
Cerita Versi novel, beberapa part awal masih gratis lho. Happy reading!
Duduk di tengah ruang sidang di pengadilan agama, lelaki berwajah oriental itu mengembuskan napas pelan. Dadanya terasa lapang, beban berat yang dipikulnya berbulan-bulan telah terangkat. Baru saja ia mengucapkan ikrar talak cerai di muka hakim yang mengabulkan permohonan talaknya tiga bulan lalu. Biasanya, lelaki jangkung dengan tubuh sedikit kurus itu berada di ruang sidang sebagai penuntut umum. Namun, kini posisinya di sana sebagai penggugat.
Perjuangan selama enam bulan untuk melepas wanita yang dinikahinya empat tahun lalu pun berakhir. Bukan karena ada perlawanan dari wanita yang telah memberinya dua anak tersebut, melainkan karena profesinya sebagai aparatur sipil negara. Proses perceraian menjadi tidak mudah, meski itu merupakan kesepakatannya dengan wanita yang duduk di kursi terpisah tidak jauh darinya. Wanita yang untuk pertama dan terakhir kali menghadiri proses sidang perceraian mereka, setelah sebelumnya hanya dihadiri kuasa hukumnya.
Setelah menyalami para hakim, lelaki yang memakai baju dinas kejaksaan itu keluar ruang sidang. Berjalan pelan menyusuri koridor gedung pengadilan, diikuti mantan istrinya yang berjalan santai dengan mata fokus pada ponsel di tangan. Tiba di lobby yang tak terlalu ramai, ia berhenti dan menyugar rambutnya yang hitam berpotongan curtain pendek. Sementara matanya memandang gusar ibu dari anak-anaknya yang melangkah santai melewatinya.
“Sudah lama kamu tidak melihat anak-anak. Kamu tidak merindukan mereka?” ucapnya, menghentikan langkah mantan istri beberapa langkah tak jauh darinya.
Wanita cantik yang memakai kemeja biru cerah pas badan dilapisi blazer biru navi itu berbalik dengan anggun. Pinggul ramping berbalut rok pensil hitam sepanjang lulut, membuatnya tak terlihat seperti wanita yang telah melahirkan dua anak. Jemari lentik yang berwarna pink di kukunya, menyibak rambut panjang yang ujungnya bergelombang kecokelatan. Sudut bibirnya yang penuh, merah merekah, tertarik tipis membentuk senyuman angkuh. “Anak-anak ... atau kamu yang kangen aku?”
Lelaki itu mengerutkan kening. Mata sipitnya memicing kesal. “Aku serius!”
“Di rumahmu masih ada pengasuh, ‘kan?” balas wanita itu tak peduli. Ekspresinya berubah begitu melihat ponselnya yang bergetar. Dengan anggun wanita itu menempelkan ponsel di telinga. “Iya. Baru aja selesai. Aku masih di lobby.”
Kedua tangan di sisi tubuh lelaki itu mengepal. Bukan cemburu, karena tak ada lagi rasa yang tersisa setelah lebih dari setengah tahun tak lagi hidup bersama. Ia hanya kecewa, mantan istrinya itu malah tertawa di hari terakhir persidangan dan sama sekali tak peduli pada anak-anak mereka.
“Okey, bentar. Aku keluar sekarang,” ucap wanita itu, lalu mengakhiri panggilan.
“Status kita bercerai, tapi Imran dan Syifa tetap anak-anak kita. Anakku dan anakmu juga!” Lelaki itu menyela cepat, membuat mantan istrinya mendelik kesal.
“Santai aja, sih, Mas! Gak usah teriak-teriak di sini. Bikin malu aja!” Wanita itu mendengkus pelan. “Sejak awal kamu yang menginginkan mereka, ‘kan? Jadi, tanggung jawab aja. Urus mereka dengan baik. Jangan ganggu aku lagi!” tukasnya tajam dengan suara pelan. Dengan kesal ia berbalik, melangkah anggun menuju pintu keluar.
Ketukan heels yang beradu dengan lantai keramik putih itu menggema keseluruh penjuru lobby yang mulai sepi. Terasa mendengung di telinga lelaki itu yang membeku, berdiri di tempatnya tanpa melepas pandangan dari mantan istrinya yang menghampiri seorang lelaki di depan lobby. Tanpa sadar, ia melangkah mengikuti sepasang manusia yang tampak mesra dan tertawa bahagia menuju sebuah mobil mewah.
“Balik ke kantor sekarang?” Berdiri di samping mobil Fortuner putihnya, lelaki yang memakai kemeja hitam dengan dasi motif garis navi putih itu menatap ke arah mantan suami dari wanita yang kini bersamanya.
“Iya. Sudah, yuk!” Wanita itu menjawab sekenanya, lalu membuka pintu mobil samping kemudi dan duduk dengan tenang. Lelaki yang menjemputnya ikut masuk, duduk di balik kemudi.
Setelah mobil yang membawa mantan istrinya tak lagi terlihat, lelaki itu menuruni beberapa anak tangga hingga berpijak di tanah dengan kaki sedikit goyah. Kemudian dengan gontai melangkah menuju mobil. Ia mengemudi dengan pelan, bukan langsung ke kantor, tapi pulang ke rumah.
“Papa!” Sepasang balita yang usianya terpaut satu tahun, berseru melihatnya. Di depan pintu ia berlutut, merentangkan kedua tangan dan menyambut pelukan anak-anaknya. Seakan mengerti, wanita paruh baya yang sehari-hari menjaga anak-anaknya, undur diri ke belakang.
Maafkan Papa, bisik hatinya sedih saat mencium pucuk kepala dua buah hatinya yang bergelayut manja dalam gendongan. Kemudian berdiri, membawa mereka ke kamar.
“Tunggu! Papa buka sepatu dulu.” Ia tersenyum lebar saat dua anaknya langsung menduduki perutnya yang berbaring di ranjang. Ia memindahkan mereka sebentar, lalu bangun duduk dan membuka sepatu. Setelah itu kembali berbaring, dan anak-anaknya kembali menduduki perutnya. Perutnya yang tipis akan kembang kempis, yang akan membuat anak-anaknya tertawa.
Ia tertawa melihat wajah polos dua buah hatinya yang tertawa riang. Menjelang tidur malam, mereka biasa menghabiskan waktu dengan bermain seperti itu. Atau dua anaknya akan duduk di punggungnya. Namun, ia lebih suka seperti itu, karena bisa melihat wajah bahagia dua malaikat kecilnya yang tertawa lepas. Agar ia selalu bisa memastikan, mereka baik-baik saja tanpa seorang ibu yang harusnya berbagi peran bersama.
“Papa capek ….” Ia mengeluh pelan dengan tangan terentang lurus di kedua sisi tubuh. Seperti biasa, dua balita itu langsung berbaring di kedua sisi tubuhnya. Lelah hati yang terasa, hilang tak berbekas. Ia merengkuh mereka dengan erat. Mencium pipi keduanya dengan mata berkaca-kaca.
“Papa, nis?” Putri kecilnya menatap polos. Tangan mungil anak berusia dua tahun itu meraba pipi dan mengusap mata sang ayah yang sudah basah. Tak mau kalah, sang kakak yang berusia tiga tahun turut melakukan hal yang sama.
Tak tahan, ia kembali memeluk dua poros hidupnya itu. Bahunya berguncang, untuk pertama kali ia menangis di usianya yang sudah dewasa. Bukan menangisi kehancuran pernikahan dan ditinggal mantan istri, tapi memikirkan bagaimana kehidupan anak-anaknya nanti.
Apakah ia mampu memberikan yang terbaik untuk mereka sebagai orangtua tunggal? Sementara hampir seumur hidupnya dihabiskan di panti asuhan tanpa pernah merasakan utuh kasih sayang orangtua.
♥♥♥
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
