Badai & Padma (Bab 1-5)

22
5
Deskripsi

Karena satu dan lain hal, Badai sama Padma kuboyong ke sini juga ya. Kalau ada yang udah baca di sebelah dan mau baca ulang, kayak kemarin aja ya, DM aku di KaryaKarsa. Kalau ada yang belum pernah baca kisah orangtuanya Asa (baca ceritanya di Jodoh di Tangan Mama) dan Ilana (baca ceritanya di Oh, My Man!), silakan baca ini. 

Ini buku ketiga yang dulu selama on-going bikin aku dihujat pembaca, HAHAHAHA (yang pertama si Aiden & Renjana, yang kedua ya si Regen & Kelana). Dihujat karena...

BAB 1

Fixing a Broken Heart

“Aku akan tidur sama laki-laki mana pun yang pertama kali datang ke sini.”

Ucapan penuh tekad itu diucapkan oleh Padma Hardjaja sebelum menenggak minumannya dengan barbar. 

Selain perempuan seksi yang ingin bersenang-senang, biasanya di klub juga sering ditemukan perempuan patah hati seperti Padma. 

Sudah sebulan ia berusaha baik-baik saja setelah mengetahui kekasihnya memilih menikah dengan seorang janda kaya, tapi sampai saat ini lukanya benar-benar masih menganga.

Ternyata Papa benar, batin Padma dengan setengah hati. Galih hanya mau uang, makanya dia pacaran denganku.

Saat isi botolnya sudah habis tak bersisa, Padma pun memanggil bartender. “Satu botol lagi, please.”

Sang bartender sudah ingin menolak karena Padma terlihat sudah sangat mabuk, tapi melihat tatapan tajam yang masih bisa diberikan Padma, bartender itu mengurungkan niatnya dan memberikan apa yang Padma pinta.

Di sisi lain The Clouds yang merupakan klub malam paling ramai dikunjungi itu, ada ruangan VIP di lantai dua yang diisi enam lelaki dengan tiga kriteria yang sama—tampan, mapan, dan jantan, incaran kaum hawa yang sering datang ke The Clouds.

“Tantangannya nggak sulit kok. Cukup tiduri perempuan itu. Kalau dia menolakmu, maka semua minuman kita harus digratiskan selama satu bulan ke depan.”

Badai Tanaka langsung mendengus mendengar tantangan dari permainan konyol seperti spin the bottle yang mereka jalani saat ini. Ia melihat ke layar ponselnya yang terhubung dengan jaringan CCTV. 

Teman-temannya yang sialan itu menunjuk satu-satunya perempuan yang tengah duduk sendirian di bar. Di sekelilingnya, ada banyak lelaki yang menatapnya dengan penuh minat tapi sepertinya tak berani mendekati perempuan itu.

“Dia, tiduri dia,” ulang teman Badai sekali lagi. “Rayu dia dalam lima belas menit, ajak dia tidur bersamamu. Kita pantau dari sini.”

“Dasar otak selangkangan,” maki Badai sambil menenggak minumannya dan berdiri dari duduknya.

Tapi tak urung Badai pun menuruti tantangan konyol tersebut. Kebetulan sekali, sudah hampir dua minggu ia tak menyalurkan hasratnya karena pekerjaannya sangat banyak. Belum lagi ia harus terus menerus menolak dorongan ayahnya untuk mengambil alih perusahaan mereka.

Jualan jamu? Yang benar saja! batin Badai saat kembali mengingat permintaan sang ayah.

Begitu turun ke lantai satu The Clouds, Badai segera berjalan menuju area bar. Ia menyapa beberapa orang yang ia kenal dan menolak dengan halus ajakan perempuan-perempuan cantik di sekitarnya.

Lelaki itu menatap perempuan yang duduk membelakanginya. Saat ia mendapati seorang lelaki tua dan berperut buncit ingin menyapanya, Badai segera mendorong bahu lelaki itu agar menjauh dan memberi tatapan ‘perempuan ini milikku’ padanya.

Enak saja, ia tak mau mengalah pada lelaki itu! Badai harus berhasil menjalani tantangan ini kalau tidak mau diperas habis-habisan oleh teman-temannya.

“Hai, Cantik,” sapa Badai sambil duduk di sebelah bar stool yang kosong.

Perempuan berambut lurus hitam legam itu langsung menoleh padanya dan terkejut. “Hai,” sapanya. Walau begitu, Badai bisa menilai kalau perempuan itu gugup.

“Sendirian?”

“Yap, as you can see.”

“Bisa-bisanya perempuan seperti kamu sendirian?”

“Memangnya aku perempuan seperti apa?”

Badai memanggil bartender dan memesan minuman untuknya lagi. Ia perhatikan, perempuan itu sepertinya sudah minum cukup banyak. “Cantik dan nggak pantas ditinggalkan sendiri,” jawab Badai.

Padma harusnya tahu, keahlian nomor satu bagi lelaki seperti Badai adalah berkata-kata manis hingga membuat siapa pun yang mendengarnya terlena begitu saja.

Tapi efek patah hati yang dikombinasikan dengan alkohol rupanya menumpulkan insting Padma. Padma malah tersenyum dan menopang pipinya dengan tangan kiri hingga ia bisa benar-benar menatap ke samping—ke arah Badai.

“Kamu bohong,” kata Padma dengan nada merajuk. “Buktinya Galih meninggalkanku cuma demi seorang janda kaya.”

“Lelaki itu sudah jelas brengsek, kenapa kamu harus bersedih karena dia?” Badai menyentuh wajah Padma dan terkejut saat tangannya seperti disengat oleh listrik statis.

Ketika Badai bisa melihat dengan lebih jelas, Padma benar-benar sangat cantik dan membuat Badai heran, apa temannya yang memilih perempuan ini untuk tidur dengannya benar-benar melihat wajahnya?

‘Baik’ sekali mereka jika mereka memang sengaja memilihkan perempuan seperti dewi ini untuknya.

“Karena dia pacarku!”

“Masih jadi pacar?” Kini Badai jadi penasaran.

“Nggak, udah putus.” Padma memicingkan matanya. “Kamu siapa sih? Kenapa mengorek informasi tentang aku?”

“Oh, aku orang yang dikirimkan Tuhan untuk menyembuhkan patah hatimu.” Badai kembali menelusuri wajah Padma dan ibu jarinya berhenti di bibir.

Padma menahan napasnya saat mendapati tatapan Badai kini jatuh pada bibirnya. Kalau ia sedang tak mabuk, pastilah heels-nya sudah melayang ke wajah tampan lelaki di sampingnya ini.

Tapi… Badai adalah lelaki pertama yang mendatanginya di sini dan Padma langsung teringat ikrarnya beberapa waktu yang lalu.

Tanpa sadar, Padma menempelkan bibirnya di ibu jari Badai dan Badai malah menangkap hal tersebut sebagai ‘kode’ untuknya.

Badai menunduk dan menyingkirkan ibu jarinya dari bibir Padma supaya ia bisa menciumnya. Saat bibir mereka bersentuhan, Badai melumatnya dengan tak sabaran saat rasa manis dari bibir ranum tersebut membuatnya menggila.

Ciuman itu tak ada manis-manisnya sama sekali. He likes it rough but it seems Padma also like the way he kissed her. 

Perempuan itu memberi akses untuk untuk lidah Badai bermain-main di mulutnya dan gairah Badai mulai membara seiring dengan balasan Padma.

Saat ia mengakhiri ciuman tersebut, Badai sudah bersiap dengan tatapan kemarahan dan tamparan di pipinya—sesuatu yang bisa ia dapatkan ketika ia mencoba merayu perempuan yang terlihat independent serta tak mudah jatuh dalam bujuk rayunya.

Tapi ketika ia menjauhkan wajahnya dari wajah Padma, paha Padma tanpa sengaja menyenggol pusat gairahnya. Tatapan sayu perempuan yang belum ia ketahui namanya tersebut semakin membuat Badai gelap mata.

“That kiss…,” desah Padma yang semakin linglung—percampuran antara alkohol dan kehebatan ciuman Badai yang seolah mengobrak-abrik otaknya. 

Dengan tak sabaran, Badai menarik Padma dari bar stool dan mengajaknya ke bagian belakang klub. Ia punya kamar pribadi yang aksesnya hanya dimiliki olehnya dan beberapa pegawai terpercaya. 

Begitu tiba di kamar tersebut, Badai kembali memeluk Padma dan kembali menciumnya sambil mendesak Padma ke arah ranjang. Dengan tak sabaran, Badai membuka kancing kemeja Padma.

Ia bahkan sudah lupa taruhan yang mengharuskannya tidur dengan Padma. Di pikirannya kini, perempuan itu harus jadi miliknya malam ini.

Badai tahu, bukan hanya ia yang ingin berlanjut ke tahap selanjutnya saat mendengar Padma berbisik di telinganya, “You’re a good kisser.”

“When on the bed, I’m a God, Honey,” bisik Badai di telinga Padma dan membuat perempuan itu mendesah pelan, mulai hilang akal karena alkohol dan rayuan maut Badai lewat sentuhannya. 

BAB 2

Ternyata Aku Sudah Gila

“Ternyata aku udah gila! Bisa-bisanya aku tidur sama laki-laki yang nggak kukenal!”

“Kenapa, Sayang?”

Wajah Padma langsung pucat pasi saat sang ayah sudah ada di depan kamarnya yang terbuka. “Ng-nggak, Pa.”

“Dari tadi kamu ngomong sendiri aja soalnya.” Sang ayah kini bersandar di kosen pintu kamar Padma yang tadi lupa ia tutup usai dari lantai satu. “Kamu semalam dari mana? Kok baru pulang tadi pagi?”

Padma menggigit bibirnya. Ayahnya memang bukan orang yang sangat ketat dan menerapkan jam malam. Tapi setiap tindakannya pasti diminta alasan yang rasional dan logis.

“Dari klub,” jawab Padma dengan jujur. “Terus ketiduran di tempat temen.”

“Perempuan atau laki-laki?”

“Perempuan,” jawab Padma dengan tenang. Padahal hatinya sudah ketar-ketir karena sepertinya baru kali ini ia berbohong.

“Oh, oke….” Ayahnya mengangguk paham, Padma hampir tak pernah berbohong padanya, jadi ia percaya saja. “Kamu hari ini nggak ada rencana ke mana-mana kan? Kita diundang keluarga Tanaka untuk makan malam di rumahnya.”

“Keluarga Tanaka?” Padma mengernyit. “Yang punya perusahaan jamu dan obat herbal itu?”

“Iya. Kita berangkat pukul lima, oke?”

“Oke, Pa.” Toh Padma tak punya rencana lain selain merutuki nasibnya di hari Minggu ini. 

Setelah sang ayah pergi, Padma beranjak menutup pintu kamarnya dan kembali merebahkan diri.

Pagi tadi ia terbangun dengan tubuh pegal-pegal dan anehnya… tubuhnya merasa sangat puas. Saat ia menoleh ke sampingnya, ada seorang lelaki tampan dengan rahang yang begitu tegas dan bibir tebal yang menggoda, sedang tertidur dengan nyenyak.

Kejadian semalam memang bukan yang pertama untuk Padma, tapi kali itu adalah kali pertama bagi Padma tidur dengan orang asing. Yah… ia memang tak menyalahkan lelaki itu sepenuhnya—toh semalam ia juga berpartisipasi membuka kancing kemeja lelaki bertubuh tegap tersebut.

Tapi Padma berharap jangan sampai ia bertemu lagi dengannya. Padma berjanji dalam hatinya untuk tidak menginjakkan kakinya di The Clouds lagi minimal sampai tiga tahun ke depan.

Tiga jam ia habiskan untuk melamun dan bermain ponsel, sampai akhirnya ia bersiap pergi ke acara jamuan makan malam dengan keluarga Tanaka. 

Di sepanjang perjalanan, Padma tak terlibat banyak pembicaraan dengan kedua orangtuanya—padahal isu mengenai transaksi tidak wajar di pasar modal minggu ini adalah salah satu bahasan favoritnya.

“Ayo, turun, Padma. Kok melamun?” tanya sang ayah begitu mobil mereka tiba di sebuah kediaman yang sangat luas dan besar di kawasan Menteng. “Kamu sakit?”

“Nggak kok, Pa. Aku baik-baik aja.” Padma buru-buru turun dari mobil dan berjalan mengikuti orangtuanya.

Mereka disambut dengan baik dan kelewat ramai kalau hanya untuk jamuan makan malam. Sepertinya sang ayah ingin membicarakan soal bisnis juga, pikir Padma. 

“Kamu belum ketemu lagi sama putriku kan?” Ucapan ayahnya yang disertai sentuhan lembut di bahu Padma membuat Padma menoleh pada lelaki paruh baya seumuran ayahnya, yang kini menatapnya dengan tertarik.

“Ini Padma, putri sulungku. Padma, ini Om Alkadri. Kamu pernah ketemu beliau waktu masih SD, tapi setelah itu kayaknya nggak pernah ketemu lagi karena beliau pindah ke luar negeri.”

Padma tersenyum dan menjabat tangan lelaki paruh baya tersebut. “Apa kabar, Om?”

“Baik, Padma. Senang bisa bertemu kamu lagi ketika sudah dewasa.”

Obrolan basa-basi itu berlanjut hingga mereka digiring ke ruang makan.

“Sebentar ya, Badai masih di atas sepertinya,” ucap Alkadri dengan sungkan.

“Nggak apa-apa, santai aja. Udah lama juga nggak ketemu Badai,” komentar ayah Padma.

“Apa tingkahnya jadi seperti ‘badai’ kayak apa yang dulu kamu bilang, Al?” tanya ibu Padma dengan nada bercanda.

Alkadri mengangguk sembari tertawa. “Anak itu benar-benar… kelakuannya membuatku kena badai migrain.”

Kedua orangtua Padma tertawa sedangkan Padma hanya bisa terkekeh pelan. Kadang memang jokes bapak-bapak susah masuk untuk dirinya yang lempeng.

“Maaf, saya terlambat.”

Suara bariton itu membuat semua orang di meja makan menoleh padanya. Ketika Padma menoleh, rasanya jantung Padma hampir lepas dari rongganya saat melihat si lelaki yang memuaskannya semalam, kini berdiri di hadapannya.

Sementara itu, Badai Tanaka yang baru memasuki ruang makan langsung memfokuskan tatapannya ke satu orang—seorang perempuan cantik dengan gaun santai berbahan satin yang mencetak jelas lekuk tubuhnya.

Hanya dengan melihatnya, Badai seakan teringat kembali sentuhan perempuan itu di tubuhnya, apalagi ketika mereka mencapai puncak bersama.

“Hai, Cantik,” sapa Badai yang jelas-jelas ditujukan pada Padma.

Ketiga orang tua di meja itu menatap Badai dan Padma bergantian. 

“Kalian udah saling kenal?” tanya ayah Padma dengan bingung. 

“Udah.”

“Belum.”

Dua jawaban dari Badai dan Padma yang bertolak belakang tersebut membuat ketiga orang lainnya semakin mengerutkan kening. 

Tapi Badai tak ambil pusing, ia melangkah dengan pasti menuju kursinya dan duduk berhadapan dengan sosok Padma yang tengah menahan diri untuk tidak pergi dari kediaman tersebut.

“Badai, ini Padma. Putri sulungnya Om Refaldy,” jelas Alkadri. “Kalian belum pernah ketemu waktu kecil karena kamu masih sama ibumu.”

“Padma?” Badai mengulang nama tersebut dan merasakan rasa asing di lidahnya. “Nice name.”

Padma menahan diri untuk tidak melempar serbet ke wajah Badai yang terlihat menggodanya, seakan-akan ia bersedia membocorkan soal kejadian semalam kapan saja di meja makan ini.

“Kita bahas dengan santai aja ya, Ref,” ucap Alkadri pada temannya, Refaldy Hardjaja yang merupakan ayah Padma. “Apa kamu udah ngomong sama Padma?”

“Belum. Biar sekalian kita omongin di sini aja.” Refaldy menoleh untuk menatap anaknya. “Perusahaan kita yang bergerak di bidang farmasi dan distribusi akan bekerja sama dengan perusahaan Tanaka, Padma. Dan… dulu kami pernah membicarakan untuk menjodohkan kamu sama Badai.”

Alkadri pun menimpali, “Iya. Dulu sih cuma bercandaan aja. Tapi pas kesini-sini, sepertinya bagus juga kalau kalian mencoba lebih dekat dan akhirnya nanti menikah. Apa kamu punya pacar, Padma?”

Padma mengerjap cepat. Apa-apaan ini? Dari bicara soal bisnis lalu berlanjut ke perjodohan?

“Nggak punya sih, Om, tapi—“

“Bagus, Badai juga nggak punya pacar.”

Badai mengangguk mengiakan. “Iya, aku juga nggak punya pacar. Tapi kalau teman kencan, banyak sih.”

Padma terbelalak kaget mendengar kejujuran Badai, sedangkan ayahnya tersedak dan ibunya pun tertawa ringan. Padma lupa kalau keluarganya kadang-kadang memang aneh. 

Ibunya yang merupakan mantan playgirl pasti sedikit-banyak bisa nyambung dengan apa yang dimaksud Badai.

“Badai!”

“Aku cuma jujur, Pa.” Badai menyahut dengan santai sambil mengedikkan bahunya. Kemudian tatapannya tertuju pada Padma. “Aku yakin Padma nggak keberatan dengan siapa aku. Kebetulan kami sudah saling mengenali satu sama lain dengan baik, luar dan dalam, iyakan, Honey?”

“Honey?” Padma mendesis pelan. Ia menggeser kursinya ke belakang. “Saya izin ke toilet sebentar.”

Seorang pelayan yang berdiri tak jauh dari meja makan agar bisa membantu siapa pun di ruang makan itu, langsung bergerak dengan sigap mengantar Padma menuju toilet terdekat.

Badai menatap kepergian Padma dengan senyum miring di wajahnya. Perempuan itu jadi benar-benar menarik. Bukannya melemparkan diri pada Badai begitu tahu mereka dijodohkan, Padma malah lari sekencang mungkin. 

“Aku juga mau ke toilet,” pamit Badai pada tiga orang tua di meja makan tersebut.

Dengan tungkainya yang panjang, menyusul Padma tak perlu waktu yang lama karena satu langkahnya sama dengan dua langkah perempuan itu. 

Pelayan yang kebetulan menoleh ke belakang dan mendapati Badai menyusul mereka, segera menyingkir begitu mendapat kode dari Badai supaya meninggalkan mereka berdua.

Padma hampir berbelok ke kanan saat Badai meraih bahunya dan merangkulnya. “Belok ke kiri, Hon.”

“Kamu!” Padma tersentak kaget dan langsung ingin melompat menjauh, tapi rangkulan Badai menguat di bahunya. “Ke mana pelayan yang mengantarku?”

“Kalau ada aku, kenapa harus diantar pelayan?” tanya Badai. Ia melirik Padma dan berkata, “Kenapa tadi pagi kamu meninggalkanku sendiri?”

“Memangnya aku harus apa? Membangunkanmu dengan secangkir kopi?” tanya Padma dengan sinis. 

“Kata orang, lelaki dengan rahang tegas sepertimu pasti seorang player. Dan melihat bagaimana kamu semalam bisa menggiringku ke ranjang tanpa tahu namaku, pasti adalah hal yang biasa buatmu tidur dengan sembarang perempuan.”

“Yah… begitulah aku kurang lebihnya.” Badai cuek saja mengakui kelakuan minusnya. Ia bukan orang yang suka berpura-pura bersikap sebaik manusia suci. “Tapi jujur padaku, kamu menikmati yang semalam kan?”

Padma langsung berhenti melangkah dan menampik dengan keras lengan Badai hingga terlepas dari bahunnya. “Dengar ya, Badai Pasti Berlalu,” ledek Padma atas nama Badai yang mirip dengan lagu.

“Yang semalam itu bukan apa-apa. Aku ingat wajahmu hanya karena kejadian itu baru terjadi semalam, bukan berarti kamu memuaskanku dan aku jadi selalu ingat sama kamu.”

Tentu saja Padma berbohong. Bahkan jika dibandingkan dengan mantan pacarnya, Badai ada di sepuluh level di atas mantan pacarnya.

“Yakin?” Badai mengeluarkan dompetnya dan memberikannya pada Padma. “Cek dompetku?”

“Buat apa?

“Cek aja.”

Padma membuka dompet kulit tersebut dan hanya menemukan kartu-kartu serta uang pecahan seratus ribu. “Apaan sih?”

“Ada kondom di sana?”

Pertanyaan Badai membuat Padma mendelik. “Nggak ada.”

“Nah, tiga kondom yang biasa ada di dompetku, sekarang nggak ada karena semalam kamu membuatku menghabiskan stok kondomku. Masih mau mengelak kalau kamu nggak puas sama sekali, Padma?”

Padma melotot dan langsung mendesis kesal. Ia melempar dompet itu ke arah Badai dan akan kembali ruang makan, ketika Badai menarik pergelangan tangannya dan dengan cepat memojokkannya ke dinding.

Lelaki itu mengungkung Padma di antara dinding dan tubuh tinggi tegap Badai. Padma bukan perempuan yang pendek, tinggi tubuhnya terbilang standar dengan 165 senti. Tapi sepertinya Badai lebih dari 180 senti karena Padma bahkan masih perlu mendongak untuk menatapnya.

“Badai,” geram Padma dengan kesal saat Badai malah menghimpit tubuhnya, membuat gaunnya bergesekan dengan kemeja yang dikenakan Badai. “Minggir! Kalau ada yang lihat—“

“Kenapa kalau ada yang lihat?” tantang Badai. “Paling-paling mereka akan putar balik atau meminta kita untuk pindah ke kamar sekalian.”

“Dasar kurang ajar!”

“Aku bisa terima kalau kamu menolak perjodohan ini, Padma. Masuk akal karena ini bukan eranya Siti Nurbaya lagi.” Badai menunduk dan deru napasnya menerpa wajah Padma. Tatapannya tajam seperti hewan buas yang tengah mengincar mangsanya.

“Tapi aku nggak pernah terima kalau kamu mengelak dari rasa puasmu terhadapku.”

Padma langsung menginjak kaki Badia sekuat tenaga dan membuat lelaki itu mundur sambil mengumpat.

“Aku nggak akan sudi memberi makan egomu itu,” ucap Padma dengan tajam. 

Ia berjalan meninggalkan Badai dan menyempatkan diri untuk berkata, “Dan laki-laki macam apa kamu yang membanggakan diri lewat kondom yang habis terpakai dalam semalam? Orang lain bisa aja berpikir kamu sampai puncaknya hanya dalam lima menit.”

BAB 3

An Agreement with The Devil

“Kalau kamu nggak mau terima perjodohan ini, buang bisnis klub malam kamu dan ambil alih Sadira Group! Kalau kamu menikah dengan Padma, Padma yang akan bergabung dengan perusahaan kita dan kamu akan bebas dari tanggung jawab itu. Pilihannya ada di tangan kamu, Badai.”

Ketika kembali mengingat apa yang dikatakan ayahnya, Badai langsung merasa pusing dan menggeram kesal.

Usai keluarga Hardjaja pulang dari rumahnya setelah mendengar penolakan dari Padma dan dirinya, sang ayah mengajaknya bicara empat mata dan menjabarkan semua alasan logis yang harusnya bisa membuat Badai menyetujui perjodohan itu.

Di kalangan mereka, pernikahan bisnis adalah hal yang biasa. Tapi bukan berarti Badai tertarik untuk mengikuti jejak banyak orang.

“Pak Badai, ada yang cari Bapak.” Teguran salah seorang pegawai The Clouds di depan ruangannya membuat Badai tersentak kaget. “Namanya Bu Padma.”

“Oh.” Badai mengangguk. “Antar dia ke sini dan tanyakan dia mau minum apa.”

Pegawai tersebut mengiakan dan segera beranjak keluar untuk menjemput perempuan yang mencari bosnya. The Clouds yang merupakan klub malam milik Badai tentu saja masih belum buka di jam makan siang seperti ini.

Tapi seminggu setelah makan malam mereka, Badai merasa ia tak punya pilihan lain. Ia harus berkompromi dengan Padma karena ia tak bisa kehilangan usaha yang dirintisnya dari nol, tanpa embel-embel nama Tanaka sebagai faktor pendukungnya.

Badai tak pernah tertarik bergabung dengan Sadira Group yang merupakan perusahaan jamu dan obat herbal terbesar di Indonesia tersebut. Sekalipun produk Saidra Group sudah diekspor keluar negeri, Badai tak pernah tertarik sama sekali.

“Kamu yang butuh tapi kenapa kamu yang menyuruhku ke sini?”

Kata-kata tajam dan diucapkan dengan lancang itu membuat Badai menoleh dari ponselnya. Padma Hardjaja memasuki ruangannya dengan gaya angkuhnya seperti biasa. Langkahnya teratur dan dagunya sedikit naik hingga benar-benar memberikan kesan sombong.

Bukannya kesal, Badai justru menyukai bagaimana perempuan itu terlihat bisa menguasai apa pun di hadapannya. Hal ini adalah hal yang baru di hidupnya dan… sepertinya bermain-main untuk menaklukan seorang Padma bukan hal yang buruk juga.

“Ayo, kita menikah.”

Tiga kata itu diucapkan Badai tepat saat Padma duduk di sofa ruangan khusus pemilik The Clouds. Padma langsung memicingkan matanya, menatap Badai yang kini bergerak menuju sofa di hadapan Padma.

“Gila kamu ya?”

“Emangnya kamu punya pilihan untuk menolak?” 

Di sisi lain, Padma langsung memakinya. Sial, maki Padma di dalam hatinya seraya tetap menatap Badai dengan kekesalannya.

Padma tahu kalau ia tak punya pilihan. Kondisi keuangan perusahaan keluarganya sedang tak terlalu bagus karena kasus obat kadaluarsa yang beredar di pasaran dan membuat perusahaan mereka terkena masalah yang cukup besar.

Memang hal itu disebabkan oleh pihak ketiga yang ingin menghancurkan perusahaannya. Walau perusahaannya tak langsung hancur lebur, tapi cukup goyah untuk bertahan sendiri.

Dengan menjadi distributor tunggal dari produk-produk Sadira Group dan memulihkan nama baik perusahaan keluarganya, setidaknya hal itu bisa membantu cukup banyak.

Walau yang harus dipertaruhkan adalah dirinya untuk menikah dengan Badai.

“Emangnya kamu mau menikah?” Padma memiringkan kepalanya dan mengamati Badai dengan intens. Satu minggu adalah waktu yang cukup untuk Padma mencari tahu siapa Badai Tanaka sebenarnya.

Playboy nomor satu dan pemilik dari The Clouds—klub malam paling hits di beberapa kota besar di Indonesia. Setahu Padma, beberapa toko yang khusus menjual minuman beralkohol pun adalah usaha patungan Badai dengan teman-temannya.

Hal yang menarik adalah Badai Tanaka sama sekali tidak pernah terlibat sedikit pun di usaha keluarganya.

“Untuk saat ini, sepertinya iya.”

“Karena kamu nggak mau bekerja di Sadira Group?” tebak Padma yang menyebut nama perusahaan keluarga Badai.

Badai langsung memicingkan matanya. “Kenapa? Kamu mulai tertarik jadi istriku dan menguasai perusahaan keluargaku?”

“Kalau bisa, kenapa nggak?” Padma menyahut dengan pongah. 

Sekalipun menikah dengan seorang lelaki yang suka melompat dari pangkuan satu perempuan ke pangkuan perempuan lainnya, gagasan masuk ke jajaran pemimpin Sadira Group cukup menggugah Padma.

Padma suka bekerja dan terlebih lagi dia adalah sosok ambisius. Seminggu ini, ia mulai berpikir kalau menaklukan Sadira Group jadi sebuah tantangan tersendiri untuknya.

Badai langsung mendecakkan lidahnya saat mendengar jawaban Padma. “Wow, ambisius juga kamu.”

“Aku selalu punya tujuan di dalam hidupku,” sahut Padma yang langsung menatap Badai dengan tatapan meremehkan. “Nggak kayak kamu.”

“Sok tahu.” Badai mendengus. “Gimana? Kamu mau menikah denganku?”

Padma menggeleng. “No, probation dulu tiga bulan. Baru setelahnya kita pertimbangkan lagi.”

“Probation?!” Kali ini Badai tak ragu lagi kalau perempuan di hadapannya benar-benar gila. “Aku bukan karyawan! Mana ada masa percobaan tiga bulan?”

Tapi Padma tak peduli. Ia sudah memikirkan masak-masak dan sejak kemarin sudah berinisiatif untuk menghubungi Badai, tepat ketika lelaki itu duluan yang menghubunginya. 

“Kamu harap aku akan menikah dengan kamu sukarela?” tanya Padma dengan sinis. “Keep dreaming, Dude.”

Perempuan berambut panjang bergelombang itu mengeluarkan folder dari tasnya dan menaruh dua salinan surat yang telah ia buat.

“Ini surat perjanjian kita. Harus ada perjanjian supaya nggak ada yang melenceng.”

“Jadi intinya kita jadi nikah atau nggak sih?”

“Ini perjanjian untuk dijalankan sebelum kita menikah. Tiga bulan adalah waktu yang ideal, menurutku. Kita bisa bilang ke orangtua kita kalau kita akan mencoba pendekatan terlebih dahulu.” Padma menaikkan satu alisnya. “Kamu ngebet banget nikah sama aku?”

“Bukan begitu!” sentak Badai kesal. “Rencanaku tadinya adalah mengajak kamu menikah sampai beberapa tahun, lalu kita bercerai setelah perusahaan keluarga kita benar-benar stabil. Kalau sudah cerai, kamu bisa tetap berada di Sadira Group. Bisnisku sudah lebih cukup untukku.”

Pemaparan Badai membuat Padma terkesima setelah beberapa saat. “Wow, kamu banyak nonton drama juga ya, sampai-sampai terpikirkan untuk menikah kontrak seperti itu.”

“Menikah dengan kontrak bukan sesuatu yang asing.” Badai mendengus. “Banyak orang di sekitarku yang menikah karena kepentingan selama periode tertentu.”

Tadinya Padma memang terpikir untuk menikah dengan Badai, tapi tanpa periode waktu tertentu. Rasa-rasanya ia belum siap mempermainkan pernikahan sampai seperti itu. 

Mereka memang bisa menikah karena kepentingan, tapi ketika sudah menikah, bukankah harusnya mereka berjuang untuk mempertahankannya?

Terlepas dari apa alasan mereka menikah.

“Baca dulu.” Padma berusaha mengabaikan gagasan Badai. “Perhatikan empat poin yang aku ajukan di sana.”

Badai segera mengambil satu salinan dan langsung mengajukan protes saat membaca poin pertama perjanjian mereka. Pihak pertama merupakan Padma Hardjaja dan Pihak Kedua adalah Badai Tanaka.

“Apa-apaan? ‘Tidak ada kontak fisik apa pun selain pegangan tangan dan peluk pinggang ketika situasi mengharuskan, terutama di depan para orangtua’?”

Diskusi mereka tersela karena pegawai Badai mengantarkan minuman untuk keduanya. Padma menyesap iced lychee tea-nya sebelum menyahut, “Iya, no kiss, no sex. Hal itu bisa membuat penilaian kita terhadap satu sama lain jadi bias.”

“Anak SMP aja sekarang udah ciuman,” gerutu Badai. “Bukannya aku ngebet cium kamu ya. Tapi orang mana percaya kalau kita benar-benar PDKT?”

“Itu urusan orang lain, bukan urusanku.”

“Seingatku kamu puas kok waktu kita tidur bersama. Kalau kita tidur lagi, kamu takut kamu jatuh cinta sama aku?”

“Yang benar aja.” Padma memutar kedua bola matanya. “Setuju nggak?” salaknya dengan galak.

“Oke, oke. Tapi tolong ditambahkan, ‘Semua skinship boleh terjadi kalau salah satu pihak meminta kepada pihak yang lain’.”

“Badai!”

“Tambahkan atau kita nggak usah mencoba sekalian!”

Keduanya saling melotot hingga akhirnya Padma mengangguk sambil memberi tambahan catatan di salinan miliknya.

“Poin kedua….” Badai kembali membacakan isi perjanjian tersebut. “Karena Pihak Pertama merupakan penganut monogami, maka tidak diizinkan ada lelaki atau perempuan lain di dalam masa pendekatan ini maupun di masa pernikahan nanti.”

“Apa kamu berpikir untuk poligami atau open marriage?” Padma bertanya pada Badai untuk memastikan.

“Nope.” Badai menjawab dengan pasti. 

Jawaban itu membuat Padma mengerutkan keningnya. Lelaki yang sudah tidur dengan banyak perempuan ini mengaku kalau ia penganut monogami—sebuah hal yang agak rancu di benak Padma.

Seperti mengerti dengan apa yang ada di pikiran Padma, Badai menambahkan, “Selama ini aku tidur dengan perempuan-perempuan yang memang mau tidur bersamaku dan… hanya sebatas itu. Tidak ada hubungan—yang ada hanya persetujuan.”

“Whatever.” Padma memilih untuk tidak menghiraukannya. “Poin ketiga, 'kalau nanti ada perempuan yang datang mengaku hamil anak Pihak Kedua—baik itu di masa pendekatan sampai di masa pernikahan, maka Pihak Kedua harus bertanggung jawab dan Pihak Pertama dan Pihak Kedua akan berpisah'.

“Nggak akan ada anak yang akan muncul entah dari mana dengan mengaku kalau aku adalah penyumbang DNA-nya,” kata Badai dengan jemawa. “Selama ini aku selalu pakai pengaman dan nggak pernah sekalipun bablas.”

“Yeah, we will see. Jaga-jaga aja.”

“Bisa nggak poin ini dihapuskan?”

“Nggak. Harus ada.” Padma bersikukuh. “Take it or leave it, Tanaka.”

Badai berdecak dan akhirnya hanya mengangguk. Paling-paling poin itu tak akan berguna. Ia pun membaca poin terakhir. 

“Poin keempat, ‘kalau sampai selama masa percobaan hingga hari H pernikahan tidak ada kejadian fatal di mana mempengaruhi poin pertama sampai poin ketiga, maka Pihak Pertama akan benar-benar berkomitmen untuk menikah dan menjalani peran sebagai istri dari Pihak Kedua’.

Badai kembali berdecak kagum. “Wow, seorang perempuan kayak kamu bisa melakukan komitmen untuk jadi istriku seperti ini?”

“Setimpal dengan posisi di perusahaanmu yang akan kudapatkan.” Padma mengedikkan bahunya dengan santai.

Hal itu membuat Badai kembali mendengus. Ck, perempuan seperti apa yang ada di hadapannya? Sungguh menyeramkan.

“Bagaimana? Kamu setuju?” tanya Padma dengan tak sabaran. “Jam makan siangku sebentar lagi habis. Kalau kamu nggak setuju, aku akan tetap menolak perjodohan ini.”

“Aku punya satu pertanyaan,” kata Badai. “Kalau setelah tiga bulan semuanya berjalan lancar, apa kita langsung menikah?”

“Ya.” Padma mengangguk. “Tiga bulan ini adalah masa percobaan apakah aku bisa menoleransi kamu di dalam hidupku dan sebaliknya. Kalau nggak bisa, berarti aku harus cari cara lain untuk semua urusanku yang lain.”

Badai menatap Padma selama beberapa detik sebelum akhirnya meraih pena berharga belasan juta rupiah milik Padma di atas meja, dan menandatangani dua salinan surat perjanjian tersebut. Satu untuknya dan satu lagi untuk Padma, juga di atas materai.

Padma pun melakukan hal yang sama. Tak ia sangka seorang Badai Tanaka cukup mudah untuk ia lobi agar menyetujui perjanjian tersebut. 

“Nah, calon istri.” Badai menyeringai saat menyadari Padma bergidik begitu mendengar sapaannya. “Ayo, kuantar kamu ke kantor. Aku harus menyapa ayahmu dan mengatakan ‘maksud baik’ kita untuk melakukan pendekatan terlebih dahulu.”

“Astaga….” Padma buru-buru menyesap iced lychee tea-nya lagi. “Aku baru aja membuat perjanjian dengan seorang iblis.”

BAB 4

Lebih Hebat Aku atau Mantanmu?

“Padma, ada Badai di bawah.”

Padma yang baru saja membuka pintu kamarnya untuk sang ibu langsung menatap perempuan paruh baya tersebut dengan tak percaya. “Badai?”

“Iya, pacar kamu.” Walaupun sudah ratusan kali dibilang kalau ia dan Badai masih di tahaop ‘pendekatan’, bagi sang ibu tetap saja lebih mudah menyebut Badai sebagai pacar Padma. “Buruan gih, ganti baju yang sopan dikit buat ketemu Badai.”

Padma menunduk untuk menatap pakaian yang ia kenakan—celana pendek lima senti di atas lutut dan kaos universitasnya yang sudah lusuh tapi nyaman untuk dipakai. 

Hari ini adalah hari Jumat dan ia baru saja pulang dari kantor, berharap bisa me time dengan nonton Netflix sampai malam.

“Ketemu Badai doang kan? Begini ajalah.” Padma berdecak pelan. Baru juga lima hari yang lalu mereka memberi tahu para orangtua mengenai keputusan mereka, tapi Badai sudah gencar datang ke rumahnya ‘selayaknya’ calon suami sungguhan.

“Padma….”

“Ma, dia kan calon suami aku….” Padma rasanya mau muntah saat mengatakan kalau Badai adalah calon suaminya. “Jadi ya dia mesti terima aku apa adanya dong. Nggak mungkin aku temuin dia di rumah perlu ganti pakai gaun dan makeup kan?”

Sang ibu hanya bisa menggeleng mendengar jawaban Padma. “Terserah kamu deh, Sayang. Ayo, temuin Badai di samping kolam renang. Dia tadi lagi ngobrol sama Papa di sana.”

Padma tak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata ibunya. Di belakang rumahnya, terdapat kolam renang tempat di mana biasanya keluarga mereka menghabiskan waktu untuk bersantai atau untuk berolahraga. 

“Nah, itu Padma-nya.” Ayah Padma langsung tersenyum lebar begitu mendapati putrinya berjalan menuju kursi santai yang ia duduki dengan Badai. Walau begitu, keningnya mengernyit saat melihat penampilan anaknya.

“Makasih, Pa, udah nemenin Badai.” Padma berkata dengan sok manis dan membuat ayahnya mengusap puncak kepala Padma dengan penuh kasih sayang—juga jadi lupa untuk menegur putrinya yang berpakaian seperti orang mau tidur saat bertemu dengan calon suaminya.

“Om tinggal dulu ya, Badai.”

Badai mengangguk sopan dan membuat Padma menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. “Iya, Om.”

Di depan orangtuanya saja lelaki itu bisa bertingkah sopan dan seperti manusia. Kalau sudah berdua saja dengannya, Badai seperti manusia primitif yang menatapnya seakan ia adalah makanan—dan hal itu membuat Padma jengah.

Padma beranjak duduk di kursi yang berdampingan dengan Badai. Di antara mereka ada meja bulat berisi sepoci teh yang masih hangat dan dua cangkir. Satu cangkir untuk Badai yang sudah terisi dan satu cangkir lainnya masih kosong.

“Ngapain kamu ke sini?” Padma bertanya sambil menuang teh beraroma lemon itu ke dalam cangkirnya. 

“Nyamperin calon istri sebelum kerja.” Badai memberikan cengiran terbaiknya. Kemudian matanya menelusuri penampilan Padma yang benar-benar ‘nyaman dan rumahan’. “Wow, aku suka betismu.”

“Kamu punya fetish sama betis?” Padma menyilangkan kakinya dan menatap Badai dengan tatapan mengejek. 

“Nggak sih, tapi betismu bagus—hm, cantik, lebih tepatnya.”

“Apa laki-laki di luar sana bakal ngerayu dengan cara yang sama kayak kamu? Ngomongin betisku?”

“Tergantung.” Lelaki yang hari itu mengenakan celana jeans dan kemeja santai tersebut menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Sebagian besar lebih suka membicarakan anggota tubuh lain yang lebih… seksi.”

Padma hanya memutar kedua bola matanya. 

“Emangnya mantan kamu nggak pernah muji betis kamu?”

Pertanyaan itu membuat Padma langsung ingin menceburkan Badai ke kolam renang di hadapan mereka. “Nggak usah bawa-bawa mantanku, bisa?”

“Nggak, soalnya saat kita pertama kenal juga kan yang kita bahas mantanmu.” Badai menolak untuk menurut pada Padma. Lelaki itu menyugar rambutnya dan menatap Padma dengan penasaran. “Kamu kalau sama mantanmu, nge-date ke mana?”

“Kenapa tanya-tanya soal itu?” tanya Padma balik dengan curiga.

“Aku mau ngajak kamu nge-date besok.”

Padma beruntung ia baru selesai menyesap tehnya. Pasti akan sakit rasanya jika ia tersedak teh panas. Perempuan itu memicingkan matanya dan menopang dagu dengan satu tangan. 

“Aku dan mantanku nge-date ke banyak tempat, salah satunya ya ke ranjang,” jawab Padma tanpa basa-basi. 

Ia hanya ingin memberi pertanda pada Badai kalau ia tak akan mau diajak ke ranjang oleh lelaki itu seperti saat dulu mereka pertama kali bertemu. “Tapi tentu aja aku nggak mau memperlakukanmu sama seperti saat aku dulu pacaran dengan orang lain.”

“Wow.” Badai berdecak kagum mendengar bagaimana frontalnya Padma. Macan betina dari mana ini? Padahal kedua orangtua Padma begitu baik dan ramah, tidak ada yang galak dan mencekam seperti Padma.

“Bukannya kamu baru mau kerja malam-malam begini? Kapan kamu akan ajak aku nge-date?”

“Aku bisa bangun pagi kok.”

Jawaban Badai terdengar meragukan di telinga Padma. Badai sejak beberapa hari yang lalu sudah menjelaskan tanpa Padma minta, kalau ia bekerja dari malam hingga dini hari. Lalu ia akan tidur di dini hari sampai agak siang.

Kesimpulannya adalah hari yang dijalani Badai hampir terbalik dari kebanyakan orang.

“Kalau gitu biar aku yang tentukan di mana tempat kencan kita besok. Kamu jemput aku pukul sepuluh pagi di rumah,” putus Padma dengan otoriter. 

Ia tahu kalau Badai adalah sosok yang dominan, tapi jangan lupakan Padma yang selalu bisa mengambil alih pimpinan siapa pun di dekatnya.

“Oke, as you wish, my lady.”

Padma bergidik ngeri mendengar jawaban Badai. Lelaki itu justru tertawa melihat reaksi Padma yang terlihat lucu di matanya. “Kamu nggak mau ikut aku ke The Clouds?” tawar Badai pada Padma. 

“Aku udah bersumpah nggak akan menginjakkan kaki di sana sampai tiga tahun ke depan supaya nggak bertemu dengan laki-laki yang waktu itu tidur denganku.”

Jawaban Padma membuat Badai tak bisa menahan tawanya. “Kamu mau menghindariku?”

“Iyalah.” Padma mendengus, tak percaya kenapa juga Badai menanyakan hal yang sudah jelas seperti itu. “Bagiku, kejadian waktu itu hanya kegilaan semalam. Aku nggak berminat untuk mengulanginya lagi atau bertemu denganmu lagi.”

“Kenapa?” Badai kini tertarik untuk memperpanjang topik pembicaraan mereka kali ini. “Kurasa kita cukup hebat di ranjang. Sayang waktu itu kamu belum tahu namaku.”

“Apa hubungannya?”

“Kan kamu bisa meneriakkan namaku waktu kamu mencapai—“

“Kamu mau aku siram pakai teh panas?”

“Nggak, nggak.” Badai langsung memundurkan tubuhnya saat Padma mengangkat ppoci berisi teh panas itu dengan mudahnya. 

“Jaga mulutmu kalau kamu masih mau keluar hidup-hidup dari sini.”

“Wah, kamu sama galaknya ya dengan saat di ranjang. I like it.”

“Damn you, Badai!”

“Oh ya, aku lupa mau tanya ini dari Senin lalu.” Badai menjentikkan jarinya. “Kalau di ranjang, lebih hebat aku atau mantanmu?”

Dan Badai pun langsung berlari saat Padma benar-benar mengangkat poci tehnya untuk ia siram ke wajah tampan lelaki dari keluarga Tanaka tersebut.

BAB 5

Hei, Aku Mainan Barunya Padma

Badai langsung bersiul begitu melihat penampilan Padma di Sabtu pagi yang cerah tersebut.

“Wow, seksi banget.”

“Ucapan kamu lebih seperti pelecehan dibanding pujian.” Padma mendelik tajam pada Badai yang hari ini berpenampilan kasual dengan kaos bertuliskan VLTN dan celana jeans hitam. 

Sedangkan Padma hari itu mengenakan skinny jeans 7/8 dan kaos Polo yang ia tutupi dengan kardigan.

“Padahal itu pujian lho,” kilah Badai sambil memainkan kunci mobil di tangannya. “Orangtuamu mana? Aku mau pamit bawa anak gadisnya dulu.”

“Mereka lagi pergi ke Bali hari ini, kamu nggak usah repot-repot mau pamit sama mereka.” Padma berjalan mendahului Badai dan berhenti di samping pintu mobil Badai.

Badai berlari kecil menyusul Padma dan dengan gaya sok gentleman, ia membukakan pintu mobilnya untuk Padma dan setelah memastikan Padma sudah duduk dengan nyaman, ia menutup pintu mobilnya dan beralih ke sisi pengemudi.

“Mau ke mana kita?” tanya Badai sambil memasang seatbelt-nya.

“Senayan.”

“Kamu mau ke Senayan City?” Badai bertanya dengan ragu. 

“Ke arah Senayan aja pokoknya. Nanti begitu udah dekat, aku kasih tahu arahnya.”

“Oke…. Kamu mau ajak aku lari di GBK ya?”

“Nggak kok, yang ini lebih asyik dari lari.”

“Tapi kita bakalan olahraga?” tanya Badai lagi.

Padma berdecak pelan dan menoleh pada Badai. “Banyak nanya deh kamu.”

“Biar nggak penasaran.”

Padma memutar kedua bola matanya. Ia mengambil lipbalm yang baru ia beli kemarin dan memakainya. Badai sendiri menunggu Padma dengan sabar.

Kalau mereka akan olahraga, maka pakaian Badai hari ini benar-benar tidak cocok sama sekali. Tapi Padma pun bukan mengenakan setelan pakaian olahraga.

“Ya, kita bakalan olahraga,” kata Padma sambil menutup tube lipbalm-nya. Ia mengatupkan bibirnya untuk meratakan lipbalm di bibir bagian atas dan bawahnya. “Tapi pakaian kamu cukup cocok kok untuk olahraga ini.”

“Wah….” Pikiran liar Badai langsung berkelana jauh. “Kita mau olahraga ranjang?”

Padma rasanya ingin sekali menoyor kepala Badai, tapi ia memilih untuk menahan dirinya. “Bisa nggak otakmu naik dikit dari selangkangan?”

Pertanyaan retorik Padma membuat Badai tergelak tak habis pikir. Perempuan di sebelahnya ini memang benar-benar spesies langka yang belum pernah ia temui. “Otakku di kepala, Hon, bukan di selangkangan. Cuma mungkin ada akses khusus ke sana.”

Padma semakin ragu dengan keputusan gilanya menerima Badai sebagai calon suaminya. Yah… mungkin tingkat kegilaan Badai jadi salah satu hal yang membuat Badai enggan bergabung dengan Sadira Group.

Memikirkan itu, Padma jadi teringat kalau ia belum pernah menanyakan kenapa Badai sukarela menyerahkan jabatan untuk Padma di Sadira Group.

“Kamu nggak pernah tertarik bergabung dengan Sadira Group?” tanya Padma saat mobil yang dikemudikan Badai berhenti di lampu lalu lintas yang berubah merah.

“Nggak, kamu aja yang di sana, Hon.”

Padma mengabaikan bagaimana Badai sudah terdengar nyaman memanggilnya dengan kata Hon atau Honey. Kadang ia masih bergidik ngeri, tapi untung tidak mual.

“Kamu beneran nggak mau?”

“Nggak.” Badai menggeleng. “Kerja di perusahaan keluarga itu ribet. Industrinya juga bukan bidang yang aku kuasai. Selagi ada Papa dan om yang lain, biar mereka aja yang ngurus.”

“Tapi kamu punya saham di sana?”

“Punya. Tapi aku lebih nyaman dengan usahaku sekarang.”

“Kenapa kamu buka klub malam?”

“Karena bisa sambil cari perempuan cantik.”

Jawaban Badai membuat Padma mendengus tanpa sadar. Tipikal. Tapi Padma tahu, jawaban itu bukan jawaban yang sesungguhnya karena Badai pun segera menambahkan. 

“Terlepas dari banyaknya hal yang kusuka karena bekerja di bisnis seperti ini, aku nggak terlalu suka bekerja di bawah tekanan nama belakangku, Hon,” jelas Badai. 

“Kalau dibandingkan dengan kamu yang berdedikasi di perusahaan keluargamu, aku jelas bukan apa-apa. Karena aku bahkan nggak berani bekerja di bawah tekanan seluruh keluarga dan orang yang tahu siapa nama belakangku.”

Ucapan Badai membuat Padma menatap lelaki itu dengan intens. “Wow, itu yang ada di pikiran kamu?”

“Iya.” Badai menjawab tanpa ragu. Sebenarnya ia sendiri bingung kenapa bisa menceritakan hal yang tak ia beri tahu pada siapa-siapa selain Padma.

Padma mengusap puncak kepala Badai dengan lembut dan tersenyum. “Wow, aku terharu. Kamu emang cocok jadi berondongku. Lucu juga kan kalau kamu berakhir memujaku?”

“Excuse me?” Kalimat Padma terasa menggelitik Badai. “Berondong?”

Satu alis Padma terangkat begitu saja. Apa Badai tak pernah mencari tahu tentangnya atau ia pura-pura tak tahu? “Aku lebih tua tiga tahun darimu, Badai. Jadi kamu cocok disebut sebagai boy toy-ku.”

“Padma, aku bersumpah aku akan mencium kamu—“

“Putar balik, nanti masuk ke gedung yang oranye itu warnanya.” Tangan Padma sudah berpindah ke bahu Badai dan menepuknya saat mereka hampir sampai di tempat tujuan mereka.

Dengan refleks, Badai menuruti kata-kata Padma. Keningnya berkerut saat berhasil membaca tulisan yang ada di sana. “Lapangan Tembak Senayan?”

“Iya, kamu nggak tahu ya aku anggota Perbakin?” Padma melepas seatbelt-nya dan tersenyum penuh kemenangan saat wajah Badai benar-benar clueless. “Kamu takut?”

“Nggak!” sanggah Badai dengan cepat. “Jangan bilang kamu atlet juga?”

“Tadinya hampir jadi atlet, tapi yah… Papa bilang lebih baik jadi hobi aja.”

“Jadi hobi tapi sampai jadi anggota Perbakin,” gerutu Badai yang tak percaya kalau Padma benar-benar bisa menggunakan senjata api.

Padma keluar lebih dulu setelah Badai berhasil memarkir mobilnya, lalu dengan langkahnya yang percaya diri seperti biasa, ia berjalan menggiring Badai masuk ke tempat yang sudah familier baginya.

Banyak lelaki yang menyapa Padma dengan ramah sampai kelewat ramah. Ternyata ada juga orang-orang yang tidak terlihat se-pro Padma—yah, sama seperti dirinya.

“Pakai ini, kita ke area outdoor aja. Aku biasa berlatih di sana.”

“Kamu biasa ke sini?” Badai menerima penutup telinga dan kacamata yang sepertinya memang punya Padma.

“Aku biasa latihan satu sampai dua minggu sekali.”

Keduanya berjalan menuju area outdoor dan entah kapan Padma mengambilnya, tahu-tahu perempuan itu sudah memakai holster di pinggangnya dan terdapat handgun-nya di sana.

“Kamu pernah ke sini sama mantanmu?”

“Nggak pernah.” Mereka tiba di area outdoor yang lapangannya dipenuhi rumput hijau, dengan papan-papan target yang sudah dipasang berjejer di jarak tertentu. “Kan udah kubilang, kamu akan kubawa ke tempat di mana mantanku nggak pernah kuajak.”

“Sialan.”

“Pakai penutup telingamu,” perintah Padma pada Badai. Perempuan itu menyempatkan diri untuk menyapa pelatihnya dan memperkenalkan Badai padanya.

Suara letupan senjata api cukup memekakkan telinga, maka dari itu Badai menuruti Padma yang menyuruhnya memakai penutup telinga.

Padma mengeluarkan Infinity Cal. 40-nya. “Kamu mau mencoba menembak?”

“Kamu dulu aja.” Badai menjawab dengan cepat. “Tapi entah kenapa kamu jadi kelihatan lebih seksi kalau lagi pegang senjata begitu.”

Padma memutar kedua bola matanya. Sepertinya Badai kalau tak bicara omong kosong minimal sekali dalam satu jam, dia akan kegerahan. “Aku bisa menghilangkan adik kecilmu hanya dengan satu kali percobaan, Badai.”

Lelaki itu langsung mendengus, tapi tak urung merapatkan kakinya. Hal itu membuat Padma tertawa senang.

Saat bersiap menembak, ponsel di saku celana Badai bergetar dan saat Badai mengambilnya, ternyata nama Sayangku tertulis di layarnya. Ia melihat ke arah Padma di mana ia tengah memosisikan dirinya untuk mulai menembak.

“Pasti ini mantannya yang brengsek itu,” gumam Badai sambil menggeser layar ponsel Padma dan mendekatkannya ke telinga, setelah sebelumnya melepas sedikit penutup telinganya.

“Halo, Padma sayang.”

Cuih! Rasanya Badai ingin meludah mendengar suara sok merayu itu.

Karena Badai pikir seseorang yang tak jauh dari mereka masih menembak, maka Badai mengeraskan suaranya saat menjawab, “Hei, Padma bukan lagi kesayanganmu, Bung. Perkenalkan, aku mainan baru Padma Hardjaja.”

Badai baru sadar saat semua orang menatapnya dengan tercengang, kalau ia baru saja meneriakkan ke seisi lapangan tembak tersebut bahwa dirinya adalah mainan baru seorang Padma.

He is the real boy toy.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
One Night Lover
Selanjutnya Badai & Padma (Bab 6-10)
16
2
Jangan lupa komen dan like-nya. ❤️***BADAI & PADMA BAB 6: Buanglah Mantan Pada Tempatnya “You’re so cold, Padma,” komentar Badai sambil menggeleng dengan dramatis. “Kali ini akan kubantu kamu membuang dia jauh-jauh dari hidupmu. Karena kata pepatah, buanglah mantan pada tempatnya.”“Badai—““Halo,” sapa Badai begitu menggeser layar ponsel Padma untuk menjawab panggilan dari Galih, mantan kekasih Padma. “Mau bicara dengan Padma? Sorry, bro, kami lagi memilih cincin kawin, jadi sepertinya calon istriku nggak bisa bicara denganmu.”Dilarang menyalin, memperbanyak, dan menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan