Teman Perjalanan

0
0
Deskripsi

Alia merupakan mahasiswi di salah satu kampus yang terletak antara Depok dan Jakarta Selatan. Jika sedang sibuk, dia harus rela pulang malam dengan menaiki bus kota. Cerita ini terjadi pada tahun 2007 ketika dia sedang menaiki bus kota setelah menyelesaikan acara kepanitiaan di kampus. Di sini Alia menemukan kejadian yang sungguh tidak pernah dialami sebelumnya.

Selamat membaca!

Cerita 1

Teman Perjalananku

Perkenalkan, nama saya Alia. Saya adalah mahasiswi di salah satu kampus yang ada di perbatasan Jakarta Selatan dan Depok. Kini saya bekerja sebagai seorang staf bidang komunikasi di salah satu perusahaan multinasional ternama yang ada di Jakarta. Saya sangat senang bisa mendapatkan gelar sarjana, meskipun dengan susah payah. Ayah saya hanyalah seorang sopir angkot. Dulu hidup kami susah. Tidak pernah sekalipun saya bermimpi untuk kuliah. Namun, berkat adanya beasiswa, saya pun bisa kuliah.

Banyak hal yang saya alami selama kuliah di kampus tersebut antara tahun 2007 hingga 2011. Banyak sekali pokoknya. Selain kuliah, saya juga ikut kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) jurnalistik. Kebetulan, cita-cita saya memang menjadi jurnalis, meski itu tidak kesampaian. Kalau sedang sibuk-sibuknya, saya bisa sampai rumah jam 23.00 malam. Saya selalu menempuh perjalanan dari kampus ke rumah di Pasar Minggu dengan bus karena saya tidak memiliki motor.

Suatu hari di tahun 2008 saya harus pulang malam karena ikut kepanitiaan seminar di kampus. Banyak panitia yang memilih menginap di kampus, namun saya memilih untuk pulang saja. Toh, jarak kampus dengan rumah juga dekat. Apalagi ibu sudah terus-terusan menelpon. 

“Lia, kamu di mana? Pulang saja, tidak perlu menginap,” ucap ibu melalui ponselnya.

“Iya, Mah. Lia segera pulang.”

Saat itu sudah hampir jam 22.00 malam. Aku ragu apakah masih ada bus yang mengantarku pulang. Kalau pun ada, pasti tidak banyak. Seniorku, Rafael, sebenarnya menawarkan untuk mengantarku ke rumah, namun aku menolak.

“Makasih, El. Gue kayaknya naik bus aja,” ucapku sambil mengenakan jaket karena harus siap-siap pulang.

“Yakin, lu?”

“Yakin dong.”

Jarak perjalanan dari fakultas ke pinggir jalan besar cukup jauh. Banyak yang bilang kalau kampusku angker. Tapi aku cuek saja. Aku pun tenang-tenang saja, meskipun memang suasanya mengerikan. Banyak pohon-pohon besar yang menutupi cahaya bulan sehingga yang kurasakan hanyalah gelap. 

Aku pun sampai di halte bus. Ternyata benar, bus tidak kunjung datang. Aku harus menunggu selama 15 menit. 

Tiba-tiba bus berwarna putih dan hijau itu pun datang. Dari kejauhan tampak bus tersebut tidak dipenuhi oleh banyak penumpang. 

Dengan tidak banyak penumpang, aku bisa lebih leluasa memilih tempat duduk.  Aku duduk di kursi tengah. Jika kuhitung, mungkin hanya ada 5 orang saja di dalam bus itu.  Jalanan pun cukup lengang.

Di tengah jalan bus pun berhenti karena ada seseorang yang naik. Seorang perempuan muda dengan jaket berwarna coklat naik sendirian. Dari tampilannya dia seperti mahasiswi. Oh, mungkin dia kuliah di kampus yang sama denganku, pikirku.

Dia memilih untuk duduk di sebelahku.

Wajahnya cantik dengan rambut dikuncir kuda. Namun matanya terus saja melihat ke depan. Dia tidak berbicara apapun. Sorot matanya kosong dan hanya melihat ke depan. Aku pun cuek saja. Namun tiba-tiba dia memulai obrolan denganku.

“Mbak, turun di mana?” tanya gadis itu lirih dan suaranya pun pelan.

“Saya di Pasar Minggu, Mbak di mana?”, tanyaku balik.

“Saya di Tanjung Barat.”, dia pun menjawabnya dengan datar.

“Rumahnya di mana?”, tanyaku.

“Cilandak”.

“Oh, kok pulangnya malam sekali, ada acara ya di kampus?”, aku penasaran.

“Iya, saya ada acara perkenalan mahasiswi baru di jurusan”,ucapnya.

“Jurusan apa?”

Dia tidak menjawabnya, hanya tersenyum dingin kepadaku sambil menatap wajahku. Dia menatap wajahku dengan senyum datar sekitar 1 menit. Lama sekali. Aku sebenarnya takut sekali, takut kalau-kalau dia orang jahat. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 22.30.

Kulihat para penumpang lain sudah turun. Kini tinggal aku dan mahasiswi itu. Kami duduk berdua, bersebelahan.

“Malam ini dingin sekali ya...” ucap perempuan di sebelahku.

“Enggak sih, justru gerah”, aku justru merasa kegerahan karena memang udara cukup panas.

“Aku kedinginan, Mbak, enggak tahu kenapa”.

Suasana bus tiba-tiba menjadi lebih sepi. Kondektur yang biasanya bergelantungan pun kini sudah pindah duduk di depan, di sebelah sopir sehingga di deretan tempat duduk belakang hanya aku dan perempuan itu saja.

Dia kemudian mengeluarkan sebuah novel berjudul “Sahabat Jauh”. Itu novel kesukaanku. Ternyata dia pun senang membacanya. Kulihat dia asyik membaca meskipun lampu di bus tidak terlalu terang.

“Kamu anak mahasiswa baru ya?”, tanyaku.

“Iya, Mbak. Aku Maba. Mbaknya sudah semester berapa?”

“Aku sudah semester 5”, jawabku.

Tiba-tiba bus pun berjalan agak lambat. Dia pun berdiri.

“Aku turun di depan ya, Mbak...”, gadis itu pun berdiri dan tersenyum kepadaku.

Bus yang aku tumpangi berhenti mendadak. Kepalaku terbentur kursi yang ada didepanku. Kulihat perempuan tadi sudah tidak ada. Tetapi aku melihat novelnya tertinggal di kursi. 

Aku pun berdiri dan menghampiri kondektur yang  sedang asyik merokok di kursi depan.

“Bang, berhenti dong”, ucapku.

Bus pun berhenti.

“Saya mau kembaliin buku ini ke Mbak yang tadi barusan turun. Abang tungguin ya, jangan jalan dulu.”

Sopir dan kondektur bengong saling melihat satu sama lain.

“Gak ada yang turun dari tadi,  neng.”

“Masa gak ada yang turun. Barusan Mbak itu turun. Novelnya ketinggalan.”

“Penumpang yang terakhir tadi pada turun di depan Apotek Hijau. Habis penumpang yang turun di sana itu gak ada lagi cuma neng sendiri aja. Lagian semua  penumpang tadi laki-laki, gak ada penumpang perempuan selain neng”, ucap kondektur, sementara sopir malah diam saja.

“Ah, yang bener? Jangan nakutin.”

“Justru kita yang takut dari tadi!” ucap sopir yang kemudian bersuara.

“Takut kenapa, Pak?”, aku heran.

“Dari tadi neng ngomong sendiri”, ucap kondektur.

“Saya gak ngomong sendiri, jelas-jelas saya ngobrol sama mahasiswi. Ini buktinya novelnya ketinggalan.”

“Ya udah. Turun aja. Kita tungguin”, ucap kondektur.

Ketika aku turun dari bus, ternyata aku tidak melihat siapapun di sana. Hanya ada jalanan yang sepi dan gelap. Tidak mungkin jika dia pergi secepat itu. Novelnya masih ada di tanganku. Ah, aku berpikir mungkin dia sudah dijemput oleh keluarganya naik motor di pinggir jalan. Aku naik lagi ke bus kota itu.

“Tuh kan gak ada, saya bilang apa”, ucap kondektur.

“Udah dijemput kayaknya”, ucapku.

“Hiii...jangan-jangan neng ketemu hantu”, ucap sopir bergidik.

Tidak lama kemudian bus kota itu berhenti. Kulihat banyak orang yang berkumpul di jalanan. Mereka seperti melihat sesuatu. Di sana ada mobil sedan yang nampak menabrak pembatas jalan dan kacanya pecah. Namun kulihat ada motor yang sudah hancur parah.

“Ada apaan?”, tanya kondektur ke orang yang ada di lokasi itu.

“Ada tabrakan. Cewek, meninggal”, ucap orang tersebut.

“Inalillahi”, jawabku.

Aku pun duduk di dekat jendela dan melihat keluar. Bus yang aku tumpangi berjalan dengan sangat pelan melewati kerumunan itu. Aku melihat jelas mayat perempuan yang meninggal itu. Astaga, ternyata wajahnya aku kenal. Dia adalah perempuan yang tadi duduk di sebelahku. 

Bulu kudukku berdiri. Aku tidak henti-hentinya berzikir karena benar-benar takut. Udara pun anehnya menjadi semakin dingin. Aku semakin takut.

Tidak lama kemudian aku  mendengar suara perempuan yang tertawa kecil di bangku belakang yang kosong. Dia duduk di pojok. 

“Mbak...”, suara itu memanggilku.

Aku tidak mau  melihatnya.

“Mbak, novelku ketinggalan, balikin dong”, ucap suara itu, sambi kemudian dia tertawa kepadaku. 

Begitu kulihat ke belakang ternyata itu perempuan yang tadi, namun sekarang penampilannya lebih menyeramkan. Aku melihat wajahnya lebih pucat dan darah bercucuran dari kepalanya. Jaketnya berlumuran darah. Matanya melotot seperti mau lepas. 

Aku menjerit ketakutan. Novel itu aku lempar ke kursi belakang dan pergi ke arah sopir. Mereka terkejut. Ketika aku melihat ke belakang perempuan itu sudah tidak ada. Kondektur dan sopir tidak percaya dengan ceritaku. Sepanjang perjalanan aku duduk di depan bersama kondektur dan sopir karena takut.

Aku pun turun di Terminal Pasar Minggu. Biasanya, ayah menjemputku dengan motornya. Suasana sudah sepi sekali dan hening. Saat aku menunggu ayahku. Aku mendengar suara langkah kaki di belakangku.

“Mbaaaaaak.....mbaaaaaak...buku saya mana....mbaaak....sakit....”, suara itu terdengar jelas seperti orang yang mengerang kesakitan.

Aku melihat kebelakang. Aku lihat perempuan itu datang lagi dengan jalan yang pincang karena kesakitan. Wajahnya dipenuhi dengan darah.

Aku pun lari ke warung terdekat dan menunggu ayahku di sana. Tidak lama, ayah pun datang dengan motornya untuk menjemputku.

Begitulah pengalamanku saat masih menjadi mahasiswi. Sekarang aku sudah memiliki mobil sendiri dan tidak lagi naik bus kota. Namun setiap melintas jalan antara Tanjung Barat dan Pasar Minggu, aku pasti mengingat kejadian ini.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Teror Kuntilanak Merah
0
2
Sebelumnya perkenalkan namaku Rangga. Aku adalah seorang ayah dari dua orang anakku yang ganteng dan cantik. Aku menikah dengan Lestari, panggilannya Tari, pada tahun 2009 di Bogor.Tari adalah istriku yang juga teman kuliahku di suatu universitas di Jakarta Selatan. Aku ingin menceritakan pengalamanku bersama mantan pacarku yang sekarang menjadi istriku, Tari, bersama teman-teman kuliah lainnya. Ketika hendak liburan di sebuah vlila di Puncak, Bogor, kami pernah diikuti oleh kuntilanak merah. Kejadian ini terjadi pada tahun 2004. Seperti apa ceritanya? Yuk,  baca cerita berikut. (FIKSI)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan