
Happy reading!
Sebelum pulang, Andini mengajak anak-anak Bima ke pasar. Sejak jadi pengasuh, ia terbiasa berbelanja stok makanan setiap awal pekan. Namun, kali itu mereka tak bisa berkeliling pasar seperti biasanya. Andini hanya sempat membeli beberapa bahan makan, lalu buru-buru pulang.
Awan gelap yang menghiasi langit sejak pagi, semakin pekat saat siang tiba. Di tengah perjalanan hujan deras disertai angin tak dapat dihindari. Andini memelankan laju motornya, menerobos hujan yang malah semakin kencang. Perjalanan jadi lebih lambat, sampai akhirnya mereka tiba di rumah setengah jam kemudian.
“Dingin ….” Imran dan Syifa mengeluh bersamaan. Dua anak itu duduk di ruang makan, memakai jubah mandi masing-masing, menunggu Andini yang sibuk menyiapkan air hangat.
“Ayo mandi.” Andini menggiring mereka ke kamar mandi, membasuh tubuh anak-anak Bima itu dengan telaten. Setelah itu, membuatkan susu dan membiarkan mereka istirahat di kamar, sembari ia membersihkan tubuhnya yang lengket oleh keringat campur air hujan.
Daya tahan tubuh yang lebih kuat, membuat tubuhnya terasa segar usai mandi dan keramas. Andini keluar kamar mandi dengan rambut basah berbalut handuk biru milik Bima yang besar. Ia memakai gamis ungu yang hari itu jadi cadangan di bagasi motor. Setelah menjemur baju basahnya dan anak-anak yang sudah dicuci, ia kembali ke kamar.
“Adek!” pekiknya kaget melihat Syifa duduk di lantai dengan mulut penuh susu yang menetes mengotori lantai.
“Muntah ….” Syifa menangis sambil batuk, kemudian kembali muntah. Andini segera menghampiri dan semakin panik mendapati tubuh Syifa demam tinggi. Sementara Imran yang berbaring lemah di ranjang, mulai menunjukkan tanda-tanda yang sama dengan sang adik.
Dengan tangan gemetar, Andini mengganti baju Syifa lalu membaringkannya di samping Imran. Setelah itu ia mengambil ponsel dan menghubungi Bima.
“Assalamu’alaikum.” Suara Bima terdengar ringan.
“Wa’alaikumsalam,” balas Andini dengan suara bergetar ketakutan.
“Ada apa?” tanya Bima heran.
“Pak Bima bisa pulang dulu? Syifa muntah dan deman. Imran ju-juga demam ….”
“Kenapa bisa? Kamu apakan anak-anak saya?” Bima memekik kaget.
Andini menggigit bibir menahan tangis. Sambil memejamkan mata ia berkata, “Pulang sekolah kami ke pasar dan pulang ke-kehujanan ….”
Belum selesai ucapannya, Bima sudah memutus sambungan telepon. Andini mengusap wajah kasar menenangkan diri sejenak, lalu mengepel lantai kamar yang kotor. Sementara itu, Imran dan Syifa mulai rewel karena tubuh semakin tak nyaman.
♥♥♥
Bima mengemudi dengan cepat meninggalkan kantor di tengah hujan yang sudah tidak sederas satu jam lalu. Namun, karena banjir di beberapa ruas jalan utama, perjalanan jadi memakan waktu lebih lama. Setengah jam kemudian, Bima memarkir mobilnya asal di luar pagar, lalu mendorong pagar hitam setinggi dadanya dan berlari cepat masuk rumah.
“Tadi pagi saya sudah bilang, kalau hujan, tidak usah ke pasar!” bentak Bima saat masuk kamar, mengagetkan Andini dan juga anak-anaknya yang hampir tertidur.
“Papa ….” Syifa yang tak pernah melihat Bima marah, meringkuk ketakutan memeluk pinggang Andini. Bima mengembuskan napas kasar, lalu keluar menenangkan diri di ruang tamu.
“Gak apa-apa, Dek. Papa gak marah, kok.” Andini berusaha menenangkan Syifa dan Imran, meski dirinya pun masih shock karena dibentak lelaki yang biasanya datar tersebut.
Setelah anak-anak tenang, barulah Andini menemui Bima. “Ma-maaf, Pak. Ta-tadi dari sekolah belum hujan. Tapi, pas pulang dari pasar tiba-tiba hujan deras ….”
“Saya tidak peduli itu. Lebih baik kamu tanggung jawab saja!” Bima menyela dengan emosi yang masih menguasai.
Tanggung jawab? Andini merasakan keringat dingin tiba-tiba membanjiri wajah dan tubuhnya. Tak bisa memikirkan tanggungjawab seperti apa yang dinginkan Bima. Dengan gemetar dan gugup ia berusaha bernegoisasi. “Ki-kita bawa anak-anak ke dokter saja, Pak. Nanti di sana saya yang tanggung biayanya.”
Tak menyahut, Bima berlalu masuk kamar menghampiri anak-anaknya. “Maaf, ya,” bisiknya sambil mengecup pucuk kepala Syifa yang masih menatapnya takut. Kemudian Bima beralih pada Imran dan dengan gerakan mata, ia mengisyaratkan Andini untuk mengambil alih Syifa dan menyusulnya ke mobil.
Hujan yang menyisakan gerimis, menciptakan hawa dingin terasa menusuk kulit. Andini duduk di jok belakang bersama anak-anak, mengarahkan Bima menuju klinik dokter praktek spesialis anak langganan kakak-kakaknya yang biasa buka di sore hari. Tiba di sana, Andini segera mendaftar dan mereka menunggu dalam diam. Jam lima sore, akhirnya asisten dokter memanggil nama Imran dan Syifa.
“Alhamdulillah. Anak-anaknya tidak apa-apa, Bu. Kemarin libur, pasti kecapekan ya, jalan-jalan. Kurang istirahat dan hari ini kehujanan.” Wanita paruh baya berjas putih itu tersenyum setelah memeriksa keadaan Imran dan Syifa.
Andini mengusap wajah berkali-kali sambil mengucap syukur dengan suara pelan. Ketegangan perlahan merenggang dari wajahnya yang tampak lelah. Sementara Bima menghela napas lega, tapi tak lantas menyurutkan kekesalannya pada Andini. Sikap mereka yang dingin, tampak seperti suami istri yang sedang marahan karena anak yang sakit. Dokter pun tersenyum kecil sambil memperbaiki letak kaca matanya yang sedikit bergeser.
“Insya Allah, anak-anak tidak apa-apa, Bu. Makan dan istirahat yang cukup. Ini obat penurun panas, dan ini obat kalau muntah.” Wanita berkerudung navi itu menjelaskan dosis obat dan apa yang harus dilakukan jika anak-anak masih demam sampai esok hari.
Bima dan Andini diam mendengarkan. Setelah menerima resep obat dan menyelesaikan administrasi, mereka segera ke apotek.
“Semuanya tiga ratus dua puluh lima ribu, Bu,” ucap kasir setelah menghitung total harga obat.
Dengan percaya diri Andini membuka dompetnya. Wajahnya yang tenang sekketika berubah pias begitu melihat isinya yang menyisakan ada dua lembar uang pecahan lima puluh ribu, serta dua lembar uang dua puluh ribu. Aduh, bagaimana ini?
Bima yang berdiri di belakang sambil menggendong Syifa, tersenyum sinis menyadari ada yang tak beres dengan Andini yang tak kunjung menyelesikan pembayaran. Tanpa kesulitan, ia mengambil sejumlah uang di dompet dan menyerahkannya pada petugas kasir.
“Lho, di dalam Pak Bima sudah bayar buat periksa di dokternya. Kok, ini obatnya bayar lagi?” tanya Andini salah tingkah. Sementara Bima tak menggubris, berlalu begitu saja menghampiri Imran di ruang tunggu.
Andini tersenyum canggung pada petugas kasir yang menyerahkan kembalian sekaligus bukti pembayaran. Ia memilih berdiri menunggu obat, sampai setengah jam kemudian. Tergesa-gesa ia menyusul Bima yang sudah membawa anak-anaknya ke mobil.
“Duduk di depan! Urusan kita belum selesai!” titah Bima dingin setelah menutup pintu mobil bagian belakang yang ditempati Imran. Ia menyerahkan Syifa pada Andini, lalu duduk di balik kemudi diikuti gadis itu di sampingnya. “Saya sudah membayar semuanya tadi, tapi bukan berarti kamu bebas dan bisa pulang saja setelah ini,” lanjutnya seraya memacu mobil dengan kecepatan sedang, meninggalkan parkiran klinik.
Sementara Andini memeluk Syifa yang tertidur di pangkuan. Detak jantungnya yang berdebar tak beraturan, sama sekali tak mengganggu kenyamanan putri bungsu Bima dalam dekapannya. Sambil menggigit bibir pelan, pikirannya mulai tak tentu arah. Apa aku akan dilaporkan polisi? Mak! Aku tolong anakmu ini ….
“Anak-anak saya sakit karena kesalahanmu. Jadi, kamu harus rawat mereka malam ini. Biar kalau ada apa-apa, kamu langsung tanggung jawab!” ucap Bima datar, semakin mengacaukan pikiran Andini yang terus membisu di sisa perjalanan.
♥♥♥
Dua piring nasi goreng dan telur dadar serta dua gelas teh hangat tersedia di meja makan. Untuk pertama kalinya Andini dan Bima duduk berdua untuk makan tanpa anak-anak yang sudah tidur setelah makan dan minum obat. Suasana jadi sangat canggung saat mereka hanya fokus pada piring masing-masing.
“Pak, saya izin pulang sebentar. Boleh, ya?” Andini buka suara setelah Bima menghabiskan nasi goreng buatannya.
Lelaki itu meneguk air putih hingga tandas. Kemudian mata sipitnya memicing curiga. “Kamu mau kabur?”
“Tidak, Pak. Saya … saya cuma mau izin sama orangtua saya, terus ambil baju ganti dan alat mandi,” jelas Andini takut-takut.
“Tetap tidak bisa!” tolak Bima tegas dengan wajah datar. Sudah hampir jam sembilan malam, membiarkan seorang gadis pulang pergi dari rumahnya semalam itu bukanlah hal baik. Namun, meninggalkan anak-anaknya yang sedang sakit tanpa pengawasan hanya untuk mengantar Andini juga bukan pilihan.
“Pak Bima bisa pegang KTP saya. Itu ada alamat rumah orangtua saya. Saya janji, sebentar aja, Pak. Ya …?” bujuk Andini memelas.
“Berikan saja nomor telepon orangtuamu. Biar saya yang menghubungi mereka dan minta izin,” sahut Bima tetap dengan wajah datar.
Andini menghela napas pasrah. Dengan bibir mengerucut, ia beranjak mencuci piring kotor, kemudian membersihkan dapur. Sementara Bima masih di tempat, duduk bersedekap memerhatikan setiap pergerakan gadis itu yang kemudian kembali ke kamar depan. Meninggalkannya tanpa sepatah kata.
Duduk bersandar ke kepala ranjang, Andini terdiam memandangi ponsel di tangan. Beberapa detik kemudian muncul wajah Aluna tanpa kerudung memenuhi layar.
“Tumben nih, VC. Gak nginap sini pula. Ada apaan?” gumam Aluna heran setelah menjawab salam.
“Aku lagi di rumah Pak Bima,” jawab Andini lesu.
“Hah? Kok, bisa sampai jam segini belum balik?” Aluna mendelik curiga. “Din, jangan aneh-aneh deh ….”
“Aku gak dibolehin pulang sama Pak Bima, Mbak …,” ucap Andini frustrasi sambil menyusut cairan bening yang menggenang di sudut mata.
“Kenapa? Kamu ngapain sampai gak dibolehin pulang?” cecar Aluna heran.
Andini pun menceritakan apa yang terjadi hari itu. Namun, Aluna justru meledek dan menertawakannya. “Bukannya kasihan, malah diketawain!” gerutunya kesal.
“Ikutin aja maunya Pak Bima. Lagian dia juga gak akan ngapa-ngapain kamu, kok. Nanti Mbak minta Mas Faiz hubungi Pak Bima buat konfirmasi. Jadi kamu di situ aja, jagain anak-anaknya. Tapi awas! Jangan godain papanya,” ucap Aluna panjang lebar, tapi tetap diakhiri dengan ledekan dan tawa menyebalkan.
Andini melepaskan kerudung setelah video call berakhir, lalu meletakkannya di atas nakas bersamaan dengan ponsel yang sudah dinonaktifkan. Sesaat ia menyisir rambut panjangnya yang belum sepenuhnya mengering menggunakan jemari. Setelah itu ia berbaring di samping Syifa, menarik selimut menutupi tubuhnya dan anak-anak. Tak lama berselang, matanya terpejam dan kesadarannya pun menghilang.
♥♥♥
Bima meletakkan kembali ponselnya di meja setelah mengakhiri panggilan telepon dengan Faiz. Ia menatap pintu kamarnya yang ditutup Andini sejak setengah jam lalu.
“Tidak apa-apa. Aku hanya memastikan apa yang dikatakan istriku tentang adiknya. Dia izin pada kami karena biasanya dia nginap di sini kalau hari kerja. Tenang saja, aku percaya padamu.”
Bima mengembuskan napas pelan, terngiang dukungan yang dilontarkan Faiz di telepon tadi. Ia pikir Andini akan mengadukan hal yang tidak-tidak tentangnya, tapi ternyata gadis itu mengatakan yang sebenarnya. Ia berdiri, tapi kemudian duduk kembali. Ingin melihat anak-anaknya, tapi takut mengganggu Andini. Aku tuan rumah, kenapa harus takut mengganggunya yang sedang menjaga anak-anakku?
Tangan Bima menggantung di udara sebelum menyentuh daun pintu. Sekali lagi ia mengembuskan napas lalu menarik tangannya. “Bu Andini, boleh saya masuk?”
Tidak ada jawaban membuat Bima gemas. Dua kali ia mencoba mengetuk pintu, tetap tidak dijawab. Ia mengembuskan napas, lalu membuka pintu perlahan. Semua gerakannya berhenti, termasuk matanya tak mengerjap beberapa detik. Hanya jakunnya yang tanpa sadar bergerak naik turun.
Di atas ranjang tempatnya biasa tidur dan melepas lelah setiap malam, seorang gadis asing sedang tidur bersama anak-anaknya. Rambut panjang yang biasa tertutup kerudung, kini terurai bebas tanpa menutupi wajah dan leher yang putih nan mulus. Andini tidur begitu nyenyak seperti di kamar sendiri. Wajah cemberut, ketakutan dan kesal tadi tidak lagi terlihat. Yang tampak di mata Bima hanyalah wajah polos dan cantik yang begitu menggoda.
Bima menelan saliva kasar, buru-buru menutup pintu dari luar dengan tangan gemetar. Kembali ia duduk di sofa ruang tamu. Berkali-kali mengusap wajah kasar, bayangan Andini justru semakin liar membayangi. Ia ke dapur, menegak air dingin dari kulkas. Namun, tetap saja bayangan gadis itu tak mau pergi dari otaknya. Tak tahan, Bima akhirnya mengurung diri di kamar mandi.
♥♥♥
Lewat tengah malam, tidur Andini tidak senyenyak sebelumnya. Matanya mengerjap pelan, kaget mendapati dirinya tidur di kamar Bima tanpa kerudung. Ditatapnya pintu yang tertutup rapat dengan lega, lalu memakai kerudung dan berbaring memeluk Syifa serta mengusap punggung Imran yang tampak gelisah.
Di sisa malam itu Andini beberapa kali terjaga hingga Subuh menjelang. Setelah memastikan keadaan Imran dan Syifa sudah lebih baik, ia bangun dan pergi ke dapur. Ia mengeluarkan bahan makanan yang dibeli kemarin dari dalam kulkas, lalu mulai membuat bubur ayam untuk sarapan.
Di kamar belakang, Bima meraba sisi single bed yang kosong tanpa membuka mata. Menyadari ia tidur sendiri, matanya yang berat langsung terbuka sempurna. Ia mengusap wajah kasar seraya bangun duduk. Terdengar jelas suara berisik dari dapur disertai aroma masakan yang menggugah selera.
Bima mengembuskan napas kasar saat merasakan hormon lelaki normal di pagi hari. Biasanya ia akan menuntaskannya di kamar mandi seperti semalam, tapi pagi itu ia sadar di dapur ada gadis yang jadi objek fantasinya. Sesaat ia berbaring dengan menyilangkan tangan menutup muka, mencoba untuk tidur lagi. Namun, azan Subuh terdengar membuat matanya kembali mengerjap.
“Pak Bima mau mandi?” Andini menghentikan langkah di depan pintu kamar mandi saat Bima datang menghampiri. Lelaki itu mengangguk kaku seraya melewatinya keluar, mengambil handuk di teras belakang lalu kembali dan masuk kamar mandi tanpa kata. Sementara Andini pun memilih menunggu di dapur hingga sepuluh menit kemudian pintu kamar mandi terbuka.
“Aaa …!” Andini memekik kaget melihat Bima keluar bertelanjang dada, hanya memakai handuk biru yang menutupi pinggang sampai lutut. Lelaki itu sama terkejutnya, lalu berlari cepat ke kamar.
“Astaga! Mataku!” Andini mengucek mata berkali-kali. Merasa berdosa sudah melihat aurat lelaki yang bukan mahramnya. Tapi, ‘kan cuma sekali. Gak sengaja juga. Itu khilaf, gak dosa, batinnya mencoba menenangkan diri.
Sementara di kamar, Bima mengembuskan napas kasar. Menggosok rambut sejenak dengan handuk, lalu memakai baju. Bisa-bisanya ia lupa ada Andini di dapur dan malah keluar kamar mandi hanya berbalut handuk. Dengan cepat ia ganti baju, lalu pergi ke masjid dengan langkah terburu-buru.
“Pak Bima mau sarapan apa?” Andini tersenyum menyambut Bima yang baru pulang, seperti seorang istri yang menyambut kepulangan suami. Meski kurang tidur, gadis itu tampak baik-baik saja dan tidak lagi terlihat kesal.
“Sama saja dengan anak-anak,” jawab Bima, lalu bergegas ke kamar. Tak ingin lama-lama berduaan dengan gadis itu yang bisa membuatnya makin berani.
Andini membawa dua mangkuk bubur ayam ke kamar. Seperti semalam, ia dan Bima menyuapi anak-anak dalam diam. Keadaan dua anak itu sudah semakin membaik dan demamnya sudah turun. Menyisakan tubuh yang masih lemas, membuat mereka kembali tidur setelah minum obat.
“Pak Bima mau minum apa?” tanya Andini setelah kembali ke dapur diikuti Bima yang duduk di ruang makan. Ia menyajikan dua mangkuk bubur ayam di meja.
“Kopi.”
Alis tebal Andini bertautan heran. “Kopi?”
“Kenapa?” sahut Bima datar lalu menyantap bubur yang masih hangat tanpa mengaduknya. Gurihnya terasa pas di lidah, membuatnya makan dengan lahap.
“Gak sih, gak baik aja minum kopi pagi-pagi,” ucap Andini, tapi tetap menyajikan satu gelas kopi hitam untuk Bima dan satu gelas teh untuknya. Ia duduk dengan ragu di hadapan lelaki itu yang tampak fokus pada makanan. “Setelah ini, apa saya boleh pulang, Pak?”
“Saya ada sidang pagi ini. Jadi, kamu harus temani anak-anak sampai saya pulang nanti,” jawab Bima datar tanpa menatap sedikit pun.
“Aduh, Pak. Dari kemarin saya belum mandi, belum sikat gigi sama cuci muka. Mau salat aja rasanya aneh, badan lengket, gerah lagi. Masa saya ditahan sampai sore, sih? Anak-anak juga sudah tidak apa-apa,” protes Andini yang mulai hilang kesabaran.
“Tapi hari ini saya kerja. Dan anak-anak juga belum benar-benar sembuh. Kamu ingin meninggalkan mereka sendiri di rumah?” Bima menghentikan makannya dan menatap Andini yang tampak bimbang.
“Tapi, Pak ....”
“Begini saja. Pagi ini saya ada sidang, jam sembilan di pengadilan. Mungkin sekitar satu jam, setelah itu saya bisa singgah di rumah kamu untuk ambil baju gantimu. Bagaimana?” tawar Bima tiba-tiba.
Andini berdecak kesal karena tidak punya pilihan. Ia juga mengkhawatirkan Imran dan Syifa. Dua anak itu jatuh sakit karenanya. Jadi, mungkin begitulah bentuk tanggung jawabnya. “Baiklah ….”
♥♥♥
Bima duduk dengan gelisah, mendengarkan nota pembelaan atas tuntutannya (pledoi) yang dibacakan kuasa hukum terdakwa kasus penipuan yang proses peradilannya sudah berjalan satu bulan. Beberapa kali ia melirik arloji di tangan, hingga akhirnya dipersilakan hakim ketua untuk memberikan tanggapan atas pledoi yang diajukan terdakwa.
“Maaf Yang Mulia, izinkan saya mengajukan replik terhadap pledoi yang diajukan terdakwa di agenda sidang selanjutnya,” ucap Bima serius.
Hakim pun mengabulkan, kemudian menutup agenda sidang kasus penipuan hari itu dan akan dilanjutkan minggu depan. Bima terburu-buru mengemasi berkas-berkas di atas meja lalu keluar bersamaan dengan terdakwa yang digiring masuk mobil tahanan.
Di balik kemudi, Bima melepaskan toga, melipatnya dan diletakkan di jok samping bersama tumpukan berkas-berkas. Ia mengambil ponsel di saku celana, membaca pesan dari Andini berisi alamat lengkap rumah orangtua gadis itu. Keluar dari aplikasi berlogo telepon warna hijau, ia membuka aplikasi map dan mengetik alamat tujuan. Mobilnya bergerak meninggalkan parkiran pengadilan, melaju perlahan sesuai arahan. Melewati jalanan yang baru dilewati, tapi tampaknya tak asing baginya.
Sekitar dua puluh menit perjalanan, sesuai alamat Bima menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah sederhana bercat dinding ungu yang dibatasi pagar hitam di sekeliling. Rumah sederhana itu tampak nyaman dan tenang. Banyak tamanan hias memenuhi teras serta halaman yang minimalis. Keluar dari mobil, ia menghampiri pintu pagar kecil yang tertutup rapat.
“Assalamu’alaikum.” Cukup lama Bima mengucap salam beberapa kali, hingga akhirnya pintu rumah terbuka.
Seorang lelaki usia enam puluhan memakai sarung kotak-kotak cokelat dan peci hitam, keluar membuka pintu pagar. “Wa’alaikumsalam. Cari siapa?” Lelaki itu memindai penampilan Bima dari ujung kepala sampai kaki, mirip suami dari anaknya yang ketiga.
“Benar ini rumah Bapak Sudarman?” tanya Bima memastikan dengan suara bergetar samar.
“Iya, saya sendiri. Anda siapa? Dan ada perlu apa dengan saya?”
“Saya Bima Sakti … boleh saya masuk dulu, Pak?”
Sudarman memperbaiki pecinya tanpa melepas tatapan mengintai dari tamunya yang asing. Kemudin ia berkata datar, “Silakan masuk.”
Bima mengembuskan napas, melangkah masuk rumah mengikuti sang empunya. Setelah dipersilakan, ia duduk di sofa single berhadapan dengan Sudarman yang duduk di sofa panjang.
“Ada perlu apa Anda datang mencari saya?” tanya Sudarman tanpa basa-basi.
Sekali lagi Bima mengembuskan napasnya, meyakinkan diri dengan apa yang jadi tujuannya datang. Ia menatap serius lelaki berahang tegas yang tak pudar dimakan usia. “Saya Bima Sakti, saya ingin melamar anak Bapak. Apa Bapak mengizinkan?”
“Anak saya yang mana?” sahut Sudarman dengan alis mengerut.
Bima menggaruk kepala bingung. Sedikit takut kalau ia salah alamat dan salah melamar anak gadis orang. Ah, harusnya aku minta fotocopy kartu keluarganya tadi, batinnya pusing. Lalu ragu-ragu ia bertanya, “Andini Miranthy ... anak Anda, ‘kan, Pak?”
Sudarman menahan jawabannya saat sang istri datang membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan kudapan. Sementara Bima memerhatikan wanita yang memakai kerudung ungu dan daster warna senada dengan motif bunga. Sekilas, wanita paruh baya itu mirip Andini dan juga Aluna. Meski sudah lanjut usia, lesung pipitnya masih tampak jelas di wajahnya yang telah mengeriput.
“Mak, ada yang mau melamar anak bungsu kita,” ucap Sudarman menghentikan gerakan istrinya yang hendak beranjak ke belakang.
“Siapa, Pak?” Dahlia memilih duduk di samping suaminya.
“Ini, namanya Bima Sakti. Tiba-tiba datang dan bilang ingin melamar Andin,” terang Sudarman.
“Bima Sakti?” Dahlia memerhatikan Bima dengan saksama.
“Iya, Bu. Saya Bima Sakti,” ucap Bima sopan.
“Bima ini jaksa, temannya ayahnya Alfa, Pak. Dan Andin sekarang nyambi ngasuh anak-anaknya,” ungkap Dahlia setelah ingat ucapan putri bungsunya beberapa waktu lalu.
“Jadi, Andin kerja sama dia?” Sudarman menatap heran istrinya.
“Iya, Pak. Andini mengasuh anak-anak saya sepulang sekolah,” sahut Bima cepat.
Tak menghiraukan Bima, Sudarman tetap menatap istrinya. “Kenapa tidak ada yang cerita sama Bapak kalau Andin kerja jadi pengasuh juga?”
“Emak lupa, Pak. Dikiranya Andin yang sudah cerita sendiri …,” sahut Dahlia tak enak.
Sudarman balik menghadap Bima sepenuhya. “Berarti kamu seorang duda?”
Bima terkejut, tak siap membahas status dudanya tiba-tiba. Ia menunduk malu sambil memejamkan mata sejenak, lalu mengembuskan napas pelan seraya menatap lurus lelaki paruh baya di hadapannya. “Iya, Pak. Saya duda dengan dua anak,” ucapnya lemah.
“Kamu seorang duda dan ingin melamar anak gadis saya?” Sudarman menekankan status putrinya dan Bima yang berbeda.
Pasrah. Bima sudah pasrah kalau lamarannya tanpa sepengetahuan Andini, langsung ditolak orangtua gadis itu karena statusnya. Ia terlalu percaya diri mengikuti nafsu untuk memiliki gadis itu, sehingga lupa akan statusnya yang tidak mungkin bisa diterima semua orang.
“Apa yang membuatmu ingin melamar putri saya? Apa … diam-diam kalian memang sudah punya hubungan? Sejauh mana?” Sudarman menatap datar, tapi nada suaranya penuh curiga.
“Tidak, Pak. Hubungan kami tidak lebih dari guru dan wali murid serta seorang pengasuh dengan orangtua anak yang diasuhnya. Kami tidak punya hubungan apa pun.”
“Lalu? Andini yang menyuruhmu datang ke mari untuk melamar?”
Bima menggeleng cepat. “Tidak. Maksud saya, Andini memang tahu saya datang kemari. Tapi bukan untuk melamar, melainkan untuk mengambil baju ganti dan keperluan pribadinya. Semalam dia menginap di rumah saya.”
“Apa?! Anak saya menginap di rumahmu?” Suara Sudarman meninggi karena kaget, tapi segera ditenangkan istrinya.
“Biar saya jelaskan, semua tidak seperti yang Bapak pikirkan.” Bima berusaha menenangkan.
“Jelaskan!”
Bima berdeham pelan. Menelan saliva kasar dan menghela napas dalam. Dengan gugup ia menjelaskan semua yang terjadi kemarin. Tentang anak-anaknya yang kehujanan bersama Andini sampai akhirnya jatuh sakit. Ia meminta gadis itu untuk tinggal, sebab ia tidak punya pengalaman mengurus anak-anaknya yang sakit seorang diri. Karena di tempat tugasnya yang lama, ia dibantu seorang pengasuh sebelum akhirnya pindah tugas. Hanya satu yang tidak ia jelaskan tentang kejadian semalam, saat tanpa sengaja melihat Andini tidur tanpa kerudung dan kejadian tadi pagi saat tak sengaja ia keluar kamar mandi hanya memakai handuk. Jika orangtua Andini tahu, pasti ia akan pasti ditendang dari sana.
“Lalu apa tujuanmu melamar putriku? Kamu mencintainya? Atau … hanya ingin menjadikannya pengasuh anak-anakmu?” Seakan belum puas, Sudarman kembali bertanya.
Bima berdeham pelan lalu berkata dengan mantap. “Rasanya di usia dan status saya ini sudah tidak pantas membahas tentang cinta. Jujur, saya tertarik dengan Andini karena awalnya dia begitu mudah mengambil hati anak-anak saya yang selama ini tidak pernah bisa dekat dengan orang yang baru dikenal. Saya sorang duda yang sejak bercerai hanya fokus mendedikasikan hidup untuk kedua anak saya. Dan menurut saya, Andini adalah sosok wanita yang pantas mendampingi saya sebagai istri dan ibu untuk anak-anak saya.”
“Kamu bersedia menjelaskan alasan mengapa kamu bercerai?”
“Pak ….” Dahlia menyela pertanyaan suaminya, yang menurutnya terlalu berlebihan untuk saat itu.
“Lebih baik Emak ambilkan baju ganti dan perlengkapannya Andin. Bapak mau tahu alasannya dulu. Laki-laki jaman sekarang banyak yang pendusta. Bapak tidak mau Andin salah dapat suami!”
Bima menelan saliva, memejamkan mata sejenak. Mengingat pernikahannya yang gagal di masa lalu hanya akan mengorek luka lama di hatinya yang hampir mengering setelah diobati dengan kehadiran Andini. Namun, saat itu ia tidak punya pilihan. Harus hadapi meski mungkin, akhirnya … akan ditolak.
Bersambung ....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
