Hafi dan Fioletta (Bab 6-10)

4
0
Deskripsi

HAFI & FIOLETTA 

BAB 6: Ternyata Dia Benar-Benar Cantik

“Aku bukannya mau ikut campur urusan dia, Jan.” Hafi memijit pelipisnya saat mengingat pertengkarannya dengan Kristal. “Aku cuma nggak mau dia sakit hati.”

“Inilah kenapa aku dan Tata betah temenan sama playboy kaleng kayak kamu, Fi. Kamu peduli sama kami.”

Playboy kaleng?” Hafi mendengus tak terima.

Renjana terkekeh di seberang panggilan tersebut. Kemudian suaranya kembali terdengar serius.

“Percayalah, Fi. Dia tahu kalau kamu peduli dan khawatir...

BAB 6

Ternyata Dia Benar-Benar Cantik

 

“Aku lagi nggak punya pacar.”

“HAH?”

Hafi berdecak sebal saat mendengar reaksi Renjana yang berlebihan. Hell… perempuan itu hanya terlihat kalem di depan banyak orang. Tapi di depan sahabatnya, Renjana tidak beda jauh dengan Kristal yang memang dari sananya sudah heboh dan berisik.

You heard me.” Hafi memutar kedua bola matanya dengan malas. “Apa aku liburan ke Bali aja, ya, sekalian cari pacar?”

“Itu, sih, bukan pacar, tapi teman kencan selama kamu liburan di sini aja,” protes Renjana. “Nanti pas kamu balik ke Jakarta lagi juga kamu lupa sama yang di Bali.”

Hafi hanya tertawa mendengar ocehan Kristal.

“Hei, kamu masih marahan sama Tata?”

Hafi kembali mendecakkan lidah. “Siapa yang marahan? Kamu pikir aku anak kecil?”

“Emangnya bukan?” Hafi tak tahu kalau di seberang panggilan tersebut, Renjana tengah tersenyum jahil.

“Siapa suruh dia kepala batu!”

“Fi….” Renjana melembutkan suaranya. Kalau Kristal dan Hafi tengah bertengkar, keduanya tak punya perbedaan jika dibandingkan dengan Kelana. Sama-sama seperti anak kecil.

“Kristal tahu apa yang dilakukan, dia udah dewasa. Aku yakin, kalau dia benar-benar tersiksa dengan pernikahannya, dia bakal keluar dari pernikahan itu dengan sendirinya.”

“Dia bakal pergi setelah babak belur disakitin sama suaminya dulu? Kayak kamu?”

Renjana tidak menjawab, walau tahu kalau memang benar contoh yang diberikan Hafi. Renjana punya banyak kesempatan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Aiden yang jauh dari kata ideal.

Tapi ia baru pergi setelah hatinya benar-benar tidak tersisa lagi.

“Aku bukannya mau ikut campur urusan dia, Jan.” Hafi memijit pelipisnya saat mengingat pertengkarannya dengan Kristal. “Aku cuma nggak mau dia sakit hati.”

“Inilah kenapa aku dan Tata betah temenan sama playboy kaleng kayak kamu, Fi. Kamu peduli sama kami.”

Playboy kaleng?” Hafi mendengus tak terima.

Renjana terkekeh di seberang panggilan tersebut. Kemudian suaranya kembali terdengar serius.

“Percayalah, Fi. Dia tahu kalau kamu peduli dan khawatir sama dia. Tapi dia cuma… jatuh cinta. Sesederhana itu alasannya untuk tetap menikah dengan lelaki yang mengabaikan dia.”

Setelahnya, Hafi tak terlalu mendengarkan kata-kata Renjana sampai perempuan itu mengakhiri panggilannya.

Kemarin ia memang bertengkar dengan Kristal karena Hafi yang mengkritisi pilihan Kristal untuk menjemput nerakanya sendiri, menikah dengan lelaki yang tak mencintainya.

Walaupun Hafi bukan sahabat yang sempurna, ia hanya tidak ingin semua sahabatnya disakiti oleh suami mereka bahkan sejak awal menikah. Hafi tidak habis pikir, kenapa semua orang menikah hanya untuk disakiti?

Tapi Kristal yang tak terima Hafi terus memojokkannya, akhirnya meninggalkan lelaki itu sendiri di tengah-tengah acara makan malam mereka. Awalnya Hafi membiarkannya, tapi sampai lima hari perempuan itu tak menghubunginya, ia tahu kalau kali ini Kristal benar-benar sakit hati.

“Perempuan benar-benar membingungkan,” gumam Hafi sambil memainkan ponselnya. 

“Pak,” panggil Hafi pada sopir Go-Car yang tengah ia naiki dalam perjalanan menuju Dream Maker, kantor manajemennya. “Masih macet, ya?”

“Iya, Mas.” Sopir Go-Car tersebut menoleh. “Buru-buru, ya, Mas?”

“Nggak juga, sih.” Jadwal rekamannya masih dua jam lagi. Hanya saja ia belum makan apa-apa sejak bangun tidur tadi. 

“Ini beneran Mas Hafi yang penyanyi itu, kan, ya?”

Hafi tertawa kecil saat mendengar pertanyaan sopir tersebut. Mobilnya sedang dibawa ke bengkel oleh manajernya. Jadi ia memilih untuk naik Go-Car untuk menuju studio.

“Boleh minta tanda tangannya nggak, Mas?” tanya sopir tersebut. Kebetulan mobilnya masih stuck karena kemacetan yang tak kunjung bergerak. “Anak saya ngefans banget sama Mas Hafi. Di rumah nyetelnya lagu Mas Hafi terus.”

“Boleh, Pak. Anak Bapak umur berapa?”

“Tujuh belas tahun.”

Hafi kembali tersenyum saat menerima selembar kertas dan pulpen yang diambil dari dasbor. Ia dengan luwes menandatangani kertas tersebut sambil bertanya, “Nama anak Bapak?”

“Amanda, Mas.”

Hafi pun menuliskan nama Amanda di kertas tersebut. Ketika ia selalu memberi nama orang yang meminta tanda tangannya, mereka akan selalu merasa spesial dan Hafi senang melakukannya.

“Nggak sekalian foto atau video buat anak Bapak?” tanya Hafi iseng.

Hafi sendiri bukan artis yang menolak memberi foto atau video untuk penggemarnya. Hafi sadar ia tidak akan ada di posisi ini jika tidak ada penggemar. Dan meluangkan waktu di tengah kemacetan ini tentu bukan hal yang sulit.

“Boleh, M-mas?” tanya sopir tersebut dengan suara gemetar. “Nanti ngerepotin masnya….”

“Nggak apa-apa, Pak, kalau Bapak juga nggak keberatan. Toh kita lagi kena macet ini. Hitung-hitung buat ucapan terima kasih saya ke anak Bapak.”

Hafi pun merekam video singkat dengan khusus menyebut nama Amanda di ponsel sopir Go-Car-nya tersebut. Sopirnya berkali-kali mengucapkan terima kasih dan hal itu menghangatkan hatinya.

Mobil pun kembali berjalan ketika kemacetan mulai sedikit terurai. Saat sedang membuka Instagram-nya, Hafi teringat sosok Fioletta yang semalam ia teriaki dengan toa. Ingatan tersebut berhasil membuatnya tertawa.

Iseng, Hafi mengetik nama Fioletta di daftar following akun Kiana. Muncul akun FiolettaDK dan Hafi langsung menggulirkan jemarinya di akun milik perempuan tersebut.

“Wow, estetik banget,” puji Hafi tanpa sadar. 

Tone warna Fioletta cenderung warm dengan palet warna cokelat yang hangat mendominasinya. Dari sekian banyak foto, hanya bisa dihitung jari foto yang menampilkan wajah Fioletta.

Kebanyakan fotonya adalah foto-foto lanskap yang diambil dengan DSLR-nya atau dengan kamera analognya. Fioletta selalu mencantumkan tipe kamera dan lensa yang ia pakai, Hafi mengira hal itu ia lakukan karena banyak yang bertanya di kolom komentarnya.

Jarinya berhenti di foto yang menampilkan wajah tanpa makeup Fioletta. Foto pertama yang dia unggah di Instagramnya. Perempuan itu terlihat cantik dengan wajah yang terbias sinar matahari sore.

That golden hour, kalau kata orang-orang.

Tatapannya ke kamera membuat Hafi tersihir beberapa saat untuk terus menatapnya, sampai kemudian sebuah panggilan masuk mengagetkannya.

“Udah nggak marah?” sapa Hafi begitu menjawab panggilan Kristal tersebut.

“Aku mau makan gelato.”

Hafi tertawa senang. “Udah nggak marah berarti.”

“Huh.”

“Maafin aku, ya, Princess,” ucap Hafi sungguh-sungguh. “Aku cuma nggak mau kamu sakit hati sama si Kai yang jelas-jelas nganggurin istri secantik dan sebaik kamu.”

“Tumben kamu muji aku?”

“Bisa serius nggak, sih, Ta?” gerutu Hafi yang membuat sahabatnya itu tertawa. “Tapi kalau itu emang pilihan kamu, ya udah. Bukan berarti kemarin aku nggak mau untuk jadi sandaran kamu kalau kamu lagi ada masalah, tapi menurutku kamu layak dapet laki-laki yang lebih baik.”

“Makasih, ya, Fi,” ucap Kristal dengan lembut dan kembali membuat Hafi tersenyum. “Aku tahu maksud kamu baik.”

“Iyalah, aku, kan, sahabat yang baik.”

“Walaupun kadang-kadang songong,” imbuh Kristal.

Keduanya kembali baik-baik saja seperti sebelumnya dan hal itu tentu membuat Hafi senang. Rencananya sore nanti ia ingin meminta maaf pada Kristal dengan mendatangi kantornya. Tapi perempuan itu sudah meneleponnya lebih dulu.

“Hah, kenapa, sih, ponsel ini?” gerutunya saat layar ponselnya sempat stuck selama beberapa detik ketika ia ingin mengakhiri panggilan tersebut karena sudah hampir sampai di Dream Maker.

Saat kemudian ponselnya kembali normal, ia masih menekan layarnya beberapa kali dan mengakibatkannya menyukai foto Fioletta di Instagramnya, hal terakhir yang ia buka sebelum menjawab panggilan Kristal.

“Oh, shit.”

Kenapa juga ia harus menyukai postingan paling awal milik Fioletta yang diunggahnya tiga tahun yang lalu itu?

 

post-image-62d972bf7b91f.JPG

 

BAB 7

Karena Dia adalah Hafi

 

Fioletta mengawali kariernya sebagai penyanyi dan komposer secara tidak sengaja. 

Di tahun terakhirnya kuliah, Fioletta yang punya banyak waktu luang karena skripsi dan tengah stres karena dosen pembimbing yang benar-benar seperti cobaan hidup yang berat, mengalihkan stresnya untuk membuat lagu dan mengunggahnya di Soundcloud dan Youtube.

Dari sanalah kemudian Fioletta mulai serius mengerjakan apa yang selama ini jadi impiannya, menjadi penyanyi. Hingga akhirnya ia merilis album pertamanya secara independen, tanpa bergabung dengan label mana pun.

Semua orang tahu lagunya lewat mulut ke mulut, penampilannya di kafe dan pentas seni yang bertebaran di Bandung, dan keberaniannya untuk ikut bergabung di gigs atau pertunjukan khusus untuk penyanyi indie baru.

“Lagu Kiana yang baru bukannya udah lama kamu ciptain, ya? Kok baru rilis sekarang?”

Fioletta yang sedang melihat-lihat koleksi album penyanyi dan band indie yang baru datang ke MUSIKAL, langsung menoleh dan tersenyum saat melihat siapa yang bertanya padanya.

“Hai juga, Vito,” sapa Fioletta setengah menyindir.

Vito menunjukkan cengirannya yang lebar. “Udah lama nunggu?”

“Belum.” Fioletta menggeleng. “Laper, nih. Makan, yuk.”

