Man-Man - Cerpen Terjemahan

0
0
Deskripsi

 terjemahan cerpen karya V. S. Naipaul (Inggris-Karibia-India)

 

 SEMUA ORANG DI JALAN MIGUEL bilang Man-man itu orang gila; jadi, mereka menjauhinya. Akan tetapi, sekarang aku tidak yakin bahwa ia sableng, dan aku bisa menyebutkan banyak orang yang lebih gila ketimbang Man-man.

            Ia tidak tampak gila. Tinggi badannya sedang-sedang saja, kurus; dan tampangnya pun tidak buruk-buruk amat. Ia tidak pernah menatapmu sebagaimana biasanya seorang gila memandang; dan saat kau mengajaknya bicara,...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sakit Gigi di Gaza - Cerpen Terjemahan
0
0
terjemahan cerpen karya Sameeha Elwan [Palestina] Aku bangun dengan gigi masih sakit banget, ubun-ubunku seperti sedang dibor. Sudah dua hari aku susah belajar, susah makan, dan, yang paling menyengsarakan, susah tidur. Setiap bagian tubuhku punya kenyeriannya masing-masing. Tak ada pilihan lain deh. Aku harus ke dokter gigi. Aku sudah berusaha menghindari hal itu, tapi sekarang sudah telat. Ayahku yang mendaftarkan. Sial, jadwal periksaku masih tiga hari lagi. Tidak ada hal yang lebih menjengkelkan daripada menahan pusing gara-gara sakit gigi, padahal cuma satu gigi. Aduh, tak tahan lagi!            Mendengar erangan dan jeritan sakitkku, Ayah berteriak dari dalam kamarnya, “Kalau kau tak bisa bersabar tiga hari lagi, kita pergi saja ke … .”            Sepertinya aku memang tidak mendengar kelanjutan omongan Ayah tadi, atau Ayah sedang jail saja. Aku tanya, “Ke mana?”            Setelah berdeham, ayahku menggunturkan suaranya: ke al-wekala–Pusat Kesehatan UNRWA. Jantungku mencelus, sekujur badanku gemetar, dan suaraku tersekat di tenggorokan. Gambaran tempat itu seketika memenuhi pikiranku. Saban hari, searah dengan rute bolak-balik ke universitasku, aku melewati dua gedung UNRWA, klinik dan kantornya.            Tembok klinik dicat putih dengan setrip-setrip biru. Ada mural sangat besar tentang orang-orang yang sedang dimasukkan ke dalam ambulans. Bukan soal gedung putih biru pucat berbendera UNRWA atau mural asal-asalan itu, atau kawat berduri yang mengelilingi tembok, yang membuatku terganggu kapan pun aku melihat tempat itu. Lebih ke soal pemandangan kerumunan orang mengantre, antrean yang tidak tertib, di depan jendela-jendela berteralis dan suara lewat mikrofon dari orang yang tak bisa kita lihat wujudnya, memanggili nama-nama atau menyebut nomor-nomor. Hatiku selalu terbesit setiap kali melihat mereka yang harus menunggu di sana, di bawah terik sinar matahari musim panas atau di bawah siraman air hujan musim dingin. Aku belum pernah membayangkan diriku sendiri mengantre di sana, demi alasan apa pun. Tidak pernah terlintas di kepalaku, berdiri di sana menunggu namaku dipanggil dan berdesak-desakan menjangkau birai jendela dengan harapan bisa masuk daftar panggil.            Meski aku ingin menghindari trauma yang harus kualami, rasa nyerinya bikin aku takluk. Aku menyerah. Perjalanan ke klinik harus kutempuh, tak peduli aku suka atau tidak. Memangnya akan seburuk apa sih, berdiri mengantre di antara sesama warga Palestina kebanyakan, bersama para pengungsi dan pasien? Cuma balai kesehatan ini, kuyakinkan diriku, meski gagal.            Malam tanpa tidur terlewati. Ketika aku menemui Ayah besoknya, aku diam saja. Dia berusaha supaya aku tak panik dengan melontarkan tatapan lembut. Dia akan ke klinik sejam terlebih dahulu, tanpa aku, untuk mengamankan nomor antrean sembelum kerumunan di sana membeludak. Heran, kok bisa orang-orang sudah berdatangan sejak sebelum pukul tujuh pagi?            Persis pada pukul delapan, aku berangkat ke klinik sesuai instruksi Ayah. Jalan ke sana bikin aku kepayahan setengah mati. Aku kepikiran tentang betapa kadang-kadang aku kurang menghargai ayahku yang sudah berupaya keras demi kami. Dialah yang mengantre supaya kami dapat ransum UNRWA sebulan sekali. Kami termasuk orang Palestina yang beruntung, yang menikmati maslahat dari memiliki Kartu UNRWA, pakai huruf K kapital. Ibuku seorang pengungsi. Aku tak pernah paham mengapa sebagian orang menganggap kartu itu sebagai semacam privilese, dan aku selalu heran dengan orang-orang yang mebanggakan kepemilikan kartu itu.            Kartu pengungsi sajak awal terus menjadi cemooh terhadap keuntungan tak seberapa yang sangat tidak sebanding dengan segala hal yang telah musnah dari genggaman pemegang kartu itu. Apakah sekantong terigu sebanding dengan ladang yang pernah dia miliki? Akankah sekantong gula bisa melipur lara yang harus ditanggungkan setelah kehilangan kenangan manis di rumah sendiri, yang kini digantikan dengan kamp-kamp pengungsian? Apakah dua botol minyak akan membuat mereka melupakan kebun zaitun mereka, yang sudah dibabat habis hingga ke akar-akarnya, seperti mereka yang kini juga tak punya akar? Atau mungkin kartu itu hanyalah sebuah deklarasi bahwa mereka adalah para pengungsi sementara yang dahulu pernah punya tanah ini, tanah yang, selama mereka masih punya kartu ini, masih menanti mereka untuk kembali. Sebuah sengatan rasa nyeri menghentikan lamunan pikiranku.            Kala aku tiba di klinik, sekitar pukul 8:30, antrean telah sampai luar area. Aku menganggap praduga dan rasa jeri itu adalah akibat dari fobiaku terhadap dokter gigi yang tak bisa kujelaskan; aku kira aku telah melebih-lebihkan saja. gedung putih biru itu kini terlihat lumayan bagus. Warna-warna favoritku itu memberiku semacam rasa lega, meski tak lama. Suara-suara berdengung orang bercakap-cakap semakin jelas saat aku memasuki klinik. Celingak-celinguk aku mengamati klinik mini itu, terdiri dari beberapa ruang sempit dengan plakat di atas setiap pintu yang menunjukkan jenis-jenis penanganan yang disediakan balai kesehatan itu: Klinik Umum. Klinik Mata. Klinik Gigi. Pengobatan Penyakit Dalam menyita sebagian besar ruang di dalam klinik.            Alhamdulillah, aku hanya sakit gigi, pikirku.            Ayahku melihatku dari tengah kerumunan. “Kenapa kau lama sekali? Aku sudah dapat nomor untukmu. Nyaris saja terlewat,” dia berteriak dari tempatnya berdiri.            “Ya ampun, pakai angka. Nasibku ditentukan angka setelah susah payah,” pikirku, sudah tak bisa bicara gara-gara sakit gigi ini. Itu momen ketika orang dinomori, ketika kemanusiaan dipilah berdasarkan angka. Aku tak lagi insani. Aku ini angka 7. Dan ‘Tujuh’ adalah nomor yang ingin lekas kudengar pada saat itu juga. Melihat semua orang sakit di sana lumayan mengurangi nyeri yang telah bikin kepalaku dan sekujur tubuhku cenut-cenut. Aku hanya ingin rasa sakit itu hilang, bagaimanapun caranya.            Aku duduk di bangku yang sudah diamankan ayahku. Melihat kondisiku, dia memilih berdiri seperti sebagian besar orang yang mengantre dipanggil nomornya. Hanya ada lima bangku di ruangan itu, padahal ada puluhan orang, laki-perempuan, anak-anak, dan lansia. Aku melirik ke wanita di sampingku. Mataku menangkap angka di kartu yang dia pegangi pakai dua tangan. Kaget aku. Akan sampai jam berapa nomor 36 dipanggil, padahal aku yang nomor 7 saja belum dipanggil? Ah, giliranku sudah dekat, ternyata.            “Nomor enam! Nomor enam?” seru suara kebosanan dari pelantang.            “Nomor enam? Di mana pasien nomor enam?” setiap orang di sana nyaris ikut menyerukan nomor panggilan, suara mereka sampai menggetarkan tembok. Pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita yang sudah sangat sepuh berjalan keluar tertatih-tatih, dipapah dua cucunya yang masih muda. Kedua mata wanita itu terpejam, ada kapas terjulur dari mulutnya. Dia jelas-jelas sangat kesakitan, membuat, entah karena alasan apa, badanku menggigil. Aku ingin melongok ke dalam ruang periksa ketika seorang gadis belia, sekitar 10 tahun, beringsut menembus kerumunan untuk masuk ke dalamnya.            Gadis itu, rambutnya dikepang tunggal, memakai seragam putih berlarik-larik biru; model seragam yang dahulu, semasa sekolah, kubenci. (Aku selalu kepikiran, jangan-jangan sebenarnya seragam itu berwarna biru berlarik-larik putih.) Dia masuk menemui dokter gigi itu sendirian. Aku merasa malu. Dia versi lebih muda diriku, meski aku lebih suka rambutku dikepang dua. Lebih penting lagi, jelas dia bukan pengecut yang pakai diantar ayahnya segala. Dia masuk sambil menenteng tas sekolahnya. Jadi, kemungkinan besar, dia akan langsung ke sekolah setelah cabut gigi. Dua menit, pintu itu terbuka lagi. Gadis itu keluar dengan tampang tak gentar seperti ketika tadi masuk, seolah-olah hendak bermaklumat, “Akhirnya aku bisa mengeluarkanmu dari mulutku, gigi keparat.” Aku memikirkan durasi penanganan. Dua menit—mana cukup untuk pembiusan ….            Untuk sesaat, aku mempertimbangkan hendak kabur. Ayahku sudah mendorong-dorong badanku bahkan sebelum nomor tujuh disebutkan. Orang-orang kembali serempak berseru, “Nomor tujuh! Mana pasien nomor tujuh?” Ayah menarik tanganku di belakangnya. Tiga dokter tampak sangat ramah—setidaknya mereka menanyakan namaku. Aku harus mendongak di kursi, dan kurang dari semenit, dokter menyatakan bahwa aku gigiku perlu dicabut, operasi yang, tidak mengejutkan sih, tidak tersedia di klinik UNRWA. Aku sudah lupa sakitnya. Aku hanya ingin keluar dari ruangan steril itu.            Aku menahan napas ketika keluar. Aku bergegas mencapai pintu keluar gedung. Ketika ayahku sudah bisa menyusulku, aku, dengan senyuman yang sama dengan senyum gadis kecil tadi, menatap kedua mata Ayah, “Nah, kan, mereka tak bisa membantuku. Sudah kubilang.” Ayahku, yang tadi masih sempat menanyakan informasi lanjutan dari para dokter itu, dan mengambil obat yang diresepkan, tertawa ketika melihat wajahku tak lagi pucat. Dia mengacung-acungkan kantong obat di depan mukaku, “Akhirnya, Ayah bisa dapat obat pereda nyeri.”            “Ya, cuma pereda sementara!” aku nyengir sambil mikir. [ ]Sumber: Gaza Writes Back. Just World Books, 2014. Editor: Refaat Alareer Sameeha Elwan, peraih gelar MA dalam Cultural Studies dari Durham University, United Kingdom, dan lulusan sastra Inggris dari Islamic University of Gaza. Sameeha mulai punya blog beberapa tahun setelah berakhirnya perang Gaza, dikenal sebagai Operation Cast Lead (2008−9). Keterjebakannya dalam sebuah situasi menegangkan antara hidup dan mati mencerminkan betapa dia terkerangkeng sebuah perjuangan identitas nasional dengan individualisme dan kolektivitas yang sudah ditetapkan secara paten. Sameeha menulis didorong oleh keniscayaan untuk melawan sebuah wacana yang tidak memanusiakan eksistensi seluruh penduduk Palestina dan menentang sebuah narasi korban yang ingin menundukkan mereka di bawah tafsir-tafsir yang mengatur bagaimana mereka seharusnya tampil dan merepresentasikan diri. Dia menghadapinya dengan suaranya sendiri, suara seorang Palestina.            Bagi Sameeha, setiap pengalaman dihayati sebagai sesuatu yang layak direkam, dan setiap pengalaman itu sekarang adalah kisah ‘untuk diceritakan”—entah itu lahir dari sebuah pengalaman tulen, atau representasi pengalaman orang lain, atau pengalaman-pengalaman yang terinternalisasi dalam diri warga Palestina melalui nilai-nilai sebagai bangsa Palestina, seperti tentang keterusiran atau tentang kepulangan—yang patut diingat dan disampaikan. Memori itu sendiri adalah satu-satunya warisan pemahaman mereka akan rumah dan identitas. Baik ruang virtual maupun ruang kata yang membuat kisah-kisah itu visa dibaca dan diakses telah menjadi “senjata-senjata lunak” mereka.            Dalam kata-katanya sendiri: Berbicara tentang “aku”, yakni “diriku sendiri” dan merenungkan situasi personalku adalah alasan utamaku untuk memulai blog. Aku menguatarakan suaraku melalui lembar-lembar ruang virtual tempat fragmen tentang rumah dan identitas menemukan sebuah ruang padu tempat suaraku tidak terkekang oleh aturan-aturan penulisan yang bersifat autobiografis dalam kacamata sebuah genre klasik, tetapi lebih terbebaskan berkat suara “aku” dan pengalaman tulen yang dihayati melalui ruang-ruang yang terfragmentasi dan terjajah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan