
Deskripsi
terjemahan cerpen karya Sameeha Elwan [Palestina]
Aku bangun dengan gigi masih sakit banget, ubun-ubunku seperti sedang dibor. Sudah dua hari aku susah belajar, susah makan, dan, yang paling menyengsarakan, susah tidur. Setiap bagian tubuhku punya kenyeriannya masing-masing. Tak ada pilihan lain deh. Aku harus ke dokter gigi. Aku sudah berusaha menghindari hal itu, tapi sekarang sudah telat. Ayahku yang mendaftarkan. Sial, jadwal periksaku masih tiga hari lagi. Tidak ada hal yang lebih menjengkelkan...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Orang Gila di Alunalun Merdeka - Cerpen Terjemahan
0
0
terjemahan cerpen Hassan Blasim (Irak-Finlandia) Pada hari-hari tak terlupakan sebelum mukjizat itu terjadi dan ketika aku mengetahui kebenaran yang sekarang disangkal atau diabaikan oleh semua orang, kami berjaga-jaga di platform tempat berdirinya dua patung itu. Kami memiliki persenjataan ringan, tiga mortir dan tujuh peluncur RPG. Para tokoh berpengaruh dan pemuka warga di distrik kami telah menolak perintah dari pemerintahan baru untuk merobohkan patung-patung itu, dan kami dapat kabar bahwa tentara akan menyerbu distrik kami pada malam hari. Sementara, jauh di lubuk hati, aku tidak menganggap ini sebagai pertempuranku, jauh lebih mudah untuk membohongi diriku dengan ikut bertempur daripada harus menanggung malu karena kabur dari pertempuran. Pertempuran mungkin akan pecah kapan saja dan mungkin aku akan tewas demi patung batu dua pemuda yang berdiri agak doyong di atas podium, seolah mereka akan jatuh tersungkur dengan muka lebih dahulu. Kentara, pemahatnya dibantu oleh para pekerja yang tak tahu apa-apa tentang seni patung. Para Islamis fanatik mengeluarkan fatwa bahwa semua patung di negara ini harus dihapuskan karena mereka adalah berhala dan tak sesuai syariat Islam. Sedangkan bagi pemerintah sendiri, telah diputuskan untuk menghilangkan semua hal yang melambangkan zaman mantan rezim diktator. Orang-orang dari kalangan terpandang dan seluruh warga di lingkungan bersikukuh bahwa patung itu tak ada kaitannya dengan rezim sebelumnya ataupun fatwa-fatwa represif itu. Aku tak percaya pada omong kosong semacam itu. Ayahku bilang, patung itu merupakan simbol pertarungan dengan nasib demi masa depan distrik kami. Aku tak mengerti, bagaimana ayahku yang seorang guru IPA di SMA bisa percaya takhayul begituan. Tentu saja, ada banyak lusinan versi mengenai kisah patung itu, tetapi versi yang diceritakan kakekku mungkin adalah yang paling mendekati kebenaran. Sentuhan realistis dalam kisah kakkekku bahkan membuat warga lingkungan jadi tampak lebih naif lagi, oleh karena tujuannya adalah memotret mereka sebagai orang yang bersahabat, cerdas dan murah hati. Inilah yang kupikirkan pada saat itu, sebelum hidupku berubah selamanya.Mungkin sebaiknya pertama-tama kuringkas untuk kalian kisah versi kakekku, sebelum kuceritakan apa yang menimpaku pada malam pertempuran. Dengan sedih kakekku bercerita, “Tak ada yang tahu kapan persisnya kedua pemuda itu muncul. Usia mereka sepantar, tingginya pun sama, seperti anak kembar. Warga distrik kami mengira mereka berasal dari distrik makmur yang jauh sekali, tetapi mereka tak bisa menebak tujuan perjalanan mereka. Masing-masing menyandang ransel, dan mengenakan pakaian apik yang menandakan bahwa mereka hidup berkecukupan dan terawat. Yang paling mengejutkan warga adalah rambut mereka yang pirang dan warna kulitnya yang terang. Distrik Kegelapan adalah salah satu distrik paling terbelakang di kota ini, dan badan para penghuninya kurus-kurus dengan kulit gosong yang mereka warisi dari petani leluhur mereka. Orang-orang dari wilayah dekat kotalah yang menamai kami Distrik Kegelapan, karena merupakan satu-satunya distrik yang belum dialiri listrik. Kubayangkan itulah kali pertama warga distrik kami melihat pengunjung dari jenis manusia seperti itu.“Setiap pagi kedua pemuda itu akan berjalan melintasi kampung menuju sunngai di kejauhan, muncul dari arah lahan kosong yang membatasi distrik Kegelapan dengan distrik Arbanjiya. Mereka akan tersenyum ramah dan penuh sayang kepada anak-anak kecil di lingkungan yang setengah telanjang, dan menyapa warga dewasa dengan anggukan pelan yang menunjukkan penghormatan. Mereka akan menghindari lubang-lubang becek di jalanan dengan cara halus dan tak berlagak, tanpa menunjukkan tanda muak atau congkak. Warga kami memandang mereka laksana malaikat dari surga. Tak seorang pun berbicara kepada mereka atau menanyai mereka dengan pertanyaan-pertanyaan mengganggu, atau mengalangi jalan mereka dengan alasan apa pun. Warga terpesona oleh aura cahaya yang dipancarkan kedua pemuda itu. Mereka berjalan dengan mantap, langkah-langkahnya terukur, seolah mereka telah belajar khusus cara berjalan seperti itu di sekolah privat. Kebisuan mereka menambah misteri tentangnya. Sikap mereka sopan dan terpuji, tetapi dengan sentuhan ringan humor yang baik. Warga jatuh hati pada kedua pemuda dan makin terbiasa dengan kemunculan mereka yang mencerahkan setiap pagi. Hari demi hari orang-orang makin akrab dengan dua pemuda tampan itu, dan kedatangan dan kepergian mereka menjadi seperti terbit dan tenggelamnya mentari. Anak-anaklah yang awalnya akrab dengan mereka: Mereka akan berkerumun pada fajar di ujung perempatan menunggu kemunculan kedua pemuda melintasi lahan. Mereka akan bertaruh menggunakan kartu Sinbad, jalan mana yang akan dipilih keduanya pada hari ini. Saat para ‘blonde’ tiba, anak-anak bersukacita. Mereka akan mengintil keduanya hingga batas distrik lain, sambil berjingkrak-jingkrak, ketawa, dan menyentuh ujung baju keduanya dengan ujung jari mereka, campuran rasa takut dan gembira. Anak-anak akan lebih bergembira manakala kedua pemuda membungkuk dengan elegan, tanpa menghentikan langkah, untuk membolehkan anak-anak menyentuh rambut pirang mereka. Para gadis distrik kami menaksir dua pemuda pirang itu, dan tak lama terciptalah ikatan kudus dan rahasia di antara mereka dan warga lokal.“Hari-hari berlalu tanpa kedua pihak berani mendobrak aral kebisuan dan keambiguan. Sebelum dua pemuda pirang itu muncul, adalah seperti sebuah tindak bunuh diri bagi siapa pun orang asing yang memasuki wilayah ini. Namun, sekarang para gadis akan melongokkan kepala mereka dari balkon dan jendela untuk memuaskan pandangan mereka terhadap ketampanan kedua pemuda dan mendesah dengan penuh gairah. Segera setelah kedua pemuda berlalu mereka terombang-ambing impian-siang-bolong sembari mendengarkan lagu-lagu cinta yang tengah diputar stasiun radio. Saat para blonde datang, para gadis akan menenteng keluar radio mereka ke balkon dengan harapan stasiun radio memutarkan sebuah lagu cinta saat itu juga, dan jika lagu cinta tengah diperdengarkan mereka akan mengeraskan volume, mengandaikan lagu itu sebagai pesan cinta pribadi para gadis. Kedua pemuda akan menanggapi semua itu dengan sikap hormat, rendah hati dan ramah.“Waktu berlalu.” Kakakku menghela nafas dalam-dalam dan memanjangkan huruf u dalam kata “berlalu.”“Seorang wanita tua meninggal,” kakekku lanjut bercerita. “Dan limapuluh anak telah lahir di distrik, dari ibu-ibu kurus dan ayah-ayah pengangguran. Musim panas berlalu dan para pedagang sayur panen uang. Para wanita lokal mulai menghubung-hubungkannya sebagai barokah—berkah—dari kedua pemuda pirang dikarenakan para suami mereka, yang bekerja menyapu jalanan atau menjadi petugas kebersihan di sekolah di pusat kota, semuanya memperoleh kenaikan gaji. Para suami, yang tadinya meragukan barokah kedua pemuda, segera berhenti mencibir begitu pemerintah memutuskan untuk menyalurkan aliran listrik pada awal musim dingin. Setelah munculnya semua tanda-tanda keberkahan ini, para wanita memulai gerakan meletakkan bunga-bungaan di pintu depan rumah supaya kedua pemuda pirang bisa membaui keharumannya saat mereka melakukan perjalanan penuh karunia, saat melintasi distrik Kegelapan. Sedangkan bagi para warga pria, mereka menutup lubang-lubang di jalan agar kedua pemuda pirang tak harus menghindarinya.“Ada secercah harapan di wajah orang-orang, dan ini memunculkan warnawarni alamiah mereka, yang di masa lalu tertutupi debu kesedihan dan kesengsaraan. Semua orang mulai memandikan anak-anak mereka sebersih mungkin, menjahitkan pakaian baru untuk mereka, dan menyuruh mereka agar lebih sopan di kala bertemu kedua pemuda pirang. Mereka mengajarkan lagu indah tentang burung-burung dan anak-anak menyenandungkannya saat bersama kedua pemuda pirang.“Menambah-nambahi semua pemujaan dan keyakinan mereka, tiba-tiba seorang warga diangkat pemerintah untuk menduduki jabatan penting, dan dia berjanji akan mengaspal jalanan dan memanjangkan instalasi pipa air minum. Warga yang muda-muda memohon kepada pemerintah untuk memasang jaringan telepon di distrik Kegelapan, dan aku pun ingat apa yang dilakukan orang-orang ketika mengetahui rencana jahat sekelompok warga yang berencana mencelakai kedua pemuda saat berada di dekat sungai. Mereka berdiskusi di rumah walikota dan kemudian memberi peringatan kepada orang-orang jahat itu, mereka dan keluarga mereka akan diusir dari distrik jika hendak melanjutkan rencana jahat itu, dan mereka pun mengurungkan niat.“Tak lebih dari dua tahun setelah kemunculan kedua pemuda itu, setiap doa terkabulkan, seperti halnya mukjizat yang terjadi dalam mitos dan legenda. Para perempuan jomlo jadi menikah, jalanan becek sudah diaspal, orang berpenyakit kronis sembuh, sebagian besar anak-anak lulus ujian, sebelumnya nilai ujian mereka memalukan. Mukjizat terbesar adalah tumbangnya monarki oleh sebuah kudeta yang dilakukan para pejabat heroik yang mendapat dukungan rakyat. Jelas bahwasannya semua rezeki dan kebahagiaan itu bersumber dari kemuliaan orang-orang pirang. Mulai saat itu harmoni dan cinta tersebar di antara warga distrik, dan permusuhan dan kekerasan nyaris raib. Hal-hal baru lainnya adalah bahwa di sekolah, siswa-siswanya duduk bercampur, siswa lelaki dan perempuan duduk bersama-sama di dalam kelas, dan pemerintah mendirikan klinik di dekat distrik, dan biasanya aku berjualan kacang panjang di depannya. Sudah barang tentu, pemerintah mengubah nama distrik dari Kegelapan menjadi distrik Bunga. Penggantian nama itu dilakukan setelah pejabat pemerintah mengunjungi kami dan membuat laporan yang menyebutkan tentang betapa banyaknya bunga dan bersihnya distrik kami. Hampir semua rumah punya telepon, sudah bisa dilihat bahwa cukup banyak warga distrik yang sudah punya mobil. Hal lain yang baru di distrik adalah para orang tua sekarang mengikuti program pemberantasan butahuruf untuk dewasa dan mereka antusias menemukan misteri abjad dan bahasa pada umumnya. Pendeknya, warga memperoleh daya hidup dan kemakmuran yang baru setelah obatnya bekerja. Namun, kebahagiaan itu memudar pada pagi yang sial itu, sehari setelah kudeta militer, saat anak-anak pergi ke batas distrik menunggu kedatangan kedua pemuda pirang. Mereka sudah kelamaan menunggu dan keduanya tak muncul-muncul. Ibu-ibu mereka turut bergabung dan duduk menunggu di tanah kosong. Pemerintah telah membangun jalan lebar yang melintangi tanah kosong itu dan kini tank-tank dan kendaraan-kendaraan pengangkut tentara bersenjata melintasinya. Kemudian warga lain mulai datang bergabung, dan semua orang menonton tank-tank di jalan utama, menyemburkan gumpalan asap hitam. Mereka merasakan kegetiran dalam hati, seperti ada radang di tenggorokan mereka dan airmata mereka menetes.“Matahari telah tenggelam dan kegelapan telah turun kembali.”Kakekku meniup-padam api lentera dan menghela dan mengembuskan nafas panjang.–– Selewat tengah malam, tank-tank pemerintahan baru menyerbu distrik untuk merobohkan patung kedua pemuda pirang. Para lelaki distrik sudah pada menempati posisi tempur di atap-atap rumah dan di gang-gang. Pertempuran berapi-api pecah, dan bahkan para wanita turut ambil bagian. Aku berhasil mengendap-endap, yang bersama tiga teman membawa peluncur granat penghancur tank yang memasuki pusat jalan utama, tetapi helikopter menembaki dari atas, membuat gerak kami terbatas. Kami bersembunyi di balik mobil taksi yang diparkir di trotoar. Kemudian toko-toko dan bangunan-bangunan lain terbakar. Tampaknya kami sudah dikutuk untuk kalah dalam pertempuran itu karena dibombardir terus menerus oleh helikopter. Kami pecahkan kaca taksi itu dan bersembunyi di dalamnya, berencana mengendarainya dan kabur. Tiba-tiba salah satu helikopter meledak di udara dan puing-puingnya jatuh menimpa atap beberapa rumah. Lalu para pejuang kami berhasil menghantamkan misil ke sebuah tank, dan kami lihat pasukan pemerintah mundur dengan panik. Sejurus kemudian kami melihat sekelompok pemuda distrik menghambur maju seperti kesetanan, meneriakkan “Allahu akbar” dan memberondongkan peluru asal-asalan, bersoraksorai dan mengabaikan bahaya pertempuran. Kami keluar taksi saat mereka datang, dan kami dengar dari mereka bahwa Allah telah mengirimkan mukjizat. Mereka berkata, orang-orang pirang telah kembali ke distrik dan sekarang bertempur dengan gagah berani melawan pasukan pemerintah. Mereka bilang, kedua pemuda piranglah yang berhasil meledakkan tank dan menembak jatuh helikopter. Teman-temanku ikut bersorak-sorak meneriakkan “Allahu akbar” bersama kelompok itu sambil ikut berlari memburu tentara pemerintah, menembakkan peluru ke pelbagai arah. Distrik ini mendadak jadi seperti rumah sakit jiwa yang luas. Kurasakan amarah dan kebencian selagi berdiri di samping taksi, terpaku menonton orang yang berkerumun berbondong-bondong merayakan kemenangan yang mustahil. Kusulut sebatang rokok dan kepikiran bahwa cara terbaik untuk mengakhiri ketersiksaan diriku adalah meninggalkan gua ini, yang mereka namai distrik Kegelapan. Begitu aku baru saja berbalik hendak berjalan pulang, mendadak semburan roket-roket menghujani pemukiman kami. Salah satu ledakan roket mengempaskan tubuhku dan badan taksi ke tembok terdekat. Kulihat api menyala-nyala mengurungku. Aku tak merasakan sakit apa-apa, tetapi keheningan mendadak di sekeliling membuatku merasakan sebuah sensasi kedamaian yang ganjil. Ketika kedua orang pirang itu menarikku dari bawah rongsokan taksi kulihat kemeja salah satu dari mereka ternoda darahku. Ayahku bilang, aku pingsan saat mereka menemukanku tergeletak di depan pintu rumah kami, tetapi aku yakin bahwa orang-orang piranglah yang membopongku di atas usungan putih, dan sepanjang jalan mereka tersenyum kepadaku, dan kuulurkan tanganku menyentuh rambut pirang mereka yang indah.Beberapa pemuda dari generasi baru distrik ini sekarang menyebutku sebagai orang gila Alun-alun Merdeka. Pemerintah menanam beberapa pohon dan menaruh bangku-bangku di tempat yang sebelumnya patung dua pemuda pirang berdiri. Mereka memasang plakat besar bertuliskan nama baru bagi distrik ini: distrik Kebebasan. Aku tahu apa kata orang-orang dungu ini. Mereka bersikukuh bahwa pecahan roket yang menembus otakku telah merusak pikiranku. Namun, mereka hanyalah orang kampung yang masih hidup di Zaman Kegelapan. Aku terus menerus meminta kepada para tokoh terkemuka dan warga lain untuk menyumbang uang untuk membangun kembali patung kedua orang pirang dan untuk menjaga sejarah distrik. Paling tidak, inilah upaya yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan mereka yang menyelamatkan nyawaku. Yang bikin aku marah, bahkan ayahku sendiri tak lagi percaya pada kisah pemuda pirang setelah para tentara membongkar patung dan membunuhi banyak pemuda pada malam itu. Beberapa orang kini menyatakan bahwa kisah ajaib kemunculan kedua pemuda pirang pada malam itu dan ikut bertempur di kubu kami hanyalah propaganda murahan, disebarkan oleh para pemuda tertentu untuk menaikkan semangat para pejuang kami, dan bahwa tentara pemerintah telah menyapu bersih perlawanan sebelum pagi menjelang. Namun, aku cukup yakin kedua pemuda piranglah yang membopongku di atas usungan putih, dan dengan jari-jari inilah kusentuh rambut mereka yang serupa rambut malaikat.Beberapa hari lalu aku berjumpa seorang asing yang kuyakini jujur, tidak palsu sebagaimana kebanyakan orang di distrik, dan dia berkata bahwa dia memercayai ceritaku tentang kemunculan kedua pemuda pirang. Dia mengobrol lama denganku tentang bagaimana kami kehilangan sejarah dan warisan kami akibat campur tangan agen-agen Barat dan oleh karena kami telah menolak agama kami, dan bagaimana kebebasan telah diperalat oleh antek-antek kaum kafir, tetapi yang tak begitu kupahami secara utuh adalah perihal ikat pinggang lebar yang meliliti pegelangan tanganku di rumahnya pagi ini. Aku merasa kulitku melepuh karena ikatannya yang terlalu kencang. Aku akan duduk-duduk di bawah naungan pohon itu.... Sial, aku kalah cepat, bangku-bangku itu sudah diduduki beberapa wanita dan anak kecil. []Hassan Blasim adalah penulis cerpen, penyair dan sutradara film Irak yang pindah tinggal ke Finlandia setelah mengalami masalah saat membuat film di Irak bagian utara, wilayah Suku Kurdi, pada 2004. Dia menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab. Buku kumpulan cerpennya The Corpse Exhibition memenangi beberapa penghargaan, termasuk English Pen’s Writers in Translation Programme Awards. Blassim pun menjadi penulis Arab pertama yang memenangi Independent Foreign Fiction Prize berkat The Iraqi Christ.Orang Gila di Alun-alun Merdeka merupakan terjemahan dari The Madman of freedom Square yang termuat dalam buku kumpulan cerpen The Corpse Exhibition yang diterbitkan penerbit Penguin pada 2014. Penerjemahan ke bahasa Inggris oleh Jonathan Wright.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan