
Dia kembali..
Namun kembalinya itu tidak pasti, entah dia akan menetap untuk seterusnya, atau dia kembali pergi.
Aksa bingung dengan perasaannya, rasa kecewa itu masih ada, mamun tampaknya.. Aksa tidak akan pernah bisa membiarkan rasa kecewa itu mengambil alih.
Aksa menatapnya lekat-lekat. "Kenapa lo balik lagi?" tanyanya, suaranya pelan namun dengan sarat kekecewaan yang sulit disembunyikan. Keheningan langsung menyelimuti mereka, tegang dan penuh tanda tanya, sebelum akhirnya Aksa membuka suara lagi.
Aksa lebih serius sekarang, dengan perasaannya yang campur aduk, ia kembali berbicara.
“Gue cuma... nggak nyangka lo bakal pergi gitu aja waktu itu. Gue cuma nunggu, dan berharap lo balik ga lama setelah itu. Semuanya kayak berantakan, lo tahu? Gue nggak ngerti kenapa lo pergi tanpa pamit.”
Hanna menunduk, ia mencoba mencari kata-kata. “Gue... gue nggak tahu gimana cara jelasin ini. Waktu itu, gue harus pergi, Aksa. Ada hal-hal yang gue nggak siap jelasin ke lo. Tapi gue nggak bermaksud ninggalin lo gitu aja. Gue juga... nggak nyangka lo bakal merasa kayak gitu.”
Aksa menghela napas, ia mencoba meredakan perasaan kecewanya yang ia pendam selama ini.
"Lo temen satu-satunya yang gue punya waktu itu, Hanna. Nggak ada yang ngertiin gue selain lo, dan lo pergi gitu aja... gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin." ia terdiam sejenak
“Jadi sekarang, setelah semua ini, lo cuma... balik gitu aja?”
Aksa tentu saja kecewa, Hanna adalah satu-satunya yang ia punya saat itu, dia yang paling mengerti Aksa, dia tempat Aksa pulang. Namun... saat ia pergi, Aksa merasa sendiri, ia tidak punya tempat tuk mengadu lagi, tempat ia pulang... pergi begitu saja tampa pamit.
Meskipun sekarang ada Nico dan Ervan, namun keduanya terasa berbeda, Aksa tidak seterbuka itu tentang perasaannya pada kedua temannya itu.
Hanna menatap Aksa, lalu ia menjawab dengan suara lembutnya.
“Gue balik bukan cuma karena gue pengen ketemu lo, Aksa. Gue minta maaf... kalau lo ngerasa ditinggalin, itu bukan maksud gue sama sekali.”
Aksa diam sejenak, matanya masih tetap menatap ke depan. Perasaan kecewa dalam dirinya masih ada, tapi mungkin sedikit lebih reda dari pada tadi.
Aksa dengan suara lebih tenang
“Ya... gue ngerti sekarang. Gue cuma... butuh waktu.”
Setelah obrolan itu, terjadi keheningan yang cukup lama. Namun Hanna berusaha meringankan suasana disitu, dengan bertanya tentang tempat yang dulu mereka sering kunjungi.
“Aksa, lo ingat nggak warung yang dulu kita sering mampir? Yang punya bapak-bapak itu, yang makanannya enak banget? Gimana kalau kita ke sana sekarang?”
Aksa menoleh ke arah Hanna, sedikit tersenyum, namun masih agak canggung.
“Lo masih inget tempat itu? Dulu kita sering banget ke sana, ya... Tapi... lo yakin?”
Hanna berusaha tersenyum, dan dengan sedikit bercanda dia menjawab,
“Kenapa? Jangan bilang lo udah nggak sanggup lagi makan mie goreng yang sambelnya pedes itu, deh.”
Aksa tertawa pelan mendengarnya, ia mulai merasa lebih rileks.
“Hahaha, ya ampun, itu sambelnya masih terkenal? Yaudah, ayo.” ujarnya sambil tersenyum tipis.
____
Setelah Aksa setuju, mereka berjalan bersama ke warung yang dulu sering mereka datangi. Begitu sampai, suasana warung itu langsung membawa mereka kembali ke masa lalu. Meja kayu yang pernah mereka duduki, bau makanan yang menggoda, dan suara cekikikan mereka yang terdengar begitu jauh.
Dari dalam, suara seretan kursi terdengar, lalu keluar seorang bapak-bapak berambut separuh uban, pakai kaos oblong dan sarung.
“Loh… Hanna?”
Suara itu membuat Hanna refleks tersenyum.
“Iya, Pak Rudi... masih inget aku?”
“Ya ampun, kamu tambah gede aja. Pindah balik lagi, ya?”
“Iya, Pak. Baru banget.” jawab Hanna
Pak Rudi tertawa kecil, lalu matanya beralih ke Aksa.
“Loh, ini… Aksa, kan? Astaga, tumben banget keliatan di sini lagi.”
Aksa hanya mengangguk, senyumnya tipis.
“Waktu Hanna pindah, kamu juga langsung gak pernah nongol lagi. bapak pikir kalian berantem atau gimana…”
Hanna menoleh cepat ke Aksa, matanya sedikit membulat.
“Serius, Sa? Lo… gak pernah ke sini lagi?”
Aksa menatap lantai, bahunya naik turun perlahan. “Gak tahu kenapa. Gak pingin aja.”
Hening sebentar.
Hanna menarik napas pelan, lalu duduk di bangku kayu yang dulu sering mereka pakai.
“Gila. Tempat ini gak berubah, ya.”
“Cuma yang datang yang berubah,” sahut Aksa pelan.
Pak Rudi tertawa lagi, mencoba mencairkan suasana. “Mau pesen teh manis? Masih kayak dulu?”
Hanna mengangguk sambil tersenyum. “Iya, pak. Dua teh manis, ya. Tapi sekarang gulanya dikurangin… takut diabetes. Sama mie pedes biasa pak, masih ada kan?” tanyanya memastikan.
"Masih ada dong, itu masih jadi menu paling banyak dibeli loh." jawab Pak Rudi.
Mereka tersenyum mendengarnya, "Yaudah, kita pesen itu aja ya pak." ujar Hanna.
Om Rudi mengangguk lalu masuk lagi ke dalam. Setelah itu, hanya ada mereka berdua di bawah langit yang mulai jingga.
“Aksa…”
“Hm?”
“Maaf ya.”
Aksa menoleh. “Buat apa?”
“Gue gak tahu... kalau ternyata lo segitu ngilangnya dari sini setelah gue pergi.”
Aksa menatap meja kayu di hadapannya, jari-jarinya menggambar garis tak kasat mata di atasnya.
“Gak ada yang salah sama lo, Han. Gue aja yang gak bisa balik ke tempat ini tanpa ngerasa kehilangan sesuatu.”
Setelah mereka memesan makanan, suasana mulai lebih santai. Ketika makanan datang, Hanna tanpa ragu membayar semuanya, meskipun Aksa hendak membayar seperti dulu.
Aksa terkejut, “Eh, lo yang bayarin?”
Hanna tersenyum , “Biar imbang aja, Aksa. Dulu kan lo yang selalu bayarin."
"Gua aja yang bayar Han.." ucap Aksa
"Udah biar gua aja Sa, gantian dong. Kita nggak harus terus-terusan ngulangin masa lalu, kan? Sekarang... giliran gue deh.” ucap Hanna tetap memaksa agar dia yang membayar makanan mereka.
Aksa hanya bisa diam menatapnya sambil tersenyum tipis. Dia tentu tidak mau membiarkan Hanna yang membayar, namun Hanna tetaplah Hanna. Ia tau akan susah berdebat jika Hanna sudah seperti ini, jadi ia membiarkan dia membayarnya, hanya untuk hari ini tentu saja. Kemudian mereka lanjut makan sambil ngobrol tentang hal-hal ringan, yang dulu sering mereka bicarakan.
_____
Langit sudah gelap saat mereka melangkah meninggalkan warung kecil itu. Lampu jalan mulai menyala satu per satu, memantulkan cahaya kuning pucat di aspal yang sedikit lembap.
“Masih suka jalan kaki malam-malam?” tanya Hanna, menyesuaikan langkahnya dengan Aksa.
Aksa mengangkat bahu. “Gak sering sih. Biasanya buru-buru pulang.”
Hanna menoleh. “Kenapa? Takut diculik fans?”
Aksa menoleh dengan ekspresi datar. “Lo pikir gue siapa? Idol Korea?”
Hanna ngakak. “Ya siapa tau, kan. Dulu anak-anak cewek banyak yang bilang lo mirip cowok drama. Waktu masih gondrong dikit tuh.”
Aksa pura-pura jijik. “Makanya gue potong, biar hidup tenang.”
Mereka tertawa pelan lagi. Angin malam membawa aroma tanah basah dan sedikit wangi kembang sepatu dari pagar rumah sekitar.
“Eh, makanan favorit lo masih mie ayam?” tanya Hanna tiba-tiba.
Aksa berpikir sejenak. “Sekarang jadi nasi goreng sih. Yang banyak kecapnya.”
“Gue inget lo dulu gak suka kecap.”
“Sekarang suka. Banyak yang berubah, Han.”
Hanna meliriknya, lalu tersenyum tipis. “Tapi lo masih Aksa yang susah ditebak.”
Aksa diam beberapa detik. “Dan lo masih Hanna yang ngomong seenaknya.”
“Ya, biar seimbang,” jawab Hanna cepat, lalu menyenggol bahunya pelan ke arah Aksa.
Langkah mereka terus beriringan, perlahan, tenang. Tidak ada tujuan pasti malam itu—hanya dua orang yang mencoba menjahit ulang sesuatu yang pernah lepas, dengan senyum, tawa, dan sedikit demi sedikit... kenyataan.
_____
Mereka terus berjalan beriringan di bawah langit malam. Sesekali ada motor lewat, tapi jalanan kecil itu cukup sepi untuk bikin suara langkah kaki mereka terdengar jelas.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Diam yang tak lagi canggung, namun lebih ke... banyak yang ingin ditanyakan, tapi belum tahu harus mulai dari mana.
Sampai akhirnya, Aksa pelan-pelan buka suara.
“Han…”
“Hm?”
Aksa menoleh sedikit, suaranya pelan tapi pasti.
“Lo balik buat selamanya, atau cuma… mampir bentar?”
Hanna gak langsung jawab. Dia menatap jalan di depan, lalu menarik napas pelan.
“Gue juga gak tahu.”
Aksa menunggu.
“Gue ikut Ayah. Dia dipindahin ke sini lagi. Tapi katanya sih cuma sementara. Bisa beberapa bulan, bisa setahun... atau malah pindah lagi tiba-tiba.”
Aksa menunduk sedikit. “Jadi lo gak yakin bakal di sini lama?”
Hanna menggeleng, matanya masih lurus ke depan. “Gue gak punya kendali soal itu, Sa. Dulu pun pas pindah juga gitu—tiba-tiba.”
Ada jeda. Lalu dia menoleh ke Aksa, senyumnya tipis, tapi matanya jujur.
“Tapi selama gue di sini... gue pengin ketemu lo sesering mungkin.”
Aksa menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak Hanna muncul lagi, dia ngerasa lega walau jawabannya gak pasti.
Karena meskipun waktu Hanna mungkin terbatas, tapi niatnya nyata.
“Gue bisa nerima itu,” katanya akhirnya. “Selama lo gak ilang tiba-tiba lagi.”
Hanna tersenyum kecil. “Kalau gue ilang, lo cari dong.”
Aksa menghela napas sambil senyum tipis. “Ribet banget sih... tapi ya, gue cari.”
Mereka tertawa kecil. Jalanan malam tetap sepi, tapi hati mereka pelan-pelan terasa lebih penuh.
____
Mereka terus berjalan pelan, langkah demi langkah melewati jalan yang terasa lebih pendek dari biasanya.
Di sampingnya, Hanna masih tertawa kecil soal sesuatu yang entah apa tadi dia katakan—Aksa setengah dengar, setengah terjebak di pikirannya sendiri.
“Dia balik. Tapi mungkin cuma sementara.”
Kalimat itu terus berputar di kepalanya.
Dan rasanya seperti diberi harapan yang manis, lalu diingatkan pelan-pelan bahwa harapan itu bisa hilang kapan saja.
Tapi saat Aksa menoleh, melihat Hanna yang kini melangkah di sampingnya, tangannya menggenggam botol teh manis kosong dari warung tadi, dia sadar satu hal.
“Mungkin tak penting seberapa lama Hanna akan ada di sini.”
“Yang penting, tuk kali ini dia tak mau hanya diam. Tak mau menunggu kehilangan datang tanpa melakukan apa-apa.”
Dan entah kenapa, malam itu terasa sedikit lebih hangat dari biasanya.
____
Setelah mereka berjalan berdua sambil mengobrol-ngobrol ringan, mereka kembali ketaman tempat mereka bertemu tadi. Karna Aksa menyimpan motornya disini saat tadi mereka akan pergi ke warung.
"Udah malem nih, lo mau pulang sekarang?" tanya Aksa.
Hanna berfikir sejenak, "Eum.. iya deh, kayaknya gue mau pulang aja," ujarnya.
Aksa mengangguk pelan, "Yaudah, biar gue anter aja" ucapnya.
"Eh, gapapa? takutnya gue ngerepotin" tanya Hanna tidak enak.
"Ini udah malem, gue nggak bakal biarin lo pulang sendirian Hanna," jawab Aksa.
"Dan lo nggak ngerepotin, lagian kayak sama siapa aja lo," lanjutnya.
Hanna hanya tersenyum tipis mendengarnya. “Ya.. kita kan udah lama ga ketemu, gue ga enak sama lo.”
Aksa hanya menghela nafas pelan, "Udah ayo gue anterin, rumah lo masih yang lama? apa udah ganti?" tanyanya memastikan.
"Rumah gue masih yang lama Sa," jawab Hanna.
Aksa lagi-lagi hanya mengangguk pelan, ia menaiki motornya. Lalu ia menoleh ke Hanna, "Gue ga bawa helm dua, lo pake aja helm gue." ucapnya sambil menyodorkan helm ke arah Hanna.
Hanna melihat helm yang diberikan Aksa kepadanya, "Terus lo gimana dong? Lo aja deh yang pake, lo kan yang bawa motor Sa," tolak Hanna.
"Udah pake aja, gue gapapa kok," ucapnya sambil memakaikan Hanna helmnya, dia juga melepas jaketnya lalu dipakaikan kepada Hanna.
Seketika Hanna terdiam menerima perilaku Aksa seperti itu, sebenarnya itu kebiasaan Aksa sedari dulu memakaikan Hanna jaket miliknya. Namun, rasanya kali ini berbeda, mungkin karna dia sudah lama tidak menerima perlakuan Aksa yang seperti ini. Dia pikir, Aksa sudah lupa.
"Udah malem, anginnya dingin, kita naik motor." Ujar Aksa saat melihat Hanna akan protes. Sekali lagi Hanna hanya bisa terdiam saja.
Lalu Aksa menyuruhnya naik ke motor sambil membantunya. "Udah?, pegangan yang bener," ucapnya pelan, lalu diangguki oleh Hanna.
Aksa pun menjalankan motornya dan mengantarkan Hanna pulang kerumahnya. Selama dijalan tidak ada percakapan apapun di antara keduanya, Aksa mengendarai motornya dengan kecepatan yang yang normal. Dia tentu tidak berani membawa motornya dengan kecepatan tinggi saat membawa Hanna.
Setelah sampai di rumah Hanna, dia memberhentikan motornya di depan pagar rumah Hanna dan membantunya untuk turun, tak lupa membukakan helmnya.
"Masuk gih, dingin diluar," ucap Aksa.
"Gausah dibuka, pake aja dulu, disini dingin Hanna." Ucap Aksa saat melihat Hanna akan membuka jaketnya, dia tidak mau melihatnya kedinginan.
Hanna hanya menghela nafas pelan mendengarnya. "Yaudah, makasih ya sa, udah mau jalan sama gue, dan.. sekali lagi maaf" ucapnya pelan.
"Iya sama-sama, udah jangan minta maaf terus," jawabnya.
"Yaudah, gue masuk dulu ya, sekali lagi makasih, dan lo ati-ati dijalan," ujar Hanna.
Aksa hanya mengangguk, "Salam ya buat ayah sama bunda," ujarnya.
Hanna mengangguk pelan, "Iya nanti gue salamin, yaudah gue masuk dulu ya," ucapnya, lalu melambaikan tangan kepada Aksa sebelum dia berjalan masuk kerumahnya.
Setelah memastikan Hanna sudah masuk, dia langsung kembali menjalankan lagi motornya untuk pulang menuju rumahnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