“Boleh.” Tatapan Vito jatuh pada deretan album di hadapannya. “Emangnya udahan milih yang mau dibeli?”

Fioletta mengangguk, kemudian menunjukkan album terbaru Barasuara dan Stars & Rabbit. “Aku mau beli ini doang buat hari ini. Yuk, tinggal bayar, kok.”

Vito mengikuti Fioletta menuju kasir. Matanya mengamati penampilan Fioletta yang begitu santai hari ini. Mengenakan celana jeans tiga perempat yang sudah belel, oversized sweatshirt, dan bucket hat yang memang sering ia pakai kalau ia pergi keluar.

Hari ini adalah hari Sabtu, Fioletta mengajaknya bertemu di kawasan Blok M karena ingin mampir ke gigs yang diadakan di kawasan M Bloc Space. Sebelum ke sana, ia menyempatkan diri mampir ke MUSIKAL untuk membeli album incarannya.

Vito sendiri memutuskan untuk bertemu di MUSIKAL karena kalau M Bloc Space sudah ramai, akan menyulitkan untuk mereka bisa langsung bertemu.

“So, how’s your life?” tanya Vito saat mereka keluar dari MUSIKAL dan berjalan menyeberangi area terminal bus Blok M.

Rasa lapar Fioletta hilang saat melihat tukang siomay begitu keluar MUSIKAL dan ia memutuskan untuk membeli jajanan tersebut untuk mengganjal perutnya.

Setelahnya, mereka keluar dan kembali menyeberangi jalan raya yang cukup ramai di akhir pekan ini menuju M Bloc Space.

“Hm… good, I think.” Kemudian Fioletta teringat pada dua kali pertemuannya dengan sosok Hafi yang menyebalkan. “Minus ketemu playboy jadi-jadian, my life so far is good.”

Playboy jadi-jadian?” Vito meraih tangan Fioletta ke dalam genggamannya selama mereka menyeberangi ruas jalan yang cukup besar tersebut. 

Tak ada zebra cross atau JPO yang mengarah menuju tujuan mereka. Jadi biasanya orang-orang memang akan ekstra berhati-hati ketika menyeberang. 

Ketika sudah sampai di seberang, dengan kasual Vito melepas genggaman tangannya pada Fioletta.

“Hafi Keswara.” Fioletta tak tahan untuk tak menyebut nama tersebut dengan nada sinis. “Saya baru kali itu ketemu langsung dan… nggak ngerti kenapa perempuan lain bisa tergila-gila sama dia.”

“Simply, because he IS Hafi Keswara, Le.” Vito menjawab sambil tertawa. “Hati-hati, nanti naksir. Love-hate relationship itu bukan cuma sekadar jokes, lho.”

Fioletta menatap Vito dengan tak percaya. “Please, To, itu cuma ada di novel-novel yang kamu tulis.”

Keduanya berjalan masuk kawasan M Bloc Space dan menuruni undakan tangga yang terbuat dari kayu. Keduanya berjalan menelusuri jalan yang diapit dua dinding dengan mural yang baru setengah jadi.

Saat itu kawasan M Bloc Space memang baru diresmikan dan dibuka untuk umum. Belum banyak orang yang tahu tentang tempat tersebut dan para seniman yang mengisi mural masih berproses untuk memenuhi dinding putih tersebut dengan karya mereka.

Setelah puas mengelilingi kawasan tersebut, Vito mengajak Fioletta kembali ke tangga karena gigs yang mereka akan tonton sudah mau dimulai.

“I love this place,” ucap Fioletta sambil duduk di undakan tangga terakhir, tatapannya tertuju pada personel band indie yang hari ini dijadwalkan tampil sebagai pengisi acara pertama. 

Undakan tangga tersebut juga berfungsi sebagai bangku penonton. Fioletta jadi mengingat masa-masa awal mula perjalanannya menjadi penyanyi dulu ketika berada di bangku penonton seperti saat ini.

“Me too.” Vito tersenyum saat melihat Fioletta yang tatapannya menerawang ke depan. “Oh, ya, buku baruku udah jadi, lho. Ini aku dikirimin bukti cetaknya.”

“Wah!” Fioletta langsung menoleh pada Vito dengan mata berbinar. “Buat saya dong, boleh nggak?”

“Ya, emang buat kamu.” Vito ikut tersenyum saat melihat bagaimana antusiasnya Fioletta terhadap buku-bukunya. “Spesial, nih, kamu orang pertama yang punya. Kemarin pas aku tanda tangan buat pre-order, aku sengaja minta bukti cetak duluan karena tahu kita mau ketemu.”

“Duh, baik banget. Yang baik begini kok masih jomblo, sih?”

Ledekan itu sudah terlalu sering didengar oleh Vito, apalagi dari mulut Fioletta, yang kalau sinis bisa sangat tajam, tapi kalau sedang senang bisa jadi sangat manis. Seperti saat ini.

“Tolong ngaca, ya. Kamu juga jomblo. Kemarin aku lihat InstaStory Ale kayak yang galau banget.”

Fioletta berdecak pelan. “Saya yakin kamu bisa bales sindiran tadi dengan lebih baik lagi daripada yang barusan.”

Vito tertawa kencang, untung saja riuh tepuk tangan penonton yang menyambut band pertama yang tampil mampu meredam tawa Vito.

“Jadi….” Vito berbisik pada Fioletta ketika MC mulai memperkenalkan pengisi acara hari ini. “Kenapa sama Hafi? Nggak mungkin kamu bisa ngomongin orang kalau cuma ‘lihat’ dia doang.”

Fioletta mendengus pelan. Vito sudah terlalu mengenalnya sampai tahu hal sedetail itu.

“Dia mengganggu misi saya,” ucap Fioletta sambil mengingat kembali pertemuan mereka.

Hanya ada dua orang yang tahu jelas mengenai misi balas dendamnya terhadap Sagara—Kiana dan Vito.

Sebenarnya Fioletta tak ingin memberi tahu siapa pun, biarlah itu menjadi rahasianya sendiri. Tapi setelah memikirkan semua langkah rencananya, Fioletta memutuskan harus ada orang yang tahu. Jaga-jaga kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya.

“Misimu untuk Sagara?”

Fioletta mengangguk. “Dua kali saya ketemu dia, dua kali itu juga dia benar-benar mengganggu.”

“Le, mungkin Tuhan mengirimkan Hafi untuk membuatmu berpikir ulang tentang rencanamu.”

Vito tak pernah benar-benar setuju dengan rencana A, B, C, atau bahkan rencana D milik Fioletta. Tapi Fioletta hanya memberitahukannya, bukan meminta persetujuan darinya.

Jadi ia tidak bisa melarang perempuan itu, Vito hanya bisa meminta Fioletta berhati-hati.

“Ck.” Decakan kesal Fioletta yang terdengar samar-samar mengembalikan Vito dari lamunannya. “Jangan harap, deh. Saya datang bukan untuk membatalkan rencana itu hanya karena laki-laki, To.”

Diam-diam, Vito menghela napas. “Janji, ya, Le, kamu harus hati-hati selama melakukan apa pun rencanamu itu.”

“Tenang aja, saya bisa survive hidup sampai hari ini, berarti saya bisa menghadapi Sagara.” Dengan ringan, Fioletta menepuk punggung tangan Vito beberapa kali. “Sekarang, mending kita nontonin mereka yang lagi tampil dulu.”

 

post-image-62d972bf7b91f.JPG

 

BAB 8

I Don’t Do Romance

 

Di tengah keriuhan HAKA Dimsum yang terletak di Kemang dan buka 24 jam, Vito mengamati bagaimana Fioletta yang dengan santainya mengetukkan jemarinya ke permukaan meja sembari menunggu pesanan mereka datang. 

HAKA Dimsum selalu ramai, apalagi malam Minggu seperti ini. Berjarak dua meja dari meja yang mereka tempati, ada segerombolan laki-laki dengan seragam batik. Yang Vito tebak dari obrolan mereka, baru pulang dari acara kondangan temannya.

“Kebiasaan, deh, kamu, To.”

Ucapan Fioletta membuat Vito menoleh dan mendapati Fioletta tengah menatapnya. Lelaki yang tinggi tubuhnya hanya berbeda lima senti dari Fioletta itu tertawa kecil.

“Mereka ngobrolnya seru.” Sebagai penulis, salah satu hal yang sering ia lakukan adalah mengobservasi hal-hal di sekitarnya. 

Fioletta tertawa kecil mendengar alasan Vito. Tidak lama kemudian, pramusaji mengantarkan pesanan mereka. 

Dua botol minuman bersoda bernama Badak, soda buatan lokal yang melegenda di Medan, Pematang Siantar, dan sekitarnya. Kemudian ada pao telur asin dengan warna hitamnya yang menggoda di mata Fioletta, charsiu pao, mantao kukus, mantao goreng.

“Terima kasih,” ucap Fioletta yang menuai senyum dari pramusaji lelaki tersebut.

“Sebentar, ya.” Vito beranjak dari kursinya. “Aku ambil sumpit sama sausnya dulu.”

Fioletta mengangguk dan menata makanan mereka yang baru sampai di meja dengan senyum di bibirnya. Setelah gigs tadi, sebenarnya mereka bingung mau makan apa walaupun di kawasan Blok M banyak tempat makan yang enak—termasuk HAKA Dimsum, tempat makan favorit Fioletta. 

Tapi HAKA Dimsum di Blok M ramainya lebih tidak masuk akal daripada cabang mereka yang di Kemang. Makanya Vito dan Fioletta memutuskan melipir ke sini.

Menu favorit Fioletta adalah pao telur asin yang sama sekali tidak asin, menurutnya. Padahal dulu ia pikir pao telur asin akan terasa asin dan aneh, tapi siapa sangka ia kini adalah penggemar pao berwarna hitam tersebut.

“Here you go.” Vito menyodorkan sepasang sumpit pada Fioletta yang diterima dengan senyum simpul.

“Thank you.”

Jam di pergelangan tangan Vito menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi pengunjung restoran yang khusus menyajikan dimsum tersebut tidak pernah surut. Fioletta dan Vito bahkan harus masuk waiting list sebelum mereka bisa duduk seperti ini.

Di sela-sela obrolan mereka mengenai musik dan buku, Fioletta tiba-tiba teringat sosok ibu Vito yang sudah cukup akrab dengannya. “Tante apa kabar?” 

“Baik.”

Awalnya Fioletta tak sadar dengan perubahan emosi Vito. Tapi saat ia mendongak setelah membelah pao telur asinnya, ia sadar kalau raut wajah Vito berubah jadi muram.

“Kenapa, To?”

“Nggak apa-apa.” Kali ini Vito kembali melanjutkan makannya. Tapi Fioletta tahu kalau selera makan Vito sudah hilang.

“Kamu mau charsiu pao-nya lagi nggak?” Vito menyerah untuk menghabiskan pao-nya yang tersisa satu lagi dan mendorong piringnya ke arah Fioletta.

Sebenarnya Fioletta sudah kenyang karena memesan cukup banyak, tapi sejak dulu prinsipnya adalah untuk tidak menyisakan makanan.

“Tapi kalau kamu udah kenyang nggak usah dipaksain,” cegah Vito dengan buru-buru saat melihat raut wajah Fioletta.

“Nggak apa-apa.” Perempuan itu menjawab dengan cepat. “Sayang kalau disisain, nanti pao-nya nangis.”

Jadi dengan tenaga yang tersisa, Fioletta mengangguk dan memakan charsiu pao milik Vito.

“Pulang, yuk.” Perempuan itu berkata setelah mereka hanya saling diam setelah lima belas menit. “Saya pesen Go-Jek dulu.”

“Eh, nggak usah. Aku anter aja.”

“Saya udah pindah, To.”

“Pindah?” Vito fokus untuk menyerahkan uangnya untuk membayar pesanan mereka. “Ke… oh, kamu jadi pindah ke La Maison?”

Fioletta mengangguk. Keduanya pun menuruni undakan tangga yang hanya bisa dilalui oleh satu orang, dengan dinding yang ditempeli stiker, koran, dan gambar-gambar khas oriental zaman dulu.

Berbeda dengan Vito, Fioletta tidak mempunyai kendaraan sama sekali. Vito memang sering mengantarnya karena perempuan itu pasti akan kalah adu debat kalau sudah bicara dengan Vito.

SUV tersebut melalui jalanan Kemang yang sudah mulai sepi karena waktu hampir tengah malam. Ketika Fioletta menyalakan stereonya, ia langsung tertawa—suatu hal yang jarang dilihat orang lain.

“Vito!” serunya kesal. “Kenapa kamu simpan CD album saya di sini?” 

Di luar dugaannya, mendung di wajah Vito mulai berkurang dan lelaki itu menjawab sambil tersenyum tipis. “Seperti kamu yang mengapresiasi buku-bukuku, aku juga mengapresiasi musik kamu.”

“Thank you. It means a lot for me.”

“My pleasure.” Vito kembali fokus dengan jalanan di depannya. “Ah, ya, sejak kapan kamu pindah?”

“Baru beberapa hari.” Fioletta melirik pada Vito dan akhirnya memutuskan untuk bertanya, “Kamu kenapa? Suasana hatimu berubah drastis sejak saya tanya soal ibumu.”

Vito masih fokus menatap jalanan di depannya. Jalanan di depan mereka cukup gelap karena jarak lampu jalan satu sama lain cukup jauh hingga cahayanya hanya menyisakan remang.

“Perempuan itu… dateng lagi kemarin. Dengan nggak ada rasa bersalahnya.” Raut wajah Vito berubah jijik. “Aku nggak tahu kenapa manusia bisa sejahat itu, melakukan kejahatan lalu melupakannya dengan mudah.”

Fioletta langsung tahu apa yang dimaksud Vito. ‘Perempuan’ yang dimaksud oleh Vito adalah perempuan yang membuat Vito jadi agak antipati terhadap perempuan. Vito memandang sebuah hubungan laki-laki dan pria hanya kamuflase yang mungkin digunakan orang lain untuk menyembunyikan topengnya.

Seperti tantenya, yang terlihat hidup bahagia bersama om dan anak-anaknya. Namun ia tetap melecehkan Vito sejak umur lima tahun, saat ia, kakak, dan ibunya menumpang di rumah mereka.

Sejak itu Vito bisa menulis puluhan novel romance, tapi tidak untuk merasakannya.

“You know why I don’t do romance, Le,” ujar Vito setelah mereka terdiam selama beberapa saat. “Aku hanya… apa ada orang yang mau menerima aku dengan masa lalu seperti itu?”

Trauma terhadap pelecehan memang tidak memandang jenis kelamin. Siapa pun bisa menjadi korban dan hidup dalam bayang-bayang trauma selama hidupnya.

Fioletta telah mengetahui cerita Vito sejak pertemuan ketiga mereka dan ia tak masalah akan masa lalu Vito. Sebagaimana Vito tak pernah benar-benar pergi meninggalkannya karena ia ingin membalas satu kematian untuk Sagara Zantman.

“Dia… nggak ngapa-ngapain kamu, kan?”

Kali ini Vito terkekeh seraya menjawab, “Nggak, nggak berani juga mungkin. Tapi ngelihat dia di satu apartemen bener-bener membuatku muak. Makanya aku sementara ini pindah ke apartemennya Jefan.”

Fioletta mengusap bahu Vito untuk menguatkannya. “It’s okay, To. It’s okay.”

“Yeah.” Vito mengangguk samar. “I hope everything will be okay.”

Selama mengantar Fioletta, beberapa kali Vito mencuri pandang ke arah Fioletta. Sejak bertemu dengan perempuan ini, Fioletta-lah yang menjadi muse utama hampir semua tokoh perempuan di novelnya belakangan ini.

I don’t do romance, bisik Vito dalam hatinya. Tapi aku tahu kalau hanya dia yang bisa membuatku memikirkan kembali prinsip tersebut.

 

post-image-62d972bf7b91f.JPG

 

BAB 9

Urus Urusanmu Sendiri

 

Fioletta bergabung dengan Big Screen di tahun ketiganya berkarier sebagai penyanyi.

Setelah menjadi lulus kuliah, ia sempat berkarier menjadi copywriter di sebuah ahensi yang kantornya berada di kawasan Blok M, di menara Sentraya. Walaupun begitu, ia juga masih menekuni kariernya sebagai penyanyi walau untuk membagi waktunya dengan bekerja ia harus mengorbankan banyak hal.

Sampai hampir dua tahun ia mulai menjadi komposer dan lagunya mulai banyak dinyanyikan penyanyi terkenal, Kiana mengajaknya bergabung ke Big Screen.

“Tapi kamu tahu kan aku masih punya idealisme yang mungkin nggak bisa dilebur sama manajemen. Is that okay?” tanya Fioletta saat itu.

Jawabannya ia terima dari Bang Yoga, orang yang kemudian menjadi manajernya. Big Screen justru adalah tempat yang tepat jika ia ingin berkembang dan melebarkan sayapnya dengan mempertahankan idealismenya sebagai penyanyi dan komposer.

“Mau ke mana abis ini, Le?” 

Fioletta menoleh dari catatan chord gitar dan lirik yang ada di hadapannya. “Hm?”

“Abis ini mau ke mana?” tanya Bang Yoga dengan sabar. “Pulang, gih. Kamu udah di studio dari kemarin sore, lho.”

“Oh, iya, ya?” Pantas saja tubuhnya sudah pegal-pegal. “Nggak berasa.”

Bang Yoga tertawa sambil menggeleng pelan. “Kamu kalau udah masuk studio suka lupa waktu. Udah sana, pulang. Ini lagu yang buat soundtrack film itu, kan? Deadline-nya masih lama, mending kamu jadi manusia normal dulu sekarang.”

Bang Yoga sudah seperti abang yang tidak Fioletta miliki. Maka dari itu Fioletta memilih untuk menurut. 

Sejak kemarin ia memang berdiam diri di studio untuk mixing lagunya yang akan jadi soundtrack film yang akan dirilis oleh Big Screen. Kadang-kadang ia ditemani anggota band pengiringnya yang juga mengisi bagian instrumen lagu tersebut.

Tapi seringnya Fioletta hanya sendirian di studio dan ia menyukai hal tersebut.

“Oke, saya balik, ya, Bang.” Fioletta meraih tasnya yang ia letakkan di pojok ruangan dan menyampirkan talinya di bahu kanan. “Duluan, Bang.”

“Mau dianter nggak?”

“Nggak usah. Saya naik Go-Car aja.”

Bang Yoga tak memaksa karena biasanya Fioletta tak suka jika dipaksa untuk diantar. “Ya udah, hati-hati.”

Fioletta keluar dari studio dan menyempatkan diri untuk mencuci muka dan sikat gigi di kamar mandi yang tersedia. Setelah merasa sedikit lebih segar, ia pun berganti baju dengan baju yang selalu ia bawa jika akan mixing di studio.

Selesai berganti pakaian, Fioletta tak langsung memesan Go-Car karena pesan WhatsApp dari Vito. Ia pun memutuskan untuk membalas pesan tersebut sambil kembali duduk di studio. 

 

Vito K: Di mana? Big Screen nggak?

Fioletta D: Iya nih, baru mau balik abis nginep.

Vito K: Ngapain nginep di sana? Jambore?

Vito K: Maksi bareng yuk. Aku lagi deket BS nih, palingan 10 menit doang naik mobil.

Fioletta D: Oke, yuk.

Vito K: I’ll pick you up then.

 

“Nggak jadi pulang?” Bang Yoga yang kembali masuk ke studio karena saat di lorong tadi ia melihat Fioletta masuk lagi, bertanya dengan bingung.

“Nggak jadi. Mau makan siang sama Vito.” Fioletta mulai berpikir akan makan apa nanti bersama Vito. 

“Kamu nggak pacaran aja sama dia, Le?”

Fioletta langsung menatap Bang Yoga dengan horor. “Bang Yoga kenapa jadi orang nanyanya random banget, deh?”

Lelaki yang delapan tahun lebih tua dan sudah punya seorang anak itu tertawa mendengar pertanyaan Fioletta. “BS juga nggak ngelarang kamu pacaran. Walaupun barisan cowok-cowok yang ngefans sama kamu pasti bakalan patah hati berat juga, sih, nantinya.”

Fioletta meringis mendengar pernnyataan tersebut. “Saya bukan Raisa, Bang. Jadi kayaknya nggak bakal gitu-gitu amat.”

Bang Yoga hanya bisa menggeleng pelan. Perempuan ini suka tidak sadar kalau bakat, popularitas, dan loyalitas fansnya adalah hal terkuat yang saat ini ia punya. 

Kadang Bang Yoga sendiri suka heran kenapa Fioletta suka terlalu merendah padahal kualitas dirinya memnag benar-benar bagus. Tapi setidaknya itu adalah hal yang bagus jika dibandingkan dengan penyanyi populer lainnya di BS—Olla, misalnya.

“Saya nggak akan pacaran sama Vito atau sama siapa pun, Bang,” ucap Fioletta dengan yakin.

“Hati-hati sama omonganmu sendiri, Le.” Bang Yoga memperingatinya sambil tersenyum. “Kita kan nggak pernah tahu gimana rencana Tuhan.”

Fioletta memilih untuk tak kembali meladeni kata-kata Bang Yoga dan hanya mengiakannya dengan anggukan. Lima menit kemudian, ia pun pamit untuk turun ke lobi supaya Vito tidak perlu menunggu lama saat sudah sampai di Big Screen.

***

Hafi mendecakkan lidahnya. Ia sedang bosan, tapi ia tak bisa main ke kantor Renjana karena perempuan itu sedang meeting

Sebenarnya tadi pun ia baru selesai makan siang dengan Kristal. Tapi perempuan itu tidak bisa membolos setengah hari karena ada meeting di jam dua siang.

Jadilah ia berkeliling Plaza Senayan sendirian. Bosan mengitari Sogo karena tidak ada yang ia ingin beli juga, Hafi keluar dari Sogo dan mampir ke Periplus yang letaknya cukup di ujung.

Setelah membeli dua buku, buku tentang Ikigai dan The Art of War-nya Sun Tzu (karena miliknya yang lama dijarah oleh Kristal), lelaki itu pun keluar dan kembali mengitari mall tersebut. 

Rencananya ia akan menonton film sendiri jam tiga nanti dan baru akan hangout lagi bersama Renjana dan Kristal.

Hafi memang memiliki jadwal yang padat. Tapi kalau sedang libur, ia bisa merasakan bagaimana rasanya jadi pengangguran. Seperti saat ini.

Saat ia melirik ke arah Union, matanya tidak sengaja menangkap sosok yang akhir-akhir ini menghantui kepalanya.

Perempuan itu mengenakan sepatu Docmart berwarna marun dengan skinny jeans hitam dan blus peach yang modelnya seperti crop karena potongannya menggantung sampai perutnya.

Penampilan Fioletta kalau dibandingkan dengan dua sahabatnya sangat berbeda jauh. Bukan dari mereknya (karena Hafi tidak memusingkan hal itu), tapi dari gayanya.

Renjana dan Kristal bisa dibilang cukup feminin untuk selera pakaiannya. Walaupun Kristal-lah yang lebih sering mengenakan rok di antara dua sahabat Hafi itu. Tapi gaya pakaian Fioletta cenderung stick with basic and boyish style.

Tidak terlalu tomboy, tapi juga bukan orang yang suka mengenakan rok. Semalam Hafi membuang waktunya selama dua jam untuk mencari tahu mengenai Fioletta, dan hanya ada tiga foto dari ratusan foto Fioletta, yang di mana perempuan itu mengenakan rok.

Hafi sendiri sebenarnya tidak tahu kenapa ia sangat penasaran dengan Fioletta. Mungkin dari tatapannya yang seakan mengundang namun begitu didatangi malah menendangnya menjauh.

Mungkin dari ciri khasnya yang bicara menggunakan ‘saya’. Mungkin dari… entahlah.

Matanya mengamati bagaimana Fioletta terlihat akrab dengan laki-laki yang tak sempat Hafi lihat wajahnya. Tanpa sadar ia mengikuti Fioletta dari belakang dan menjaga jarak. Untung mall tersebut sedang tidak terlalu ramai. Mungkin orang yang menyadari kelakuannya akan segera meneriakinya sebagai penguntit.

Saat Fioletta berdiri di depan lorong di mana toilet berada dan tidak ada lelaki yang tadi bersamanya, Hafi menggunakan kesempatan ini untuk menghampiri Fioletta.

“Ternyata kamu punya pacar, ya.”

Fioletta yang tadinya sedang menulis draf kasar lirik lagu yang tadi muncul tiba-tiba di kepalanya, langsung mendongak dari ponselnya untuk menemukan Hafi Keswara dalam balutan pakaian kasual, tengah menatapnya dengan intens.

“Who says?”

“Aleandro itu pacarmu—eh, ralat. Mantan kamu, kan?”

Fioletta mengedikkan bahunya. “Kamu nyamperin saya cuma buat nanya itu?”

“Emangnya nggak boleh.”

“Aneh,” ejek Fioletta tanpa ragu. 

“Baru kamu doang yang ngatain aku aneh.”

“Saya seneng jadi yang pertama.”

Hafi tertawa mendengar jawaban Fioletta yang dilontarkan dengan jutek. “Kamu sama siapa? Pacar baru?”

Fioletta menghela napas, terganggu dengan kehadiran Hafi. “Bukan urusanmu.”

Tapi bukan Hafi namanya kalau mau mendengar kata orang lain. “Aku cuma penasaran.”

“Letta?”

Hafi menoleh saat mendengar orang lain memanggil Fioletta dengan ‘Letta’. Saat itulah tatapannya bertemu dengan orang yang pernah ia lihat di pernikahan Kai dan Kristal.

Vito Kataraga.

 

post-image-62d972bf7b91f.JPG

 

BAB 10

Akhirnya Kita Bertemu

 

“Hafi, kan?” 

“Iya.” Hafi mengangguk. “Kamu Vito yang temennya Kai, kan? Kayaknya kita pernah ketemu di resepsi pernikahan mereka.”

Vito mengangguk dan keduanya berjabat tangan. Fioletta menatap keduanya dengan heran. Ia tahu kalau Vito merupakan sahabat Kai, Presiden Direktur dari Big Screen.

Tapi ia tidak tahu kalau ternyata Vito dan Hafi bisa saling kenal. Dan… mereka bertemu di resepsi pernikahan Presiden Direktur-nya itu?

“Hafi ini sahabat dari istrinya Kai, Le,” jelas Vito yang sepertinya bisa membaca kebingungan di wajah Fioletta.

Fioletta mengangguk samar. “Ah… begitu.”

Kemudian tatapan Vito beralih pada Hafi. Fioletta memang sudah bercerita mengenai Hafi yang menurutnya menyebalkan, tapi ia tidak bisa bersikap seolah ia sudah mendengar semua cerita itu dari Fioletta di depan Hafi.

Maka dari itu Vito memutuskan untuk pura-pura tidak tahu dengan aura permusuhan yang dikeluarkan Fioletta dan ketertarikan yang jelas terlihat di mata Hafi. Vito berusaha mengabaikan dua hal tersebut.

“Kalian udah saling kenal? Dunia hiburan memang sesempit itu, ya.”

“Ah, nggak juga,” tukas Hafi dengan kedua tangan yang berada di saku celana jeans-nya. “Kami belum begitu kenal, kok.”

Vito mengangguk paham. “Kamu mau ke mana? Lagi jalan sama pacarmu?”

Hafi menahan diri untuk tidak meringis saat mendengar pertanyaan Vito. Padahal jelas-jelas ia berdiri di sini sendiri, tapi kenapa menanyakan di mana pacarnya?

Sepertinya sudah susah melepaskan diri dari imej playboy yang ia buat bertahun-tahun lamanya.

Lagi jalan sendiri untuk quality time saja membuatnya dikira sedang kencan.

“Mau nonton,” jawab Hafi jujur, walaupun jadwal filmnya masih lama. Tapi toh kedua orang di hadapannya ini tak perlu tahu. “Kalian lagi kencan?” balas Hafi tanpa tedeng aling.

Vito tak bisa menahan tawanya begitu mendengar pertanyaan Hafi. “Bisa dibilang begitu. Kami habis kencan, baru setelah ini mau nganter Fioletta pulang karena dia habis di studio semalaman.”

Hafi adalah aktor yang baik. Deretan piala Citra dan sederet penghargaan lainnya di bidang akting bukan hanya pajangan. Ia tersenyum santai pada Vito ketika berkata, “Oh, habis kencan. Ya sudah, aku duluan kalau begitu.”

Vito pun mengucapkan hati-hati pada Hafi yang kemudian berjalan melewati mereka entah ke mana.

“Saya nggak ingat kalau kita tadi habis kencan,” gumam Fioletta setelah keduanya masih berdiri di tempat yang sama dalam diam.

“Sekali-kali mengerjai orang nggak apa-apa, Le.” Vito menatap Fioletta sambil tertawa pelan. “Kamu harus lihat perubahan ekspresinya selama dua detik tadi. Dia shock, tapi pura-pura santai.”

Fioletta menatap Vito dengan tidak mengerti. “Maksud kamu gimana? Jelas-jelas dia santai begitu, kok.”

Vito memberi gestur padanya agar mereka lanjut berjalan. Sebenarnya ia berbohong pada Hafi soal mengantar Fioletta,karena setelah ini ia harus kembali ke kantor dan tak mungkin bolak-balik ke apartemen perempuan itu.

Fioletta sendiri sudah memesan Go-Car yang sedang jalan menuju mall tersebut.

Tapi biar saja, sesekali mengerjai playboy yang terlihat tertarik dengan Fioletta cukup seru juga.

“Le, walaupun aku bukan aktor, tapi aku orang yang sangat suka mengamati seseorang dengan detail.”

“Ya, ya, ya.”

Vito terkekeh melihat reaksi Fioletta yang terlihat tidak peduli. “Sebenarnya nggak dosa, kok, Le, kalau hanya untuk mengakui Hafi memang atraktif dan menarik.”

“So?” Fioletta menyahut dengan tak tertarik. 

“Kamu nggak perlu malu untuk bilang Hafi cukup menarik.”

“Saya nggak pernah berpikir soal itu.”

Vito tak langsung menyangkal, ia hanya diam sambil tersenyum menatap Fioletta yang berdiri di sampingnya di atas eskalator. 

Merasa diperhatikan, Fioletta akhirnya menoleh pada Vito dan lelaki itu segera berkata, “Baru kali ini kamu bohong di depanku, Le.”

***

Matahari sudah tenggelam saat akhirnya Fioletta terbangun dari tidurnya. Sesampainya di apartemen setelah makan siang bersama Vito tadi, Fioletta segera tidur untuk mengembalikan tenaganya yang hilang.

Baru saja ia merenggangkan tubuhnya di atas sofa bed, bel apartemennya berbunyi nyaring.

“Sebentar,” sahutnya dengan lemas karena masih mengantuk. 

Saat ia membuka pintunya, Kiana langsung merangsek masuk dengan koper berukuran cabin size yang diseretnya.

“Kamu mau pindah tinggal di sini sama aku?” Fioletta bertanya dengan bingung pada Kiana yang langsung ke kulkas untuk mengambil sekaleng soda dan kemudian duduk di sofa bed yang tadi jadi tempat tidurnya.

Kiana tidak langsung menjawab pertanyaan Fioletta. Sebaliknya, ia malah menatap selimut yang berantakan dan dua bantal yang ada di atas sofa bed itu. 

“Kamu masih nggak tidur di kamar, Le?”

Fioletta menggaruk tengkuknya sambil beranjak duduk di sofa bed. “Masih. Enak di sini soalnya.”

Kiana menghela napasnya. Sejak ibunya meninggal, Fioletta memang tidak pernah lagi tidur di kamar. Setiap ia mencobanya, ia akan selalu pindah ke ruang tengah dan baru bisa tidur di luar kamarnya.

Maka dari itu Fioletta memutuskan membeli sofa bed untuk di ruang tengah apartemennya. Saat mereka masih tinggal satu rumah pun, Fioletta akan tidur di ruang tengah. Kamarnya hanya berguna untuk jadi tempatnya menyimpan barang-barang.

“Kamu ngapain ke sini bawa koper?” Fioletta kembali bertanya. 

“Oh!” Kiana langsung teringat apa yang membuatnya datang ke sini. “Hari ini ada pesta, yang ngadain adalah sutradara dari film yang soundtrack-nya aku nyanyiin itu.”

“Terus?”

“Ada Sagara di sana.” Kiana tersenyum sambil membuka koper yang ia bawa. “Kamu bisa temenin aku untuk dateng ke sana dan bisa deketin Sagara. Kalau di klub, dia pasti bakal langsung pergi setelah dapet mangsa.

“Tapi kalau di pesta, kamu bakal punya kesempatan cukup besar buat seenggaknya ngobrol dulu sama dia.”

“Ah….” Fioletta mengangguk mengerti dan terperanjat saat melihat isi koper yang dibawa Kiana. “Astaga, ini apa aja yang kamu bawa?”

“Ini cuma sedikit peralatan tempur.” Kiana mengibaskan tangannya. “Aku bawa gaun buat kita sama make up lengkap. Sepatunya kamu bisa pakai Louboutin yang waktu itu kita beli bareng di Marina Bay Sands.”

“Wow. Kamu well-prepared banget, ya, Ki.” Fioletta menggeleng pelan saat melihat gaun yang dipilih oleh Kiana untuk ia pakai malam ini.

Gaun itu berbahan sifon yang jatuh dengan indah, berwarna hitam dengan model V-neck yang akan memamerkan lehernya. Aksen swarovski yang dijahit di sekitar lehernya membuat gaun tersebut terlihat mewah dan tidak slutty saat dikenakan.

“Ayo, buruan. Aku di sini buat membantu misimu dan memastikan kalau Sagara nggak macam-macam sama kamu.”

Fioletta tersenyum saat Kiana segera mendorongnya menuju kamar untuk bersiap-siap. “Thank you, Ki. Kamu emang temen terbaikku.”

“Iyalah, aku satu-satunya temen kamu, Le.”

Bukannya tersinggung, Fioletta malah tertawa saat mendengar fakta yang diucapkan oleh Kiana.

Ya, ia harus kembali fokus dalam misinya mendapatkan Sagara. Gangguan bernama Hafi Keswara seharusnya tidak perlu ia pedulikan.

 

post-image-62d972bf7b91f.JPG

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Perhaps Mine
Selanjutnya Hafi dan Fioletta (Bab 11-14)
2
0
HAFI & FIOLETTA BAB 11: Mengumpankan Diri Sendiri“Sebentar, boleh aku minta nomor telepon kamu?” Sagara mencegah Fioletta yang ingin pergi bersama Kiana. “Siapa tahu kita bisa ngopi bareng.”Basi, gumam Kiana dalam diam, yang untungnya tidak dilihat oleh Sagara.“Boleh.” Fioletta kemudian menyebutkan nomor teleponnya pada Sagara. “Call me anytime, ya, Sagara.”Setelah mengedipkan matanya dengan centil pada Sagara—satu lagi kepura-puraan yang dilakukan Fioletta malam ini, perempuan itu pergi bersama Kiana yang pura-pura merangkulnya untuk menyempurnakan sandiwara mabuknya malam ini.Gotcha. Sekarang kamu ada di tanganku, Sagara.Dilarang menyalin, memperbanyak, dan menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis.***Jangan lupa like dan komennya yaaa! ❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan