Sealed With A Kiss VOL 1

8
0
Deskripsi

Hidup selalu berubah seperti roda yang berputar tanpa henti layaknya perjalanan Elizabeth Khan usai bertemu dengan pengusaha kaya, Alexandre Jhonson. Sayang, seseorang di masa lalu Elizabeth kembali datang untuk mengintai dan meminta apa yang dulu dia beri.

🔞Mature content!

Prolog

Jacksonville, Florida
March, 2003

Aku ingin normal seperti anak-anak lain. Menikmati masa kecil dengan lelaki yang menyayangi tanpa pamrih. Bukannya merenggut yang tak seharusnya direnggut terutama saat dia melabeli diri sebagai seorang ayah walaupun hanyalah keluarga sambung. Merusak kepercayaan yang telah dibangun setelah kepergian George.

Menyisakan sebuah luka di leher menjadi mimpi buruk sepanjang hidup. Kini setiap kali bercermin, aku merasa tidak berguna dan kotor sebagai manusia. Luka itu saksi bisu sekaligus rahasia terbesar yang harus dipendam sampai dewasa nanti. 

Kini aku duduk merangkul lutut di ruang bermain, mengabaikan tumpukan buku cerita dan beberapa mainan di depanku. Berbekal secuil kenangan bersama George terutama di musim panas. Bibir tipis yang diturunkan George kepadaku mengembang seperti cookies buatan ibu, namun air mataku menetes setiap kali merasakan kehilangannya.

"Lizzie ..." suara lembut memanggilku. 

Aku tak bergerak, memilih berdiam dengan khayalan bersama George. Tapi, saat kulit yang diterpa mesin pendingin ini merasakan sentuhan, otakku bereaksi hebat. Akibatnya, aku menjerit sekencang mungkin bak orang gila. Kilasan malam itu ketika ayah memaksaku melakukan apa yang dia mau kembali menghantui. 

Suara yang seharusnya lembut menenangkan berubah menjadi menyeramkan. Kututup kedua telinga erat-erat dengan tubuh menggigil. Wajah-wajah di depanku berganti dengan wajah ayah yang menyeringai seraya mengacungkan sebilah pisau berkilau yang siap mengiris setiap inci tubuh.

"Hei ... hei ... Nak ... Lizzie ..." suara itu berusaha menarikku dari jurang tapi aku bersikeras karena yang memenuhi kepala hanyalah suara ayah. Aku berlari, memojokkan diri dan membenturkan diri ingin suara itu hilang.

"Lizzie ... ini Ibu, Nak ... "

Ibu?

Aku menyalahkannya. Kenapa pula dia memilih lelaki itu dan memberi kepercayaan untuk menggantikan George. Dia bukanlah Geroge--lelaki penuh kasih sayang seperti Santa. Dia hanyalah monster yang ingin merusak kehidupan anak-anak. 

Pelukan hangat melemahkan semua ketegangan di tubuh. Hangat. Aroma bunga dengan sedikit buah persik sedikit menyadarkan kegilaanku. Itu adalah aroma George. Bau tubuh terakhirnya sebelum dia pergi selamanya. 

Aku menangis, berteriak memanggil George. Aku tidak membutuhkan psikiater melainkan George. Aku juga tidak membutuhkan ibu tapi nyatanya dia sekarang merengkuh dan membelai rambut anak gadisnya yang malang. 

"Lizzie ... ini Ibu, Nak ... kau akan sembuh, oke ..." bisiknya lembut. "Aku ada di sini, Lizzie. Alku tidak akan meninggalkanmu ..."
 

 

BAB 1

"You never know when you gonna meet someone" –Daughtry-

Gainesville, Florida
June, 2016
 


Tarik napas ... embuskan ... tarik napas ... embuskan ...

Apa kalian memiliki ritual khusus di pagi hari? Jika ya, apakah kita memiliki hal yang sama? Kata orang, ini salah satu hal efektif yang bisa membangkitkan aura positif terutama menyambut hari yang paling dibenci orang sedunia. Senin. Yeah, hari di mana aku bukanlah seorang mahasiswa yang bergelut dengan segudang jurnal dan harus berlama-lama di perpustakaan. 

Selain itu, senang rasanya perjalanan hidupku kini berubah lebih baik daripada 14 tahun lalu. Walau harus melewati berbagai duri yang bisa menginfeksi kaki, nyatanya atas usaha ibu dan psikiater kepercayaannya, aku bisa keluar dari lubang hitam itu. Tak perlu memiliki banyak teman untuk bisa menjadi diri sendiri, dikala ada satu perempuan gila yang kini menjadi roommate abadi. 

"Aku Emilia Hall," sapa seorang gadis berambut blonde sambil mengulurkan sebelah tangannya, mendapatiku duduk menyendiri di sudut gedung aula penerimaan mahasiswa baru. "Kenapa kau sendirian? Kenapa tidak bergabung dengan mereka?"

Aku mengangkat kedua bahu tanpa membalas uluran tangan dengan cat kuku merah menyala.

"Kau daftar jurusan apa? Oh ... salah ... siapa namamu?" tanya Emilia antusias tanpa merasa tersinggung atas sikap dinginku padanya. 

"Elizabeth Khan, jurusan manajemen administrasi bisnis."

"Aku jurusan jurnalistik, hebat bukan? Kau akan melihatku di televisi empat tahun lagi, teman," ucap Emilia bangga seperti api unggun yang berkobar di tengah gelapnya hutan. "Bagaimana jika kita menjadi roommate? Aku sudah mendapatkan kamar bagus dan cocok untuk kita berdua. Kau pasti belum mendapatkan kamar 'kan?

Aku menganga bahkan sebelum membalas kalimatnya,  gadis penuh semangat itu sudah menarikku menuju apartemen dekat kampus.

Aku tersenyum sambil memandangi apartemen yang kami tinggali hampir empat tahun lamanya. Meski beda jurusan, dia selalu menghampiriku di kelas saat jam makan siang hanya untuk menanyakan bagaimana kabar atau apakah aku sudah menyelesaikan esai bak kekasih yang menaruh perhatian lebih. Padahal, selama ini aku selalu menanggapinya judes untuk membatasi jarak dengan banyak orang. Namun, perlahan tapi pasti Emilia tak pernah menyerah untuk menunjukkan bahwa dirinya pantas untuk disebut sebagai seorang teman.

"Kau teman yang baik, Em," pujiku ketika dia mengerjakan tugas akhirku yang tertunda akibat demam menyebalkan selama empat hari.

"Itu gunanya memiliki seorang teman, Lizzie. Jika kau butuh apa pun kau bisa panggil wonder woman-mu ini. Tidurlah dan mimpikan aku bersama Robert Pattinson."

"Sinting!"

Jika ditilik, banyak orang yang memanggil kami sebagai pasangan lesbian teromantis. Hell! Walau memiliki trauma masa kecil, aku juga tidak akan menyalahi kodrat yang diberi Tuhan. Hakikatnya perempuan adalah untuk laki-laki, begitu juga sebaliknya. Ibarat kutub negatif bertemu dengan kutub negatif, mereka akan tolak-menolak bukan? Tapi, aku juga tidak ingin menjustifikasi manusia yang memilih untuk menyukai sesama jenis. Kita hidup di negara liberal yang menjunjung kebebasan termasuk masalah seksual walau kadang masalah agama masih menjadi hal yang rasisme. 

Sebaik-baiknya persahabatan kami, ada satu hal yang tidak bisa kuceritakan pada gadis itu. Entah mengapa, rasanya memalukan jika ada orang lain yang tahu bahwa aku adalah korban pelecehan seksual yang mengalami PTSD. Terutama luka sayatan yang berubah menjadi keloid tipis di tulang selangka kiri. Kadang ada ketakutan sendiri, bahwa Emilia akan meninggalkanku dan melabeli diri ini sebagai perempuan pelacur. 

Ah! Kenapa kau berkata seperti itu, Lizzie!

Hari yang sibuk untuk mengemasi barang-barang sebelum pindah ke apartemen baru yang letaknya dekat dengan kantor. Tak afdal jika mengepak barang tanpa mendengarkan alunan musik milik Daughtry yang menjadi favorit semenjak high school. Ciri khas suara Chris sang vokalis dan petikan gitarnya membuatku jatuh cinta pada setiap lagu yang dinyanyikan. Tak berapa lama, gawai yang sedang asyik memutar musik itu berhenti sejenak kala sebuah pesan teks masuk. Kuraih benda kotak yang dibalut case biru, mendapati nama Emilia mengirimi pesan yang cukup panjang. 

From : Emilia 

Minggu pagi aku akan pulang subuh dan langsung ke apartemen baru kita. Bisakah kau mengemasi barangku juga? Tidak banyak yang dikemas, hanya baju di lemari saja yang kau masukkan ke kardus. Sisanya sudah aku kemasi sejak wisuda kemarin. Hehehe...big thanks sista

Setelah membalas pesannya dengan kata 'Ók', giliran panggilan masuk dari ibu. Ah, hariku akan begitu sibuk seperti presiden. 

"Hei, Lizzie. Apa kau sibuk?"

"Well ... lumayan untuk seorang yang akan menjadi karyawan. Apa Ibu benar-benar tidak bisa datang ke apartemen baru di New York? Makan malam misalnya?"

Aku sungguh berharap bahwa ibuku yang super sibuk dengan keluarga barunya bisa menyisihkan waktu sejenak. Bahkan saat wisuda kemarin, dia langsung kembali ke Jacksonville setelah mendapat kabar adik tiriku--Lily--mengalami patah tulang di kaki kanan setelah jatuh dari pohon. Entah alasan apalagi jika ibu menolak permintaan anak tertuanya. 

"Maafkan aku, Sayang."

Sudah kuduga!

"Kau tahu, bahwa adikmu masih perlu menjalani perawatan pasca operasi patah tulang, bukan?Bagaimana jika Daddy-mu yang datang? Aku akan memasak makanan kesukaan kalian seperti hari Natal tahun kemarin."

Yang kuingat hari Natal tahun kemarin adalah ibu terlalu banyak memasak La Vigilia--hidangan dari tujuh jenis ikan dari Italia. Akibatnya, aku menderita gatal-gatal karena terlalu banyak mengomsumsi udang dan cumi bersamaan. Jika ibu memasak itu lagi, dipastikan ruam itu akan datang tanpa permisi. 

"Lizzie?" panggil ibu membuyarkan bayanganku tentang tujuh jenis ikan yang melambai-lambai di depan mata. "Kau masih di sana, Sayang? Kau mau kan diantar oleh Daddy-mu?" tanyanya sekali lagi.

"Will?" Aku berpikir sebentar. "Baiklah."

"Apakah tidak apa -apa? Aku tahu dari nada bicaramu kau terlihat kesal."

Tentu saja!

Jika ibu tahu aku enggan dengan laki-laki, kenapa dia masih saja menyuruh Will untuk hadir jika kedatangannya menjadi beban? Demi Tuhan, kenapa juga ibu suka sekali mengikat lelaki dalam pernikahan sampai ketiga kalinya? Tidak kapokkah dia dengan suami kedua yang lebih cocok disebut bajingan?

"Aku bilang tidak apa-apa, jangan membuatku berubah pikiran."

"Baiklah, jam berapa kau akan berangkat? Aku akan menyampaikannya pada Daddy."

"Jam sepuluh."

####

Pukul sembilan pagi, petugas pengangkut barang sudah memindahkan tumpukan kardus berisi untuk dikirim langsung ke New York. Dad maksudku William sudah datang sejak dua jam lalu dan memilih berdiri seperti manusia tak berguna. Aku tak banyak bicara pada William jika dia tidak mengajak bicara dulu. Mungkin kalian akan mengejekku 'betapa tidak sopannya dirimu Lizzie!'

Oh come on... Lelaki mana yang bisa dipercaya di dunia ini?  Coba sebutkan satu saja. Tidak ada bukan? Mereka hanyalah manusia yang sangat suka menghancurkan hati perempuan tanpa ampun. Kalau pun ada, aku akan mencium kakinya dan bertekuk lutut seperti seorang budak. 

Ketika dalam posisi canggung ini, berarti tugas jemariku harus sibuk membuka aplikasi ponsel sekadar mengalihkan pikiran. Sesekali melirik lelaki paruh baya dengan kemeja flanel tua yang melihat lalu lalang petugas pengangkut barang. Setelah barang terakhir diangkut, barulah aku merasa dia memberanikan diri mendekatiku.

"Jadi mulai kapan kau akan bekerja di New York ?" tanya William.

"Kukira Ibu sudah menjelaskannya padamu, Will," jawabku ketus seraya memasukkan ponsel ke saku celana belakang. 

William hanya mengangguk, menggaruk tengkuknya seperti kena skakmat.

"Ah, antarkan aku ke supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan nanti. Selain itu, Ibu belum mengirimkan uang ke kartu debitku. Kau bawa kartu kreditmu, kan?"

"Apapun untukmu akan kulakukan. Aku bisa membelikan semuanya untukmu, tapi bisakah kau menghilangkan suasana yang canggung ini? Dan jangan jaga jarak kepadaku, please! Aku tetap Daddy-mu, Elizabeth!" tegas William terdengar kesal. 

Mendengar perkataan William, seketika mood-ku berubah. Aku sungguh tidak menyukai suasana seperti ini. Dia selalu saja memulai segalanya dengan menegaskan bahwa dialah ayahku yang harusnya disayangi seperti George. Tidak! Tidak ada yang bisa menggantikan dirinya di dunia ini. 

"Jangan memulai Will, kau memang Daddy-ku setidaknya bisa disebut seperti itu," sambarku tak takut. "Asal kau tahu, aku tidak suka pada semua laki-laki yang menjadi suami ibuku selain ayah kandungku sendiri!"

Aku menghentikan langkah saat berada di ujung pintu lalu membalikkan badan menatap William sinis, "Dan terima kasih atas uang yang nanti kau keluarkan untukku. Aku akan membayarnya kembali."

 

BAB 2

"I need a love, but I can't find my heart" 

-Jacob Lee- 
 

Gelora semangat di dada semakin berkobar bak bunga api yang meledak di tengah gelapnya malam, mengalahkan ratusan milyar pendar bintang. Seraya membusungkan diri begitu bangga kala tanda pengenal menggantung manis di leher. Jika aku bisa berdiri di puncak Empire States, mungkin kuberitahu ke setiap penjuru Amerika bahwa seorang Elizabeth Khan yang dulu lemah tak berdaya kini menjadi seorang karyawan di perusahaan impian. Sayang, jiwa introvert yang sudah melekat ini membekap dan memadamkan hasrat untuk melakukan hal gila itu.

Meski ada insiden 'hampir terlambat' karena semalam begadang menonton adaptasi novel Nicholas Sparks sampai hidung memerah. Padahal aku sudah menolak ajakan Emilia untuk tidak menonton film drama romantis yang mengharubiru. Tapi, dia membisiki bahwa ini menjadi yang terakhir sebelum disadarkan oleh dunia nyata bahwa pria romantis yang mau menitikkan air mata demi wanitanya adalah mustahil. 

Berjalan di atas stiletto hitam yang beradu dengan lantai marmer seperti menapaki seutas tali. Hati-hati dan jangan sampai terjatuh. Untuk seorang gadis yang jarang menggunakan hak tinggi nan tipis layaknya kumpulan pasta yang diikat karet adalah malapetaka. Jujur saja, selama di kampus, aku lebih suka menggunakan sepatu Vans atau flat shoes yang nyaman di kaki. Tapi, hal itu tidak berlaku saat kau menjadi seorang karyawan yang mengharuskan berpenampilan rapi dan sempurna.  

Pandanganku menyebar ke sekeliling, orang keluar-masuk terutama di lift seperti memaksa menjejalkan diri agar muat dalam kotak besi itu. Mendadak napasku terasa sesak jika membayangkan berdiri di sana apalagi sampai terimpit laki-laki.

Oh, Tidak! 

Tidak ada pilihan lain selain menanti lift berikutnya atau pilihan terburuk adalah menggunakan tangga darurat, sementara ruang kepala divisi yang perlu kutemui berada di lantai lima belas.

Ah, sialan!

Tanpa sadar aku menggigit kuku jari saat bergulat dengan sisi lain dalam diri yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Selalu saja seperti ini setiap kali akan melakukan sesuatu. Padahal ritual pagi yang bisa kujalani sudah cukup kuat untuk menumbuhkan sisi positif seorang Elizabeth. Ekor mataku mengawasi sekitar dan mendapati laki-laki berjas abu-abu yang terlihat mahal berhenti dan menjabat tangan seorang perempuan dengan gulungan rambut yang tinggi. Mereka terlihat santai sedangkan tubuhku mendadak ngeri melihatnya. Bagaimana bisa mereka saling bersentuhan tanpa rasa takut? 

Aku harus ke toilet! Aku merasa ingin muntah melihatnya!

Tak sengaja, aku menabrak seseorang yang sedang membawa segelas kopi dan tumpah mengenai kemeja baru. Kemeja putih yang kucuci dan setrika penuh hati-hati dan berharap tak terkena noda sedikit pun. Aku menjerit tak rela bercampur kopi panas yang membelai kulit dada walau sudah dirangkap tank top. 

"Maafkan aku, Nona ... harusnya--"

Aku semakin panik karena menjadi atensi di hari pertama bahkan sebelum bekerja. Bergegas ke toilet namun Dewi Fortuna memang sedang menggoda kesabaran sampai tersandung kaki sendiri. Oke, aku malu, kesal, marah, ketakutan atas pikiran yang merusak mood yang sudah terbangun baik. Ingin mengutuk keras atas insiden kopi dan stiletto sialan ini tapi mereka tak akan bisa mengubah waktu yang sudah berlalu. 

"Apa kau baik-baik saja?" suara bass yang terdengar tegas bersamaan dengan uluran tangan yang dilingkari jam tangan keperakan nan berkilau.  

Aku mendongak melihat si empunya suara. Lelaki berambut cokelat tembaga yang begitu klimis dengan iris mata biru samudra terlihat bersalah, di tangan kirinya masih menggenggam gelas kopi, sedangkan tangan kanan masih setia menunggu seperti menyuruhku untuk menerima bantuan itu. 

Sekuat tenaga aku berdiri di atas stiletto sialan dengan lutut yang terasa nyut-nyutan. Tak perlu bantuannya jika dia sudah merusak baju baruku. Entah harus berkata apa kepada kepala divisiku nanti. Karyawan barunya ceroboh, terlambat, dan ...

"Kau tak apa? Kau pucat ... Ms. Khan," kata lelaki itu melirik sekilas tanda pengenalku.

Aku menggeleng lemah sambil tersenyum tipis terpaksa. Dadaku masih terasa penuh seperti seseorang berusaha meremukkannya dari dalam. Kurasa obat penenang dalam tas bisa meredakan rasa panik ini. "Terima kasih." 

Kutinggalkan lelaki pembawa bencana itu mengabaikan panggilannya. Toilet adalah tujuanku saat ini tuk membersihkan sisa kopi dan memastikan dadaku tidak ikut melepuh. Jika ada Emilia di sampingku, bisa dipastikan lelaki itu akan habis diomeli si wonder woman. 

"Kemejamu? Aku bisa menyuruh asistenku untuk membawanya ke binatu," tawar lelaki bermata biru mengekori jejakku. "Aku sungguh minta maaf."

"Tidak, terima kasih!" ketusku memasuki toilet wanita. 

Ah, Tuhan bisakah Engkau siram dia dengan kopi juga?

### 

Setelah berjuang menghapus noda kopi walau masih berjejak, akhirnya aku duduk di ruangan Mr. Lawren usai mendapat beberapa pertanyaan kenapa bisa terlambat menemuinya. Untungnya kepala divisi keuangan yang gagah itu tak berkomentar pedas. Ruangan yang digunakan oleh sekelas manajer ini cukup besar.

Catnya dominasi warna putih dan beberapa bingkai foto tergantung manis di sisi ruangan. Terdapat sofa berbentuk L berwarna lime terletak di sebelah kanan berserta meja kaca. Di sisi kiri ruangan, sebuah rak kayu bercat metalik untuk meletakkan buku- buku tebal yang terlihat terawat. 

Di bagian meja Mr. Lawren sama dengan pimpinan pada umumnya, terdapat tumpukan file di kanan dan cangkir putih dengan asap yang mengepul.  Aku yakin itu kopi dari aroma yang terendus di ruangan ini.  Di belakang kursi kantor yang diduduki Mr.  Lawren ada beberapa kaktus kecil diletakkan dekat jendela sebagai kesan sejuk serta background kota New York yang menawan.

Manajerku sendiri berperawakan tinggi tegap, berpotongan cepak, sedikit tumbuh kumis, memiliki iris mata biru gelap, dan kulit yang putih sedikit kemerahan seperti terbakar sinar matahari. Jika bisa kutebak, mungkin pria itu berumur sekitar 40 tahun atau mungkin lebih muda.

Dia mengajakku ke ruang kerja karyawan dan bertemu Ketty―staf administrasi keuangan― untuk menjelaskan lebih detail mengenai daftar apa yang harus dilakukan. Ruang kerja yang bersebelahan dengan ruang manajer ini terdiri dari enam meja dan terbagi dua di sisi. Nuansa ruangannya juga hampir sama degan ruangan lain, bedanya di sini memiliki dua mesin fotokopi besar yang terletak di ujung ruangan. 

"Kupikir sebaiknya kau ganti kemejamu, Elizabeth," saran Ketty menurunkan kacamatanya. "Hari pertama adalah hari penentuan kau dinilai baik atau tidak."

"Ah, ya, aku paham, Ketty. Tapi, aku--"

"Aku bisa telepon bagian binatu langgananku sementara kau mengenakan kemeja lain. Kita akan sibuk hari ini, Nona," selanya meyakinkan.

Mau tak mau aku menuruti ucapan Ketty, membeli sebuah kemeja secara online dan mengirimnya pada hari itu juga. Ah, belum apa-apa rasanya aku sudah dipojokkan oleh kesalahanku sendiri. 

Itu kesalahan si pria kopi, Lizzie! 

Sembari menunggu barang datang, Ketty memberiku tugas untuk menginput semua transaksi ke dalam program yang ada di komputer perusahaan. Ketika dia memberiku setumpuk kertas berisi segala jenis transaksi dengan kerlingan mata, maka dari sinilah aku tahu bahwa hari ini akan menjadi sangat panjang dan melelahkan. 

Oke, baiklah, seharusnya memasukkan data saja hal yang mudah, bukan?

Detik berikutnya telepon di depanku berdering dan terdengar suara sang manajer kala mengangkat panggilan itu. 

"Pergilah ke ruangan Mr. Jhonson di lantai tiga puluh. Dia memanggilmu," titah Mr.Lawren.

Aku terdiam sejenak, Mr.Jhonson? Siapa dia? Kenapa memanggilku? Kenapa tak meneleponku langsung? 

"Kau masih di sana Ms. Khan?" 

"Ah, ehm ... ya, Pak! Aku akan ke sana, terima kasih," ucapku lantas memutus sambungan telepon. "Ketty?" Aku memutar kepala saat melihat wanita itu sedang mengopi beberapa file.

Dia menoleh, "Ya? Ada apa?"

"Siapa itu Mr. Jhonson di lantai tiga puluh?" tanyaku yang justru menimbulkan reaksi hebat di wajah manis perempuan keturunan Afrika-Amerika itu. "Apakah ada yang salah?"

"Apa kau tidak tahu apa benar-benar sok polos? Bukankah sebelum masuk ke sini kau bertemu dengan beberapa petinggi perusahaan?"

Keningku mengerut cukup lama berusaha mengingat kembali siapa saja yang mewawancaraiku saat seleksi karyawan. Tidak ada yang nama belakangnya Jhonson, kalau pun ada harusnya dia datang bukan? Aku menggeleng lemah dan penasaran sehebat apa si Jhonson ini sampai Ketty berlebihan seperti itu. 

"Dia pimpinan tertinggi di sini, Elizabeth. Ayolah ... kau tidak mabuk kan saat memasukkan aplikasimu di Jhonson Corp?"

Mulutku menganga bak menyentuh lantai marmer yang bercumbu dengan mesin pendingin di musim panas. Ah, benar juga. Kenapa bisa lupa bahwa aku berada di perusahaan yang dimiliki oleh keluarga super kaya raya. Lantas, ada apa gerangan dia memanggil seorang karyawan baru yang terlambat menemui manajer pagi ini?

Atau Mr. Lawren telah mengadu kepadanya?

"Baiklah." Hanya itu respons yang bisa kuberikan kepada Ketty seraya beranjak dari kursi yang masih ingin menahan pantatku untuk berlama-lama menemui Mr. Jhonson. Bisakah aku menghindari pimpinan di atas pimpinan ini? Kenapa pula Mr. Lawren mengadu atas keterlambatanku? 

"Kenapa kau seperti orang linglung?" sindir Ketty. "Dia tidak akan memakanmu bulat-bulat. Tapi, aku ingatkan jika dia tipikal pria perfeksionis." Sorot mata lentik Ketty menunjuk ke arah bekas noda kopi yang masih bertengger di bajuku. 

Oke, mungkin aku segera didepak karena membuat dua kesalahan. Terlambat dan kemeja kotor. 

"Haruskah aku meminjam kemejamu sebentar?" pintaku penuh harap. "Kurasa kita memiliki ukuran baju sama."

Ketty tertawa menampakkan deretan gigi behel dengan karet pink yang kontras dengan kulit eksotisnya. "Bukan aku jika berbagi barang dengan orang lain, maafkan aku, Elizabeth."

Berbekal rasa pasrah, akhirnya memberanikan diri berjalan menemui pimpinanku di lantai tiga puluh setelah Ketty membisiki bahwa aku harus menebalkan telinga jika mendapat omelan. Kutarik napas panjang, setidaknya satu obat penenang di pagi hari tadi sudah bisa menetralkan rasa takut yang bisa berubah menjadi histeria.

Lift membawaku sampai ke lantai tiga puluh, mataku waswas mengamati angka demi angka hingga pintu besi itu terbuka. Suara ketukan stiletto kini bagai gema yang menggaung memenuhi koridor yang tampak sepi dan tak banyak lalu lalang orang. Inikah lantai VIP di mana ruang para pemimpin perusahaan berada? 

Tepat di depan pintu lift ada meja bertuliskan sekretaris dan perempuan berambut ikal dan bergincu merah bata sedang sibuk menelepon seseorang. Tatapan kami bertemu dan dia menyiratkanku untuk menunggu beberapa saat. Usai menutup panggilan itu, dia berkata, "Ms. Elizabeth Khan?"

Kuanggukkan kepala. Oke, obat penenang itu tidak menenangkanku sekarang. Aku merasa akan ditendang dari sini. 

Dia menekan tombol dan berbisik mungkin melaporkan kedatanganku kepada Mr. Jhonson. Tubuhku rasanya sudah separuh lumpuh kala si sekretaris menyilakanku masuk. Ingin kabur tapi kakiku bergerak dengan sendirinya mengekori perempuan berlekuk tubuh bak gitar itu. Ah, Sial!

Pintu bercat hitam metalik terbuka, menampilkan sosok lelaki tengah duduk di belakang meja kerja membelakangi garis matahari yang memaksa masuk melalui dinding kaca. Melihatnya duduk di sana dengan cahaya yang menyinari tubuh atletiknya seperti Tuhan baru saja menurunkan manusia kejam dari langit.

Dia melempar garis senyum tipis dan sorot mata penuh arti di balik iris biru yang terlihat menggelap itu. Di saat itulah seluruh ketakutanku semakin membekap kuat, mengingat pria berambut cokelat tembaga di sana adalah seseorang yang sama yang sudah membuat kekacauan di hari pertamaku. 

"Fuck!" desisku pelan. 

 

BAB 3

"My first mistake was loving you." 
–Brian McFadden-
 


Apa dia sedang mabuk?
 

"Kenapa kau diam saja, Ms. Khan?"
 

Bibirku masih terbungkam walau isi kepala saling melontarkan sumpah serapah. Bagaimana tidak, si pria kopi yang ternyata penguasa super perfeksionis ini adalah bos di atas bosku. Dan tadi pagi aku mendoakannya agar dia disiram kopi panas, sementara di atas meja terdapat sebuah bungkusan berisi kemeja baru sebagai tanda penyesalannya. Apakah aku perlu melakukan pengakuan ke pastor bahwa lidahku sudah merapal umpatan kepada lelaki ini.
 

"Apa Anda tidak mengomeliku karena terlambat menemui Mr. Lawren atau membalas kelakuanku pagi ini karena bersikap kasar dan tak sopan?" Hanya pertanyaan itu yang bisa meluncur setelah otakku saling kompak merangkai kata dan mengingat kembali perkataan Ketty. Mana ada bos yang tiba-tiba membelikan sebuah kemeja untuk karyawan baru yang sudah berlaku tak hormat padanya kecuali dia meminta imbalan. 
 

Cih! 

"Apa kau mengira atasanmu mengadu padaku?" tebak Mr. Jhonson menaikkan sebelah alisnya.
 

Ya! Tentu saja! Apalagi?

Dia terbahak-bahak seperti tak punya masalah, sementara aku merasa dipermainkan. Ketty salah persepsi tentang lelaki gila ini. Ketakutan yang menyelubungi hati berganti dengan kekesalan sampai ke ubun-ubun. Aku beranjak dari tempat duduk merasa waktu terbuang sia-sia di sini. 
 

"Ms. Khan! Tunggu!" seru lelaki itu menghentikan langkah kakiku. "Bukankah tidak sopan jika kau pergi tanpa pamit dan menolak barang pemberianku? Aku hanya tidak suka melihat perempuan tak rapi di kantor."
  

Meremas tanganku kuat, menahan amarah untuk tidak mengutukinya lelaki tak tahu diri. Aku berpaling dan berkata, "Tapi, saya lebih dari mampu untuk membeli sebuah kemeja, Tuan. Jika Anda risi dengan penampilan saya, bukankah Anda juga harus mengoreksi siapa yang salah?"
 

"Maksudmu aku yang salah?" tunjuknya pada diri sendiri. 
 

Aku tidak menjawab dan memilih berpamitan pergi secara benar 'menurut' versinya. "Permisi, saya harus kembali bekerja."
 

###
 

"Kau hebat dan gila!" puji Ketty saat mengetahui alasan bos besar memanggilku. 
 

Tak menanggapi ucapan Ketty ketika jemari dan mataku masih sibuk memasukkan berbagai jenis transaksi untuk laporan akhir bulan di komputer. Ya Tuhan, jika dibandingkan dengan mengerjakan tugas akhir kampus rasanya tak jauh beda. Otot pundak dan leher rasanya sudah tegang dan butuh relaksasi, secangkir cokelat panas, serta lilin aroma terapi. 
 

Ketty menarik kursinya lebih dekat denganku, menopang dagunya sambil tersenyum penuh arti. "Aku tidak pernah melihat bos besar seperti itu."
 

"Jangan mengada-ada, Ketty. Dia hanya merasa bersalah tapi merendahkanku seakan tidak bisa membeli kemeja lagi," sambarku meliriknya sekilas. "Apa kau tidak punya pekerjaan lain?"
 

"Pekerjaanku sudah kau tangani," candanya. "Aku hanya penasaran saja bagaimana bisa dia--"
 

"Jangan bicarakan itu lagi, please."
 

Gadis bergincu merah bata itu mundur melihat perubahan mood-ku. Lagi pula apa untungnya juga membahas satu topik yang ujung-ujungnya pasti mengarah 'dia pasti mengajakmu berkencan'. 
 

Jangan harap!
 

"Maafkan aku, Ketty. Hanya saja ... untuk masalah bos dan siapa pun itu aku sedikit tidak tertarik," kataku untuk tidak membuatnya marah. 
 

Ibu pernah bilang bahwa hidup harus seimbang walau kau adalah manusia paling individualistis. Meski tak punya banyak teman, setidaknya jangan pernah menambah musuh apalagi satu lingkungan. Oleh karena itu, aku mengalah atas ucapan yang mungkin tak enak didengar oleh Ketty. Jika sikapku di hari pertama buruk, pasti besok akan menjadi lebih buruk dan bisa saja ini awal bencana lain. 
 

"Maksudmu kau tidak suka pria?" Ketty melontarkan pertanyaan lain seolah bisa membaca tulisan di dahiku 'Aku benci pria'.
  

Kuanggukkan kepala. "Itu hal yang rumit. Sudahlah, aku minta maaf dan harus menyelesaikan ini sebelum jam makan siang."
 

"Tidak masalah."
 

Memasuki akhir bulan Juni cuaca New York mulai berubah, jika biasanya udara begitu panas menyengat kulit sampai menjelang sore. Namun kali ini, hujan sepertinya akan turun mengingat gumpalan awan tebal nan gelap perlahan bergerak menutupi kota. Sembari mengaduk kopi untuk senior yang lembur, aku menatap dinding kaca tebal sambil bertanya-tanya apakah Emilia bisa menjemputku. Tapi, jika dipikir, rasanya pekerjaan dia lebih berat karena mesti mencari berita terkini di setiap sudut terpencil kota. 
 

Aroma biji kopi ini mengingatkanku kepadanya, bagaimana dia terlihat bersikeras memberi kemeja baru. Aku menggeleng cepat, menepis bayangan wajahnya yang mulai menyelinap dalam pikiran. Selain itu, entah mengapa wajah si bos besar seperti tak asing. Mata sebiru samudra, bibir tipis merah delima, bintik kemerahan yang sedikit menghiasi pipi serta alis tebal seperti ...
 

Robert Pattinson!
 

"Jika Emilia di sini, dia pasti kegirangan bertemu si pria kopi," gumamku sambil terkikik lantas merogoh ponsel dari saku celana pipa.  

To : Emilia
Aku baru ingat kalau bosku adalah imitasi Robert Pattinson. Harusnya kau bekerja di sini.

Tak lama temanku membalas dengan banyak emotikon hati. Aku terbahak-bahak, Emilia memang menggilai aktor pemeran Twilight itu dan apa pun film yang diperankan oleh si Pattinson, temanku akan menontonnya ratusan kali. 

To : Elizabeth

Serius? Haruskah aku resign dan jadi sekretarisnya? Seberapa hot dia?

To : Emilia

1-10 akan kunilai 2. Dia menyebalkan. 

Sebelum pesan teks makin panjang. Aku memberikan terlebih dahulu tiga cangkir kopi kepada senior. Mereka menerima dengan senang hati lalu menyuruhku untuk membantu selagi hujan tiba-tiba turun deras. Ketty juga termasuk yang belum pulang, hanya saja dia tidak seberapa menyukai kopi. Dia bilang kopi bisa membuat dadanya berdebar dan asam lambungnya naik. Mungkin karena efek kafein, pikirku.

Kami yang masih setia di kantor sibuk membuat rekapan bulanan. Ketty bilang Mr. Lawren akan membuat perencanaan keuangan selama enam bulan ke depan serta ingin mendiskusikan masalah kebutuhan perusahaan terutama di bagian perawatan dan pemasaran. Maklum saja, Jhonson Corp merupakan perusahaan besar di bidang software dan menjual berbagai macam alat elektronik. Mungkin yang diinginkan oleh Mr. Lawren adalah peningkatan perlindungan software yang membutuhkan biaya lebih banyak daripada sekadar menjual satu buah komputer.

Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar dan memunculkan notifikasi dari nomor tak dikenal. Jika diingat, rasanya aku tidak pernah membagikan nomor pribadi kepada orang lain.  

Sender: +1 2989xxx

Jangan pulang dulu, hujan masih lebat. Aku akan mengantarmu.

Mr. Jhonson

Dari mana dia tahu nomor ponselku? Apa dia penguntit?

"Kenapa, Elizabeth?" tanya Ketty menangkap gelagat wajahku yang tercengang seperti orang bodoh.

Aku tergagap, menyembunyikan isi pesan itu dari Ketty sebelum dia meledek habis-habisan. Mendadak jantungku berdebar tak karuan. Si Jhonson itu gila! Tidak cukupkah dia kutolak tadi pagi? 

Detik berikutnya dia mengirim pesan kembali.

Sender: +1 2989xxx

Kenapa pesanku tak kau balas? 

Sender : Elizabeth

Maaf, aku sedang menelepon kekasihku. 

Bisakah aku menjuluki diri sebagai orang gila? Bisa-bisanya aku mengirim jawab yang sungguh tidak masuk akal. Kugelengkan kepala memantapkan hati bahwa berpura-pura memiliki kekasih cukup efektif untuk menjadi tameng bagi pria penggoda sepertinya. 

Sender: +1 2989xxx

Oh, kau ada kencan? Dengan siapa?

"Apakah dia juga suka mencampuri urusan orang lain?" dengkusku membuat Ketty menatapku penuh tanda tanya. "Sorry. Kurasa aku harus pulang, Ketty."

"Baiklah, hati-hati. Jaga langkahmu, Nona."

Tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi daripada bertemu dengan lelaki menyebalkan itu. Lalu dari mana juga dia mendapatkan nomor ponselku? Atau ... ah, karena dia bos besar yang bisa mengakses data pribadi karyawan? Sialan! Apakah dia menggunakan kekuasaannya untuk merayu perempuan?

Lift terbuka dan tubuhku rasanya ingin menghilang saat itu juga kala sosok tinggi dengan jas hitam yang masih terlihat rapi, berdiri seraya melambaikan sebelah tangannya. 

"Pacarmu sudah datang?" tanyanya dengan penuh selidik. "Kenapa kau tak masuk? Kau takut padaku?"

Lebih tepatnya bagaimana dia tahu aku mau pulang. Mau tak mau, aku terpaksa menggunakan lift yang sama dengannya, berdiri memojokkan diri dan berpura-pura menganggapnya tidak ada di sini. Kutekan tombol lantai paling bawah dalam diam.

"Aku ingin melihat bagaimana wajah pacarmu, sehingga kau begitu mudahnya menolak atasanmu," kata Mr. Jhonson terdengar sombong, "apa dia lebih kaya dan tampan dariku?"

Bisakah aku memuntahkan isi lambungku ke wajahnya itu? Mendengar dia melontarkan kalimat dengan tingkat kepercayaan diri yang begitu tinggi membuatku tidak betah di dekatnya.

"Apakah Anda tidak terlalu jauh mengusik kehidupan orang lain?" ejekku tanpa menoleh ke arahnya. 

"Aku suka mengusik kehidupan orang yang menolak kebaikanku. Aku tidak suka ditolak, Nona."

"Aku tidak suka orang lain ikut campur, Tuan."

"Benarkah?" Suaranya terdengar semakin menantang.

Kesabaranku sudah hilang, sambil melipat tangan di dada dan menatapnya sinis aku berkata, "Biar kuperjelas, Mr. Jhonson. Aku seorang lesbian jika kau ingin tahu orientasiku. Jadi, kalau kekasihku tahu kau menggangguku seperti ini, dia tidak segan-segan mematahkan adik kecilmu."

Kurasa Emilia justru akan bertekuk lutut kepada lelaki di sampingku ini daripada mengebirinya. 

Lift berdenting, kutinggalkan lelaki itu dengan langkah cepat walau stiletto sialan ini menyiksa kaki seharian. Kuharap dengan dia mengetahui statusku sebagai penyuka sesama jenis 'walau berpura-pura' membuatnya menjauh. Sayang, tanganku tiba-tiba ditarik paksa dan dicengkeram kuat sampai aliran darah mendadak berhenti. 

Akibatnya, seluruh sel saraf di tubuhku menimbulkan gejolak hebat dan bayangan masa lalu yang kelam mendadak datang. Tatapan Mr. Jhonson yang tadinya terlihat menyebalkan berganti menakutkan seperti ayah tiriku. Aku menjerit ketakutan, berusaha melepaskan diri berbarengan rasa sesak yang menyiksa dada. Dia melepaskan genggamannya, aku berlari sekuat tenaga sampai terjatuh.

Aku menjadi pusat perhatian lagi. Aku merasa cacat dan tak normal. Orang lain akan menganggap perlakuan itu hanyalah hal yang biasa, sementara aku ... aku tidak suka disentuh secara paksa dan tiba-tiba dengan tatapan penuh hasrat. 

Air mataku mengucur deras sementara lututku nyeri. Aku berusaha berdiri tapi rasanya kakiku terkilir. Sialan! Persetan dengan bos itu!

"Ms. Khan ..." Mr. Jhonson berusaha membantu tapi kutepis tangannya. 

Melepas sepatu sialan ini kemudian berdiri susah payah dan terpincang-pincang. "Tidak bisakah Anda tidak mengangguku?"

"Aku hanya--"

"Aku tidak suka ada orang lain menyentuh seperti ini, Tuan, please, jangan memaksa."

"Kenapa?"

Bibirku membisu, orang-orang masih melihatku dengan penuh tanda tanya. Aku menggeleng lemah sambil sesenggukan, melangkah cepat pergi dari hadapan si pria kopi. Rahasia terkelamku biarlah menjadi rahasia, tidak perlu orang lain tahu betapa hina diriku. Jikalau tahu, apakah semua akan sama?

Tidak bukan? 

 

BAB 4

"I pray for this heart to be unbroken."
–Backstreetboys-
 


"Ayah?" panggilku ketika berada di sebuah ruangan serba putih nan silau sambil memicingkan mata. "Ibu?"

Tak ada jawaban, pun tidak ada seorang pun yang muncul. Ruangan ini begitu sunyi, hanya tarikan napasku saja yang terdengar. Mendadak kepalaku dipenuhi sesuatu yang menakutkan. Bagaimana jika di dunia ini tinggallah  manusia kecil dengan ... Aku terkejut setengah mati menatap diri ini mengenakan setelan dress yang dibelikan ibu saat pertengahan musim panas. 

Untuk beberapa saat bibirku mengulum senyum. Ini adalah gaun favorit di antara puluhan baju di lemari. Gaun ungu dengan motif bunga yang mengingatkan hamparan bunga Lavender yang cantik. Ditambah kaus kaki berenda dengan sepatu putih yang dulu kupakai ke mana-mana. 

Aku mendongak di mana ada sebuah cermin besar. Kugoyangkan badan, berputar layaknya balerina yang diajarkan di sekolah. Rambut cokelat nan bergelombang dikepang dua sementara senyum tak hentinya mengembang walau gigi seri baru saja tanggal saat akhir musim dingin. Kemudian, sosok George muncul tersenyum di belakangku dengan bangga.  

Refleks memeluknya erat tuk melampiaskan segala rindu yang sudah terpendam lama. George dengan aroma tembakau yang selalu melekat adalah aroma yang selalu kukenang. Sayang, tiba-tiba semuanya berubah menjadi gelap dan seseorang menarik tubuhku paksa sampai ke sebuah ruang makan. 

Detik itu juga, biji mataku mencuat beriringan dengan gejolak perut yang teraduk-aduk. Dadaku berdebar kencang, tenggorokanku seperti dicekik oleh sesuatu yang tak kasat mata melihat seorang lelaki tengah duduk di samping anak perempuan sambil menatap penuh nafsu. 

Berusaha sekuat tenaga, kudekati anak perempuan itu dan berteriak padanya, "Kau harus pergi, Lizzie! Dia jahat! Kau harus pergi! Please! Lizzie, dengarkan aku!"

Lelaki itu berpaling ke arahku seolah hanya dia yang bisa mendengar teriakkan yang tidak bisa didengarkan oleh si Elizabeth kecil. Dia menyeringai, sorot matanya berkilat membuatku bergerak mundur. Dia menempelkan jari telunjuknya untuk menyuruhku diam sementara tangan lain digunakan untuk membelai paha sang anak tiri. 

Murka, kulempar dirinya dengan vas bunga dekat dengan barisan bingkai foto keluarga kami. Tapi, tubuhku kembali terisap dan berhenti di sebuah kamar di mana aku dijamah oleh lelaki itu. Dia mengancamku akan membunuh ibu jika tidak melayaninya. Tak sampai di situ juga, dia mengeluarkan pisau kecil dan menyayat lengan serta leherku sampai berdarah, mengisapnya seperti orang gila. 

"Lizzie! Lizzie! Bangunlah, Hei!" suara Emilia serta guncangan hebatnya di pundak berhasil membawaku kembali ke alam sadar. 

Untuk beberapa saat, aku hanya menatapnya panik serta menepis kasar kedua tangannya yang masih memegang bahu. Napas rasanya tersekat layaknya seseorang menyedot habis semua oksigen di paru-paru membuat otakku tidak bisa berpikir jernih. Tubuhku berkeringat walau mesin pendingin ruangan masih setia menyejukkan kamar di tengah cuaca panas kota. Aku terengah-engah seperti ikan kehabisan air, tapi aku butuh oksigen untuk menenangkan diri bahwa itu hanyalah mimpi buruk. 

Mimpi yang pernah kau lalui di masa lalu, Lizzie. 

"Kau kenapa?" tanya Emilia cemas. "Beberapa hari ini kau selalu berteriak dalam mimpimu, Lizzie. Apa ada masalah?"

Kugelengkan kepala cepat, lidahku kelu tidak bisa membalas pertanyaan Emilia sementara irama jantung masih enggan untuk berdetak normal. Walau sudah sadar pun, rasanya sentuhan terlarang itu masih terasa sampai ke pembuluh darah. Kupejamkan mata, menjambak rambut sendiri sampai akar rambut rasanya ditarik paksa. 

"Hei, hei ..." Emilia merenggut kedua tanganku, kami saling mengadu tenaga. Aku ingin menghilangkan delusi ini dari kepala tapi Emilia seolah tidak mengijinkannya. "Kau kenapa, Lizzie, hei!"

"Pergilah, Emilia!" bentakku padanya nyalang. 

Gadis itu menganga, tercengang bukan main. "Ada apa denganmu?" lirihnya masih tidak mau pergi. "Belum pernah aku melihatmu seperti ini, Elizabeth."

"Kau tidak mengerti, Em!" tegasku sampai urat nadi di leher menonjol. "Kumohon tinggalkan aku sendiri, oke! I'm fine!" 

Gadis bermata biru itu akhirnya pergi tanpa mengatakan apa pun. Tapi, dari ekspresi Emilia,  aku tahu dia mempunyai banyak pertanyaan. Terutama saat mimpi buruk ini terus berdatangan tanpa henti seolah ingin membunuhku pelan-pelan. Kuembuskan napas panjang berusaha menetralkan diri tapi tetap tak bisa. 

Lantas, aku bangkit dari kasur, menatap diri di cermin seraya membelai bekas luka yang dulu ditorehkan oleh lelaki bejat itu. Luka melintang di tulang selangka kiri yang pernah terinfeksi akibat sering disayat berulang kali. Bekas jahitan yang berubah menjadi keloid itu meninggalkan bekas yang menyimpan banyak rahasia kelam. Aku merintih sekaligus gemetaran setiap mengingat sentuhan terlarang yang mengoyak-ngoyak tubuh.

Cepat-cepat kuambil botol obat penenang yang kusembunyikan di lemari. Mengambil beberapa butir sekaligus dan menelannya dengan harapan bahwa obat itu bisa meredakan rasa panikku ini. Aku jatuh terduduk bagai orang tak waras. Seperti dulu. Menangisi diri sendiri dengan jutaan pertanyaan yang bermunculan di kepala. 

Kenapa mimpi itu muncul lagi setelah aku berhasil diterapi?

###

Sesuai dugaan, Emilia berangkat lebih awal ke stasiun TV tanpa meninggalkan memo. Dia merajuk. Aku paham dengan sikap kepo yang sudah mendarah daging di dalam seorang pencari berita sepertinya. Tapi, sebagai teman, bukankah tidak semua harus diberitahu? Apakah aku salah? Toh, kuyakin dia juga memiliki rahasia yang tidak pernah dibagi kepada orang lain. 

Sialnya, lingkaran hitam di mata terlihat menyeramkan akibat seminggu ini tidak tidur nyenyak. Walau sudah menutupnya dengan concelear, tetap saja wajahku menunjukkan rasa letih yang teramat dalam. 

Apakah aku perlu menemui dokter Margaretha lagi dan bilang kalau terapinya tidak berhasil? Atau aku minta saja dia menambahkan dosis di obatku?

"Kau bisa mati jika terlalu banyak obat, Elizabeth," gumamku di depan cermin. "Apa yang membuatmu bisa memimpikan hal..."

Tunggu!

Bukankah mimpi ini datang semenjak aku menegur si pria kopi? Sejak saat itu, aku lebih sering menghindar kala bertemu dengan petinggi perusahaan Jhonson Corp walau dia berusaha mendekat. Sampai kapan pun, aku tak akan memaafkan kelakuannya hari itu. Dia cukup keterlaluan sebagai lelaki yang memiliki jabatan sebagai penguasa. Bahkan masih terekam dalam benak betapa kuat dia mencengkeram tanganku dan sorot matanya itu.

Tapi, mungkinkah mimpi burukku dipicu oleh Mr. Jhonson? Bisa jadi kan? Bukankah ekspresi mukanya hampir sama dengan ayah tiriku saat itu?

"Oke, baiklah, kurasa mungkin ... aku harus menemui dokter Margaretha," ucapku memantapkan diri lalu meraih tas jinjing dan mengenakan sepatu dengan hak yang tidak menyeramkan layaknya stiletto. "Memikirkan dia bisa membuat malapetaka lebih banyak lagi."

Di ruang kerja semua terlihat sibuk, termasuk aku yang harus mengarsip seluruh dokumen transaksi jual-beli perusahaan. Tidak ada waktu untuk memikirkan diri sendiri hanya saja beberapa kali aku hampir kehilangan kendali setiap ada orang yang menepuk pundak tiba-tiba. Selain itu kabar menyebar begitu cepat, termasuk Ketty yang beberapa kali menegurku untuk bersikap sopan kepada atasan. Yang dia maksud adalah si bos besar setelah dia menaruh bungkusan di atas meja beberapa hari lalu. 

Secara terang-terangan aku menolak pemberian kemeja itu. Bahkan kemejaku yang terkena kopi pun sudah kucuci bersih. Aku tidak tahu apa motif Mr. Jhonson hingga begitu keras kepala. Tidakkah dia begitu naif? Apa dia juga memaksakan kehendak kepada karyawannya?

"Elizabeth, berikan ini kepada Mr. Lawren." Ketty memberikanku beberapa lembar file yang telah dicetak. "Grafiknya sudah kubuat tinggal dicek olehnya. Sekarang kau tahu kan kalau divisi kita adalah divisi neraka."

Lebih tepatnya perusahaan ini juga neraka. Gegara Mr. Jhonson aku mendapat mimpi buruk. 

"... dan apakah kau akan membiarkan begitu saja hadiah pemberian si bos?" lanjut Ketty menunjuk bungkusan dengan dagunya. "Dia single jika kau takut menerimanya."

"Aku tidak tertarik," tukasku tak suka. "Bukankah kau sudah mendengar desas-desus bahwa aku lesbian?"

Ketty terbahak-bahak, sementara kutinggalkan sebentar gadis itu ke ruangan Mr. Lawren. Saat memasuki ruang kerja ini entah mengapa atmosfernya mendadak berubah. Manajerku terlihat berkutat dengan beberapa kertas dan sesekali menggerutu bahkan tidak menyadari kedatangan karyawannya. Aku berdeham membuyarkan konsentrasi Mr. Lawren dan seketika dia mendongak dan berkata, 

"Kenapa bukan Ketty yang mengantarnya?"

"Mungkin karena aku junior di sini, Pak," jawabku polos.

"Baiklah, jika seperti itu, bisakah kau membawakanku secangkir kopi tanpa gula? Lalu, tolong kirim file-file ini ke email Mr. Jhonson," pinta Mr. Lawren menyerahkan sebuah flashdisk. 

Aku? Kenapa harus aku? Kenapa bukan dia?

"Bukankah ini tugas asisten manajer?" tolakku halus yang berhubungan dengan si pria pemaksa. 

"Kau tak mau? Karena dia memberimu--"

"Baik, Pak!" seruku buru-buru keluar dari ruangan yang bisa memojokkan harga diri. Kuyakin Mr. Lawren sudah mendengar kejadian minggu lalu yang benar-benar drama dan memalukan. 

Oke, baiklah, hanya mengirim email tanpa harus bertemu harusnya lebih mudah bukan. Hanya perlu menyusun kalimat seformal mungkin sebagai bawahan di antara semua karyawan. Tapi, nyatanya ekspektasiku selalu salah. Dia justru membalas email dengan rayuan yang semakin membuatku kesal. Ya Tuhan, bisakah Engkau melenyapkan bos genit seperti dia? Aku hanya ingin bekerja dengan tenang. 

Kuharap kau memakai kemeja pemberianku. Dan aku benar-benar minta maaf. Bisakah kita makan siang bersama hari ini?

"Wow!" Ketty tiba-tiba di belakangku membaca email balasan Mr. Jhonson. Cepat-cepat kututup email itu dengan debaran dada yang ingin mencuat ke luar dan menari pompom karena berhasil dirayu oleh seorang pria kopi. "Kau-sangat-keren-Elizabeth." Dia melayangkan tatapan penuh arti. 

Apa maksudnya itu? Jangan menatapku seolah aku adalah pelacur!

"Kau mau menggantikanku? Bisa kukatakan padanya," ketusku yang dibalas cubitan di lengan. 

"Kau ikuti saja alurnya, siapa tahu dia memang ..." Ketty memelankan suara di telingaku sambil mengerlingkan sebelah mata lentiknya. 

"Jangan harap!"

###

Jika biasanya aku akan menghabiskan waktu makan siang di kantin bersama Ketty. Kali ini, aku lebih suka menahan rasa lapar dan berkutat dengan pekerjaan. Selain kulihat terlalu banyak lelaki yang memenuhi setiap sudut tempat makan itu, Mr. Jhonson bolak-balik menerorku melalui pesan teks dan telepon. Entah apa motifnya dia begitu gigih mendekatiku. 

Apa karena kemeja itu? Apa karena kejadian minggu lalu?

Kuraih ponsel dan menelepon dokter Margaretha untuk menemuinya secara pribadi. Banyak hal yang ingin kutanyakan termasuk mimpi burukku. Detik berikutnya, suara pelan dokter yang merawat mentalku sejak usia delapan tahun terdengar. Buru-buru aku beranjak pergi ke ruang kecil yang digunakan untuk membuat secangkir kopi. 

"Halo, Dok. Apakah kau ada waktu minggu ini?"

"Ada apa, Lizzie?"

Beberapa saat rasa ragu memenuhi benak, antara menceritakannya melalui telepon atau bertemu langsung dengannya. Tapi, mimpi itu mempengaruhi kualitas tidur yang berdampak ke etos kerja. Aku tidak ingin efeknya lebih luas lagi, terutama pada perubahan mood yang tiba-tiba. 

"Sejujurnya, aku mengalami mimpi buruk yang berulang selama seminggu, Dok. Aku bingung ... maksudnya semenjak kerja di sini ... semua itu kembali."

"Oh, maafkan aku ... apa kau bisa tidur setelahnya?"

Aku menggeleng pelan. "Tidak. Aku sering mengalami migrain karena tidak bisa tidur nyenyak. Apa kau bisa memberiku resep obat dengan dosis tinggi?"

"Obat tidak selamanya membantumu, Lizzie. Kurasa kita perlu bertemu, aku bisa datang ke New York akhir pekan ini," usul dokter Margaretha. 

"Jangan, biarkan aku ke Florida, Dok, please!"

"Kau yakin? Apakah tidak terlalu jauh, Nak?"

"Tidak apa-apa, aku bisa sekalian pulang ke rumah," kataku. "Baiklah, aku harus kembali bekerja."

Setelah menutup telepon, aku hampir menjerit kala sosok tinggi dengan tatapan khas yang ingin mengorek sisi lain kehidupan seseorang tengah berdiri entah sejak kapan. Seketika itu juga aku tidak yakin apakah dia menguping pembicaraan kami? Bukankah sebagai bos besar, tidak seharusnya di sini?

"Kenapa kau memakai sweater di saat cuaca panas seperti ini? Lalu kenapa kau bermimpi buruk semenjak di sini? Itu bukan karena aku kan?"

Apakah dia memiliki kepekaan tinggi? Cukup bagus jika dia sadar. Aku tidak perlu menjelaskannya lagi. 

"Kenapa kau tidak membalas pesanku? Kau masih menghindar?"

"Tidakkah Anda terlalu banyak bertanya, Tuan?" sindirku. "Maaf, saya harus pergi."

Mr. Jhonson menghalangiku pergi, justru dia ikut masuk ke ruang kecil ini dan menutup pintu. Dia bersandar di pintu, melipat kedua tangan seraya menaikkan alis begitu menantang. Sementara aku sudah gemetaran, meremas pinggiran rok selutut. Aku melihat sekitar merasa tercekik bukan karena ruangan ini sempit melainkan kehadirannya yang mengintimidasi. 

"Mari kita lihat sejauh mana aku menjadi mimpi burukmu, Ms. Khan," desis Mr. Jhonson.

 

 

BAB 5

"I wish there were a way to show you my love is real." 
–The Moffatts-
 


Wajahku masih sama, terlihat pucat dengan mata panda yang makin kentara sementara tubuhku ... rasanya beberapa hari ini tidak ada angan untuk makan selama mimpi buruk itu terus datang. Ditambah kejadian lusa kemarin, di mana pria gila yang suka memaksa kehendak yang tidak tahu privasi itu menciumku!

Ya! Menciumku! Kau pasti kaget kan? Apalagi aku? Kecupan singkat akibat rasa penasarannya terhadap sikap dinginku berbuah dengan ketidaksadaran diri ini. Ketty bercerita banyak setelah aku dibopong oleh si bos besar ke ruang kesehatan karyawan. Antara kasihan dan ingin tertawa, Ketty mengolokku bagaimana bisa seorang gadis pingsan setelah dikecup pria tampan sekelas Mr. Jhonson. 

"Sepertinya aku alergi dengannya," timpalku asal.

"Kau tahu betapa pucatnya dia ketika kau tak sadarkan diri seperti dicium oleh dementor, Elizabeth," bisik Ketty mendekatkan bibir berpulas lipstik merah itu di telinga kiriku. "Dan ... ada gosip lagi antara kau dan dia. Mereka bilang bahwa kau merayunya."

"Gila! Mana mungkin aku melakukan hal murahan itu!" tegasku

Percuma saja menyangkal gosip yang terlanjur menyebar seperti virus mematikan. Begitu keluar ruang kesehatan, ratusan pasang mata langsung tertuju padaku seperti lampu sorot. Walau tak melontarkan sindiran tapi dari raut wajah-wajah itu, bisa kubaca bahwa mereka menuduhku sebagai penggoda Mr. Jhonson--pria penguasa Jhonson Corp yang menjadi incaran banyak wanita. 

Jika kalian ingin menelan si Jhonson bulat-bulat, lakukan saja. Kenapa harus melototiku?

Kugelengkan kepala, menepis bayangan itu untuk menemui dokter Margaretha. Tidak disangka, justru dia jauh-jauh ke New York dan menyewa sebuah hotel untuk kami berbicara berdua. Dia benar-benar sangat baik. 

Mataku menangkap Emilia sedang menonton siaran televisi sambil memangku keripik kentang. Tatapan kami bertemu sejenak tapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sudah hampir ... mungkin seminggu kami tidak saling berbicara. Suasana apartemen menjadi panas layaknya neraka, sepi seperti pemakaman. Padahal biasanya Emilia bakal mengeluarkan apa pun yang ada di dalam kepalanya. 

"Em?" panggilku. "Sampai kapan kita seperti ini?"

Dia mengedikkan bahu tanpa menoleh ke arahku. Ini menyakitkan hati karena kami sudah kenal lama sebagai teman satu kamar. Belum pernah Emilia semurka ini padaku. Oke, mungkin aku harus mengakui bahwa aku salah tapi bukankah privasi itu dibutuhkan?

"Aku ... tidak bisa menceritakan hal itu kepadamu saat ini, Emilia," ucapku lagi, "tolong mengertilah."

Dia menaruh mangkuk berisi keripik di atas meja dengan kasar, mematikan siaran Oprah kemudian beranjak, "Kau ini menganggapku apa? Jika kau menganggapku orang asing, aku akan hengkang dari sini, Elizabeth! Lebih baik kita tidak saling kenal satu sama lain jika kau--"

"Aku takut Emilia!" seruku gelisah. "Kau tidak mengerti!"

"Then tell me!" suaranya makin meninggi, mata birunya berapi-api seperti bersiap membakar yang ada di sini. "I trust in you, but you don't! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku melihatmu setiap malam berteriak seperti orang gila, Elizabeth!"

Kudekati dirinya namun dia menjauh, membuang muka seakan muak denganku. 

"Akan ada saatnya aku akan menceritakan padamu, Em, bukan sekarang ... akan ada saatnya ... aku sungguh minta maaf," kataku lirih kemudian pergi meninggalkannya dengan mata berkaca-kaca. Hatiku sakit dengan pertengkaran kami. Sungguh tidak ada niat untuk menyembunyikannya. Hanya saja aku takut dia akan menjauhiku setelah tahu jika temannya yang sok polos dan anti-sosial adalah perempuan hina yang tubuhnya sudah tidak suci lagi. 

Maafkan aku. 

###

New York ... Manhattan tepatnya kawasan yang kutinggali ini masihlah sibuk dengan dunianya sendiri walau rintik hujan membasahi. Setiap sudut bangunan yang menjulang tinggi dan  dijejali manusia yang tak tahu waktu, begitu juga klakson mobil dan asap kendaraan yang membuat pencemaran lingkungan. Namun, itu semua angin lalu. Rasanya diriku tetap sendiri walau seramai apa pun tempat yang dipijak. Dunia tidak pernah mengerti apa yang kuinginkan, justru mereka meminta tuk dipahami dan melakukan apa yang diharapkan. Seperti Emilia dan Mr. Jhonson. 

Tidakkah mereka mengerti bahwa aku perempuan yang berbeda dengan kebanyakan perempuan lain? 

Rasanya dadaku diimpit batu setiap mengingat apa yang kukira mudah ternyata susah. Ditambah mimpi buruk yang makin hari makin terasa nyata. Luka yang hampir sembuh sepenuhnya kini terbuka lagi, menyisakan rasa sakit yang luar biasa. Obat penenang yang kukomsumsi tidak mampu mengatasi rasa panik semenjak bayangan itu hadir. Jika kupejamkan mata, aku merasa ada orang yang akan menyetubuhiku sampai tewas.

Lalu, masih salahkah aku di sini?

Taksi kuning yang kutumpangi berhenti di salah satu hotel bintang dua dengan bangunan bergaya Georgian--sentuhan klasik yang melibatkan eksterior klasik tapi dalamnya rumit. Menengadahkan kepala, menghayati rintik hujan yang menyentuh kulit pipi seraya menatap gedung yang dibangun abad 18 bercat merah bata yang terlihat sangat terawat. Atapnya mengingatkanku akan rumah-rumah yang ada London. Dulu saat kuliah, pernah ada rencana untuk menghabiskan waktu liburan bersama Emilia. Sayangnya, ibuku tidak mengizinkan dan malah menyuruh kami pergi ke Miami.

Sesuai dugaanku, hotel ini benar-benar memiliki sentuhan klasik termasuk pintu kaca dengan aneka warna, karpet merah yang empuk, kursi dan meja kayu, serta lampu-lampu penerangan membuat kesan hangat seperti menyambut musim dingin yang tiada akhir. Catnya juga tidak jauh dari warna utama seperti di depan. Aku disambut seorang resepsionis dengan wajah bersinar dan senyuman cerahnya. Tapi, sebelum berkata jika ingin mengetahui di mana kamar reservasi dokter Margaretha, perempuan itu meneleponku. 

"... oke baiklah, Dok, aku ke sana," ucapku. "Maaf, temanku ternyata sudah sampai di kamarnya, terima kasih."

Puncak Empire States masih terasa dekat meski jarakku dengannya cukup jauh. Kurangkul kedua lengan kala satu-persatu menceritakan kepada dokter Margaretha tentang serpihan kenangan buruk yang terus-menerus datang. Tentang murkanya Emilia padaku, ciuman Mr. Jhonson, sampai momen panic attack yang kadang menyerang tanpa diundang. Aku merasa bahwa diriku semakin gila, mungkin kembali seperti dulu. 

"Kau tidak perlu menyakiti dirimu seperti ini, Lizzie ... Emilia ... kurasa dia menerima apa pun yang ada pada dirimu. Bukankah kalian teman akrab? Ibumu sering bercerita padaku," timpal dokter Margaretha menatapku lekat. "Mungkin mimpi burukmu berasal dari ketakutan saat Mr. Jhonson mendekatimu. Jika kusimpulkan ... bisa jadi ada sesuatu yang menarik yang membuatnya terus mendekatimu dengan cara yang tidak kau suka, Lizzie."

"Jika dia melakukan hal itu terus, aku bisa benar-benar tewas, Dok," ujarku kesal. "Bukankah dia sudah melewati batas? Aku tidak masalah dengan gosip yang menerpa tapi aku hanya geram dengan kelakuannya. Aku hanya takut orang-orang akan merendahkanku dan menganggap jika aku bisa masuk ke sana karena bantuan dia."

"Nyatanya kau masuk ke sana karena kepintaranmu, ambisimu, dan mimpimu, Elizabeth," ucap dokter Margaretha. "Obat bukanlah solusi terbaik, tapi di sini--" dia menunjuk dada kirinya tanpa melepaskan pandangan penuh keibuan itu. "Jika hatimu mampu melawan, maka otak akan menyuruh semua yang ada pada dirimu untuk tetap tenang, Nak. Bagaimana perasaanmu ketika Mr. Jhonson mendekati ehm tepatnya menciummu?"

Untuk beberapa waktu, aku terdiam cukup lama, berpaling kembali ke arah jendela menikmati hiruk pikuknya kota Industri ini. Tanpa sadar, kuraba bibir tipis ini, membuka kotak kenangan khususnya saat dia mengunci kami di ruang sempit. Berdua dan diselimuti aroma biji kopi. Mr. Jhonson kala itu bertanya mengapa aku bersikeras menolak pemberiannya termasuk ajakan makan siang. Selain itu, dia berkomentar tentang penampilanku yang dirasa tidak cocok untuk musim ini. 

Jelas, aku menantangnya walau tubuhku gemetaran dan saat itu juga dia mendorongku. Mencium bibir tanpa ijin sampai aliran darah di tubuh seketika berhenti termasuk otak. Untuk beberapa saat, otakku kembali bergerak menyusun suatu pola untuk merekam aroma tubuhnya termasuk betapa lembut bibir kemerahan itu membelai bibirku. Selanjutnya, aku tidak ingat. Aku pingsan seperti yang diceritakan Ketty. 

Dan kala dokter Margaretha bertanya hal itu, gejolak di perutku bermunculan sampai menyogok paru-paruku ke atas. Tubuhku merinding dan panas dalam waktu yang sama. Dadaku kembali berdebar sampai sesuai menjalar di pipi. 

"Itu gila," jawabku menepuk kedua pipi. "Aku pingsan ketika dia menciumku, Dok. Dan ... perutku rasanya mulas setiap mengingatnya."

Dokter Margaretha tersenyum kecil, menunjuk wajahku dan berkata, "Kau tersipu, Nak. Itu hal bagus."

Aku? Ini hanya efek blush on yang terlalu merah di pipi yang kubeli bersama Emilia tahun lalu. Mana mungkin jika aku ... ah tidak!

"Ini hal bagus untuk memulai salah satu terapi terapi eksposur."

"Eksposur?" ulangku.

"Dulu kita pernah membicarakannya, Lizzie. Terapi ini mengharuskanmu untuk menghadapi situasi yang berhubungan dengan traumamu," jelas dokter Margaretha. 

"Ah, aku ingat. Tidak!"

"Sudah kuduga," ujar dokter itu sambil tersenyum tipis. "Tapi, hanya cara ini yang bisa kau gunakan jika cara lain sudah tidak efektif lagi, Lizzie. Traumamu ... kita semua punya trauma, Sayang. Rasa itu akan membesar jika kau terus menghindarinya apalagi ... bagaimana jika ada orang di luar sana yang jatuh hati padamu dan kau--"

"Aku menolaknya!" potongku. "Aku tidak bisa terlalu lama berdekatan dengan lelaki--"

"Manajermu lelaki, bukan? Partner kerja? William juga," sela dokter Margaretha. "Kau tidak bisa selamanya terus bersembunyi dalam cangkangmu, Lizzie. Aku percaya kau adalah perempuan hebat dan kuat juga menarik di mata lelaki, termasuk Mr. Jhonson. Jika tidak dicoba, kita tidak akan tahu bagaimana hasil kan?"

Ucapan dokter Margaretha sebenarnya benar. Tapi, hatiku masih ragu-ragu kalau harus berada dalam circle bersama Mr. Jhonson. Anehnya, kenapa rasa panik ini tidak muncul kala berhadapan dengan manajerku sendiri?

"Jika aku ... harus terlibat dengan traumaku, apakah harus dengan Mr. Jhonson?"

"Ya, kalau memang sumber mimpi burukmu datang berasal dari dia," jawab dokter Margaretha. "Kudengar dari beberapa artikel keluarga Jhonson adalah keluarga terpandang dan cukup baik, Elizabeth. Kau bisa meminta tolong kepada Emilia untuk memastikannya, bukankah dia stalker?"

Aku terkekeh. Dia benar, Emilia memang stalker handal yang bisa mengetahui seluruh sosial media seseorang sampai ke akar-akarnya hanya dengan satu nama. Sewaktu kuliah, dia cukup diandalkan oleh para gadis untuk mencari tahu kebohongan kekasih mereka. 

"Mungkin ... aku akan mencobanya," jawabku ragu. 

"Kau tak perlu memaksakan diri jika hatimu belum siap. Semuanya akan berjalan baik jika hatimu percaya bahwa kau bisa melewatinya," jelas dokter Margaretha.

"Iya, Dok, terima kasih sudah mendengarkanku."

###

Tepat pukul delapan malam, taksi yang membawaku pulang sampai di depan gedung apartemen. Aku keluar dan terkejut kala sosok yang kubicarakan bersama dokter Margaretha tengah berdiri dengan setelan kasual kecuali tatanan rambutnya yang masih saja klimis. Dia melempar senyum, melambaikan tangan kanan sementara tangan kirinya membawa sebuah buket bunga. 

Apa dia gila?

"Dari mana Anda--" kalimatku terhenti mengingat dia adalah si bos besar yang selalu tahu tentang data karyawannya. 

Dia mendekat membangunkan sesuatu dalam diriku lagi. Otomatis kedua tanganku meremas tali tas erat dan kelopak mata ini mendadak tak bisa berkedip kala dia sudah berdiri di depanku, menyerahkan buket bunga mawar merah yang indah dipandang.

"Sebagai ucapan maafku padamu, Ms. Khan," katanya lirih. "Apa kau mau menerimaku?"

"Menerima bunga ya, Anda? Mari kita lihat," kataku merebut bunga itu. "Thanks, tapi kau harus pulang, Mr. Jhonson."

"Tidak!" Dia menarik lenganku. "Aku perlu bicara berdua denganmu dan nikmatilah malam ini, Ms. Khan." Dia melempar kerlingan mata sementara debaran di dada semakin tak beraturan. 

Tubuhku merinding, aku ingin berteriak kala dia menyeretku ke sebuah mobil mewah nan berkilau di bawah temaram lampu. Tapi mengingat ucapan dokter Margaretha ... aku harus mencoba.

Tapi ... 

Dadaku sesak! Aku butuh bernapas! Tidak, tidak, jangan pingsan, kumohon. Dia hanya memegang tanganku untuk masuk ke mobilnya, berdua dalam ruang sempit. Aku ...

"Mr. Jhonson!" teriakku. 

Dia terperanjat kaget.

"A-aku tidak bisa ... please ... aku butuh waktu agar terbiasa dengan ini semua," ucapku melepaskan diri lalu berlari sekencang mungkin masuk ke apartemen, meninggalkan dia seraya memeluk bunga pemberian si pria kopi. 

  

BAB 6

 

"Nobody's gonna love you like I love you." – The Moffatts-
 


"Jadi, kau sudah siap menceritakannya?" tanya Emilia dengan tangan terlipat di dada, menatapku lekat seperti ingin mengorek sampai ke akar.

"Ya dan tidak, tapi ... kurasa mungkin ini sudah waktunya," jawabku jika mengingat apa yang dikatakan oleh dokter Margaretha tempo hari.

Gadis di depanku melirik buket bunga mawar yang sudah menghitam dan menunjuknya dengan dagu. "Apakah itu termasuk?"

Mr. Jhonson? Mungkin ...

Sebelum kata-kata dalam kepalaku meluncur, bel pintu berbunyi. Buru-buru Emilia bangkit dan membuka siapa yang akan bertamu ke tempat tinggal kami. Aku melongok dan mendengar seseorang di luar sana menyebut namaku. Tak sabar, aku ikut beranjak dan melihat seorang kurir mengenakan baju merah menatapku sekilas. Emilia berpaling dan berkata,

"Ada seseorang mengirim paket untukmu."

"Aku?"

Dia menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus kertas cokelat dengan namaku yang tertera di sana. Emilia pergi tuk duduk kembali di atas sofa sementara aku masih bertanya-tanya tentang siapa pengirim benda ini.

Mr. J?

Hanya kata itu yang ada di bawah namaku. Seketika pikiran ini langsung tertuju pada sosok pria yang memberiku bunga dan mengajakku jalan berdua. Aku duduk, memangku bungkusan itu kembali memandangi Emilia tuk mulai merangkai semua jalan cerita yang rumit.

Kubuka kaus dengan gaya turtle neck yang selalu menjadi andalan untuk menutup rahasia. Menunjukkan sebuah luka kecil yang menjadi dasar rahasia terbesar yang kupendam selama bertahun-tahun. Emilia mengernyit dan memicingkan mata lalu dia menggeleng pelan tidak mengerti.

"Aku punya rahasia di ini, Emilia." Kutunjukkan sebuah keloid tipis bekas jahitan dan rasanya diriku kembali ditarik ke masa kelam itu. "Dulu ... ada seseorang yang awalnya kupercaya sebagai ayah setelah George meninggalkan kami. Lalu ..." ucapanku terhenti, mataku berkaca-kaca setiap membuka lembar demi lembar luka yang sudah tertutup ini. Air mataku berdesakan ingin keluar sampai menengadahkan kepala untuk tidak menjadi perempuan lemah.

"Dia memperkosamu?" tebak Emilia to the point.

Aku mengangguk pelan. "Dan menyiksaku." Mendadak sekujur tubuhku gemetaran kala serangan kenangan itu datang menerpa. Walau memejamkan mata rasanya bayangan wajah ayah tiriku masih terlihat jelas.

"Kau harus menghadapi ketakutanmu, Elizabeth ..."

Suara dokter Margaretha menggema di kepala, seperti cahaya yang berusaha menerangi sisi gelap diriku. Tanpa kusadari, Emilia merangkul tubuhku sambil menangis.

"Hei, ada aku di sini, Elizabeth," ucapnya sambil mengelus rambutku dengan sayang. "Aku sungguh minta maaf karena sudah berpikiran bahwa kau tidak percaya padaku. Aku ... tidak tahu jika yang kau pendam sebesar ini."

Emilia menangkup wajahku, menghapus linangan air mata yang membasahi pipi. Aku yakin wajahku terlihat jelek sekarang. Apalagi setelah membuka hal yang tidak diketahui orang lain. Tapi, gadis blonde di depanku ini pun sama, dia menangis. Dari sorot matanya, dia terlihat sangat bersalah sudah mendiamiku selama hampir dua minggu.

"Kau adalah wanita berharga, Elizabeth. Camkan itu, oke! Aku bersumpah tidak akan membiarkan orang lain menghancurkan hatimu lagi," ucapnya dengan penuh keyakinan. "Terima kasih sudah percaya padaku, Lizzie."

"Apa kau masih mau berteman denganku setelah mengetahui ini semua?"

Emilia menganga lalu tertawa. "Kau kira aku ini apa? Tentu saja aku masih menerimamu menjadi temanku, kita sudah mengenal lama, Elizabeth."

Kami berpelukan sejenak sebelum Emilia menyadari tentang bungkusan yang diberikan oleh kurir tadi. Dia menyuruhku membukanya karena penasaran siapa pengirimnya. Detik berikutnya, pupil mataku melebar mendapati sebuah gaun cantik yang terlihat classy dan elegan. Untaian mutiara di sepanjang punggung belakang pasti membuat siapa saja yang memakainya akan terlihat begitu seksi dan kontras dengan warna gaun yang hitam legam.

Emilia menarik sebuah surat yang tertinggal dalam kotak itu. Dia membeliak dan berkata, "Apakah aku melewatkan sesuatu yang lain, Elizabeth Khan?"

Kurebut kertas itu dan membacanya. Oh, Sialan! Si pria kopi itu benar-benar gencar mendekatiku. Setelah kutolak beberapa hari lain, kali ini dia menyuguhkan sebuah gaun yang benar-benar bukan tipeku. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Tidak adakah wanita lain yang bisa dia ganggu?

To : Ms. Elizabeth Khan

Aku tidak tahu bagaimana caranya agar kau bisa memaafkan atas semua sikapku. Malam ini, aku ada acara dan bila kau mau, ikutlah denganku sebagai pasangan.

With love,

Mr. Jhonson

"With love, Mr. Jhonson." Emilia menekankan kata terakhir yang ditulis tangan itu. "Oke, orang yang kau bilang sebagai imitasi Robert Pattinson. Jadi, kau sudah--"

"Bukan aku!" elakku menyingkirkan gaun itu. "Dia gila. Aku sudah melupakan apa yang terjadi pada kami dan tidak bisakah dia menjauh sebentar saja?"

"Apa yang terjadi di antara kalian? Kenapa aku merasa kau masih menyimpan sesuatu yang lain?" Emilia menatapku dengan penuh selidik.

Aku mendengkus kesal. "Dia menciumku, memaksaku untuk mau jalan berdua dengannya sementara setiap kami berdekatan, aku pingsan. Oke?"

"Kau pingsan?" Emilia menunjukku. "Kalian berciuman dan pingsan? Apa bibirnya mengandung racun seperti dalam cerita Sleeping beauty?"

"Itu adalah hal berbeda, Emilia. Ah, sudahlah! Jika dia mencariku katakan aku berada di kutub." Aku beranjak pergi ke kamar untuk menidurkan diri selagi hari libur. Daripada memikirkan lelaki dan ajakannya yang tidak masuk akal.

###

Suara dering ponsel membuyarkan mimpi panjang setelah beberapa hari tidak bisa tidur nyenyak. Sambil mengernyitkan alis, meraba-raba benda kotak itu berada. Di atas nakas, tidak. Aku berguling, meraba di sisi kiri dan ... seketika mataku terbuka lebar merasakan ada sebuah tangan yang terasa hangat dan besar. Mengerjap-ngerjapkan mata menyesuaikan cahaya kamar sampai akhirnya sosok yang tengah duduk di sampingku ini terlihat jelas.

"Astaga!" pekikku sambil bangkit dari tidur. "Ke-kenapa kau bisa di sini, hah!"

Dia. Lelaki paling gila yang bisa aku camkan di kepala. Dia. Dengan setelan jas mewah nan mahal namun membuatnya begitu berkarisma kini melempar senyum tanpa dosa lantas mengerlingkan mata biru samudranya padaku.

"Aku sudah bilang kan?"

Pintu kamarku terbuka, Emilia muncul sambil melipat kedua tangan. Bedanya, dia sudah mengenakan sebuah gaun satin merah darah berpotongan V dengan dada yang rendah dan terlihat kontras di kulit bak batu pualam itu. Emilia sangat cantik dan begitu dewasa, pulasan gincu merah dan riasan smokey eyes membuat mata biru itu semakin tajam. "Dia memaksaku dan malah mengajakku ke acaranya juga."

"Em!" teriakku tak terima. "Kau kan--"

"Apa kau akan membiarkanku melihat kalian berdua saling melempar piring setelah ini?" Mr. Jhonson menyela perdebatan kami. "Ayolah, Ms. Khan, aku tidak punya pasangan untuk acara sosial yang diselenggarakan keluargaku."

"Apa hubungannya denganku? Aku ini hanyalah karyawan di perusahaanmu, Mr. Jhonson!"

Oke, sekarang tidak ada waktu untuk berbicara formal dengannya. Sekali-kali orang seperti dia perlu diberi kata-kata sedikit kasar. Mungkinkah ini akan berefek pada pekerjaanku besok?

"Bukankah sudah ada gosip di antara kita? Kenapa tidak kita kobarkan saja, Ms. Khan. Aku suka jika digosipkan denganmu, perempuan keras kepala," sindirnya membuat Emilia menatapku dengan tatapan 'gosip apa lagi yang kau sembunyikan'.

"Aku akan menunggumu, Ms. Hall akan membantumu menggunakan beberapa riasan tipis. Kuharap kau mau mengenakan gaun yang kuberikan padamu sebagai hadiah."

Dia beranjak meninggalkan jejak aroma sandalwood yang berpadu dengan sedikit aroma kopi. Ya. Dia. Si pria kopi itu pergi meninggalkanku sementara Emilia masuk dan menunjuk kotak yang berisi gaunku.

"Ini gila," decakku kesal.

"Jika kusimpulkan untuk saat ini, dia tertarik padamu, Elizabeth," tebak Emilia. "Apa kau tidak lihat matanya? Bagaimana mungkin seorang pimpinan perusahaan mau datang ke apartemen kita? Memberimu gaun dan menunggumu di luar seperti orang tak waras."

"Aku malas, Emilia. Sungguh, dia tidak bisa berhenti menggangguku."

"Sudahlah, kau perlu datang dan diam. Ikuti saja alurnya. Bukankah doktermu mengatakan jika kau perlu menghadapi sumber mimpi burukmu?"

"Dia? Aku tidak pernah siap."

Emilia membuka kotak itu, merentangkan gaun dengan untaian mutiara yang berkilau di bawah temaram lampu kamar.

"Sampai kiamat, kau tak akan pernah siapa jika tidak mencobanya dari sekarang," kata Emilia. "Oke, bangunlah dan cuci wajahmu, aku akan menggunakan keahlianku untuk meriasmu, Elizabeth. Kau akan terlihat memesona di mata Mr. Jhonson."

###

Fuck!

Jelas ini bukan gaya seorang Elizabeth Khan. Gaun yang ketat dengan lekukan punggung yang terbuka sampai batas tulang ekor. Tak hanya itu saja, untaian bola mutiara ini juga membuat dadaku terekspos walau tertutupi brokat sekalipun, walau kedua lenganku tertutup rapat. Rambut panjangku disanggul dengan gaya klasik. Aku sempat heran dengan keahlian Emilia yang tidak pernah dia tunjukkan. Jemarinya sangat lihai memulas riasan di wajah dan menata rambut sedemikian rupa.

Kurasa dia lebih cocok jadi penata rias daripada pengejar berita.

Sedikit sentuhan lipstik peach agak kemerahan menambah kesan segar sementara riasan wajah hanya menggunakan eyeshadow cokelat dan glitter. Melihat di cermin ... aku merasa seperti kembaran Audrey Hepbrun versi modern. Tapi, saat melihat bekas luka di leherku, semuanya sirna. Aku menelan ludah lalu berkata,

"Bisakah kau menutup keloidku dengan concelear tebal?"

Emilia menurut tanpa banyak tanya, mengambil salah satu produk yang bisa menutupi kekurangan di wajah maupun tubuh lain. Dia memulas bekas luka di leher kiriku lalu meratakan dengan spons. Ah, setidaknya, luka itu tidak seberapa terlihat sekarang.

"Fantastis!" puji Emilia. "Kau tak perlu menggunakan sweatermu untuk menunjukkan kecantikanmu, Elizabeth. Ah, harusnya dari dulu kita sering main make up."

"Tapi ... ini terlalu terbuka, Emilia. Aku merasa telanjang di depan Mr. Jhonson. Bisakah kita mabuk sebentar supaya aku tidak ingat siapa diriku?"

"Sudahlah ... seleranya cukup liar dan menyeretmu paksa dari zona nyaman. Nanti saat acara berlangsung, biarkan aku mengulik informasi tentang dirinya dari orang lain. Mari kita lihat sejauh mana ketertarikannya denganmu, Lizzie."

Aku tertawa. "Baiklah mari kita lihat sejauh mana keahlianmu, Ms. Hall."

Kami berdua keluar dari kamar kala Mr. Jhonson sedang sibuk memainkan ponselnya. Dia mendongak lalu menatapku cukup lama sampai bibirnya terbuka. Oke, sekarang aku tidak tahu apa yang di pikirannya saat ini. Apakah aku terlihat buruk dengan pakaian serba terbuka atau justru sebaliknya.

Lelaki itu beranjak, melangkah perlahan mendekat yang dibalas oleh otakku untuk sedikit mundur. Emilia menahan punggungku dari belakang seraya berbisik, "Kau harus bisa bertahan menghadapi sumber mimpi burukmu. Jika dia melakukan hal aneh, aku bisa mematahkan adik kecilnya."

"Aku bisa mendengar ancamanmu, Ms. Hall," kata Mr. Jhonson. "Aku ... kau sangat cantik sampai mataku tidak bisa membedakan apakah ini Elizabeth si keras kepala yang kukenal atau seorang malaikat cantik yang turun dari bulan?"

Oh sial! Hanya satu kalimat manis itu saja bibirku langsung mengembang dengan sendirinya. Darahku berdesir dengan cepat saat dia berdiri menjulang tinggi di depanku dan merendahkan posisinya. “Memang tidak salah kalau aku mulai tertarik padamu, Ms. Khan.”

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Loving Secrets
Selanjutnya Sealed With A Kiss VOL 3
4
0
Spoiler Alert!!!Kau? Traumaku? Tahu apa kau tentang diriku, Mr. Jhonson! Aku hanyalah pegawaimu dan kau hanya berpura-pura peduli. Kau mengatakan hal itu karena kasihan kepadaku setelah bercinta denganku, kan?Dia melepas pelukann, menarik daguku untuk melihat kedua mata birunya. Apa mata ini bohong padamu? Jika aku kasihan padamu, kenapa pula aku harus melibatkan perasaanku sendiri, Ms. Khan? Jika aku mengatakan tertarik berarti aku memang memiliki perasaan lebih padamu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan