Cinta Terbaik (Bab 3 : Rejeki Tak Boleh Ditolak)

9
0
Deskripsi

Happy reading!

“Pa, kenapa Adek sama Abang gak punya mama kayak Alfa sama Nafa?” tanya Syifa sambil mengunyah makanan yang disuapkan Bima. Bersama Imran, mereka bertiga makan malam tak lama sepulang dari rumah Faiz.

“Adek boleh punya mama gak, Pa?” Syifa kembali bertanya, menyentak Bima yang tertegun menatap sendok kosong di tangan,  kemudian menatap wajah-wajah polos itu bergantian.

Kenapa tiba-tiba mereka ingin punya mama?

“Pa, Ibu Guru cantik mau gak ya, jadi mamanya Adek sama Abang?” Tiada henti Syifa bertanya, dan Bima pun paham arah bicara putri bungsunya.

“Kenapa harus Ibu Guru ... cantik, Dek?” tanya Bima lembut.

“Kata Nafa, Ibu Guru cantik itu adiknya mamanya. Terus, Ibu Guru cantik itu baik banget sama Adek dan Abang,” jawab Syifa polos sambil memainkan jemarinya di atas meja.

“Kenapa bisa Ibu Guru cantik itu baik?” Bima jadi penasaran, tapi berusaha untuk tak mendesak.

“Ibu Guru cantik selalu temenin Abang sama Adek nungguin Papa. Terus kemarin, Ibu Guru cantik suapin Adek sama gendong Adek juga.” Imran yang sejak tadi diam, ikut buka suara.

Bima menatap anak-anaknya lama, lalu mengembuskan napas pelan. “Memangnya, Ibu Guru cantik mau jadi mamanya Adek sama Abang?” godanya lalu kembali menyuapi Syifa.

“Mau! Ibu Guru cantik pasti mau,” jawab Syifa percaya diri.

Bima tertawa pelan. “Kalau gitu, habisin dulu makanannya. Kayaknya Ibu Guru cantik gak mau punya anak yang makannya lama kayak Adek,” ledeknya pada si bungsu yang langsung mengunyah dengan cepat. Ia tersenyum memikirkan permintaan polos anak-anaknya.

Apakah mungkin?

♥♥♥

 Meski semalam susah tidur, Bima memaksakan diri untuk bangun sebelum Subuh. Seakan ada semangat kuat dalam diri untuk bangun lebih pagi dan menyiapkan keperluan anak-anaknya ke sekolah agar tidak terlambat lagi seperti beberapa hari lalu.

Setelah membuat sarapan, Bima menyiapkan sebuah ransel yang diisi pakaian ganti, snack, dan susu untuk anak-anaknya. Pergerakan yang duduk bersila di lantai, membangunkan Imran yang menatapnya sayu.

“Abang gak terlambat lagi, ‘kan, Pa?” tanya Imran sambil menguap dan mengucek matanya.

“Gak, Bang. Tapi ini sudah Subuh. Abang langsung mandi aja,” ucap Bima seraya menutup ransel.

“Papa sudah salat?” tanya Imran polos, membuat Bima tertegun lalu menggeleng pelan. “Abang mau salat sama Papa, ya?”

Bima terkejut, tak menyangka mendapat teguran melalui permintaan putranya itu. Ia meraih tangan kecil Imran, kemudian memeluk tubuh mungil itu.

“Kata Ibu Guru cantik, kalau mau hidup tenang harus rajin salat,” ucap Imran dengan polosnya, seakan bisa membaca isi pikiran papanya yang penasaran.

“Oh, ya?” Bima melonggarkan pelukan, menatap penasaran. “Lalu apalagi?”

“Katanya Ibu guru cantik, kalau sudah waktunya salat, jangan ditunda-tunda.”

Bima menggaruk kepalanya salah tingkah, lalu berdiri. “Kalau gitu, ayo kita salat, Bang!”

♥♥♥

“Papa!” Syifa menangis saat bangun mendapati Bima dan Imran baru saja selesai salat. Gadis kecil itu merajuk karena tidak diajak. Butuh kesabaran ekstra bagi Bima membujuk putrinya yang manja. Dan akhirnya luluh saat tahu kalau sepulang sekolah, mereka akan kembali bermain di rumah si kembar Alfa dan Nafa.

“Di rumahnya Nafa ada Ibu Guru cantik juga, ‘kan, Pa?” tanya Syifa antusias sesaat setelah mandi.

