirannya di samping Dru. 

Satu hal yang pasti adalah Bima berhasil membantu Dru mendorong ketakutannya, menjauh ke tepian benaknya.

***

Drupadi Keshwari: Hari ini lembur, Mas?

Bima Mahaprana: Nggak, kenapa? Kamu lembur.

Drupadi Keshwari: Aku nggak lembur.

Drupadi Keshwari: Tapi… kamu mau nggak temenin aku main sebentar?

Bima Mahaprana: Ke mana?

Drupadi Keshwari: Yang deket dari halte TJ aja.

 

Baru tadi pagi mereka bicara panjang lebar selama perjalanan ke kantor, sore ini Bima kembali bertemu dengan Dru. Kalau biasanya mereka bertemu di halte Karet Sudirman untuk langsung pulang, sore ini cukup berbeda.

“Turun di mana kita?” Bima bertanya saat mereka sudah naik di bus yang dipilih Dru.

Karena mereka benar-benar pulang tepat di jam pulang kerja, tidak ada tempat duduk yang bisa mereka duduki. Bima dan Dru berdiri berdampingan, berpegangan pada hand grip di atas kepala mereka supaya tidak terdorong jauh hingga menimpa orang saat bus berbelok atau mengerem. 

“Pasar Baru aja.”

“Pasar Baru?” Bima jadi ingat kunjungan terakhirnya ke Posbloc, di mana ia juga turun di Halte Pasar Baru. 

“Iya, ke Posbloc yuk. Pernah ke sana nggak?”

“Beberapa kali.” Bima mengangguk. “Mau ngopi?”

Kali ini, Dru menggeleng. “Mau karaoke. Kamu bisa nyanyi, Mas?”

Bima langsung meringis, firasatnya tidak enak. “Nggak, aku buta nada.”

“Masa?”

“Beneran.”

“Okelah, nggak apa-apa. Kalau cuma karaoke kan suara kamu nggak perlu sebagus penyanyi beneran.”

“Ini kita beneran mau karaoke, Dru?”

Dru mengangguk penuh semangat. “Nggak apa-apa kan?”

Seumur-umur, Bima hanya pernah dua kali pergi karaoke. Pertama kali saat ulang tahun Deka empat tahun yang lalu. Yang kedua kali saat Maya ulang tahun tiga tahun yang lalu. Di dua sesi karaoke pada tahun yang berbeda itu, Bima tidak menunjukkan perubahan.

Ia tetap buta nada.

“Aku nggak bisa menanggung biaya kamu ke THT ya,” kata Bima setelah mengangguk dan menuai gelak tawa Dru. “Atau aku nontonin kamu aja.”

“Nggak seru kalau cuma aku yang nyanyi,” tolak Dru langsung. “Nggak apa-apalah, kamu nyanyi aja, Mas. Nanti aku coba cek kalau kita mau ke THT ditanggung BPJS atau nggak.”

Bima tertawa tanpa sungkan. Komentar-komentar Dru mungkin tidak dimaksudkan untuk terdengar lucu, tapi komentarnya yang seperti itu dan diucapkan dengan ekspresi yang datar malah semakin membuat tawa Bima dengan mudahnya keluar.

Mereka turun di Halte Pasar Baru, lalu berjalan ke area Posbloc. Di sana memang ada tempat karaoke dengan konsep ruangannya yang seperti sebuah cabin. Konsepnya yang berbeda dari tempat karaoke pada umumnya, membuat tempat karaoke tersebut cukup menarik perhatian banyak orang—termasuk Dru. 

Bima cukup sering ke Posbloc, tapi baru kali ini ia ke tempat cabin karaoke tersebut. Dru mereservasi salah satu cabin untuk mereka berkaraoke selama dua jam. Sore ini Dru kelihatan lebih ceria daripada tadi pagi. Kalau tadi pagi Dru terlihat murung, sore ini Dru jadi lebih banyak bicara, menurut Bima.

“Seharian ini aku mumet banget di kantor,” cerita Dru setelah mereka tiba di cabin tempat mereka akan bernyanyi selama dua jam ke depan. “Bosku juga udah kasih warning soal performaku yang mulai turun. Jadi… kurasa aku butuh ngelepas penat dan reset otakku supaya besok bisa lebih waras.”

Bima menaruh tasnya di lantai dan duduk di bean bag yang disediakan. Dru sudah sibuk dengan mic dan tengah mencari lagu yang akan ia nyanyikan.

“Kelihatan kok,” imbuh Bima sambil menggulung lengan kemejanya. “Tapi kamu kelihatan lebih baik seperti sekarang…. Apa kamu aslinya ceria begini?”

“Mungkin….” Dru duduk di sebelah Bima dan memiringkan tubuhnya supaya bisa berhadapan dengan Bima. “Banyak orang yang komentar kalau belakangan ini aku kayak pemurung. Mungkin aku yang dulu emang ceria, tapi mungkin juga nggak. Aku bener-bener nggak tahu lagi….”

“Kamu kayak yang sering orang-orang bilang, Dru.”

“Apa?”

“Kamu adalah orang yang jiwanya mati di usia 20-an tapi tubuhnya mungkin masih akan tetap hidup sampai umur 60-an.”

Bukannya tersinggung, Dru tertawa sambil mengangguk berkali-kali. “Mungkin iya.”

Bima tidak menimpalinya lagi, hanya tersenyum dan mengedikkan dagunya ke console yang digunakan untuk memilih lagu untuk mereka mainkan. Tanpa Dru ketahui, Bima bukan hanya membicarakan soal Dru.

Bima juga termasuk ke dalam orang-orang tersebut—yang jiwanya mati, tapi raganya tetap hidup.

***

Karena keasyikan bernyanyi dan makan malam, Bima dan Dru nyaris ketinggalan bus terakhir. Keduanya berlari-lari dari Posbloc ke Halte Pasar Baru. Kaki keduanya gemetar saat akhirnya berhasil masuk dan duduk di bus terakhir yang berjalan tak sampai semenit setelah mereka masuk.

“Untung kekejar.” Napas Dru masih tersengal, lelah berlari menggunakan flat shoes yang tidak banyak membantunya. 

Bima hanya bisa mengangguk. Tangannya tergerak untuk mengusap peluh di dahinya.

“Nih.” Selembar tisu disodorkan langsung kepadanya. 

Bima menerima tisu dari Dru dan memakainya. “Thanks.”

“Makasih juga karena udah nemenin aku. Padahal aku random banget.”

“Santai aja,” balas Bima. “Udah lama juga aku nggak main kayak tadi. Kira-kira setelah ini kamu perlu ke THT nggak?”

Dinginnya bus yang lengang itu tidak menghalangi Dru untuk tertawa. Bima mengamati figur Dru dari samping, di mana wajah perempuan itu sudah tidak lagi dihiasi riasan wajah dan beberapa helai rambutnya menempel akibat peluh.

“Nggak,” jawab Dru masih dengan senyum di wajahnya. “Masih bisa ditoleransi kok.”

Dari sekian banyak pertemuan mereka, baru kali ini Bima melihat Dru yang banyak tersenyum. Sepertinya Dru benar-benar memiliki beban yang banyak hingga memutuskan untuk melepas semuanya untuk sejenak, sampai ia memilih untuk banyak tersenyum seperti hari ini.

“Syukurlah.”

Dru masih tersenyum saat menoleh ke luar jendela. Bima membiarkannya dan memejamkan matanya sejenak, meresapi hening di bus yang hanya diinterupsi oleh derum mesin kendaraan tersebut.

Bima tidak tahu berapa lama mereka diam, sampai tiba-tiba ia merasakan sesuatu terjatuh mengenai bahunya. Mata Bima terbuka dan ia mendapati kepala Dru bersandari d bahunya. 

Bima menunduk dan ternyata mata Dru sudah terpejam rapat. Sepertinya Dru tertidur dan tidak menyadari bahwa ia sedang bersandar di bahu Bima. Tidak ada keinginan untuk Bima menyingkirkan kepala Dru. Ia malah menurunkan sedikit bahunya supaya Dru bisa tidur dengan nyaman tanpa terbangun dengan leher yang ngilu.

Kamu penasaran nggak sih, Dru, kenapa dua orang dengan masalah kayak kita bisa dipertemukan seperti ini?

Bima ingin menyuarakan pertanyaan itu, tapi pada akhirnya pertanyaan tersebut hanya ia simpan di dalam hatinya. Bima percaya bahwa ada pertanyaan yang mungkin tidak ada jawabannya….

Atau jawabannya tidak harus ia dapatkan di detik ia bertanya.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tuan dan Nona Kesepian (11) #UnlockNow
24
2
Jangan lupa like dan komentarnya yaa~***TUAN DAN NONA KESEPIANSEBELAS – Tidak Semua Hal Harus Disesali “Kalau kamu bilang diri kamu pengecut, aku mungkin jauh lebih pengecut.” Bima tertawa getir. “Aku nggak bawa kendaraan sendiri karena mobilku selalu ngingetin aku tentang Maya.”Dilarang menyalin, memperbanyak, dan menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan