
Tara dan Rendra bertemu disebuah acara reality show bertema mencari jodoh berjudul "Searching for Love". Keduanya pun keluar sebagai pemenang dan mendapatkan uang tiga ratus juta rupiah. Setelah acara tersebut selesai, keduanya memutuskan untuk tidak bertemu lagi dan fokus pada kehidupan masing-masing.
Namun, karena suatu hal yang menyangkut pekerjaan, Tara harus bertemu lagi dengan Rendra. Bekerja sama dengan pria itu yang sebenarnya tidak terlalu ia sukai. Bukan karena tidak suka dengan Rendra,...
Rendra
“Jadi ... hadiah dari ikutan acara yang kagak pernah jelas tujuannya itu apa, mau dipakai buat apa, Rend?” tanya Zaki.
“Emang berapa sih jumlah uangnya?” Adit kelihatan penasaran banget.
“Tiga ratus juta, kan?” Reza ikut-ikutan bertanya.
Gue membiarkan ketiga sahabat—lebih tepatnya gue sebut bangsat-bangsat nggak tahu diri karena kelakuannya yang udah di luar nalar manusia itu bertanya tanpa ada niatan buat menjawab semuanya. Bukannya nggak ada jawaban, cuma malas saja karena udah pasti mereka bakal terus tanya sampai rasa penasarannya habis nggak tersisa.
“Yaaa....” Kali ini Reza menarik gelas berisi wine yang harganya tentu saja nggak murah, “... nggak seharusnya gue tanya mau dipakai apaan sih, karena udah pasti dan jelas kalau uangnya bakal dia pakai buat bayar hutang bokapnya.”
Giliran Zaki yang menatap gue dengan tatapan nggak percaya. “Belum lunas juga, Rend?”
Adit tertawa. Lebih jelasnya, tawanya mengejek nasib gue sekarang. “Ya elah, Zak, sampai si Rendra kerja lembur bagai kuda juga tuh hutang bokapnya nggak akan pernah lunas dalam sepuluh tahun kerja,” timpalnya, sialan memang. Tapi ada benarnya juga. “Kecuali kalau kerjaan si Rendra naik kelas. Misalnya nih jadi menteri atau anggota dewan yang hobinya korupsi dana apa aja yang ada. Baru tuh, hutang bokapnya bisa lunas secepat si Reza nyari cewek yang bisa diajak ML tiap bulannya.”
“Nggak usah bawa-bawa gue ya, tolol!” Reza melemparkan kacang ke Adit. Membuat teman gue itu ketawa sejadi-jadinya.
“Lagian lagak bener si Rendra ini kagak mau kita-kita bantuin buat lunasin hutang bokapnya,” dengus Adit.
Si Adit ini paling benar di antara kita berempat. Ucapannya nggak ada yang salah sama sekali—hidupnya saja yang salah—karena apa yang dia katakan sesuai sama apa yang kadang gue dan teman-teman lainnya rasakan.
Kayak masalah hutang bokap gue, dia benar. Terus, si Reza yang bisa dibilang cepat banget buat nyari cewek yang bisa dihajar dan kasih kebahagiaan setiap bulannya, nggak pernah melesat.
“Beneran tiga ratus juta, Rend?” tanya Zaki. Kalau yang satu ini, belum dapat jawaban mulutnya nggak akan bisa diam. Persis mulut emak-emak kepo di gang sempit. Paling suka ceramah di antara kita berempat.
“Ya nggak tiga ratus juta lah, Zak.” Gue menjawab sekenanya. “Kan yang menang dua orang. Gue sama Tara. Udah pasti hadianya dibagi dua.”
Zaki kayak nggak puas sama jawaban gue. “Ah, pelit amat tuh acara! Gue kira masing-masing dapat tiga ratus juta. Ternyata dibagi dua, ya. Mana belum dipotong pajak juga, kan?”
Gue mengangguk malas.
“Terus, mau lo pakai buat apa?” tanya Zaki sekian kalinya.
“Kan si Adit udah jawab,” sahut gue membetulkan ucapan Adit barusan. Semakin malas dan nggak betah sama bisingnya orang-orang di kelab malam ini. “Apa yang dia omongin tadi, emang bener, Zak.”
Kalau bukan karena Reza yang membayar semua jajanan gue, Adit, dan Zaki di kelab malam ini, gue ogah banget datang ke sini. Harga minumanya saja bisa seharga jatah harian gue. Belum lagi harga camilan yang kayaknya di warung-warung juga banyak dijual dengan harga murah. Sebagai orang yang hidup dengan biaya pas-pasan setiap harinya, tentu saja gue harus hemat sampai titik darah penghabisan. Ada masa-masa di mana gue bisa makan enak, main ke mana sesuka gue, atau beli apa saja yang gue mau. Tapi untuk sekarang, prioritas gue bukan buat nyenengin diri sendiri. Lebih ke membereskan semua masalah yang Papa gue tinggalin.
Ya... apalagi kalau buka hutang dua setengah miliarnya akibat ikutan trading nggak jelas sampai pinjam uang ke sana-sini dan beberapa bank yang jumlahnya mencapai segitu.
Cerita singkatnya, terjadi dua setengah tahun yang lalu. Waktu di mana keluarga gue masih di atas kejayaan karena uangnya selalu ada di setiap apa pun keadaannya. Papa masih ulet dan rajin sama bisnisnya yang dibantu sama Mama. Awal di mana Papa mulai nggak terlalu ngurusin bisnisnya dan milih ikutan trading yang nggak jelas itu adalah ketika ada seorang teman dari temannya beliau yang nawarin segala macam bentuk trading. Katanya sih, uangnya biar bisa berkembang. Nggak apa-apa rugi atau lost sesekali, yang jelas ke depannya itu bakal sering untung berkali-kali lipat.
Orang waras pasti akan tergiur sama kayak gituan, kan?
Termasuk gue yang dengarnya saja sempat mau ikutan. Yaaa... siapa sih yang nggak akan percaya sama teman Papa yang udah temanan dari zaman-zaman mereka muda. Tapi untungnya, waktu itu gue masih boros banget. Suka beli sesuatu yang menurut orang lain nggak penting tapi buat gue penting dan ujung-ujungnya sependapat sama orang lain kalau barangnya nggak penting.
Nah, bersama teman masa mudanya itu, Papa mulai menyisihkan keuntungan bisnisnya ke trading gitu lah. Oke, di awal-awal untungnya ada walau masih belum banyak karena yang gue tahu, main kayak gituan tuh semakin banyak “nabung” akan semakin besar juga untungnya dan semakin besar juga peluang ruginya kalau salah tebak atau apalah itu.
Karena keuntungan itu yang pernah di dapat itu, Papa mulai terus-terusan simpan uangnya ke yang begituan. Sampai bisnisnya dia lupakan, uangnya habis buat trading, dan berakhir nggak punya apa-apa. Bisnisnya harus tutup seketika. Yaaa... jangan salahin gue juga sih, karena gue nggak ngerti sama bisnis keluarga. Dari awal hidup, gue penginnya kerja di orang lain atau bangun usaha sendiri daripada meneruskan usaha orangtua.
Makin lah Papa kecanduan trading di tengah-tengah maraknya banyak yang ketipu atau sering lost nggak masuk akal. Papa nggak peduli, uangnya habis, bisa pakai tabungan. Tabungan habis, pinjam uang Mama. Uang Mama habis, pinjam ke orang lain dengan jaminan rumah, mobil, dan segala aset yang beliau punya kalau Papa nggak bayar tepat waktu. Temannya nggak mau pinjamin Papa duit, lari lah Papa ke bank. Pinjam sekian banyak uang buat trading sampai suatu ketika ... blessss ... anjlok nggak ketolong karena asetnya di trading sering lost sampai nggak bersisa sama sekali. Orang yang bertanggung jawabnya malah kabur yang ternyata banyak banget korbannya. Papa stres, nyaris gila bahkan. Mama jatuh sakit keras sampai enam bulan kemudian meninggal. Di susul Papa yang kena serangan jantung akibat tagihan dari sana-sini yang akhirnya diwariskan ke gue.
Ngenes juga ya warisan dari kedua orangtua gue bukan harta yang bergelimang. Melainkan hutang segunung yang lunasnya harus jual Gunung Salak dulu kayaknya.
Kira-kira begitulah kehidupan gue sebalum akhirnya gue kayak gini. Yang kerja cuma buat kebutuhan sehari-hari dan bayar hutang. Harus hemat sehemat-sehematnya sampai air galon di apartemen gue pun harus yang galon isi ulang sehara tujuh ribu rupiah. Di awal-awal minum air begituan, gue diare selama seminggu. Haus hilang, mencret datang.
“Rend, lo pinjam uangnya di Reza aja kali buat bayar hutang-hutang bokap lo,” saran Adit yang entah udah keberapa kali nyuruh gue pinjam atau terima uang dari Reza. “Lagian si Reza nggak akan pernah riweuh buat nagihnya.”
“Percayalah Adit Sayang...” Reza menoel ujung dagu Adit dengan genit. Bikin gue enek lihatnya. “Udah gue tawarin sama seratus kali buat pakai duit gue sebagian. Yang penting, Rendra nggak dikejar-kejar mulu seolah dia nggak mau bayar hutangnya.”
“Tuh kan!” Zaki menyemangati. “Kapan lagi coba Reza ini baik sama lo, Rend?”
“Tanpa gue perjelas juga, kalian bertiga pasti udah tahu jawaban apa yang bakal keluar dari mulut gue,” sanggah gue yang memang nggak mau pinjam uang teman buat bayar hutang keluarga. “Nyawa gue masih ada. Bisa lah dipakai buat bayar hutang bokap.”
“Emang laku?”
Bangsat memang si Reza ini.
Sontak semuanya ketawa renyah kecuali gue mendengar celotehan Reza tersebut.
“Ya... ya... ya... terserah kalian semua aja. Intinya, sebesar apa pun Reza dan kalian nawarin duitnya buat gue pakai, gue tetap nggak mau. Masih mampu kerja, jadi ya udah manfaatin apa yang gue bisa dan punya sekarang.”
“Hidupnya cuma buat bayarin hutang orang yang udah meninggal, itulah Tarendra! Nggak ada lawan, Bos!” Reza tepuk tangan heboh yang malah bikin gue pengin banyak nonjok mukanya sampai mati.
“Rendra nih, Bos! Senggol dong, Bos!” Adit ikut-ikutan.
“Bangsat kalian!” Zaki ketawa kencang banget sampai pegang perut.
Gue yang melihat kelakuan mereka bertiga cuma bisa menghela napas pasrah. Mau-maunya gue temanan sama curut-curut nggak ada adab itu. Padahal, jauh sebelum ketemu mereka, hidup gue nggak pernah macam-macam.
Najis memang. Tapi ya... cuma sama mereka bertiga gue bisa sejenak melupakan masalah hidup yang gue jalani sekarang, besok, dan ke depannya.
***
Tara
Pelepasan itu akhirnya datang.
Aku mengalungkan kedua tanganku pada lehernya dan kedua tungkai kakiku melingkar di pinggangnya. Kugigit kecil bahu kanannya sampai mendengar erangan kecil di telingaku yang membuat perasaanku campur aduk. Tak kubiarkan juga tubuhnya lepas begitu saja setelah berhubungan ini terjadi selama dua jam. Bergetar selama beberapa detik dan merasakan gesekan kulit serta keringat kami berdua.
Aku selalu suka setelahnya. Tapi sekian detik kemudian, aku tahu bahwa memberikannya hubungan seksual bukanlah solusi untuk meredam amarahnya.
Sumpah demi Tuhan! Aku mengutuk setiap orang yang selalu berkata kalau seks adalah cara terbaik agar setiap pasangan yang bertengkar bisa berbaikan.
Setelah napas kami berjalan normal kembali, dia mulai melepaskan diri. Kabar buruknya, tanpa menatapku sema sekali dan aku memperhatikan gerak geriknya yang turun dari ranjang, melepaskan kondom dan membuangnya ke tempat sampah, meraih celana dalam yang tergeletak secara sembarang, kemudian berjalan keluar kamar tanpa berkata apa-apa setelah memakain satu pakaian tersebut.
Aku tahu ini salahku. Namun, bukan berarti dia cuek begitu saja, kan?
Buru-buru aku bergerak turun. Tanpa mengenakan apa pun dan hanya selimut tebal yang kugunakan untuk menutupi tubuh telanjangku. Nggak peduli rasa dingin dari AC di apartemenku. Yang kumau sekarang adalah, berbicara dengannya. Memutuskan apa yang harus kami putuskan sekarang.
Lanjut atau bubaran saja?
“Masih nggak mau ngomong sama aku?” Aku menatapnya tengah duduk di kuris bar. Mataku tertuju pada sekaleng kopi susu kesukaannya. Dia selalu suka sama yang namanya susu.
Dia menghela napas panjang. Kepalanya menengok ke arahku dengan tatapannya yang tajam. Aku tahu dia kecewa, marah, atau apa pun itu.
“Kamu ngapain sampai harus ikutan acara begitu sih, Tar?” Nadanya datar tapi tegas. “Acara reality show cari pasangan kayak gitu tanpa minta izin dulu sama aku lho, Tar. Apa kamu masih waras?”
Mulutku membisu mendengar ucapannya barusan.
“Kamu nggak anggap aku ada?”
“Nggak gitu, Ben.” Aku kebingungan harus memberikan jawaban apa.
Ben menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, kedua matanya mengamati penampilanku. “Balik kamar dan pakai baju kamu, Tar!”
Daripada tambah ribut, aku menuruti apa yang dia suruh. Walau sebenarnya juga, aku merasa sebal karena bisa-bisanya dia memojokkanku kayak gini padahal sudah pernah aku beri sedikit alasan kenapa aku mengikuti reality show pencarian jodoh yang seratus persen setting-an. Hanya gimmick semata demi mendapatkan rating tinggi dan popularitas bagi peserta yang ikutan. Tapi aku nggak kebagian popularitasnya karena acaranya keburu ketahuan setting-an sama penonton dan baru terkuak setelah ada salah satu peserta yang speak up.
Selesai memakai pakaian, aku kembali ke ruang tengah. Menemui Ben kembali yang masih bertelanjang dada.
Terkadang, aku gagal fokus sama penampilannya. Mau marah pun jadi nggak bisa karena dada bidang dan perut kotak-kotaknya selalu membuatku lupa akan kemarahanku padanya. Menyebalkan sekali memang!
“Kamu mau aku gimana, Ben?”
“Kok malah tanya aku, Tar?! Harusnya aku yang tanya kamu, mau kamu kita gimana?” Ben menatapku dengan kerutan di keningnya. “Kamu ikutan acara sampah kayak gitu, ya ... berarti kamu nggak ngehargain aku, Tar. Izin pun nggak ada. Aku tahu ya karena kamu sama pasangan halu kamu itu trending di Twitter.”
“Ben, kamu tahu alasannya, kan?”
“Alasan apa?!”
“Aku butuh uang. Makanya ikutan acara kayak begituan, Ben. Udah pernah aku bilang ke kamu juga,” jawabku, akhirnya. Tiba-tiba saja, dadaku terasa menggebu-gebu dan emosi sudah mulai memuncak. “Kamu nggak ngerti aku, Ben. Aku butuh uang buat lunasin apartemenku. Bukan buat apa-apa. Lagian, aku sama Rendra nggak ada hubungan apa-apa di real life. Dan udah acara itu pun selesai, aku nggak pernah kontakan lagi sama dia sampai sekarang.”
Ben mendengus. “Kita juga awalnya nggak ada hubungan apa-apa sampai ONS, terus pacaran.”
“Kamu sama dia beda lah, Ben. Jangan disama-samakan.”
Hening sejenak.
“Kenapa nggak ngomong ke aku, Tar?”
“Ngomong apa?” Aku menatapnya bingung. Kan, tadi sudah jelaskan ke dia?
“Kamu butuh uang buat lunasin apartemen kamu. Kan, bisa aku kasih.” Ben menatapku insten. “Atau kamu bisa pinjam sama aku tanpa perlu pusingin kapan balikinnya, Tar.”
Aku geleng-geleng kepala, menolak keras tawarannya sejak awal. Dia harusnya tahu bahwa aku paling nggak suka dikasihani kayak begini atau diperlakukan seolah aku nggak mampu dalam masalah finansial. Selama masih bisa cari kerjaan atau peluang yang bisa mendapatkan uang tanpa harus pinjam sana-sini, akan aku lakukan.
“You know me so well, Ben,” tegasku membuat mulut Ben tertutup rapat. “Sebutuh-butuhnya aku sama uang, nggak akan pernah aku pinjam atau minta ke kamu.”
Berpacaran dengan Ben selama hampir tiga tahun lamanya, aku nggak pernah menerima hadiah dalam bentuk apa pun darinya. Bukan berarti Ben pelit. Nggak, dia bukan cowok kayak begitu. Cuma, aku yang memintanya untuk nggak memberikanku barang atau hadiah atau uang atau apa pun itu. Aku nggak pernah suka. Terlebih lagi, hubunganku sama Ben baru sebatas pacar. Bukan suami-istri.
“Ikutan acara begituan demi dapat uang bukan jadi alasan kamu kayak begitu, Tar.” Ben mengerang frustrasi. “Kamu lagi butuh banget, dan aku ada. Apa nggak bisa kamu ngandelin aku daripada ikutan kayak begituan?”
Aku diam. Malas berdebat sih sebenarnya.
“Selama kita pacaran, kamu kayak nggak pernah ngandelin aku dalam masalah kamu, Tar. Padahal selama ini, aku udah siap buat jadi pelarian atau pelampiasan dari masalah-masalah kamu. Karena apa? Karena aku sayang dan cinta sama kamu. Apa itu salah?”
Nggak ada yang salah. Hanya saja, aku nggak pernah berbagi masalahku dengan orang lain.
“Kamu nggak pernah lihat aku sebagai orang yang bisa kamu andalkan, Tar. Kamu cuma anggap aku sebagai pacar, partner in sex, atau orang yang cinta sama kamu tanpa mau dijadikan sandaran buat kamu,” tutur Ben penuh emosi. “Aku di sini buat kamu. Nggak pernah ada niatan aku buat ninggalin kamu.”
Ucapan Ben membuat emosiku meradang. Seolah-olah aku makhluk lemah yang nggak bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Dipandang rendah oleh orang yang aku cintai selama tiga tahun ... membuatku kecewa. Seperti yang aku jelaskan sebelumnya, bukannya aku nggak mau berbagi atau menjadikan Ben sebagai pelarian dari masalahku. Tapi, hubungan kami masih sebatan pacaran. Belum ada tanggung jawab masing-masing. Aku nggak mau Ben menjadi pelarian setiap masalahku jika aku nggak pernah siap kalau Ben begitu.
“Begitu lihat kamu di acara begitu, aku tahu kalau selama ini ... kamu nggak pernah anggap aku ada. Iya kan, Tar?”
“Nggak usah jadi ngomong yang nggak-nggak, Ben!” balasku sedikit menaikkan nada bicaraku. “Aku anggap kamu ada ya sebagai pacar dan calon masa depanku. Bukan sebagai pelarian dari semua masalah apa yang aku hadapi, Ben. Aku nggak mau kamu ikut-ikutan tanggung jawab sama masalahku. Karena apa? Karena aku nggak bisa kayak kamu, Ben!”
“Aku nggak pernah minta balasan apa pun dari kamu, Tar.”
“Tapi aku nggak bisa lihat kamu nggak dapat apa-apa dariku, Ben!”
“Kamu udah kasih apa—“
“Beda, Ben,” selaku. “Pembalasan cinta dan tanggung jawab itu nggak bisa kamu sama ratakan gitu aja. Beda konteksnya.”
Lalu hening. Kami hanya menatap satu sama lain tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Cahaya lampu di apartemenku membuat raut wajah frustrasi Ben kian jelas. Namun kali ini, aku melihat kedua matanya memerah dan agak berkaca-kaca. Sedangkan aku, semakin diselimuti oleh rasa marah dan kesal sampai napasku memburu.
“Apa hidup kamu soal balas membalas, Tar?”
“Nggak usah jadi manusia paling nggak butuh balasan, Ben. Pikirin realistisnya aja bahwa semua harus ada balasannya,” kataku. “Tuhan menciptakan manusia aja harus ada balasannya.”
Kembali sunyi. Semilir angin dari sela-sela ventilasi apartemen dan suara klakson mobil di malam hari tak kami hiraukan. Suasana tegang yang terbangun sekarang membuat pikiranku seketika kacau, sulit berpikir jernih, dan tahu apa yang akan keluar dari mulut Ben selanjutnya.
“Kita nggak pernah satu prinsip,” ucap Ben pelan. “Dan aku nggak tahu harus ngapain sekarang,” katanya dan terdapat getaran kecil dari pertanyaannya barusan. “Sekarang mau kamu apa, Tar?”
“Kita udahan aja,” jawabku tanpa pikir panjang dan nggak mau menatap Ben. “Kayak apa yang kamu bilang barusan, kita nggak akan pernah satu prinsip.”
“Tiga tahun kita dan berakhir kayak gini?”
Aku bergming.
“Dan kamu nggak mau berjuang lagi sama aku?”
Mulutku membisu.
“Aku pikir, kamu the one buatku, Tar. Nyatanya salah.” Semakin Ben berkata, semakin tegang pula suasananya. “Oh bukan gitu. Aku yakin kamu the one buatku. Tapi kamu nggak seyakin itu sama aku.”
Kenapa kalimat-kalimatnya tidak membuatku merasa sesak?
Tanpa melihat ke arahnya, aku tahu Ben tengah berjalan ke sofa ruang tengah untuk menyambar jas dan tas kerjanya. Kemudian, kurasakan langkahnya mendekatiku dan aku masih enggan melihatnya.
Kurasakan tangan kanannya menarik lembut kepalaku dan aku bisa merasakan embusan napasnya menerpa puncak kepalaku.
“Aku pamit.”
Aku tertegun begitu Ben mengecup puncak kepalaku yang bahkan nggak sampai lima detik.
Kemudian, apartemenku sepi dan sunyi.
Tak ada lagi Ben.
Tak ada lagi kita.
Haruskah aku menyesal sekarang?
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
