
Happy Reading!
Bunyi alarm tepat pukul 4 pagi, membangunkan Bima dari mimpi indahnya. Tanpa membuka mata, ia meraba ponsel di atas nakas dan mematikan alarm. Ia menegakkan tubuh sambil mengucek mata, kemudian bersandar di kepala ranjang dan mengecek ponsel yang terakhir disentuh setelah makan malam.
Ibu jarinya langsung membuka ruang obrolan dengan Andini di WhatsApp. Tertulis alamat rumah yang semalam ia kirim dan sudah dibaca gadis itu. Jemarinya terus bergerak, membuka profil lalu jemarinya berhenti bergerak ketika memilih foto. Sesaat matanya terpaku, kemudian memindai wajah cantik yang memenuhi layar ponselnya. Mata bulat yang indah, alis tebal yang rapi alami, hidung bangir dan bibir yang ranum. Serta lesung pipit menambah kecantikan paras gadis itu.
Perlahan napas Bima mulai memburu. Tangan yang memegang ponsel pun terasa gemetar. Sadar ada yang tak beres dengan dirinya, ia segera menekan icon home, lalu menyimpan ponsel di nakas. Ia bangun dari ranjang, melangkah ke kamar mandi sambil terus mengusap wajah berkali-kali.
Setelah mengguyur seluruh tubuh yang tegang dan panas, ia kembali ke kamar tepat azan Subuh berkumandang. Sempat meragu, tapi akhirnya ia mantap membangunkan Imran dan salat bersama. Sementara Syifa yang terlambat bangun, tidak lagi merengek seperti sebelumnya. Gadis itu malah asyik menceritakan apa yang dilakukannya bersama ‘ibu guru cantik’-nya kemarin, sembari menunggui Bima menyiapkan sarapan.
Saat anak-anaknya duduk makan dengan sedikit ‘drama’, Bima memanfaatkan waktu singkat itu dengan merapikan rumah. Buku-buku dan mainan tercecer di ruang tamu, selimut dan boneka Syifa berserakan di atas ranjang kamar depan. Serta baju bersih yang belum dilipat menumpuk di kamar belakang.
Setelah semua selesai, ia kembali duduk di ruang makan dan meneguk habis kopinya yang sudah dingin. Sementara anak-anak berlarian ke depan, ia lanjut mencuci peralatan bekas masak dan makan. Satu kebiasaan yang tidak pernah dikerjakannya di pagi hari saat hari kerja.
Pagi itu mereka punya banyak waktu sehingga perjalanan ke sekolah tidak buru-buru. Bima membuang napas, kemudian turun dari mobil. Dadanya berdebar kencang di setiap langkah kakinya yang semakin mendekat, hingga akhirnya berdiri di depan Andini yang tersenyum. Sayangnya, senyum itu bukan untuknya, tapi untuk anak-anaknya.
“Adek ke kelas sama Ibu Guru cantik aja, ya, Pa?” ucap Syifa yang sudah bergelayut manja di lengan Andini.
Bima berdeham pelan, lalu menyejajarkan tingginya dengan kedua anaknya yang langsung mencium punggung tangannya. “Tapi Adek jangan nakal, ya? Jangan nangis juga. Nanti pulang sama Bu Guru,” katanya sambil mengecup pucuk kepala Syifa.
Andini terpaku melihat pemandangan romantis itu. Di matanya, Bima Sakti adalah lelaki yang langka. Selain aneh karena jarang senyum, Bima merupakan sosok ayah yang tak sungkan menunjukkan rasa cinta pada anak-anaknya Salah satu tipe ideal suami baginya. Type suami ideal?
“Papa pergi, ya?” Bima pamit pada anak-anaknya, tapi matanya tertuju pada Andini yang mengangguk.
Tak lama setelah kepergian Bima, Andini mengantar Syifa ke sekolahnya. Ada rasa senang yang sulit dijelaskan melihat keceriaan gadis kecil itu.
“Ibu ...,” gumam Syifa saat tiba di depan kelasnya.
“Ya, Sayang?” Andini menunduk dan tersenyum lebar.
Syifa balas tersenyum manis, lalu mencium pipi Andini seraya berbisik, “Syifa sayang Ibu ....”
Andini terbelalak tak percaya. Tubuhnya merosot sambil memegangi kedua pipinya yang tiba-tiba basah. Sesaat setelah Syifa masuk dalam kelas, Andini berdiri perlahan sambil mengusap pipi dan mata yang berkaca-kaca. Ia meninggalkan kelas itu dengan rasa haru yang luar biasa. Assyifa Dewi Putri Sakti benar-benar membuatnya jatuh cinta.
Di ruang tunggu, langkahnya terhenti. Kedua tangan meraba saku gamisnya, dan menemukan ponsel di saku kiri. Andini mengusap wajah kasar begitu menyadari sesuatu.
♥♥♥
Sama seperti kemarin, Bima berhenti dan duduk di ruang tunggu. Mengamati sekitar dan tentu saja interaksi putrinya dengan Andini yang terlihat dari jauh. Setelah puas dan dua gadis beda generasi itu tak lagi terlihat, barulah ia beranjak dari sana.
Duduk di balik kemudi, Bima tertegun mendapati kunci rumah masih ada di saku celananya. Ia kembali keluar, bersamaan dengan Andini yang berdiri di samping mobilnya, mengotak-atik ponsel dengan panik. “Bu Andini …?”