“Tentu,” jawab Bima tanpa pikir panjang, membuat putrinya tersenyum riang dan tak lagi mengoceh. Memudahkannya menyelesaikan drama pagi itu dan bisa berangkat sekolah tepat waktu.

Turun dari mobil, mereka melangkah santai menuju kelas Imran. Berbeda dengan anak-anaknya yang tersenyum ceria, Bima justru merasa tegang melihat Andini berdiri di depan kelas menyambut murid-murid yang datang.

“Ibu …!” Syifa berlari menghampiri ibu guru cantiknya.

Assalamu’alaikum, Sayang ….” Andini menunduk saat si kecil Syifa mencium punggung tangannya.

Wa’alaikumsalam.” Syifa menggenggam erat tangan Andini yang kemudian berdiri.

“Imran sudah kerjakan PR-nya, Nak?” Andini tersenyum menyapa Imran, tanpa menoleh sedikit pun pada lelaki dewasa yang mewariskan sembilan puluh persen wujud fisik pada muridnya itu.

“Sudah, tadi malam diajarin sama Papa,” jawab Imran semringah.

“Oh ….” Andini tersenyum, kemudian menatap Bima yang melepaskan ransel hitam dari punggung lebarnya.

“Ini bekal selama di rumah Pak Adrian. Baju ganti Imran dan Syifa, snack dan susu mereka juga ada.” Bima menyerahkan ranselnya dan diterima Andini yang terkejut, tak menyangka lelaki itu menuruti saran kakaknya kemarin.

“Hari ini saya sibuk, jadi mungkin akan terlambat jemput anak-anak saya di rumah Pak Adrian. Tolong beri pengertian pada mereka. Terima kasih,” lanjut Bima datar, lalu beralih pada Syifa. “Ayo, Dek! Papa antar ke kelas ….”

“Gak mau. Adek maunya sama Ibu Guru cantik ….” Syifa memeluk pinggang Andini yang beradu pandang dengan Bima. Hingga suara seorang wali murid yang mengantar anaknya, memutus tatapan dua orang dewasa itu.

“Selamat Pagi Bu Guru!”

“Pagi, Pak.” Andini tersenyum sopan. Sementara Bima mendengkus pelan, tiba-tiba merasa tak nyaman melihat gadis itu tersenyum pada lelaki lain saat ada dirinya. Meski lelaki itu adalah orangtua murid, sama saja dengannya.

 “Ayo, Dek. Papa antar ke kelas,” bujuk Bima sekali lagi, kali ini dengan sedikit kesal. Namun, Syifa bersikukuh dengan keinginannya.

“Sudah, Pak. Tidak usah dipaksa. Nanti saya yang akan antar Syifa ke kelasnya.” Andini segera menghentikan Bima yang menghembuskan napas pasrah.

“Baiklah. Papa ke kantor sekarang. Abang dan Adek jangan nakal di rumah Alfa. Nanti Papa jemput di sana,” ucap Bima seraya melangkah mundur dan berbalik pergi. Sampai di ruang tunggu, ia berhenti dan duduk di sana. Menikmati kehangatan matahari pagi yang jarang bisa dirasakan dengan sedikit bersantai.

Beberapa menit berlalu, terlihat Andini berjalan menggandeng tangan mungil Syifa dari arah kelas melewati ruang tunggu, berbelok melewati pintu samping menuju TK. Keduanya tampak tersenyum riang sambil bercerita yang entah apa, membuat Bima penasaran. Adakah dirinya dalam pembahasan dua gadis yang terlihat bagaikan ibu dan anak itu?

Ah, pikiran macam apa itu?

♥♥♥

Dalam ruangan yang terdiri dari empat pasang meja dan kursi kerja, Bima duduk di salah satu yang paling ujung di dekat jendela. Ia menatap datar layar laptop yang menyala di hadapannya. Hampir satu jam, tidak ada yang berubah dari dakwaan yang deadline-nya besok. Sesekali jemarinya bergerak menekan salah satu huruf di atas keyboard, tapi dihapus kembali. Ia menghela napas pelan, menyugar rambut seraya menyandarkan punggung di kursi.

Bosan, Bima membuka laci meja, mengambil sebatang rokok yang diselipkan di sela bibir dan membakar ujungnya. Mengisapnya dalam, lalu mengembuskan asapnya dari mulut dan hidung. Biasanya hal itu dapat mengurangi beban pikiran. Tanpa peduli aktivitas menyenangkan sesaat itu justru merusak diri secara perlahan. Namun, karena penasaran tentang Andini serta permintaan anak-anaknya semalam, terus menerus merecoki pikiriannya sejak meninggalkan sekolah tadi pagi. Sehingga, ia benar-benar tak bisa fokus bekerja.

“Jadi nitipin anak-anakmu di rumah?” Tiba-tiba Faiz masuk membuyarkan lamunan Bima.

“Maaf jadi merepotkan lagi.” Bima tersenyum cangung sambil mematikan api rokok di asbak.

“Tidak masalah. Yang penting, anak-anakmu bawa baju ganti, ‘kan? Istriku terus mengingatkanku dari pagi. Dia benar-benar tidak tenang melihat anak-anakmu kemarin.”

“Iya, aku sudah titipkan bekal anak-anakku pada adikmu,” kata Bima sambil menyugar rambutnya. Berhadapan dengan Faiz hari itu tiba-tiba membuatnya canggung. Entah karena merepotkan atasannya itu dan istri yang sedang hamil, atau karena pertemuannya dengan Andini serta permintaan tak biasa dari anak-anaknya. Padahal saat tidak dalam keadaan formal untuk urusan pekerjaan, mereka terbiasa berbicara santai sebagai kawan lama.

“Oh, baguslah kalau begitu. Nanti siang aku langsung menjemput mereka,” ujar Faiz sambil memeriksa berkas-berkas di atas meja Bima.

“Boleh tanya sesuatu?” Bima berdeham pelan untuk menghilangkan parau dari suaranya yang tadi terdengar.

Faiz menatap dengan sebelah alis terangkat, lalu duduk di hadapan Bima dan menatap serius. “Ya, tentu saja.”

“Apa dia ... sedang punya hubungan sama seseorang?” Bima menggaruk tengkuknya salah tingkah. Kenapa tidak tanya saja, apa dia sudah menikah? Satu lagi hal yang mengganggunya sejak semalam. Ia takut anak-anaknya mengharapkan orang yang sudah tak mungkin ‘dimiliki’nya.

“Dia? Siapa?” Faiz mengernyitkan alisnya, tidak paham.

Bima memejamkan mata, mengumpati diri dalam hati. Bisa-bisanya ia salah tingkah karena membicarakan lawan jenis yang tidak ada di hadapannya. Di usia dan statusnya kini, sungguh tak pantas bertingkah layaknya ABG yang sedang kasmaran. Ataukah, mungkin ia sedang puber kedua?

“Dia … adikmu, Andini Miranthy.” Bima menghela napasnya. “Apa dia sedang ada hubungan dengan seseorang?” Dia belum menikah, ‘kan? Tambahnya dalam hati.

“Adikku?” Faiz tampak keheranan, masih tak paham arah pembicaraan Bima. “Lah, kenapa tanya-tanya gitu tentang adikku? Dia, ‘kan cuma gurunya anak kamu?”

“Eh, hm ....” Bima bingung menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal.

“Kenapa, Bim?” Perlahan Faiz tersenyum. Ia mulai menyadari ada yang aneh dengan tingkah Bima.

“Oh, tidak. Tidak apa-apa. Dia ... baik dan perhatian sama anak-anakku.”

“Lalu?” Faiz bersedekap sambil menyandarkan punggung di sandaran kursi. Mata tajamnya menatap lekat.

Bima mengusap wajahnya sambil mengembuskan napas kasar. “Aku ... ingin menjadikannya pengasuh anak-anakku,” ucapnya tanpa tanpa pikir panjang.

“Hah?” Faiz melongo. Kaget dan bingung karena tebakannya salah. Lebih tepatnya, keinginan istrinya yang begitu gencar menjodohkan Bima dan Andini.

“Bagaimanna menurutmu?” Ragu-ragu Bima bertanya. Ingin meralat ucapannya, tapi ia tak punya alasan lain. Lagipula mejadikan Andini sebagai pengasuh anak-anaknya bukanlah ide yang buruk. Kecuali atasannya itu yang tak terima sang adik dijadikan pengasuh.

“Ya, gimananya ... terserah Andin saja. Kalau dia bersedia, gak akan masalah,” ucap Faiz sambil mengusap keningnya. “Tapi, kalau cuma dijadikan pengasuh, ngapain tanya hal privasinya Andin segala?”

 “Jangan sampai karena menjadikannya pengasuh anak-anakku, hubungannya dengan seseorang itu jadi kacau,” ucap Bima cepat. Menyadari Faiz yang religius, sudah bisa dipastikan anggota keluarganya termasuk Andini pun seperti itu.

“Andin belum menikah, kalau kamu ingin tahu itu,” ucap Faiz sambil mengulum senyum, membuat Bima diam-diam menghela napas lega. “Tapi, tentang pacar, aku tidak tahu pasti Andin lagi dekat sama siapa. Jadi, lebih baik kamu pastikan sendiri sama dia,” tukasnya kemudian berdiri, membawa keluar setumpuk berkas yang akan diperiksa di ruangannya.

Bima mengambil ponselnya di atas meja, membuka aplikasi WhatsApp dan masuk ruang obrolan yang masih kosong dengan nomor yang diberi nama ‘Guru kelas Abang’. Ibu jarinya menekan profil picture, menampilkan wajah cantik Andini Miranthy yang menggunakan kaca mata, seperti pertama kali mereka bertemu.

“Andin belum menikah, kalau kamu ingin tahu.”

Kedua sudut bibir Bima berkedut saat pernyataan Faiz kembali terngiang. Disusul permintaan polos putri bungsungnya yang terucap sebelum tidur semalam, menciptakan getaran aneh di sudut hatinya.

“Adek pengen punya mama kayak Nafa. Nanti Papa bilang sama Ibu Guru cantik, ya, biar mau jadi mamanya Adek sama Abang?”

♥♥♥

“Din! Itu anak-anaknya Pak Bima nungguin kamu. Dari tadi Mbak bujuk buat gantiin baju, tapi mereka gak mau,” sambut Aluna pada Andini yang baru pulang setelah Asar.

Di ruang tamu, Andini hanya mendapati Alfa, serta Imran yang masih memakai seragam sekolah. Dua anak lelaki itu tampak asyik berbaring sambil nonton kartun. “Syifanya mana, Mbak?”

“Di kamarnya Nafa.”

Andini bergegas ke kamar Nafa di belakang. Sejak si kembar akan punya adik lagi, mereka sudah tidur terpisah dari orangtua. Sebuah kamar yang dulu sering ditempati Andini atau ibu dari kakak iparnya saat menginap, kini telah diperbesar dan dipetak masing-masing untuk si kembar. Andini mendorong pintu kayu bercat merah muda di sisi kanan yang tidak tertutup rapat. Tampak Nafa sudah tidur sambil memeluk guling warna kuning, memunggungi Syifa yang masih terjaga menghadap dinding sambil memainkan jemari seperti sedang berhitung.

“Syifa ....”

Syifa menoleh. Mata bulatnya berbinar melihat orang yang ditunggu akhirnya datang. Gadis kecil itu bangun dan berdiri di atas tempat tidur, lalu mengulurkan tangan dengan senyuman lebar dan disambut Andini dengan suka cita.

Ya Allah, aku jatuh cinta pada gadis kecil ini, batin Andini haru begitu merasakan desiran halus yang menggetarkan dada saat memeluk dan mengecup pucuk kepala Syifa. “Kata mamanya Nafa, Syifa gak mau ganti baju, ya?”

“Syifa nungguin Ibu ....”

“Kenapa nungguin Ibu, Nak?”

“Tadi Nafa digantiin baju sama mamanya. Kalo Syifa, ‘kan gak punya Mama ....” Kedua tangan mungil Syifa memeluk pinggang ibu guru cantiknya.

Ada apa dengan pernikahan Pak Bima sebelumnya sampai anak-anaknya seakan tidak tahu keberadaan mamanya? Dengan dahi yang mengernyit, menatap Syifa lama. “Masa sih, Syifa gak punya Mama?”

Tidak seperti Imran yang cemberut ketika ditanya tentang mamanya, Syifa malah tersenyum lebar. “Syifa maunya digantiin baju sama Ibu Guru Cantik, biar Ibu jadi mamanya Syifa sama Abang ....”

What ...? Aturan dari mana, tuh. Gantiin baju aja langsung jadi mama kamu, Nak? Andini menggaruk tengkuknya salah tingkah. Apalagi membayangkan jadi istri lelaki misterius bernama Bima Sakti. Oh, Tak mungkin! Jerit hatinya tak terima.

“Syifa mandi, ya? Terus ganti baju sama Ibu, biar seger. Besok seragamnya masih dipakai, kalau kotor, bau, nanti Syifa gak nyaman pakainya di sekolah,” bujuk Andini kemudian dengan lembut. Syifa mengangguk antusias, lalu meminta digendong. Dan dengan senang hati Andini menyambutnya, memperlakukan anak-anak itu layaknya anak sendiri. 

♥♥♥

Untuk pertama kalinya sejak pindah, Bima meninggalkan kantor saat langit kemerah-merahan menghiasi cakrawala. Ia memutuskan untuk lembur, menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk akibat kegalauan hati memikirkan Andini dan anak-anaknya.

Mobilnya merangkak pelan di tengah padatnya kendaraan jalan utama di jam sibuk. Saat memasuki perumahan tempat tinggal Faiz, ia menepi sejenak dan membuang sisa puntung rokok yang menemani perjalanannya. Usai meneguk air mineral, mobilnya kembali melaju pelan kemudian berhenti di depan rumah yang terparkir Avanza marun di garasinya. Keluar dari mobil, ia berpapasan dengan Faiz yang baru pulang dari masjid.

“Lembur apaan sampai jam segini?” sapa Faiz heran.

Bima tersenyum canggung seraya menutup pintu mobilnya. “Ada beberapa berkas kasus yang harus diselesaikan dan harus kamu periksa besok.”

Faiz mengangguk paham, lalu mengajak rekannya itu masuk rumah. Aluna yang sedang duduk di ruang tamu menunggu Isya’, tampak antusias menyambut suami dan tamunya.

“Anak-anaknya baru saja makan, Pak Bima. Sudah mandi dan ngerjain PR juga. Semua beres diurusin sama Andin,” kata istri Faiz itu tepat saat Andini muncul dari belakang bersama Imran dan Syifa yang langsung menarik perhatian Bima.

“Terima kasih, Bu Andini,” ucap lelaki itu datar, agar tak terlalu nampak mengagumi.

Andini tersenyum santai seraya mengusap rambut Syifa. “Sama-sama, Pak. Alhamdulillah. Anak-anak tidak rewel dan nakal.”

“Karena ini sudah malam. Saya dan anak-anak pamit dulu. Terima kasih banyak untuk semua waktunya bersama anak-anak saya hari ini. Maaf sudah sangat merepotkan,” ucap Bima sopan, lalu berdiri tanpa lepas memandangi Andini. 

“Ibu cantik, anterin ke depan, ya?” Permintaan Syifa yang manja ditanggapi Andini dengan senyuman. Lalu tanpa sengaja gadis itu melihat Bima yang masih setia berdiri memandanginya.

Beberapa detik keduanya bertatapan dalam diam, bahkan suasana di sekitar terasa begitu hening seakan hanya ada mereka di sana. Keduanya tak menyadari, pasangan suami istri sang empunya rumah tengah memerhatikan sambil melemparkan senyum penuh arti. Sementara anak-anak hanya menatap dengan polos tak mengerti.

“Ehm.” Aluna berdeham pelan, menyadarkan Bima dan Andini yang langsung membuang muka salah tingkah. “Adek Syifa dan Abang Imran sudah kemasi tasnya?” Dengan sengaja ibu hamil itu beralih pada anak-anak.

Andini bergegas mengemasi tas sekolah dan perbekalan Imran dan Syifa di ruang tamu. Lalu mereka menyusul Bima yang sudah menunggu di samping mobil. Andini menyerahkan semua bawaannya pada Bima yang meletakkan di kursi kosong samping kemudi. Kali ini, Aluna dan Faiz tidak ikut keluar.

“Sekali lagi terima kasih sudah mengurus Imran dan Syifa selama di sini,” ujar Bima setelah menutup pintu mobil.

 Andini mengangguk seraya menengadahkan tangannya. “Jangan lupa tip, ya, Pak!”

Dengan dahi mengerut bingung, Bima menatap telapak tangan dan wajah gadis itu bergantian. “Maksudnya?”

“Fee buat bayar tenaga saya setelah mengurus anak-anak Bapak selama tiga jam hari ini. Kalau cuma terima kasih saja, gak cukup ...,” papar Andini dengan mimik serius.

“Oh ….” Bima sambil merogoh saku celananya, mengambil selembar uang seratus ribu dan menyerahkannya pada Andini yang terkejut. “Segini cukup? Soalnya saya tidak ada uang cash sekarang.”

Dua bola mata hitam Andin berbinar tertimpa cahaya penerangan yang temaram di sisi jalan depan rumah. Tanpa pikir panjang gadis itu menerima uang tersebut. Padahal ia hanya becanda, tapi ditanggapi serius oleh Bima. Rezeki jangan ditolak. Lumayanlah buat isi bensin di tanggal tua begini dan sisanya bisa buat jajan, batinnya riang.

Bima kembali menjejalkan satu tangannya di saku celana. Diam-diam ia menikmati senyuman manis Andini yang menyimpan uang pemberiannya di saku gamis. Gadis itu terlihat polos seperti Syifa yang baru dibelikan makanan kesukaan. “Bagaimana ... kalau mulai besok Bu Andini jaga Imran dan Syifa di rumah saya saja? Pulang sekolah langsung ke sana.”

Andini terkejut. Matanya mengerjap bingung. “Lho, maksudnya? Gimana, Pak?”

“Saya akan bayar Bu Andini perbulan untuk jaga Imran dan Syifa. Kalau bayar perhari seperti ini saya pasti tidak akan sanggup,” tutur Bima pelan tanpa pikir panjang. Di kantor dan di jalan, ia sudah memikirkannya berulang kali dan tak ada yang salahnya.

“Iya. Tapi maksudnya, saya jadi pengasuh anak-anaknya Pak Bima, gitu?” Andini mengerjap tak percaya.

“Iya, begitu. Saya juga tidak enak dengan Pak Adrian dan istrinya, kalau tiap hari harus titip anak-anak saya di sini,” ungkap Bima beralasan.

“Eh, tapi ... kenapa tiba-tiba? Maksud saya, Bapak percaya gitu saja sama saya? Tidak takut saya macam-macam sama anak-anak?” Andini menggaruk kepala bingung.

Bima mengembuskan napas pelan seraya mengusap peluh yang tiba-tiba muncul di pucuk hidungnya yang kecil. Wajah Andini yang kebingungan tampak menggemaskan, terasa sangat menggoda jiwanya yang kesepian. “Saya ini seorang Jaksa. Memangnya Bu Andini berani macam-macam?” ucapnya datar, berusaha menguasai diri.

“Lagi pula, Bu Andini, ‘kan adiknya Pak Adrian, saya percaya,” tukasnya, membungkam gadis itu. Bima memutari mobil, lalu masuk dan duduk di balik kemudi. Ia menurunkan kaca mobil di sisi kiri yang membuatnya bisa melihat wajah cantik Andini yang masih tak bereaksi.

“Sekali lagi terima kasih. Saya permisi. Assalamu’alaikum.” Bima menjalankan mobilnya setelah mendapatkan seulas senyum dan balasan salam dari Andini. Sebelum berbelok di persimpangan, ia melirik kaca spion di sisi kiri sambil menopang dagu dengan siku bersandar di jendela mobil yang terbuka. Senyum tersungging tipis di bibirnya saat melihat gadis itu masih berdiri di sana.

Setelah Xenia Silver itu menghilang di persimpangan, Andini masuk rumah sambil tersenyum meraba saku gamisnya.

“Gimana, Din?” sambut Aluna dengan seringaian menggoda.

“Apanya yang gimana?” balas Andini tak acuh seraya melengos santai ke ruang makan.

“Ngomong apa aja sama Pak Bima di luar tadi?” Aluna kukuh terus mengikuti adiknya.

“Pak Bima nawarin aku jadi pengasuh anak-anaknya,” jawab Andini sambil mengambil tempe goreng dan mengunyahnya pelan, lalu mengisi piring dengan nasi dan sayur.

“Jadi pengasuh? Kok, gitu?” Aluna tidak percaya.

“Memangnya kenapa? Lumayan, ‘kan, aku dapat uang tambahan. Yang diasuh juga anak-anak baik kayak Imran sama Syifa,” sahut Andini tenang, lalu mulai menikmati makanannya.

“Hhhh ... sudah dipromosiin, cuma dijadiin pengasuh anak! Gimana, sih!” Aluna menggerutu kesal, membuat Andini tertawa sampai hampir tersedak.

“Mbak maunya aku jadi apaan?” Andini bertanya setelah menelan makanannya dengan baik dan minum sejenak.

“Ya istri dong ...!”

“Nah, ‘kan. Berarti Mbak Luna memang sengaja mau jodoh-jodohin aku sama Pak Bima!” Andini tersenyum, puas melihat kakaknya terdiam. Ia melanjutkan makan dengan santai, hingga kembali dihentikan oleh ponselnya yang bergetar di saku gamis.

Pesan dari Lelaki Misterius.

Bersambung ...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cinta Terbaik
Selanjutnya Cinta Terbaik (Bab 4 : Jadi Pengasuh)
9
0
Happy Reading!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan