
Hai!
Jadi tiba-tiba iseng kepikiran, pengen bikin cerita pendek tapi ini nggak berhubungan dengan cerita-ceritaku sebelumnya. Dan sebagai tanda terima kasihku buat kalian yang selama ini dukung aku di KaryaKarsa, untuk karya ini aku gratisin aja, hihihi. Kalo mau ngasih tip, silakannn. Tapi kalo cuma mau baca aja, monggooo~
Aku sebenernya jarang nulis pakai POV 1, kayaknya selama ini cuma buat jadi konsumsi pribadi aja. Jadiiii, aku kayak masih baru banget nulis pakai gaya begini, hahaha. Semoga...
Nanti Kita Bertemu Lagi
Apa iya semua orang hidup di dalam kebohongan yang mereka ciptakan sendiri?
Tadinya aku tak pernah berpikir begitu. Mana mungkin kita menciptakan kebohongan untuk diri kita sendiri?
Tetapi, saat sekarang aku berjongkok sendirian di peron stasiun Cawang paling ujung sambil menangis, membuatku menyadari kalau memang… aku hidup dalam kebohongan yang selama ini aku ciptakan.
Sekarang aku jobless, resmi dipecat hari ini karena… entahlah.
Aku tak pernah melakukan kesalahan fatal. Hal ini dapat kubuktikan dengan tidak adanya SP yang kudapat selama tiga tahun aku bekerja. Aku juga bukan pegawai malas yang kerjanya cuma jadi free rider kalau ada proyek.
Aku pegawai cemerlang, baru mendapat promosi keduaku enam bulan yang lalu, dan KPI-ku tak pernah tak tercapai.
Semua terlihat sempurna. Aku tak pernah merasakan alergi pada hari Senin.
Sampai kemudian bos baruku mengatakan kalau ia ingin tidur denganku.
Sekali, dua kali… masih kutepis kata-katanya. Ketiga kalinya, aku mengadu ke HR yang kemudian merupakan awal dari semua petaka ini.
HR lebih memilih menutup mata karena bos baruku adalah sepupu dekat direktur. Saat bajingan itu menyentuhku di percobaan keempatnya, aku menamparnya dan buru-buru keluar dari ruang meeting.
Meeting hari itu tak jadi dilaksanakan karena setelah aku diajak teman satu timku menenangkan diri sejenak, sekembalinya ke ruangan kami… barang-barangku sudah dipindahkan ke kotak, lalu ditaruh di pintu ruangan.
Aku dipecat karena membela diriku sendiri.
Lalu, apa hubungannya dengan kebohongan yang tadi kumaksud?
Selama ini aku selalu memasukkan berbagai doktrin di kepalaku kalau aku baik-baik saja bahkan setelah ditawari untuk tidur bersama oleh bosku.
It’s okay, Sha, dia cuma bercanda.
It’s okay, Sha, dia nggak serius.
It’s okay, Sha, kamu jangan terlalu pikirin hal itu.
Nyatanya, it’s not okay. Semakin kubiarkan dan hanya kutepis sambil lalu ajakan cabulnya, semakin membesar juga ego bos sialan itu. Dia pikir aku sedang dalam mode jinak-jinak merpati, padahal aslinya aku sungguh-sungguh jijik dengannya.
“Mbak….”
Aku berjengit kaget ketika seseorang menyentuh lenganku. Ketika aku mendongak, dapat kurasakan anak-anak rambutku menempel di sekitar wajah. Hidungku juga berair.
Ketika aku menunduk, aku dapat melihat jejak air mata dan mungkin juga ingusku ada di lengan kemeja yang hari ini kukenakan.
“Mbak, nggak apa-apa?” tanya lelaki yang kini merunduk di sebelahku. Matanya terlihat mengamati wajahku dan di detik ini juga aku benar-benar… malu.
Secara spontan, aku melangkah mundur. Tetapi, kakiku yang kelamaan berjongkok ternyata kram dan alhasil aku malah jatuh terjengkang.
“Eh? Mbak,” seru lelaki itu dengan panik.
Tanpa permisi, ia meraih kedua tanganku dan membantuku untuk berdiri. Ia pun mengamati kondisiku dari atas hingga ke bawah. Saat tanganku dilepas, aku segera mencari tisu yang tadi kumasukkan ke kantong parka yang kukenakan dan mengusap wajahku secara asal-asalan.
Ada untungnya juga hari ini aku hanya pakai riasan seadanya. Kalau aku pakai maskara dan eyeliner, mataku pasti sudah seperti panda karena terlalu banyak menangis dan kuusap dengan tisu secara sembarangan.
“Mbak nggak apa-apa?” tanya lelaki itu lagi. “Maaf, saya ngagetin ya? Habisnya Mbak nangis lumayan lama, takutnya Mbak sakit atau apa.”
Lumayan lama? Berarti dari tadi aku tidak sendirian dong di sini? Dan dia mendengarku menangis meraung-raung seperti orang kehilangan akalnya?
Aku pun celingukan, menatap ke kanan dan ke kiri peron stasiun Cawang yang masih sepi. Jelas saja, aku berada hampir benar-benar di ujung peron yang tak beratap dan saat ini belum masuk rush hour.
Kupikir karena tempat pilihanku sudah sangat di pojok, aku bisa bebas menangis sendirian, tapi ternyata ada juga orang yang mendengar tangisanku.
Huh… malunya….
“Nggak, nggak apa-apa,” jawabku dengan suara yang serak.
Another lie.
Nyatanya, aku tidak baik-baik saja.
Tatapanku bertemu dengan lelaki yang mengenakan sweater dan kemeja itu. Kedua matanya dibingkai kacamata half frame tipis dan rambutnya mengingatkanku pada aktor-aktor Korea dengan gaya slanted sweep yang membuat rambut bagian atasnya tebal dan membuatnya memiliki poni.
Meski hari ini mendung, tapi ini kan Jakarta. Memangnya dia tidak merasa gerah ya?
Di luar itu, penampilannya cukup menarik, benar-benar mengingatkanku dengan lelaki di drama Korea yang nasibnya tak pernah lebih sial dari aku.
Aku tertegun ketika menyadari lelaki di sebelahku ini menatapku lebih lama dari yang kuduga. Entah dia pakai pelet apa, tapi akhirnya aku kembali bicara.
“Well, saya bohong.”
“Eh?” Dia kelihatan terkejut.
Hei, aku juga terkejut dengan diriku sendiri.
“Saya nggak baik-baik aja,” tambahku lagi. Mungkin ini efek dari mendadak dipecat, jadi otakku korslet begini. “Tapi… makasih udah nanyain orang aneh yang nangis-nangis sambil jongkok sampai kram di stasiun begini.”
Lelaki itu tersenyum penuh simpati. “Bad day?”
Biasanya aku bukan orang yang menceritakan semua hal di dalam hidupku pada orang asing. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, mungkin tidak ada salahnya menjawab secara jujur apa pun yang ia tanyakan.
Toh kami tidak akan bertemu lagi kan?
“Indeed,” jawabku. “Dipecat setelah membela diri dari pelecehan seksual. Lucu ya?” Aku tertawa garing. “Susah banget jadi perempuan kayaknya. Heran.”
Lelaki itu terperanjat. “Kamu nggak lapor? HRD-mu? Atasanmu? Polisi?”
“Lapor dan inilah hasilnya.” Aku hanya mengedikkan bahu.
Lelaki itu sepertinya bingung mau bersimpati bagaimana lagi dan aku memahaminya. Bukan kata-kata penghiburan yang basi dan sebenarnya tak lebih dari kalimat artifisial yang menjanjikan ketenangan hanya untuk satu jam, yang aku butuhkan.
“Sekarang kamu mau pulang?” tanya lelaki itu lagi ketika pengeras suara di stasiun memberi tahu kalau kereta akan datang dan berhenti beberapa saat lagi di peron ini.
Sebenarnya kalau aku mau pulang, aku harus pindah ke peron khusus untuk kereta yang akan menuju ke Bogor, bukan di sini.
Hanya saja aku malas bergerak menelusuri peron ini hanya untuk menyeberang. Lagipula aku tak tahu caranya bicara pada Mama tentang alasan kenapa aku pulang cepat hari ini.
Aku butuh waktu dan ruang berpikir untuk sejenak.
“Nggak, belum siap.” Aku meringis. “Aku mau ikutin kereta ini dulu entah sampai mana.”
“Rumahmu bukan ke arah Jakarta?”
Aku menggeleng. “Harusnya aku nyeberang karena kereta ke Bogor nanti berhenti di peron yang satunya. Tapi aku males.”
Lelaki itu tersenyum kecil, mungkin lucu melihat ada orang dewasa dengan wajah seberantakan ini dan tujuan perjalanan yang tak jelas.
Aku pun masuk ke gerbong kereta yang berhenti di depanku, begitu juga lelaki itu. Kami duduk bersisian karena kereta menuju Jakarta Kota di jam segini tak seramai saat pagi hari.
“Oh iya, makasih tadi udah bantuin saya berdiri,” kataku setelah ingat dengan jasanya. “Dan juga makasih udah nggak ngetawain muka saya yang berantakan.”
“No problem,” jawab lelaki itu.
“Turun di mana, Mas?” Biasanya aku agak malas berbasa-basi dengan orang asing di kereta. Karena lelaki bertubuh tegap ini sudah membantuku, jadi kuputuskan untuk mencoba menjadi makhluk sosial yang (agak) baik, dengan mengajaknya mengobrol sejenak.
“Jakarta Kota.” Ia menyebut pemberhentian terakhir kereta yang sedang kami naiki.
“Oh…. Kerja di Cawang?”
“Nggak, saya baru ada urusan aja di sekitar sini.” Lelaki itu menunjuk map yang ada di pangkuannya.
“Oh….” Apa lagi sih yang biasa diucapkan orang saat basa-basi begini?
Kalau aku bilang ‘oh’ sekali lagi, aku harus dapat piring!
Aku meliriknya dengan bingung dan ternyata dia juga tengah melirikku, membuatku melengos gugup karena aduh… apa sih, kayak di drama-drama saja!
Ketika mataku tak sengaja terarah pada mapnya, mataku memicing, mencoba membaca apa yang tertulis di sana. Aku tahu ini tidak sopan, tapi tulisan itu agak besar dan lumayan jelas sampai-sampai aku bisa membaca—
Akta cerai?
Hah?!
Oke… jangan norak. Tarik napas dalam-dalam, embuskan, lalu jangan bertingkah norak!
Aku tidak boleh kelihatan norak hanya karena lelaki di sebelahku ini membawa akta cerai.
Oke, jadi ada satu perempuan baru dipecat dan satu lelaki yang baru resmi jadi duda.
Wow. Hidup benar-benar penuh dengan kejutan.
“Terus Mbak mau turun di mana jadinya?”
Sepertinya aku terlalu fokus pada map yang lelaki ini bawa, sampai-sampai tak memperhatikan kalau dia ternyata masih berminat untuk bicara denganku.
“Hmmm, turun sampai ke Jakarta Kota aja, biar nanti langsung naik lagi yang balik ke Bogor, duduk, dan tidur sampai stasiun tujuan.”
Tawanya terdengar renyah, tidak merusak gendang telinga seperti tawa bos sialanku.
Eh, mantan bos, maksudku.
“Hati-hati, nanti kelewatan.”
“Nggak kok, saya selalu kebangun mendekati stasiun tujuan.” Bertahun-tahun naik kereta membuatku punya kemampuan ini—tidur lalu terbangun menjelang stasiun tujuan.
“Canggih ya. Saya nggak pernah boleh tidur kalau naik kereta, sering kelewatan soalnya,” kekehnya lagi.
“Bahaya juga ya,” sahutku apa adanya.
Lelaki itu mengangguk. Lalu, entah keberanian dari mana, aku malah bertanya, “Kalau hari ini Mas bisa ngelakuin tiga hal secara bebas tanpa ada yang ngelarang, Mas mau ngapain?”
Tentu saja pertanyaan absurd itu membuatnya terkejut. Hanya saja… inilah aku. Di saat stress, aku jadi suka melakukan hal-hal random yang tidak seperti aku yang biasanya.
Saat aku hendak membuka mulut untuk mengucapkan maaf atas pertanyaanku yang aneh, lelaki itu tersenyum dan menjawab, “Pertama, saya mau ajak Mbak makan bareng di A&W stasiun.”
Aku tergelak mendengar jawabannya. Astaga, ada yang lebih absurd dari aku ternyata. Buat apa juga dia mengajakku makan bersama di A&W padahal kami baru kenal?
“Kedua….” Lelaki itu terlihat berpikir keras. “Oh, sebelum saya ajak Mbak makan bareng, saya mau ajak Mbak kenalan.”
Lagi-lagi aku tertawa. “You’re so funny,” pujiku tanpa ragu. “Mau bilang flirty juga, tapi takut saya aja yang kepedean.”
“Saya pikir Mbak ngerasa creepy denger dua hal itu tadi.”
“Karena saya tahu Mas pasti nggak serius, jadi untuk kali ini saya anggap hal itu nggak terlalu menyeramkan.”
Lelaki itu menaikkan satu alisnya. “Saya Arsyad.”
“Eh?”
“Saya serius mau ngajak kenalan.” Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Arsyad itu tersenyum manis. “Saya Arsyad.”
“Wow.” Aku tak tahu harus bicara apa sampai-sampai hanya satu kata itu yang meluncur dari bibirku.
Aku mencoba mencari tanda-tanda kalau lelaki ini mungkin pembunuh bayaran, perampok, atau penghipnotis, tapi tidak menemukan apa pun. Mentalku saat ini kan sedang tak terlalu baik, jaga-jaga saja takutnya dia akan menghipnotisku.
Menjadi waspada bukan hal yang salah kan?
Tetapi, uluran tangan lelaki bernama Arsyad itu tak kunjung ditarik. Akhirnya aku memberanikan diri menyambut uluran tangannya dan kehangatan dari tangannya yang besar itu langsung melingkupi tanganku.
“Asha,” jawabku.
“Nama kita hampir mirip ya.” Arsyad tersenyum lagi dan aku pun menarik tanganku dari tangannya. “Kalau kamu sendiri, tiga hal apa yang mau kamu lakukan hari ini kalau nggak ada yang ngelarang?”
Arsyad mengembalikan pertanyaanku dan aku pun tertawa. “Pertama, melaporkan mantan bos sialanku ke kantor polisi.”
“Kenapa nggak benar-benar kamu lakukan?”
“Yah, bilang aja saya penakut dan cupu, tapi saya tahu, saya bakal kalah ngelawan mantan bos saya seandainya saya bener-bener lapor ke polisi.” Aku meringis.
Sepertinya Arsyad mengerti posisiku yang sulit dan bagaimana situasinya hanya dengan ceritaku yang sepotong-sepotong.
“Kedua, saya mau dapet kesempatan untuk bener-bener libur sebulan tapi nanti langsung dapet kerjaan baru lagi. Nggak apa-apa ya mengkhayal sedikit,” candaku. “Dari lulus kuliah saya selalu kerja, cuti tahunan nggak pernah bisa habis dipakai semua. Kalaupun pindah kerja, jeda waktu dari last day sampai onboarding di tempat baru paling lama cuma seminggu.
“Bukannya nggak bersyukur sih. Dulu saya anggap, saya keren karena bisa terus dapet kerjaan dengan mudah. Tapi saya jadi lupa kalau pikiran saya juga butuh jeda.”
Arsyad mengangguk paham. “Mungkin hal itu harus kamu benar-benar lakukan.”
“Kayaknya nanti mama saya shock kalau saya bilang mau rehat sebulan dulu.” Aku menggeleng, setelah ini aku harus kembali apply di berbagai lowongan pekerjaan yang ada supaya tidak terlalu lama menganggur. “Tagihan listrik nggak memikirkan kesehatan mental saya—dia tetep perlu dibayar.”
“Meskipun apa yang kamu bilang itu pahit, tapi entah kenapa kamu selalu bisa membuatnya terdengar lucu.”
“I’ll take that as a compliment,” sahutku.
“Lalu, yang ketiga?”
“Oh, baru dua ya?” Aku mengusap pelan daguku. “Hmm, pergi ke klub malam. Saya baru dua kali ke sana dan itu pun waktu kuliah aja, acara inaugurasi dan yah… nggak seseru yang sering saya lihat di film.”
Arsyad tertawa lagi. Ya ampun, apa mungkin aku ada bakat jadi pelawak ya? Sepertinya Arsyad sejak tadi banyak tersenyum dan tertawa.
Entah apa karena aku selucu itu atau karena dia pada dasarnya memang semudah itu untuk tersenyum dan tertawa.
“Mungkin kamu harus bener-bener coba ke klub malam di masa rehatmu yang sebulan.” Usulan Arsyad terdengar menggiurkan. “Jangan pergi sendirian, kalau bisa ada beberapa temanmu yang mungkin bisa membantukamu beradaptasi di sana.”
“Biar saya nggak kelihatan udiknya?”
Arsyad menggeleng tegas. “Biar kamu aman di sana.”
“Ah, I see.”
Entah berapa lama yang kami habiskan untuk mengobrol, tahu-tahu laju kereta melambat dan saat melihat ke luar jendela kereta, aku tahu kalau kami akan segera tiba di stasiun Jakarta Kota.
Kereta itu pun akhirnya benar-benar berhenti di stasiun Jakarta Kota. Aku keluar dari gerbong diikuti Arsyad yang berjalan dengan tenang di sebelahku.
“Sepertinya kita harus berpisah di sini,” kataku ketika kami berjalan beriringan di peron. “Makasih udah nemenin saya ngobrol hal-hal yang random ya.”
“Udah nggak terlalu sedih lagi?” tanyanya.
Aku mengangguk. Ternyata bicara dengan orang asing bernama Arsyad tidak buruk-buruk amat. Setidaknya aku tak menangis di kereta—seperti apa yang sempat aku pikirkan ketika tadi menuju stasiun Cawang dari mantan kantorku.
Arsyad kembali tersenyum dan aku baru sadar dia memiliki lesung pipi yang cukup dalam.
“Oh ya, kamu belum kasih tahu hal ketiga,” kataku saat kami akan berpisah jalan. Aku ingin mampir ke gerai Indomaret yang ada di sisi kiri, sedangkan Arsyad sudah hampir berjalan ke arah pintu keluar.
“Saya takut ini terdengar lebih creepy dari dua hal tadi.”
“Nggak apa-apa, kan kamu udah mau keluar juga,” candaku.
“Hm….” Arsyad menatapku selama beberapa detik, kemudian menggeleng. “Kalau nanti kita bertemu lagi, saya akan kasih tahu.”
Sebelum aku bisa merespons, Arsyad tertawa kecil dan berjalan meninggalkanku, setelah sebelumnya melambaikan tangan dengan ringan kepadaku.
Seakan-akan kami memang akan bertemu lagi….
SELESAI
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