Andini mengembuskan napas lega. “Ah … Alhamdulillah. Tangan saya gemeteran mau telepon Pak Bima buat nanyain kunci rumah.”
“Ya, kebetulan saya juga baru ingat. Ini,” ucap Bima seraya menyerahkan kunci rumahnya.
Dengan cepat Andini menerima, menyebabkan kunci yang digantung bersama beberapa kunci ruangan lain itu jatuh di tanah. Keduanya kompak menunduk, tapi tangan Bima yang panjang lebih gesit. Segera Andini menarik tangannya yang memegangi punggung tangan lelaki itu yang sudah memegang kunci. Saat menegakkan tubuh dan berdiri, tanpa sengaja kepalanya terbentur dagu Bima.
“Ma-maaf,” ucap Bima sambil mengusap dagunya menahan nyeri.
“Oh, hehe … gak. Saya yang salah, Pak. Gak lihat,” balas Andini sambil mengusap pucuk kepalanya yang tertutupi kerudung cokelat. Keduanya salah tingkah saat jadi pusat perhatian sekitar. Beruntung, bel yang berbunyi segera memutus kecanggungan itu.
“Permisi, Pak …,” pamit Andini lalu berbalik dan melangkah terburu-buru sambil menutupi wajahnya yang memerah.
Bima masih tak beranjak dari posisinya hingga Andini tak lagi terlihat. Mengabaikan nyeri yang masih berdenyut di dagu, pandangannya beralih pada punggung tangannya. Ia mengusapnya pelan, lalu menghirup aroma yang tertinggal di sana.
♥♥♥
Matic merah itu melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan sekolah di siang yang cukup terik. Sepanjang jalan, Syifa yang duduk di depan terus mengoceh, menanyakan segala hal yang terlihat mata polosnya. Sementara Imran duduk tenang di belakang sambil memeluk Andini. Bocah itu sangat menikmati pengalaman pertamanya naik sepeda motor.
Dua puluh menit berkendara, Andini mengarahkan motornya memasuki kompleks perumahan yang tampak masih baru. Berbelok di salah satu blok, kemudian berhenti di depan sebuah rumah bercat dinding biru muda yang dibatasi pagar hitam di depannya. Sebelum turun, ia mengecek ponselnya, memastikan tak salah alamat.
Andini membuka pagar dan memarkir motor di halaman, lalu membuka pintu rumah. Imran berlari masuk kamar belakang yang menghadap dapur dan ruang makan. Sementara Syifa masuk kamar depan yang menghadap ruang tamu di mana Andini duduk diam memerhatikan sekeliling yang rapi.
Dinding ruang tamu dicat biru muda sama seperti di luar, di sisi barat dihiasi jam dinding bundar warna putih. Selain itu, tak ada apa pun yang menempel di sana. Sementara di rak hitam tempat televisi terpasang, hanya ada dua figura ukuran lima belas kali dua puluh centi berisi foto bayi yang sangat lucu. Yang satunya berguling menatap kamera dengan mata bulatnya yang seperti melotot. Sementara yang lainnya tengkurap, melihat kameran dengan mata sipitnya. Andini yakin itu adalah Imran dan Syifa.
“Ibu! Sini!” panggil Syifa dari dalam kamar, mengagetkan Andini yang sibuk memerhatikan seisi ruang tamu.
Dengan ragu, Andini menghampiri kamar depan yang pintunya terbuka. “Kenapa, Nak?”
“Tolong ambilin Syifa baju ....” Syifa menarik tangan Andini masuk kamar berukuran tiga kali empat meter tersebut. Ada sebuah ranjang besar yang sisi barat dan kepalanya menempel di dinding, dihiasi berbagai macam boneka. Sebuah lemari besar di sisi timur yang sempit, tepat di samping mereka. Serta satu stel baju dinas kejaksaan menggantung di dinding samping lemari. Sementara dinding bercat cream yang bebas, tampak bersih tanpa hiasan apa pun.
“Ibu! Tolong cariin Syifa baju ....” pinta Syifa lagi sambil menarik tangan Andini, menyentak ibu guru yang kembali asyik memindai seisi kamar.
Tanpa bertanya, Andini langsung membuka lemari besar itu. Matanya mendelik ketika mendapati celana dalam lelaki dewasa terpampang di depan mata. “Astagfirullah!” pekiknya sambil menutup mata. Aih! Mataku sudah tidak suci lagi!
“Ibu, itu lemarinya Papa!” tegur Syifa, kemudian menunjuk lemari plastik warna merah muda yang luput dari perhatian Andini. “Itu lemarinya Syifa.
Andini mengerjapkan mata, dengan salah tingkah ia menutup kembali lemari yang sudah jelas milik Bima. Lalu membuka lemari Syifa dan mengambilkan baju untuk anak gadis cantik itu.
“Ibu, Syifa lapar,” ucap Syifa setelah ganti baju, kemudian digiring Andini ke ruang tamu bersama Imran yang sudah menyalakan televisi.
“Tunggu sini, ya? Ibu lihat dulu apa yang bisa dimasak,” ucap Andini, kemudian berlalu ke dapur minimalis yang menyatu dengan ruang makan.
Ia membuka kulkas dan tidak menemukan sayur. Hanya ada telur, sosis, nugget, roti dan buah serta snack untuk anak-anak. Ia beralih membuka cabbinet dan menemukan mie instant, susu, kopi dan minyak goreng. Tidak ada bawang dan bumbu dapur lainnya. Astaga! Jadi, selama ini, Pak Bima ngasih makan anak-anaknya gak pake sayur?
Andini menggeleng, semakin penasaran memikirkan seperti apa kehidupan Bima Sakti sebenarnya. Serta ingin tahu di mana mantan istri lelaki itu berada. Masih hidup atau sudah meninggal?
Dengan berbagai rasa penasaran yang menggunung, tapi tak ada jawabnya, Andini memutuskan menggoreng nugget yang disajikan dengan dua piring nasi dingin sisa di meja makan. Duduk di ruang tamu, ia menemani dua anak itu makan. Kemudian membuatkan susu, setelah itu ikut ke kamar depan saat waktu menunjukkan hampir jam setengah tiga sore.
“Nanti Ibu tinggal di sini, ‘kan?” Syifa berbaring sambil memeluk bonekannya. Sementara Imran di samping sudah tidur.
Andini duduk di ranjang itu dengan dada berdebar kencang, tersenyum sambil mengusap rambut Syifa. “Gak dong. Ibu, ‘kan punya rumah sendiri.”
“Yah ....” Syifa langsung cemberut.
Andini tersenyum, dengan gemas mengecup pipi gadis kecil yang mengembung lucu itu. Bibir mungil Syifa yang tadinya mengerucut, perlahan melengkung menerbitkan senyuman manis. “Ibu gak tinggal di sini, tapi tiap hari Ibu akan temenin Syifa sama Abang Imran di sini sampai Papa pulang kerja.”
“Beneran, ya?”
“Iya, dong.” Sekali lagi Andini mengecup pipi Syifa, lalu ikut berbaring sambil memeluk gadis kecil yang langsung balas memeluknya. Aroma lembut yang menguar dari rambut Syifa, menghantarkan kenyamanan yang tanpa sadar membuatnya ikut tertidur di atas ranjang seorang duda.
♥♥♥
Bima menandaskan kopinya yang kesekian hari itu, lalu merapikan meja dan menyusun tumpukan berkas di lemari. Ia berjalan santai menenteng laptop keluar ruangannya yang sepi dan berpapasan dengan Faiz saat sedang absen pulang. Keduanya beriringan keluar menuju tempat parkir dan berpisah saat masuk mobil masing-masing.
Bima begitu menikmati perjalanan pulang tanpa terburu-buru karena harus menjemput anak-anak. Sepanjang jalan ia tersenyum, penasaran dengan apa yang dilakukan anak-anaknya bersama Andini di rumah. Lebih tepatnya, apakah dia bisa menangani Imran dan Syifa yang bukan anaknya?
Turun dari mobil yang diparkir di garasi, Bima membuka pintu perlahan dan disambut kesunyian rumah yang masih rapi seperti pagi tadi. Tidak ada anak-anaknya yang biasanya nonton televisi sampai ketiduran di sofa. Setidaknya itulah yang dilakukan Imran dan Syifa sepulang sekolah dan ditinggalkannya kembali ke kantor sekitar satu jam.
Bima beralih ke kamar, membuka pintunya pelan. Gerakannya terhenti dan pintu tak sepenuhnya terbuka. Tanpa sadar, bahu kanannya bersandar di kosen pintu. Untuk sesaat matanya tak mengerjap. Ia taj percaya melihat anak-anaknya tampak tenang tidur bersama seorang wanita asing yang belum sampai dua minggu dikenal.
Pandangan Bima beralih mengamati Andini yang tidur sambil memeluk Syifa. Kerudung cokelat gadis itu tampak berantakan, helaian rambut hitam keluar melewati ciput, menghiasi dahi yang putih mulus. Dugaannya salah, membuatnya tidak habis pikir. Bagaimana bisa seorang gadis asing yang tidak ada hubungan apa pun dengannya, sanggup mengurus anak-anaknya dengan baik. Berbeda dengan wanita yang melahirkan anak-anaknya, yang kini entah ada di mana.
“Bapak sudah pulang?” Andini turun dari ranjang, tersenyum mendekati Bima. Rambut panjangnya yang hitam legam indah terurai, kontras dengan wajah putihnya yang polos tanpa sapuan make-up. Kecantikan alami gadis itu membuat Bima menelan saliva kasar tanpa sanggup mengerjapkan mata barang sedetik. “Mau mandi dulu, Pak?”
Siku yang menempel di kosen pintu kamar untuk menopang tubuh tiba-tiba hilang kekuatannya, sontak saja membuyarkan lamunan Bima. Wajahnya memerah melihat Andini yang masih tertidur, bergerak merapatkan Syifa dalam dekapan. Ia mengembuskan napas kasar, lalu menarik pintu dan menutupnya dari luar. Ke kamar mandi, ia membasuh muka dan kepalanya beberapa kali. Sedikit bisa mendinginkan otaknya yang semakin berani membayangkan aurat seorang gadis yang belum halal untuknya.
Tepat setelah pintu tertutup, Andini terjaga dari tidurnya. Matanya mengerjap pelan, menelisik seisi ruangan. Ia tersentak bangun sambil memperbaiki kerudung saat sadar ada di kamar Bima. Ia meraih ponsel yang tergeletak asal di ranjang, lalu mendelik kaget saat tahu sudah jam setengah lima. Pelan-pelan ia beranjak turun dari ranjang agar tak mengganggu Imran dan Syifa. Saat membuka pintu, ia berjengkit kaget mendapati Bima muncul dengan wajah basah. “Lho, kok, Pak Bima sudah pulang?”
Bima yang sama kagetnya, tetap memasang tampang datar dan biasa saja. “Iya, dari tadi.”
Andini shock dan panik seraya menyingkir keluar saat Bima melewatinya kemudian masuk kamar. Waduh! Jadi, dia lihat aku tidur dong? Gawat nih!
“Bagaimana dengan anak-anak hari ini?” tanya Bima seraya mengambil baju ganti dalam lemari. Sejenak melirik anak-anak yang masih nyenyak tak terganggu pergerakannya, kemudian ia membuka satu persatu kancing baju dinasnya.
“Anak-anak ba-baik. Mereka gak nakal. Mereka cuma minta ma-kan, lalu ... minum susu dan ... tidur,” papar Andini gugup sambil berdiri memunggungi pintu kamar yang terbuka.
Suara gadis gugup itu terdengar seperti desahan di telinga Bima. Matanya terpejam setelah semua kancing terlepas. Lamunan nakalnya kembali membayang. Shit!
“Pak, saya pulang sekarang, ya? Nanti bilang sama anak-anak. Assalamu’alaikum!” pamit Andini dengan panik, menyadarkan Bima dari khayalan liarnya.
Sampai di teras, langkah Andini terhenti ketika meraba saku gamis dan tak menemukan kunci motorya. Ia menepuk jidatnya berkali-kali, mengingat kunci motor ada dalam tas. Dan tasnya tertinggal di kamar Bima. Gimana caranya mau pulang coba?
“Bu Andini! Ini tasnya ketinggalan!” seru Bima dari dalam, membuat Andini segera berbalik. Lelaki itu keluar kemudian menyerahkan tas ransel ukuran sedang. Kaus abu polos dan celana hitam selutut terlihat asing di mana Andini yang terbiasa melihat lelaki itu dengan pakaian dinasnya.
“Oh, iya. Terima kasih,” ucap Andini seraya menerima tasnya, kemudian berbalik.
“Bu Andini!”
Astaga! Andini mengembuskan napas kasar, kembali berbalik dengan malas. “Ada apa lagi, Pak Bima ...?”
“Kunci rumah saya mana?” tanya Bima datar dengan tangan terulur.
Dengan bibir mengerucut, Andini merogoh tasnya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya yang sempat panik, tapi bisa mengembuskan napas lega saat menemukan kunci rumah dan menyerahkan pada pemiliknya.
“Lain kali kalau jagain anak-anak dan tidur dengan mereka, pintu rumah dikunci, ya?” Dengan suara rendah Bima mengingatkan.
Andini hanya mengangguk kaku, lalu mendorong motornya keluar pagar dan segera menghilang dari hadapan Bima yang tetap berdiri di teras. Depan masjid di ujung gang, motornya berhenti. Andini mengusap peluh wajah sambil menghela napas dengan rakus guna mengisi rongga dada yang terasa sesak karena gugup.
Menjadi pengasuh anak dari seorang duda itu ternyata penuh cobaan. Bukan dari anaknya, tapi dari papanya!
♥♥♥
Bima memulai hari itu dengan kesibukan yang tak biasanya. Rumah harus bersih dan rapi saat ditinggal kerja, mengingat ada seorang gadis yang akan menemani anak-anaknya. Meski lelah, tapi ia begitu menikmati kebiasaan itu. Bahkan jadi semangat untuknya ketika bekerja, karena meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan orang yang tepat.
Turun dari mobil, Syifa berjalan dengan semangat diikuti Imran. Berkali-kali Bima menahan langkah kaki kecil anak-anaknya yang sejak dari rumah tak sabaran ingin bertemu kembali dengan sang guru yang cantik.
“Ibu …! Kenapa kemarin Ibu Guru cantik gak nungguin Syifa sama Abang bangun tidur?” protes Syifa saat sudah berada dalam pelukan Andini di depan kelas.
“Sudah sore, papanya Syifa sudah pulang. Jadi Ibu harus pulang ke rumah Ibu juga,” jawab Andini lembut.
“Syifa, ‘kan pengen dimandiin, terus disuapin lagi sama Ibu Guru cantik.”
“Nanti pulang sekolah, ‘kan bisa, Sayang?”
“Nanti Ibu tinggal di rumah Syifa, ‘kan?” tanya Syifa sambil memainkan jemari Andini yang hanya tersenyum.
“Ini kunci rumah saya, Bu.” Bima menyerahkan kunci rumahnya, mengalihkan perhatian Andini dari Imran dan Syifa.
“Iya.” Andini menerima dan tanpa sengaja ujung jemarinya menyentuh jemari Bima, memercikan gelenyar aneh yang menyentak dalam aliran darah yang ikut dirasakan lelaki itu.
“Jangan lupa, nanti pintunya dikunci jika ingin tidur dengan anak-anak.” Dengan enggan Bima menarik tangannya, sedangkan Andini segera menyimpan kunci dalam saku gamisnya. Setelah pamitan pada anak-anak, perlahan Bima melangkah mundur dan berbalik pergi.
Di ruang tunggu, Bima berhenti. Seperti biasa, ia duduk di sana menikmati matahari pagi yang hangat. Namun, ada yang berbeda dengan hatinya saat memandangi Andini yang berjalan bergandengan tangan bersama Syifa. Kenapa baru sekarang aku menemukan gadis sepertimu?
♥♥♥
Meski kebanyakan orang berkata bahwa, ‘mengurus anak-anak sangat melelahkan dan merepotkan’, tapi hal itu tidak berlaku bagi Andini. Mood yang sempat kacau karena malu sepulangnya dari rumah Bima, kembali stabil setelah mengajar anak-anak didiknya. Terlebih Imran dan Syifa yang semakin nyaman bersamanya, membuatnya semangat menjalani hari yang sibuk dan penuh tantangan.
Dari sekolah, Andini mengarahkan motornya menuju pasar tradisional. Setelah Bima mengabari akan pulang terlambat, Andini berinisiatif memasak untuk Imran dan Syifa di sela waktu luangnya agar tak ketiduran seperti kemarin. Dan jika lelaki itu tidak keberatan, ia bersedia memasak setiap hari.
“Ibu mau masak buat Syifa sama Abang?” tanya Syifa antusias. Mata beningnya berbinar melihat aktivitas yang ada di sekitar saar menyusuri lorong-lorong antar pedagang yang menjual aneka bahan makanan.
“Iya, dong. Ibu mau masak sayur yang enak buat Adek Syifa sama Abang Imran, biar sehat dan makin pintar,” sahut Andini setelah membayar, kemudian menerima beberapa macam sayuran segar dari si penjual. Ia mengajak kakak beradik itu berkeliling, mencari lauk yang akan diolahnya.
Mereka segera pulang setelah setengah jam berkeliling dan mendapatkan semua yang dibutuhkan. Tanpa canggung Andini menata sayuran yang dibelinya di kulkas. Seperti di rumah sendiri, ia memasak makan siang sekaligus malam untuk Bima dan anak-anaknya.
“Syifa makan dong ....” Untuk kesekian kali Andini membujuk Syifa yang terus menggeleng dengan bibir terkunci rapat. Sejak bertemu dua minggu lalu, baru kali ini Andini merasa frustrasi menghadapi si kecil yang cantik itu. Biasanya Syifa selalu penurut, tapi ternyata tak mudah luluh masalah makan, khusunya sayuran. Mungkin karena gak pernah dikasih makan sayur sama papanya?
Andini mengembuskan napas lelah sambil melirik Imran yang lebih baik dari si bungsu. Nasi dan sayur di piring sudah hampir habis, tinggal sepotong tahu yang tampak sengaja disisihkan bocah itu. “Tahunya gak dimakan, Bang?”
“Gak suka,” jawab Imran kemudian menyuapkan makanan terakhir dalam mulutnya.
“Yah ... Ibu sudah masak, tapi Abang Imran sama Adek Syifa gak ada yang suka, ya? Kalau gitu, besok Ibu gak mau datang lagi deh. Ibu sedih,” ucap Andini lesu. Antara benar-benar lelah dan pura-pura saja.
“Abang sudah habisin nasi dan sayurnya. Tapi gak suka tahu.” Imran mendekat dan memerhatikan wajah sedih ibu gurunya.
“Adek juga mau makan. Tapi nasi sama telur ceplok, ya? Jangan pake sayur. Gak suka.” Syifa ikut menimpali, tangan mungilnya meraba tangan Andini yang bersedekap di atas meja.
“Ibu gak bisa goreng telur. Ibu cuma bisanya masak sayur, tempe dan tahu aja.” Andini pura-pura terisak pelan. “Kalau Abang sama Adek gak mau makan, Ibu pulang saja, ya? Nanti Ibu telepon Papa buat pamit, hiks ....”
“Ibu jangan pergi!” Syifa berteriak dan langsung menangis begitu Andini berdiri.
“Ibu jangan pergi. Ini Abang makan tahunya,” ucap Imran dengan suara parau, lalu melahap tahu yang tadi disisihkan sambil menatap ibu gurunya dengan wajah memelas.
Syifa yang masih memeluk Andini, menatap abangnya sambil sesenggukan. “Ibu jangan pergi, Syifa juga mau ... makan kayak Abang. Tapi ... disuapin, ya?”
Mata bulat Andini berbinar dengan kaca-kaca yang membayang. Dengan sayang ia mengecup pipi kedua anak itu. Lalu menyuapi Syifa dengan sabar.
“Ibu janji, akan temani Abang Imran dan Adek Syifa di rumah sampai Papa pulang. Asal, kalian harus janji juga. Mau makan apa pun yang Ibu masak, terutama sayuran. Ya?” kata Andini setelah Imran dan Syida selesai makan. Anak-anak itu pun mengangguk patuh, menyepakati sebuah janji yang tanpa sadar membuat batin mereka terikat dengan sang ibu guru cantik.
♥♥♥
Hari sudah benar-benar gelap ketika Bima memarkir mobilnya di depan rumah. Ia keluar mobil bertepatan dengan pintu rumah yang terbuka. Gadis berkerudung biru yang dua hari ini mengasuh anak-anaknya, keluar menyambutnya. Dengan gerakan yang amat pelan, Bima menutup pintu mobil. Berbanding terbalik dengan detak dalam dadanya yang semakin cepat saat ia melangkah, mendekati Andini yang tersenyum sangat manis.
“Assalamu’alaikum, Mas.” Andini mencium punggung tangan Bima lalu mengambil alih tas laptopnya.
“Wa’alaikumsalam.” Bima membalas dengan mengecup pucuk kepala Andini.
“Pak? Pak Bima?” Andini melambaikan sebelah tangan di depan wajah Bima yang berdiri menatap kosong ke arahnya. “Pak Bima?”
Sentuhan tangan Andini di pundaknya, menyadarkan Bima dari lamunan. Sentuhan yang tidak sampai lima detik itu memercikan sensasi aneh. “Ya?” sahutnya dengan suara pelan.
“Kenapa ngelamun, Pak? Nanti kesambet, saya gak mau tanggung jawab, lho!” Andini bergidik menatap Bima yang kembali terdiam menatapnya lekat.
Bagaimana kalau bertanggung jawab terhadap hati saya yang sudah kamu curi? Lelah bekerja seharian dan disambut senyum manis Andini di rumah membuat pikiran Bima kembali tidak beres. Setelah menduda, ia tak tertarik untuk memulai hubungan apa pun dengan lawan jenis. Namun, semua jadi berbeda setelah bertemu Andini. Semakin sering bertemu, otaknya makin tak terkendali membayangkan hal yang tak semestinya dilakukannya bersama gadis yang belum halal untuknya. Meskipun bisa saja halal andaikan ia mau berusaha menghancurkan segala rasa rendah diri karena status yang berbeda. Ah, memangnya bisa?
“Assalamu’alaikum. Biasakan kalau masuk rumah itu ucap salam. Anak-anak aja tahu,” tegur Andini, menghentikan langkah Bima yang baru masuk rumah. Lelaki itu mengamati anak-anaknya yang sekilas tersenyum padanya, lalu kembali fokus pada layar televisi. Biasanya dua anak itu akan berlari menyambutnya yang baru pulang. Namun, kehadiran Andini benar-benar membuat anak-anaknya ‘sedikit’ berubah.
“Assalamu’alaikum.” Bima tidak jadi duduk di sofa tamu karena Andini sudah duduk di sana. Ia ke belakang dan berhenti di ruang makan, terpaku menatap makanan tersaji di meja. Nasi putih, sayur sop, tempe, dan tahu serta sambal, tampak lezat menggugah selera. Bima menoleh ke depan, melihat Andini sedang berkemas. Dari posisinya yang terhalang partisi yang memisahkan ruang tamu dan dapur, ia leluasa mengamati gadis itu.
“Kamu gak masak, Ran?” Bima menghampiri wanita yang baru dinikahinya beberapa hari lalu di ruang makan. Hanya ada segelas teh hijau di meja bundar yang kosong.
“Aku, ‘kan gak bisa masak, Mas ....” Wanita itu menatap heran sang suami yang terdiam. “Kamu beli aja di luar, atau pesan aja kayak biasa,” lanjutnya santai, tanpa beban dan kembali fokus menekuri ponsel di tangan.
“Baiklah,” jawab Bima tanpa protes, berusaha menahan rasa kecewa. Hari pertama ia masuk kantor, berharap pulang dan disambut pelukan hangat sang istri yang masih cuti. Lalu makan malam berdua, menikmati masakan wanitanya yang keasinan atau mungkin hambar. Sebuah adegan romantis yang sederhana telah terbayangkan, tapi sayangnya tak pernah jadi kenyataan.
“Abang, Adek Syifa, Ibu mau pulang ....” Suara Andini yang berpamitan, menyadarkan Bima yang kemudian beranjak kembali ke depan.
“Kamu masak?”
“Pak Bima ngerokok, ya?” Tak menjawab, Andini malah balas bertanya sambil menutup mulut dan hidungnya dengan tangan kanan.
“Kenapa? Kamu ... tidak suka?”
“Bukannya gak suka. Tapi, memang merokok itu, ‘kan gak baik untuk kesehatan. Bukan cuma buat yang merokok, tapi orang di sekitarnya juga.”
Nasihat yang terlalu biasa, tapi terdengar luar biasa di telinga Bima karena diucapkan Andini. Ada rasa senang yang sulit dijelaskan memikirkan gadis itu perhatian padanya. “Siapa yang suruh kamu masak?” balas Bima mengalihkan pembicaraan.
“Tidak ada. Saya sendiri yang ingin masak karena kasihan sama anak-anak, tiap hari makannya telur sama fast food aja. Kan, gak sehat.” Dengan tenang Andini mengulurkan tangan kanannya. “Tapi gantiin uang saya yang dipake buat belanja tadi, ya?”
Seperti dihipnotis, Bima mengambil dompet di saku celana dan mengeluarkan satu lembar uang pecahan seratus ribu rupiah dari dalamnya. “Segini cukup?”
“Bawang, kentang, wortel. Tahu, tempe ....” Andini mengabsen apa saja yang dibeli, kemudian tersenyum mengambil uang tersebut. “Sembilan puluh ribu, bonus sepuluh ribu untuk bensin.”
Sesaat Bima terpaku menikmati senyum manis gadis itu, lalu kembali menatap lembaran uang dalam dompetnya saat Andini kembali menatapnya. “Kira-kira kalau untuk seminggu, kamu butuh berapa untuk belanja keperluan dapur?”
“Tidak tahu pasti, Pak. Tapi kalau untuk bawang tadi, Insya Allah cukup buat sebulan. Tinggal sayur dan lauk aja yang harus dibeli setidaknya seminggu sekali buat stok di kulkas.”
Bima kembali terdiam, memerhatikan ekspresi Andini yang tampak berpikir saat berbicara. Lesung pipitnya tercetak jelas, manis dan tak bosan dipandang mata. Betapa indah makhluk ciptaan Tuhan di hadapannya ini. Cantik, keibuan, penyayang anak-anak dan pintar memasak. Beruntung sekali yang jadi suaminya nanti.
“Bagaimana, Pak?” tegur Andini, karena Bima terlalu asyik menatapnya.
Bima mengangguk cepat dan tanpa ragu menyerahkan uang tunai lima ratus ribu yang tersisa di dompet. “Segitu dulu. Kalau kurang, nanti bilang sama saya. Kamu boleh temani anak-anak sekaligus memasak. Tapi pastikan mereka makan dengan benar.”
“Kenapa? Masih kurang?” tanya Bima heran karena Andini terdiam dan tampak kaget memandangi uang dalam genggaman.
Gadis itu menggeleng cepat dan segera menyimpan uang pemberian Bima dalam dompet. “Berarti, gaji saya tambah lho, Pak. Jaga anak dan masak. Kalau mau bersih-bersih rumah juga bisa. Tapi bayarnya beda ....”
“Tidak perlu. Cukup masak dan jaga anak-anak saya saja.” Bima menolak cepat. “Tapi satu hal yang penting. Saya dan anak-anak alergi segala jenis seafood, kecuali ikan. Jadi, jangan pernah memasak menu makanan dari hewan laut selain ikan!”
“Oh ....” Andini mengangguk paham. “Baik, Pak. Kalau gitu saya pulang, ya.”
“Kenapa Papa nyuruh Ibu Guru cantik pulang terus, sih?” Tiba-tiba Syifa berdiri dan menahan tangan Andini.
“Adek Syifa … ini sudah malam. Ibu harus pulang, nanti dicari sama orangtuanya Ibu di rumah,” bujuk Andini lembut seraya mengusap rambut anak manis itu. Sementara Bima dan Imran terdiam memandangi mereka.
“Tapi Nafa bilang, Ibu sering tidur sama Nafa di rumahnya. Kenapa Ibu gak tinggal di sini saja, terus tidur sama Syifa?” protes Syifa lagi.
Bima segera mengambil alih keadaan dengan mengecup lembut rambut putri bungsunya. “Adek gak boleh gitu. Ibu Andini gak bisa tinggal di sini karena punya orangtua, nanti Papa bisa dimarahin sama orangtuanya kalau Ibu Andini tinggal di sini.”
“Tapi Syifa maunya sama Ibu ...,” ucap Syifa dengan suara bergetar, lalu tangisnya pun pecah.
Astaga! Andini tercengang sesaat. Tak tahan melihatnya, ia kembali menghampiri Syifa. Sedangkan Bima mundur perlahan. “Besok, ‘kan kita ketemu lagi, Dek. Terus Ibu temenin Adek sama Abang di rumah nungguin Papa pulang ...,” bisik Andini sambil memeluk Syifa di pangkuan.
“Kenapa Ibu gak jadi mamanya Adek sama Abang aja, sih? Biar bisa tinggal di sini?” balas Syifa dalam isakan pelan, membuat Bima dan Andini terkejut dan saling berpandangan. Hanya beberapa detik, Andini mengalihkan fokus kembali pada Syifa. Sementara Bima masih setia memandangi.
“Ibu boleh pulang, ya, Dek?” Andini berbisik pelan setelah beberapa saat Syifa tenang dalam pelukannya. Gadis kecil itu menarik wajahnya dan mengangguk pasrah saat Andini tersenyum mengusap mata sembab dan polosnya. “Nanti besok kita main lagi,” ucapnya lagi, kemudian menyerahkan Syifa pada Bima yang hanya membisu.
“Ibu pulang dulu, ya?” Andini berpamitan seraya mengecup pipi Syifa, kemudian pamit pada Imran yang mencium punggung tangannya. Ia tersenyum tipis pada Bima yang mengantar kepergiannya sampai di teras.
“Ibu Guru cantik gak bisa jadi mamanya Adek sama Abang, ya, Pa?” Suara Syifa dalam gendongan menarik perhatian Bima dari jalanan kosong yang meninggalkan jejak kepergian Andini. Dengan lembut ia mencium rambut gadis kecilnya.
“Adek ingin punya mama?”
“Iya, biar bisa kayak Nafa yang punya mama. Tapi Adek sama Abang maunya Ibu Guru cantik!”
Bima tersenyum membawa Syifa masuk, lalu menutup pintu dan menghampiri Imran. Untuk sesaat mereka duduk diam memandangi televisi.
“Pa, nanti bilang sama mama papanya Ibu Guru cantik, ya? Biar Ibu Guru cantik bisa jadi mamanya Adek sama Abang terus tinggal di sini,” ucap Syifa memecah hening. Matanya mengerjap polos menatap Bima yang membisu.
Beberapa saat berlalu dalam hening, Bima mengembuskan napas sambil memeluk anak-anaknya dan mengecup pucuk kepala mereka dengan hati yang menahan nyeri.
Anak-anakku makin nyaman denganmu. Apa yang harus kulakukan jika setiap hari kenyamanan itu semakin membuatku ikut mengharapkanmu? Apa mungkin, aku bisa menjadikanmu milikku?
♥♥♥
Andini pulang ke rumah orangtuanya seperti biasa di akhir pekan. Sekitar dua puluh menit berkendara, ia tiba dan disambut Dahlia yang membukakan pintu.
“Ada acara di sekolah, Din?” Dahlia menatap heran putrinya yang memakai gamis biru polos, mencium punggung tangannya lalu melangkah masuk rumah.
“Gak, Mak,” jawab Andini seraya mengempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Ia melepaskan melepaskan kaos kakinya, kemudian duduk menghadap emaknya yag ikut duduk di samping.
“Lalu?” Dahlia menyelidik ekspresi putrinya yang tadi serius, berubah nyengir salah tingkah.
“Gini, Mak. Sebenarnya, dari kemarin aku punya kerjaan baru ....” Setelah beberapa menit berpikir dalam diam, Andini baru berani buka suara.
“Kamu kerja apalagi? Bukannya di sekolah sudah sampai sore?”
Andini menggigit bibirnya pelan. Jemari kedua tangannya saling bertautan di atas lutut. Matanya menatap ragu emaknya yang tampak penasaran. “Aku jadi ... pengasuh anaknya orang, Mak ....”
Dahlia mendelik kaget. “Pengasuh? Ngasuh anaknya siapa?”
“Murid baruku di kelas. Baru masuk semester genap ini. Namanya Imran dan adiknya, Syifa masih TK sekelas sama Alfa dan Nafa.”
“Murid kamu di kelas? Orangtuanya kerja apa sampai butuh kamu jadi pengasuhnya?”
“Papanya jaksa, Mak. Temennya Kak Faiz di kantor.”
“Oh ....” Dahlia bergumam pelan. “Kakak iparmu yang kenalin kalian?”
“Sebenarnya sudah kenal duluan, karena aku sering temani anak-anaknya nunggu jemputan. Tapi beberapa hari lalu baru tau kalau dia temannya Kak Faiz setelah dia nitipin anak-anaknya di rumah sana.”
Dahlia mengangguk paham. Lalu kembali mencecar putri bungsunya yang masih single, tapi dulunya terkenal acap kali berganti pacar. “Terus mamanya, kerja juga?”
Andini menggeleng ragu sambil berkata, “Gak tau, Mak. Pak Bima itu duda. Makanya dia butuh pengasuh buat jagain anak-anaknya di rumah. Dan anak-anaknya maunya cuma sama aku. Dari pada nolak, ‘kan lumayan, Mak, dapat uang tambahan, Imran sama Syifa juga anak-anak baik.”
Dahlia tampak meragu. “Papanya anak-anak itu tidak pernah macam-macam sama kamu, ‘kan?”
Andini terkekeh pelan mendengar kekhawatiran dari suara emaknya. “Gaklah, Mak. Pak Bima gak pernah macam-macam, kok. Justru dia itu datar banget sama aku. Lagian dia, ‘kan jaksa, temennya Kak Faiz. Aku yakin, dia baik meskipun kayak talenan.”
Dahlia menghela napas pelan. “Ya sudah kalau kamu yakin. Yang penting kamu jaga diri dan jangan genit. Bagaimanapun, wali murid yang anak-anaknya kamu asuh itu seorang duda. Kalau kamu kegenitan, terus dia khilaf, bisa bahaya!” Dengan tegas, wanita berdaster cokelat motif bunga-bunga besar itu mengingatkan.
Andini tertawa mendengar nasihat emaknya yang menurutnya berlebihan. Mungkin, kekhawatiran itu wajar, karena hanya dirinya yang belum berumah tangga. Namun, apa pun itu, tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menggoda Bima Sakti. Meskipun jelas anak-anak lelaki itu tampak menaruh harapan, agar ia bersedia menjadi ibu mereka.
“Kamu ini! Kebiasaan kalau dikasih tau, ketawa terus!” tegur Dahlia sambil mencubit gemas lengan sang anak.
“Aduh, maaf, Mak ....” Andini menahan tawanya dan nyeri sekaligus. “Iya, iya. Aku paham, kok. Insya Allah, Emak tenang aja. Yang penting Emak sudah ngijinin aku kerja jadi pengasuh, aku akan jaga diri dengan baik,” ucapnya kali ini dengan serius.
“Ya, sudah. Sana kamu ganti baju. Terus salat, baru kita makan setelah Bapak pulang dari masjid.”
Andini beranjak ke kamarnya. Bukannya ganti baju, ia justru berbaring telentang di ranjang sambil tersenyum menatap langit-langit kamar. Kembali ia teringat permintaan polos Syifa. Ah, anak-anak itu. Seandainya bisa, ingin sekali aku tinggal bersama mereka. Tapi, sebagai apa? Istrinya Galaksi Bima Sakti itu?
Andini lantas bangun duduk di atas ranjang sambil menggeleng pelan. Nasihat emaknya tadi kembali terngiang, bagaikan alarm yang mengingatkannya untuk fokus pada tujuannya bekerja. Jangan genit!
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
