
BAB 11-20
SPOILER ALERT!!!
"Kenapa dia sering lembur sih?" gumam Lavina terlalu malas jika harus bertemu dengan sosok menyebalkan.
"Saya lembur karena tahu diri bahwa bar ini sedang ramai, bukannya berdiam diri di ruang karyawan dengan motif belajar bartending," sahut Gyan tanpa menoleh.
Lavina menyeret kaki berbalut Vans mendekati wastafel sambil menggerutu bahwa Gyan terang-terangan menyindirnya. "Saya kerja salah, saya latihan salah. Ya udah saya pulang aja deh daripada bikin Pak Gyan darah tinggi."
Bab 11
Panggilan yang sedang Anda tuju berada di luar service area...
Jika tahu seperti ini, dia tak kan membuang-buang waktu untuk datang ke neraka jadi-jadian. Apalagi jika harus bertemu dengan lelaki beralis tebal yang selalu menganggapnya remeh. Ingin pulang tapi sayang bensin yang terbuang sia-sia, ingin menetap tapi entah harus menunggu siapa.
Lavina mendesah di pojokan outdoor bar, menopang kedua dagu seraya merasakan hilir mudik sekitar jalanan Laksda Adisucipto dari lantai dua hotel. Kemudian melirik jam di ponsel yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kepalanya berputar sejenak, menyapu area bar. Di sana orang-orang masih saja enggan meninggalkan tempat yang menyajikan berbagai minuman pelepas dahaga maupun pelepas lara.
Iris matanya menangkap Gyan. Sejenak, Lavina berpikir mengapa lelaki itu tidak pulang sedari sore tadi. Apakah dia lembur atau justru terlalu berat meninggalkan bar. Merasa diperhatikan, Gyan menoleh, Lavina salah tingkah lalu membuang muka. Mendadak dirinya terkejut setengah mati saat sosok hantu itu kembali muncul. Wajahnya pucat, matanya terlihat sayu, rambutnya pendek sebahu sangat berantakan. Tapi yang menarik perhatian hantu itu adalah dia mengenakan seragam bartender layaknya karyawan lain.
"Kamu suka jahil ya," tuduh Lavina yang dibalas gelengan dan tertawa kecil yang pasti membuat orang langsung merinding. "Bacain do'a nih! Panas mampus kowe."
"Jangan!" seru si hantu. "Tega banget sih sama sesama makhluk."
"Kita beda ya, kunti!" ketus Lavina.
"Namaku Vega, bukan kuntilanak. Kalau itu, dia ada di—“
"Haisshh... jangan sebut deh!" sela Lavina. "Kamu kenapa sering muncul? Enggak ada kerjaan?"
"Cari temen, masa enggak boleh," jawab Vega. "Aku suka kalau kamu bisa lihat aku. Hihihihi..."
"Idih, ra wedi aku karo guyumu."
(Enggak takut aku sama tawamu.)
"Kamu ngomong sama siapa?" tanya Gyan mendadak muncul.
Lavina mendongak, mulutnya terkatup rapat namun jari telunjuknya menunjuk Vega yang duduk di depannya tanpa bisa dilihat oleh mata Gyan.
"Bar udah mau tutup. Kenapa enggak pulang? Enggak punya cowok apa sampai datang ke sini."
Bibir Lavina seketika mendecih dengan tatapan mata sinis. "Kayak dia punya pacar aja," desisnya yang dibalas tawa Vega. "Enggak usah ketawa."
"Lavina?" Gyan merasa aneh dengan sikap Lavina yang terlihat seperti ada orang lain di antara percakapan mereka.
"Anu Pak, saya ... mau belajar bartending."
Gyan pun menarik kursi di tempat Vega duduk, lantas mendudukinya berbarengan sosok si hantu yang berpindah ke belakang punggung lebar Gyan
"Sama Reiki?" tanya Gyan melipat kedua tangan di dada seakan sedang menginterogasi gadis yang rambutnya hanya diikat asal. "Kamu percaya sama dia?"
"Emang kenapa? Daripada sama Pak Gyan, saya kena omel. Mending sama Reiki aja," tutur Lavina polos.
"Saya mengomeli kamu karena memang kamu yang salah. Gila kali saya mengomel tanpa alasan." Gyan mendapati kotak makan yang belum dibuka sama sekali semenjak Lavina datang. Ditunjuk kotak Tupperware berwarna ungu. "Kamu bawa apa itu?"
"Bapak mau? Makan aja, saya kenyang." Lavina menyodorkan kotak makannya. "Kenyang sama janji manis. Kenyang sama omelan. Kenyang—“
"Kamu menyalahkan saya?" sindir Gyan menyela Lavina.
Lavina hanya mengangkat bahunya. "Bukan saya yang ngomong. Ah, iya, Bapak kan takut sama masakan beracun saya. Jadi enggak usah, saya kasihkan ke anak-anak lain."
Gyan mendelik kesal, padahal dia bukan tipe lelaki yang akan cerewet terhadap masakan siapa pun itu. Sayang, kejadian memalukan beberapa hari lalu di lift sepertinya sudah terpatri di dalam kepala Lavina. Detik berikutnya, suara perut sixpack yang tertutup kemeja abu-abu itu berbunyi cukup nyaring membuat si empunya salah tingkah. Gyan tak berani menatap Lavina yang justru tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya, Lavina membuka kotak makanan. Meskipun sudah tidak sehangat tadi, aroma bumbu rempah-rempah dan sambal kecapnya masih menggugah selera. Gyan melirik sejenak sambil menelan air liur, menu masakan yang dibawakan oleh gadis ceroboh itu adalah masakan kesukaan. Mengingatkan kehidupannya dulu saat masih tinggal di Surabaya bersama keluarga.
"Bapak kalau cuma lihat ayamnya enggak bakal kenyang," sahut Lavina membuyarkan lamunan Gyan. "Udah enggak usah jaim, saya tahu Pak Gyan kelaparan.”
Astaga, kenapa ada gadis seperti dia sih! Batin Gyan.
Gyan berdeham pelan, kharisma dalam diri lelaki itu sepertinya sudah tidak berarti di mata Lavina. Sejurus kemudian dia memiliki ide dan berkata, "Bagaimana jika bar tutup, saya mengajarkanmu bartending? Anggap saja saya tidak punya hutang atas masakanmu."
Seketika mata Lavina membulat dengan senyum lebar menampilkan lesung tipis di kedua pipi. "Serius, Pak?"
Gyan menganggukkan kepala dengan senyum simpul, agar tetap kelihatan cool.
"Makasih Angry bird!" seru Lavina.
"Apa kamu bilang!"
Bab 12
Tinggallah dua orang yang tersisa di bar tengah berdiri di belakang counter tanpa ada seorang pun, kecuali sosok Vega yang masih setia mengekori Gyan. Lavina sampai berpikir, mengapa sosok tak kasat mata itu suka dekat dengan lelaki yang kerjanya hanya mengomeli bawahan. Vega malah terkikik dan mengejek Lavina kalau jangan menilai orang dari tampangnya saja. Dia sudah tahu bagaimana Gyan yang tidak dapat dilihat orang lain.
Apa mungkin Vega suka ngintip Gyan mandi? pikir Lavina.
Gyan menggulung kemeja abu-abu sampai batas siku. Entah mengapa gerakan yang sangat klise, justru menimbulkan sesuatu yang aneh di dalam diri Lavina. Mulutnya sampai menganga lebar hingga tanpa sadar, Gyan melihatnya dan menjentikkan jari tepat di depan wajahnya.
"Iya, a-ada apa Pak?" tanya Lavina berintonasi cepat. Sedetik kemudian, dia baru tersadar bahwa terlalu dekat dengan si angry bird akan berefek negatif bagi jiwa dan raga. Dia membelakangi Gyan, menampar kedua pipinya sambil mengumpat dalam hati.
Bisa-bisanya mata ini terhipnotis.
"Ambil shaker sana!" perintah Gyan. "Boston shaker! Jangan ambil selain itu.!
Tanpa menjawab, Lavina segera mengambil alat pengocok yang dimaksud. Jika mengingat insiden pertama kali di sini, gegara shaker inilah yang membuat dirinya dikenal dengan bartender tak becus oleh Gyan.
"Coba buatkan saya satu minuman saja. Saya ingin melihat kinerja kamu," pinta Gyan.
"Tapi, saya jangan diomeli ya, Pak," pinta Lavina yang dibalas anggukan si Angry bird.
Tangan kanannya mengambil balok es dengan sekop, memasukkan ke dalam shaker. Kemudian meraih botol white rum dan jigger untuk mengukur seberapa banyak yang dibutuhkan, dilanjut mengambil Galliano—herbal liqueur vanila dan adas manis. Terakhir menambahkan triple sec liqueur beraroma jeruk. Sebagai pelengkap rasa segar dan manis dari cocktail yang dibuat, Lavina memeras jeruk nipis dengan fruit presser.
Gyan memerhatikan gerakan tangan Lavina. Entah mengapa gerakan tangan gadis itu masih terlalu hati-hati. Jika dia mengikuti kompetisi bartender, dipastikan Lavina tak kan lolos dari segi trik yang terlalu bermain aman.
Dia menutup shaker dengan kuat agar tidak terjadi kesalahan lagi. Lavina bergerak mundur kemudian mengocok shaker seraya menatap Gyan gugup. Untung saja debaran jantung yang bertalu-talu menggema di seluruh tubuhnya tertutupi dengan suara es batu yang menggesek dinding stainless steel shaker.
Dua puluh detik adalah waktu yang cukup untuk membuat semua minuman tercampur rata. Lavina meraih gelas cocktail berkaki dari chiller. Namun, saat dia ingin membuka shaker, penutupnya tidak mau terlepas membuat bola matanya melotot takut mendapat cecaran kembali.
"Pak?" panggil Lavina. "Enggak bisa dibuka."
"Kamu yang menutup, kamu juga yang membuka. Masa kalau di kompetisi nanti, kamu memanggil saya hanya untuk membuka shaker?" sindir Gyan menciutkan diri Lavina. "Buka sana!"
Bibir pink itu mendecih dengan lirikan sinis, kedua tangannya masih berusaha membuka shaker dengan hati-hati. Dia juga merutuki diri sendiri, mengapa pula harus menutup rapat shaker jika berakhir menyusahkan.
"Waktu kamu habis!" seru Gyan, merebut shaker itu dan membukanya begitu mudah. Kemudian, dia menuangkan ke dalam gelas cocktail baru dari mesin pendingin dengan penyaring.
"Lah, salah saya apa, Pak?" tanya Lavina membela diri. "Kan emang salah shakernya yang enggak bisa dibuka."
"Kamu salah masih ngeyel!" Gyan menyeruput minuman seraya memejamkan kedua mata untuk menilai cita rasa racikan si gadis bar-bar.
Untuk ukuran cocktail, rasa manis dari Galliano tapi tidak strong, aroma jeruk triple sec dan perasan jeruk nipis pun imbang. Hanya saja, karena terlalu lama dalam shaker minumannya jadi terasa begitu encer.
"Yellow bird, bukan?" tebak Gyan.
Lavina mengangguk cepat. "Gimana, Pak?"
"Teknik kamu kurang tepat, Lavina. Kamu terlalu berhati-hati dalam memegang alat-alat di sini, seolah kamu tidak menaruh kepercayaan kepada mereka. Saya sudah bilang, anggap bar ini adalah bar milik kamu sendiri. Apa yang kamu sajikan itulah cerminan dirimu," jelas Gyan kemudian mengangkat kaki gelas cocktail sejajar pandangan. "Waktu antara shaking dan penyajian tidak lama. Karena masalahmu di bagian membuka shaker, maka es batu yang di dalam sudah terlalu banyak yang mencair."
Mendengar penjelasan Gyan yang dinilai begitu sempurna di mata Lavina, tanpa sadar dia bertepuk tangan dengan mulut menganga lebar. Padahal awalnya dia mengira jika Gyan berlagak sombong karena tidak bisa memperlakukan sesuatu dengan baik. Nyatanya itu di luar ekspektasi.
"Jadi, Bapak mau ngajarin saya cara memegang yang benar enggak?" tanya Lavina dengan wajah ambigu.
Bab 13
Suara klakson sepeda motor mengagetkan Gyan ketika menaruh helm full face retro hitam di gantungan motor Yamaha XSR. Dia memutar kepala dan selang beberapa detik kemudian Lavina muncul dengan senyum lebar seraya membunyikan klakson lagi.
"Selamat pagi, Pak!"
Gyan mengatupkan bibir dan memejamkan mata untuk tidak tenggelam dalam emosi sesaat melihat tingkah gadis aneh itu. Cepat-cepat ditinggalkannya Lavina yang masih sibuk melepas seperangkat perlindungan seperti helm, sarung tangan, kaca mata retro, serta masker.
Dia pun enggan menoleh ke belakang barang sedetik saja, akibat teringat dengan kejadian semalam.
"Jadi, Bapak mau mengajari saya cara memegang yang benar?" tanya Lavina dengan wajah ambigu.
"Kenapa wajahmu jadi mesum gitu?" tukas Gyan mencubit pipi Lavina yang ternyata begitu empuk seperti mochi. "Kamu tuh masih muda, jangan memenuhi pikiranmu dengan hal-hal kotor."
Yang ditanya tidak menjawab, justru membeku dengan iris mata yang terkunci dalam netra Gyan. Suhu ruangan yang dingin ditambah lampu counter bar yang remang-remang dan posisi mereka yang hanya berdua memang cocok untuk berbuat aneh-aneh.
Gyan bergerak mundur salah tingkah, meraih gelas cocktail dan meneguknya hingga habis. Atmosfer di sekelilingnya mendadak panas, belum pernah dia merasakan hawa seperti ini bahkan saat berdua dengan bartender lain.
"Kenapa panas sekali?" gerutu lelaki itu pelan.
"Ada Vega lagi peluk Pak Gyan," lirih Lavina menunjuk punggung si captain bar.
Lelaki itu menggeleng cepat menepis bayangan betapa horornya semalam, menggosok lengan yang mulai merinding lagi. Dia memang percaya adanya makhluk selain manusia, tapi cara penyampaian Lavina yang terlalu enteng itu bikin Gyan parno. Apalagi kemarin dia langsung memeluk tubuh kecil Lavina begitu saja seperti anak-anak yang takut akan bunyi petir.
"Pak!" seru Lavina yang berhasil mengejar Gyan. "Lah, kok pucet?"
Gyan membuang muka. Lavina malah tertawa terbahak-bahak mengekori langkah Gyan hingga memasuki lobi hotel untuk masuk lift. Tak jauh dari mereka, Reiki berdiri di depan lift menoleh ke arah mereka berdua melempar senyum sapa.
"Mas," sapa Reiki yang dibalas anggukan singkat si captain bar lalu beralih ke Lavina. "Maaf, kemarin aku enggak bisa nemenin kamu latihan, Lavina."
"Emang kamu ke mana sih, Rei. Aku udah masakin ayam eh malah enggak datang," omel Lavina kecewa.
Mendengar percakapan dua manusia itu, Gyan mendecih dan melirik sinis Reiki. "Emang kapan kamu bisa menepati janji," sindirnya saat lift terbuka.
Reiki dan Lavina menoleh dengan tatapan penuh tanda tanya ke arah Gyan sambil masuk ke dalam lift. Namun, Reiki paham bahwa sindiran halus yang dilontarkan Gyan jelas ditujukan kepadanya. Lantas, dia mundur beberapa langkah hingga sudut kotak besi itu, merasa enggan jika harus berada dalam satu lift seperti ini.
"Ajari Lavina jika kamu memang lelaki yang bisa dipegang omongannya," ucap Gyan tanpa menoleh.
"Iya, Mas," jawab Reiki pelan.
"Lah, kenapa malah gitu, aku enggak apa-apa jangan rebutan buat ngajarin aku dong. Hahaha ... Kan aku malu." Lavina yang berada di belakang Gyan berusaha mencairkan suasana yang terasa garing.
Pintu lift terbuka kembali di lantai dua, Gyan dengan langkah panjangnya meninggalkan Reiki dan Lavina tanpa mengatakan apa pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan di dalam kepala Lavina tentang sikap Gyan pun reaksi Reiki.
Bukan hal aneh jika Gyan suka memarahi bawahannya, tapi sikap dinginnya yang melebihi gunung es. Selain itu, menurut Lavina tak sepantasnya Gyan bersikap jutek ke semua orang walau orang lain sekadar ingin berbasa-basi. Sekeras apa pun sifatnya, seharusnya Gyan juga perlu menampilkan sisi lembut dan menghargai lawan bicara bukannya membelakangi orang yang diajak bicara.
"Pak Gyan kenapa sih, Rei? Emang dia dingin banget gitu kah?"
Lelaki bertindik di telinga kiri itu tersenyum simpul seraya mengangguk. "Iya, udah biasa sih sama Mas Gyan."
"Kalau jutek gitu, mana ada cewek yang betah?" cibir Lavina. "Eh, nanti sore dong ajarin aku di dapur cara megang shaker dan jigger yang benar. Biar enggak kena omel lagi," bisiknya seraya membuka pintu ruang karyawan yang dibalas dengan tawa Reiki.
Gyan keluar dari ruang head bar yang bersebelahan dengan ruang karyawan itu, bisa mendengar dengan jelas bahwa Lavina menggerutu di belakangnya. Dia menggeleng sambil tersenyum miring dan menggumam,
"Belum tahu kalau di sebelahnya itu... " ucapan Gyan terhenti saat Reiki keluar dari ruang karyawan dan bertemu pandang dengannya. Dia pergi dengan tatapan sinis meninggalkan Reiki.
Bab 14
"Pelayan!" teriak salah satu tamu yang duduk di tengah-tengah area bar, membuat beberapa orang menoleh ke arahnya.
Lavina yang baru membereskan meja tak jauh dari sumber suara, berlari kecil menghampiri seorang lelaki berkemeja magenta dengan kumis tipis menghiasi bawah lubang hidung, rambutnya yang cepak serta tatapan mata tajam menyorot si bartender. Dia menyandarkan punggung ke kursi sofa cokelat, melipat kedua tangan dengan menaikkan sebelah alis saat Lavina datang dan berkata,
"Ada yang bisa dibantu, Pak?"
"Tadi kamu ya yang nulis pesanan saya?"
Lavina mengangguk kebingungan. Benaknya langsung berputar ke setengah jam yang lalu. Kemudian, dikeluarkan buku catatan pemesanan untuk memastikan bahwa apa yang dicatat itulah apa yang didengar dari si lelaki.
"Kenapa ya, Pak?" tanya Lavina.
"Saya tadi pesan cocktail bukan mocktail. Saya tidak bisa merasakan vodka di sini," tukas lelaki itu menunjuk gelas cocktail yang tersisa setengah. "Kamu mau menipu saya?"
Bibir Lavina menganga, jelas tadi dia mendengar bahwa lelaki itu memesan segelas mocktail. Bahkan saat di counter, dia sempat mendapati Reiki meracik minuman itu. Tidak mungkin pula Lavina salah mendengar pesanan tamunya. Dia sendiri yang mengulangi pesanan tamu yang dibalas anggukan.
"Maaf, tadi Bapak pesan mocktail vanilla barry freeze. Di menu memang tidak ada keterangan bahwa minuman itu beralkohol."
"Anda tidak menjelaskan hal itu tadi!" seru si lelaki dengan suara semakin keras membuat mereka berdua semakin menjadi pusat perhatian.
Jika dia bisa, Lavina mungkin sudah menampar bibir tebal yang sudah seenaknya menuduh dirinya tidak menjelaskan daftar menu. Gadis itu sudah melalukan sesuai prosedur, menjelaskan menu rekomendasi dan menu minuman baik yang beralkohol atau tidak. Mungkin otak si tamu perlu dibenahi agar bisa mengingat apa yang telah orang lain lakukan sebelum melampiaskan amarah tanpa alasan.
"Saya sudah menjelaskan, Pak," jawab Lavina setenang mungkin walau hatinya sudah membara.
"Budek kamu ya!" ejek si lelaki. "Dibilangin malah ngeyel!"
Hilang sudah kesabaran Lavina. Sontak tangan kanannya meraih gelas cocktail dan menyiramkannya ke wajah si lelaki seraya berseru, "Bapak yang ngenyel!"
Aksi itu mendapat jeritan di sekeliling Lavina. Beberapa orang membela sikap sang bartender namun sebagian besar justru menyalahkannya. Sejelek apa pun ucapan tamu, tidak semestinya pelayanan bar seperti itu. Tapi, Lavina sudah tidak peduli lagi dengan etika pelayanan jika ada seseorang yang seenaknya menuduh. Dadanya bergemuruh usai melampiaskan kekesalannya dengan puas.
Lelaki itu tidak terima, lantas dia berdiri seraya melayangkan tangan kanan hendak membalas Lavina. Namun, tangan itu tertahan di udara kala seseorang tiba-tiba mencengkeram erat.
"Reiki!" seru Lavina.
"Jika komplain, silakan ke saya," ucap Reiki. "Saya yang membuatkan minuman Anda."
"Saya pesan—“
"Saya bisa mendengar bahwa Anda pesan mocktail bukan cocktail, Pak," jelas Reiki. "Jika Anda memang beradab, bukankah Anda tahu cara komplain dan memperlakukan seorang perempuan?"
Nyali si tamu seketika menciut, dia berusaha melepaskan diri namun tenaga Reiki terlalu kuat. Yang ada, Reiki seperti sedang menghentikan aliran darah lelaki itu dan meremukkan tulang-tulangnya perlahan.
"Sa-sakit, cuk!"
"Stop Reiki!" lerai Gyan di belakang Reiki.
Seperti mendapat perintah, Reiki melepas cengkeraman tangannya di pergelangan tangan lelaki itu. Kemudian dia berbalik dan menatap Gyan dengan sinis. "Saya hanya membela Lavina, Mas, apa saya salah?" tanyanya. "Kamu enggak apa-apa, Lavina?"
Yang ditanya hanya terpaku seraya menggeleng lemah. Entah harus takjub dengan sikap pahlawan Reiki atau justru takut karena sorot mata lelaki itu berubah tajam seperti sedang mencabik-cabik tubuh.
"Kamu tahu prosedurnya, bukan asal main hakim," tukas Gyan. "Apalagi sampai membuat kericuhan. Kamu pikir kamu siapa? "
Reiki berjalan mendekati Gyan, menaikkan sudut bibirnya tanpa rasa takut. Mendadak, aura di sekitarnya terasa begitu panas dan membuat Lavina sedikit merinding. Dua lelaki itu saling menatap lurus sementara Gyan mengetatkan rahangnya lalu mengalihkan pandangan ke arah si tamu dan berkata, "Maaf atas ketidaknyamanannya. Kami akan mengganti minuman Anda, Pak."
"Saya sudah tidak mood untuk minum! Pelayanan di sini buruk, terutama dia!" tunjuk lelaki itu pada Lavina.
"Lavina tidak salah, Mas," bela Reiki.
"Saya tidak mau membuat runyam," balas Gyan," sudah kamu buat saja minumannya."
"Kami akan antar minuman pengganti ke kamar Anda, Pak," kata Gyan lalu menatap Lavina. "Kamu ikut saya!"
Bab 15
Memandang jalanan dari lantai paling atas hotel memang menjadi hal berkesan di hati Lavina semenjak kerja. Semilir angin yang terasa panas menjelang musim hujan ini, membuat hati dan pikirannya semakin terbakar. Netra lentik itu menerawang jauh kendaraan yang lalu lalang seperti berusaha melawan sengatan matahari yang bisa menguras habis kesabaran.
Seraya meneguk mineral dingin untuk meredam emosi, Lavina mengembuskan napas. Diraih sebungkus roti isi selai stroberi yang dibeli dari minimarket dan melahapnya puas. Benak gadis berkulit putih itu berkecamuk, tentang sikap tidak terkontrol dan tentang ucapan Gyan yang mulai mengusik ketenangan.
"Bisa enggak sih kamu kerja yang bener? Sekali saja, Lavina! Saya sudah bosan harus menghadapi sikapmu yang seperti ini!" seru si captain di ruang head bar. "Fel, lebih baik terusin ke Pak Satria sana! Apa enggak ada kualifikasi bartender yang lebih baik apa!"
Felicia menggeleng-gelengkan kepala, menyuruh Gyan untuk keluar agar mendinginkan emosi yang meledak. Kemudian, meminta Lavina untuk duduk di kursi dan berbicara mengenai kejadian tak mengenakkan hingga berujung penyiraman minuman ke salah satu tamu.
"... saya memang salah, Mbak. Tapi, saya merasa apa yang saya catat adalah benar. Saya bekerja dengan tulus, tapi kalau ada yang berusaha menyalahkan maka saya tidak bisa diam," jujur Lavina kepada Felicia dengan mata berkaca-kaca. "Jika kehadiran saya di sini membuat masalah, kenapa kalian tidak menghentikan saya saja?"
"Bukankah kamu ingin membuktikan diri? Apa kamu akan menyerah begitu saja?" tanya Felicia memandang lurus ke arah Lavina yang kini menundukkan wajah seraya menggigit bibir bawah. "Waktumu hanya tiga bulan sebelum pihak manager hotel menghentikanmu, Lavina. Jika kamu ingin keluar dari sini, maka jangan keluar dengan kepala tertunduk. Kamu paham kan?"
"Boro-boro keluar dengan bangga, tiap hari aja bikin ricuh," gumam Lavina pada diri sendiri.
"Hei."
Lavina memutar kepala, mendapati Reiki yang datang dengan membawakan dua nasi kotak berlabel hotel. Dia mendekati dan memberikan salah satu jatah makan siang karyawan seraya tersenyum tipis, kemudian duduk di samping kanan gadis itu. Bibir berpulas lipstik pink Lavina mengulum senyum lantas menerima kotak itu dalam diam.
"Aku kira kamu nonton film horor sambil nangis lagi," ucap Reiki. "Makan dulu sana. Perut harus terisi daripada kosong bikin tambah emosi."
Dibuka kotak makan siang yang berisi seporsi nasi dengan sayur capcay, ayam mentega, tempe goreng, dan sambal. Tak lupa pula sepotong buah semangka sebagai pencuci mulut yang cocok di kala akhir musim kemarau yang cenderung panas ini.
"Maaf ya, Rei," ucap Lavina lirih seraya menyendok nasi. "Maaf bikin kamu terlibat masalah."
"Enggak apa-apa. Aku juga salah kok sama Mas Gyan, kayak enggak sopan ke dia," tukas Reiki melahap capcay. "Wah, masakannya si mermaid man emang enak."
"Siapa?" tanya Lavina sambil mengunyah makanan.
"Tuh, si Arial anak resto. Kamu tahu enggak? Pimpinan dia juga galak kayak Mas Gyan, namanya Mas Airlangga," kata Reiki. "Setiap bagian di hotel ini selalu ada orang yang berusaha perfeksionis, Lavina. Dan kita harus menyeimbangi mereka. To be perfect for ourselves."
"Oh, iya, aku pernah dengar nama itu. Dan ada anak yang juga sering bikin masalah kayak aku," ucap Lavina mengejek dirinya sendiri. "Apa setiap bagian di sini ada anak pembawa sial? Apa aku perlu mandi kembang sama ruqyah biar enggak apes terus?"
Lelaki berwajah tampan itu terkekeh dan refleks mencubit pipi Lavina saking gemesnya. "Kamu lucu."
"Tapi pembawa masalah," lanjut Lavina.
"Sepulang shift, aku bisa ajarin kamu kok. Nanti aku minta ijin ke Mbak Felicia buat pinjam beberapa alat."
Seketika Lavina mengangguk kesenangan dan memeluk lengan kiri Reiki. Kombinasi aroma musk, Melati, dan kayu cendana menggoda indera penciuman Lavina. Diam-diam dia merekam bau tubuh lelaki baik itu untuk menjadi salah satu aroma yang akan disukainya.
"Makasih ya," ucapnya dengan pipi merona.
###
Sesuai janji, Reiki dan Lavina memilih berlatih di ruang karyawan setelah ijin ke head bar untuk meminjam alat bartending. Di atas sofa ruangan itu, Lavina diajarkan cara memegang jigger dan shaker yang mantap beserta trik yang biasanya digunakan oleh bartender seperti Vlad Flix yang sudah melalang buana.
Tanpa mereka berdua sadari, sepasang mata menatap mereka dengan tak suka. Mengepalkan kedua tangan erat dengan rahang mengetat kuat. Garis bibirnya terkatup rapat seolah ingin memaki dua manusia yang terlihat seperti merajut Asmara. Sedetik kemudian, sudut kanan bibirnya naik ke atas mendapatkan sebuah ide.
Bab 16
Dua insan yang masih bergelut dengan alat-alat bartending di ruang karyawan, seperti terlena hingga lupa waktu bahwa jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dibandingkan dengan si Angry bird, Reiki lebih sabar mengajari Lavina. Tak segan pula, lelaki manis itu memberitahu cara memegang shaker dan memberikan beberapa trik. Mereka juga berdiskusi masalah beberapa resep cocktail maupun impian untuk menjadi seorang mixologyst atau membuka sebuah bar sendiri.
Hati yang tidak pernah berdebar-debar itu kini memandang lurus ke arah garis wajah Reiki yang sedang menunjukkan sebuah buku bartending berjudul The art of mixology. Sesekali bibir yang kemerahan milik Reiki menyunggingkan seulas senyum tipis membuat Lavina ingin sekali meraba dengan jemari lentiknya.
Merasa diperhatikan, Reiki menoleh kemudian menjentikkan jemarinya tepat di depan wajah Lavina. Seketika gadis itu terperanjat kaget seraya berkata, "Hah! A-apa? Ada apa?"
"Kamu capek?"
Lavina menggeleng keras. "Maklum jiwa kesepianku meronta kalau lihat orang ganteng," tuturnya. "Kita lanjut besok yuk, Rei, enggak kerasa udah jadi beban D'amore sejak tadi sore."
Reiki melihat jam di dinding sisi kiri. "Ah, iya. Rumah kamu di mana? Jauh enggak dari sini?"
"Deket, daerah pasar Giwangan."
Reiki menganggukkan kepala seraya membawa buku untuk dikembalikan ke ruang head bar. Melihat lelaki bak malaikat itu kesulitan, Lavina beranjak dan membereskan alat bartending. Dia tersenyum lebar dengan melempar kerlingan mata ke arah Reiki membuat lelaki itu tertegun seketika.
Dibuka pintu ruang karyawan, bar masih saja ramai walau ini bukanlah hari weekend. Netra cokelat dengan bulu mata lentik itu mengedarkan pandangan lalu berhenti ke arah bartender yang sibuk meracik minuman sesekali bercengkerama dengan tamu. Ada rasa iri dalam hati Lavina melihat ekspresi para tamu yang begitu puas dengan pelayanan terutama racikan minuman.
Sedangkan dirinya, baru satu kali mendapat pujian selebihnya deretan omelan yang menerpa baik dari tamu maupun dari atasan. Lavina menggeleng berusaha menguatkan diri bahwa dia bisa melewati fase masa percobaan seperti yang dikatakan Felicia. Jikalau dia harus dikeluarkan oleh pihak manajer hotel, dia tidak boleh resign dengan kepala tertunduk akibat menanggung malu.
Lavina bergegas menuju dapur untuk mencuci alat bartending. Mendadak langkahnya terhenti melihat sosok Gyan yang sedang sibuk mencuci gelas.
"Kenapa dia sering lembur sih?" gumam Lavina terlalu malas jika harus bertemu dengan sosok menyebalkan.
"Saya lembur karena tahu diri bahwa bar ini sedang ramai, bukannya berdiam diri di ruang karyawan dengan motif belajar bartending," sahut Gyan tanpa menoleh.
Lavina menyeret kaki berbalut Vans mendekati wastafel sambil menggerutu bahwa Gyan terang-terangan menyindirnya. "Saya kerja salah, saya latihan salah. Ya udah saya pulang aja deh daripada bikin Pak Gyan darah tinggi."
Sebelum Lavina pergi, Gyan menarik lengan kiri gadis ceriwis itu hingga tak sengaja membawanya ke dalam dekapan. Untuk beberapa saat, mereka saling mengunci pandangan mata berbarengan dengan irama yang bertalu-talu menggema di ruang pembersihan gelas. Otak Lavina yang biasanya suka memaki atasannya dalam hati, kini terhipnotis sampai-sampai tidak ada rangkaian kata yang pas untuk menjelaskan keadaan canggung itu.
Sosok si Angry bird begitu menjulang tinggi, Lavina hanya sebatas pundaknya saja. Dari dekat, dada bidang Gyan begitu bidang seolah tempat itu menjadi sangat nyaman untuk menjadi sandaran. Belum lagi aroma tubuh woody bercampur citrus tercium di hidung lancipnya.
"Kamu kenapa senyum-senyum?" tanya Gyan membuyarkan fantasi Lavina.
Bab 17
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Gyan seraya melepas pegangan tangannya di lengan Lavina.
"Lah, Pak Gyan kenapa tiba-tiba narik dan peluk saya?" balas Lavina enggan menatap iris mata sipit itu, debaran di dada Lavina tidak normal seperti habis dikejar setan.
Yang ditanya malah kikuk, meninggalkan Lavina begitu saja. Namun, Gyan berbalik ketika berada di ujung pintu masuk dapur seraya berkata, "Jangan terlalu sering berinteraksi dengan Reiki."
Sebelum Lavina mengeluarkan kalimat, lelaki julid itu pergi lagi meninggalkan jutaan pertanyaan di kepala. Dia bertanya-tanya dalam hati seraya mencuci alat-alat bartending, apakah si Angry bird dan Reiki memiliki suatu hubungan tertentu di masa lalu. Berbagai pikiran negatif mulai menggerayangi pikiran kotor Lavina. Tidak mungkin pula jika Gyan sedikit belok, mengingat isu penyuka sesama jenis juga menerpa kepala barista.
Kenapa di hotel ini cowoknya pada aneh sih? Pak Daniel kata si Anin rada belok, masa Pak Gyan juga?
Bulu kuduk Lavina meremang seketika, berusaha menepis tapi ucapan Gyan selalu membuatnya berpikiran yang aneh-aneh. Aroma bunga melati mendadak muncul saat Lavina menggantung alat bartending ke rak. Dia merasa Vega berdiri di belakangnya sambil cekikikan terkikik. Diabaikan hantu kurang kerjaan itu, tubuhnya sudah begitu lelah dan butuh tidur, apalagi besok dia harus berangkat kerja lagi.
Beberapa saat bibirnya tertarik ke atas, tak sabar menunggu hari Jumat sebagai hari libur kerja dan berencana untuk mengajak Reiki jalan-jalan di sekitar Malioboro. Sementara Vega yang menguntit Lavina dari belakang, mendecih melihat kebersamaan si gadis ceroboh dengan Reiki. Bahkan dia tidak setuju jika Lavina jatuh di pelukan lelaki berahang tegas itu. Ada sesuatu yang mengganjal hati Vega namun tak tahu apa.
"Rei!" teriak Lavina saat berpapasan dengan Reiki di parkiran karyawan. "Kukira udah pulang."
Reiki yang sedang asyik merokok itu menjatuhkan putung tembakau ke tanah. Menginjaknya dengan sekali hentakan kaki. "Aku nunggu kamu. Lagian jam segini enggak baik perempuan pulang sendiri."
"Halah, modusmu," bisik Vega yang bisa didengar Lavina.
Gadis itu menoleh sambil mendecih. "Kowe lapo melu aku? Panggonmu gudu nang kene."
(Kamu ngapain ikut aku? Tempatmu bukan di sini.)
"Lavina?" panggil Reiki yang melihat Lavina berbicara berbisik-bisik. "Kamu--"
"Bukan apa-apa!" potong Lavina seraya menghidupkan mesin motornya. "Ndang bali kunu!" bisiknya pada Vega kemudian menghilang entah ke mana.
(Cepat kembali sana!)
Lavina memutar setir motor melaju membelah jalanan diikuti Reiki dari belakang. Tanpa disadari, Vega membuntuti Lavina dengan duduk di belakang jok motor Reiki seraya menatap penuh kesal. Hatinya tiba-tiba bergejolak tiap kali Reiki berdekatan dengan seorang perempuan. Sebagai makhluk tak kasat mata yang memiliki komunikasi terbatas pada beberapa manusia tertentu, Vega hanya bisa menyalurkan energi negatif yang membuat sekelilingnya merinding.
"Ini kenapa sih?" gumam Reiki merasa ada seseorang yang menatapnya tajam.
Butuh waktu sampai dua puluh menit untuk sampai ke rumah Lavina dengan pagar bercat hitam dan dinding bercat cokelat muda. Dua dewasa muda itu menghentikan motor. Lavina melepas helmnya dan menghampiri Reiki seraya berkata, "Masuk dulu apa gimana?"
Ingin sekali lelaki itu mampir sejenak untuk melepas dahaga namun rasa lelah dan kantuk mendadak menjalari tubuh. Dia menggeleng pelan seraya tersenyum tipis.
"Kapan-kapan aja, enggak enak juga bertamu malam-malam. Sungkan sama bapak-ibu."
"Mereka udah meninggal kok," timpal Lavina membuat bibir Reiki menganga sejenak.
"Ah, maaf, Lavina."
Lavina mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Enggak apa-apa. Ya udah kalau kamu pulang, hati-hati di jalan."
Reiki mengangguk lalu kembali menyalakan mesin motor trail hijau neon itu.
"Kirim pesan Whatsapp kalau udah sampai," pesan Lavina yang dibalas anggukan, kemudian lelaki itu melaju cepat hingga hilang dari pandangan.
###
Bunyi alarm dengan lagu love so fine dari Cha Eunwoo berbunyi nyaring. Jemari lentik itu meraba-raba kasur dengan mata yang tetap terpejam. Lantas, mematikan alarm untuk kembali melanjutkan tidur setidaknya sampai lima belas menit nanti.
Namun, keningnya mengerut merasakan ada seseorang yang sedang mengawasinya. Dia berusaha membuka mata yang begitu berat setelah dibuai mimpi indah. Iris matanya samar-samar menangkap sesuatu yang berada di atasnya sedang mengawasi dengan rambut menjuntai ke bawah. Perlahan tapi pasti, pandangannya semakin lama semakin jelas hingga detik berikutnya tanpa sadar Lavina melempar bantal.
"Vega kampret!" pekik Lavina saat sosok hantu kurang kerjaan itu membuntutinya sampai ke kamar.
Bab 18
Guyuran air selain menyegarkan badan juga membuat kedua mata yang ingin terpejam itu, terjaga kembali. Namun, beberapa saat gadis berambut sebahu itu merasakan pedih di bagian kedua lengan. Seketika, dia membelalakkan matanya kaget mendapati ada bekas cakaran tipis yang melintang cukup panjang.
Mungkin ini terdengar gila, tapi Lavina percaya bahwa mereka yang tak kasat mata kadang bisa berkontak langsung dengan cara berbeda. Mengingat salah satu Youtuber yang sering menelusuri tempat angker dan menemukan salah satu narasumber mengalami hal sama. Lavina mendengus kesal tak sabar memarahi Vega saat di hotel nanti. Bahkan dia sudah menyiapkan beberapa doa agar hantu kurang kerjaan itu bisa merasakan yang namanya sakit.
Tak sempat sarapan, Lavina bergegas pergi ke tempat kerja dengan mengenakan baju seragam bartender. Jaket jeans biru kebanggaan serta alat-alat pelindung diri dari polusi udara dikenakannya. Beberapa saat sebelum menghidupkan mesin motor, ponselnya berdering. Nama kontak Reiki dengan bunga matahari di sebelahnya memunculkan senyum manis di bibir Lavina. Digeser ikon hijau lalu mendengar suara lelaki bak malaikat itu terdengar menyapa.
"Kamu sudah berangkat?"
"Ini mau otw, kenapa?"
"Enggak apa-apa, cuma tanya aja. Aku masuk shift siang, nanti makan bareng yuk di rooftop," ajak Reiki.
"Boleh. Ya udah ya, aku mau berangkat daripada terlambat," pamit Lavina kemudian memutus sambungan telepon.
###
"Nanti kita bakal kedatangan Bu Freya, Pak Satria, serta panitia penyelenggara kompetisi bartender bulan Desember nanti untuk melihat fasilitas dan kesiapan kita," jelas Gyan saat briefing sebelum bar dibuka. "Saya harap kalian bisa menunjukkan kerja keras kalian. Buktikan bahwa hotel kita, khususnya D'amore Bar memiliki bartender handal."
Sorot tajam itu beralih ke arah Lavina yang berdiri di barisan belakang. Pandangan mereka berdua bertemu namun dari isyarat lelaki berambut pendek itu, Lavina bisa merasakan sindiran halus.
"Dari kita siapa yang ikut kompetisi?" tanya Gyan.
Ada sekitar lima orang yang unjuk tangan termasuk Lavina yang berpartisipasi dalam ajang tahunan. Gyan mengedarkan pandangan dan menilai bahwa bartender yang mendaftar lomba cukup bisa diandalkan, kecuali gadis berlesung pipi. Dia yakin bahwa Lavina akan gugur di babak pertama melihat kemampuannya yang begitu buruk.
"Bagi yang ikut kompetisi, saya ucapkan selamat berjuang sampai final. Jangan lupa selalu belajar dan berlatih trik-trik bartending. Minuman yang kalian buat adalah cerminan diri kalian," titah Gyan.
"Siap, Pak!" seru karyawan D'amore Bar.
Usai mendapat ceramah singkat itu, Lavina segera menyiapkan diri untuk membersihkan counter atau bagian yang belum dibersihkan oleh cleaning service. Tak lupa pula menyiapkan gelas, es batu, condiment, potato chips, peanuts, hingga welcome drink untuk tamu VIP yang akan datang nanti.
"Lavina," panggil Gyan saat gadis itu sedang menyiapkan fresh lime juice.
"Iya, Pak?"
"Kamu ikut saya ke gudang," pinta Gyan yang membawa sebuah buku di tangan kirinya.
Lavina mengangguk lalu menyuruh salah satu temannya agar menggantikan dirinya menyiapkan garnish. Kemudian, dia mencuci tangan di wastafel dengan cepat. Mengekori langkah panjang Gyan dari belakang menuju gudang yang bersebelahan dengan ruang karyawan.
Gudang supply barang ini terdiri dari beberapa rak dan lemari kaca dengan dinding bercat putih bersih. Ada satu meja kerja dengan beberapa buku pelaporan barang habis dan kadaluwarsa. Di sini, suhu ruangannya pun diatur sedemikian rupa dengan pencahayaan yang cukup untuk menjaga kualitas minuman yang disimpan. Sementara itu, Gyan berjalan ke salah satu rak penyimpanan botol minuman wine dan meraih sebotol red wine Pio Cesare 2017.
"Wow, itu kan mahal," sahut Lavina.
"Kamu suka?" tanya Gyan lalu berjalan untuk mencari brandy di etalase lain.
Lavina menggeleng pelan. "Rasanya aneh. Tembakau dan taninnya menurut saya terlalu kuat dibandingkan cokelat dan vanila. Bagi orang yang tidak suka manis, mungkin suka. Tapi saya akan skip wine itu."
"Kamu pintar juga," puji Gyan.
"Saya emang pintar, Pak Gyan aja yang selalu melihat sisi negatif saya," sindir Lavina merajuk.
"Saya belum percaya jika kamu belum mendalami seluruh merk minuman, Lavina," kata Gyan, "jadi, gimana jika Jum'at ini kita ke beberapa bar? Kebetulan saya sedang libur."
"Bapak mau modusin saya, ya?" tebak Lavina mengambil sebotol brandy yang ditunjuk Gyan. "Saya udah kebal sama modus cowok, Pak."
"Yang mau modus itu siapa? Kalau enggak mau ya sudah, toh yang ikut kompetisi lebih berpengalaman dari kamu," ujar Gyan mempercepat langkahnya ke arah meja kerja.
"Pak! Saya mau!" seru Lavina menimbulkan senyum tipis di bibir Gyan.
Bab 19
Seperti yang dijanjikan sebelumnya, Reiki menyempatkan diri untuk makan siang bersama di rooftop sebelum jam kerjanya dimulai. Hingga anak-anak di restoran D'amore hapal betul dengan kedatangan dua insan yang dirasa cocok untuk menjadi sepasang kekasih.
Mengabaikan siulan jahil para karyawan berseragam chef itu, Lavina banyak bercerita tentang kedatangan para panitia kompetisi termasuk petinggi hotel. Dan baru kali pertama dia bisa bertemu dengan kepala F&B yang selalu disebut-sebut Gyan ketika membuat masalah. Namun, yang paling menakutkan ketika bertatapan langsung dengan Freya--perempuan yang dikenal galak yang baru menjabat sebagai General Manager.
"... ini pertama kali sih, hotel kita ditunjuk sebagai tempat diselenggarakan kompetisi. Padahal anak-anak juga tahu kalau sistem manajemen di sini masih amburadul," kata Reiki seraya menyendok menu nasi dengan udang asam manis yang terasa begitu lezat di lidah.
"Kalau amburadul kenapa kamu masih betah?" tanya Lavina.
"Cari kerja susah, Lavina," jawab Reiki memandang lurus Netra cokelat itu. Kemudian mendapati sebiji nasi yang menempel di sudut bibir Lavina. Reiki mengambil tisu, "Maaf." Diambil biji nasi itu membuat Lavina sedikit terkejut.
Darah di seluruh tubuh Lavina mendadak berdesir cepat. Pipinya berubah merah merona, tak berani memandang balik lawan bicaranya. Jika terus-menerus mendapat perlakukan manis dari Reiki, bisa jadi Lavina akan menderita diabetes akut.
"Besok kamu ada acara ke mana?" tanya Reiki. "Ke Malioboro yuk."
"Yah, maaf, Rei," tukas Lavina lesu. "Kamu kurang gercep."
Reiki meneguk air mineral dalam tumbler hitam, mengerutkan kening mendapat respon dari gadis manis itu. "Kenapa? Ada yang--"
"Pak Gyan besok ngajak aku jalan," sela Lavina.
"Tumben? Mas Gyan jarang ngajak cewek," timpal Reiki. "Kenapa dan ke mana dia ngajak kamu?"
Sebelum Lavina menjawab, dering ponselnya berbunyi. Nama kontak Angry Bird muncul di layar ponsel berbalut case hijau muda. Dia mendengkus seraya menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan si captain bar.
"Di mana? Udah jam berapa ini?"
Refleks Lavina melirik jam di tangan kiri. "Masih ada sisa lima belas menit, Pak. Bapak takut saya ilang?"
"Cepat balik, kita sibuk hari ini!"
Tampak dari kejauhan dan tidak disadari oleh keduanya. Gyan memutus sambungan telepon secara sepihak. Bisa dilihat wajah Lavina yang menahan kesal dengan sikap dingin Gyan yang selalu ditujukan ke semua orang.
Rumor kedekatan Lavina dan Reiki dari restoran yang dipimpin oleh Airlangga itu sampai masuk ke telinganya. Bukannya iri, melainkan Gyan tidak suka jika ada perempuan yang terlena dalam pesona Reiki. Mengapa kaum hawa begitu mudah masuk dalam jebakan yang dipasang oleh lelaki bertindik itu.
Gyan dengan lirikan tajamnya bergegas pergi meninggalkan restoran untuk kembali ke bar sebelum Lavina menyadari bahwa dia mengikuti gadis itu diam-diam.
###
Ditatap dirinya yang mengenakan kaus abu-abu polos dipadu dengan kemeja flanel oversize serta celana jeans high waist. Polesan make up tipis dengan lip cream pink hint oranye menambah kesan segar di wajah. Rambut sebahu yang tebal itu dia ikat tinggi, membiarkan poni menutupi dahinya.
“Ada Gyan tek kotek tek kotek dipinggir kali, tek kotek tek kotek ... lagi manyun, tek kotek tek kotek ...” Lavina berdendang sambil menyemprotkan parfum beraroma fruity ke belakang telinga, leher, dan pergelangan tangan. Setelah itu, diambil tas sling bag hitam kemudian keluar untuk menemui Angry bird di salah satu bar yang telah dijanjikan.
Ada sedikit kekesalan di hati Lavina, kenapa pula Gyan tidak menjemput layaknya lelaki lain. Tapi, mau bagaimana lagi, Gyan tipikal pria yang sepertinya tidak bisa diajak santai. Sifat keras kepalanya juga tidak dapat Lavina kalahkan begitu saja. Akhirnya, Lavina secara mandiri berangkat bersama motor kesayangan daripada terlibat dalam perang dunia ketiga.
Untungnya bar yang dituju tidak terlalu jauh. Hanya butuh sekitar lima belas menit dari perkampungan daerah Pasar Giwangan. Dari hotel pun, bara itu berjarak sekitar tiga ratus meter untuk sampai ke jalan Demangan Baru.
Jalanan selalu macet seperti biasa apalagi weekend seperti ini. Tapi tak menyurutkan semangat Lavina untuk mempelajari hal baru sesuai yang dijanjikan Gyan. Sampailah dia di sebuah bar bernama Cubic Kitchen & Bar berkonsep Industrial yang langsung terasa. Catnya dominan hitam pekat, penerangannya menambah kesan hangat, ditambah dinding kaca serta kursi berkaki tinggi menghadap jalanan serta suara live music terdengar jelas.
Lavina disambut seorang petugas yang memintanya menunjukkan kartu identitas, bersamaan dengan Gyan yang keluar dari pintu berpapasan dengan Lavina. Seperti terhipnotis, Gyan berdiri terpaku begitu saja memandang wajah berpipi sedikit chubby seolah waktu di sekitarnya berhenti, menyisakan mereka berdua.
"Saya sepertinya salah kostum," timpal Gyan membandingkan outfit-nya dengan Lavina yang terlihat begitu santai ketimbang gaya formal.
Bab 20
"Enggak apa-apa, walau pake kolor pun Pak Gyan masih cakep," ceplos Lavina, "meski galak."
"Apa!" seru Gyan yang dibalas gelengan kepala Lavina.
Gadis itu menyelusup jauh ke area Cubic Kitchen & Bar yang ternyata tidak terlalu luas, namun pas untuk ukuran sebuah tempat minum. Interiornya cukup unik, kursi bar dengan empat kaki yang menahan beban tubuh dan meja bercat hitam ditata sedemikian rupa. Dindingnya dominasi cokelat kayu, namun salah satu dindingnya sengaja dicat putih dengan motif geometri. Lampu-lampu bohlam menyala berwarna kuning memberikan kesan hangat, di sisi dinding kaca terdapat kap lampu berbentuk kerangka kubus hitam.
Di sisi kiri, ada sebuah tangga menuju lantai dua yang terdengar suara musik yang cukup kencang di telinga. Gyan melewati Lavina seraya melambaikan tangan ke salah satu lelaki berkaus polo hitam dengan celana jeans senada. Wajah lelaki itu lonjong dengan kumis tipis yang menghiasi bawah hidung, sementara tangan kirinya terdapat sebuah tato ukiran nama.
"Yo opo kabare? Kowe ora tau dolan mrene," ucap lelaki itu.
(Gimana kabarnya? Kamu tidak pernah main ke sini.)
"Sibuk aku," jawab Gyan.
"Alasanmu pancet ae, Ko," timpal temannya. "Sopo cah iku? Pacarmu?"
(Siapa anak itu?)
"Lavina," panggil Gyan tanpa menjawab pertanyaan temannya. "Kenalin, Irvan."
Lavina menjabat tangan lelaki yang sedikit pendek dari Gyan seraya melempar senyum.
"Gyan ngajak cewek itu lang—“
Seketika Gyan merangkul leher Irvan agar tidak melanjutkan perkataan lelaki yang bermulut ember itu. Irvan terbatuk-batuk sedangkan Lavina justru tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Setelah memohon, barulah Gyan mau melepaskan rangkulannya dan menunjuk counter bar yang cukup ramai untuk duduk bersama.
Lavina menurut mengekori Gyan dari belakang layaknya anak kucing. Dia mendudukkan diri di atas kursi bar, di sisi kirinya Gyan yang langsung dilayani oleh Irvan. Tanpa mengatakan pesanan, Irvan langsung meracik dua minuman dengan begitu lihai membuat Lavina terpana.
"Irvan itu dulunya kerja di D'amore," kata Gyan membuka pembicaraan seolah tahu apa yang ada di pikiran Lavina. "Terus dia kerja di sini hampir setahun. Dia teman baik saya."
"Oh ... kalau Reiki?" tanya Lavina membuat bibir Gyan tercengang. "Kenapa saya merasa kalian berdua berhubungan dekat tapi saling benci? Bapak enggak belok-belok kayak rumor Pak Daniel itu kan?"
Lelaki itu terkekeh mendengar pernyataan Lavina yang tidak masuk akal. Tentu saja dia masih normal walau gosip head barista D'amore sudah menyebar luas entah ulah siapa. Sebelum menimpali kalimat gadis yang terlihat manis malam ini, Irvan menyodorkan dua minuman cocktail yang dihias dengan kulit jeruk.
"Silakan dicoba dan ditebak," kata Irvan memandang Lavina kemudian mengerlingkan sebelah mata. "Ini permintaan Gyan loh!"
"Serius, Mas?" Lavina tertawa sambil mencium aroma cocktail dan mengira-ngira apa saja yang diracik. Lantas disesapnya sedikit sambil mengingat kembali apa yang dulu dia dapatkan di pelatihan.
"Kenapa kamu manggil Irvan dengan sebutan Mas, sedangkan saya tidak?" tanya Gyan tiba-tiba membuyarkan konsentrasi Lavina.
Gadis itu mengernyitkan alis beberapa saat ketika Gyan menelengkan kepala dan menopang wajah berahang tegas itu dengan kepalan tangan kiri.
"Lah, Pak Gyan kan—“
"Saya sama Irvan sebaya," potongnya seolah tidak terima.
"Emang saya salah ya, Pak," kata Lavina.
Gyan mengangkat kedua bahunya kemudian menyesap cocktail itu. "Gimana komentar kamu? Coba tebak, basic spiritnya apa?"
Lavina meneguk minuman itu lagi. "Ini manis cranberry, sedikit asam ... perasan jeruk nipis, tapi enggak strong di lidah. Kayaknya non-alkohol ya, Pak?"
"Masa? Memang hampir mirip, tapi rasa manisnya bukan hanya dari cranberry," kata Gyan lalu beralih pada Irvan. "Vodka?"
"Bener, kowe."
"Wuih, kok bisa? Wah, Pak Gyan pinter!" puji Lavina kagum. "Enggak salah kalau sering marah."
Irvan yang mendengar ucapan Lavina langsung tertawa terpingkal-pingkal. "Dia dari dulu seperti itu. Galak. Makane sampe ora duwe pacar!"
(Makanya sampai enggak punya pacar.)
"Lambemu!" sungut Gyan. "Buat satu lagi," pintanya yang disusul sebuah panggilan ponsel.
Mami.
"Tumben," gumam Gyan memandang layar ponselnya kemudian menjawab panggilan itu. "Ada apa, Mi? Masih di luar nih!"
"Ko, kamu enggak pulang ta natalan ini?"
"Enggak bisa, kalau pun bisa paling ya akhir tahun baru pulang. Emang kenapa?"
"Ini loh, kamu mau tak kenalin sama anaknya temen Mami. Gelem ta?"
"Ya Tuhan, Mami," ucap Gyan melirik sejenak Lavina yang fokus ke atraksi Irvan. "Enggak mau ah, dikiro bujang gak payu."
(Dikira bujang tidak laku.)
"Saya ke kamar mandi dulu, Pak," pamit Lavina seraya memegang lengan Gyan. "Perut saya sakit."
"Suara siapa itu, Ko?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
