Kedai Rawon di Isekai Vol. 1 (Bab 1 - 4)

18
1
Deskripsi

Fiona si mantan karyawati digital marketing dan penyuka masakan rawon, tiba-tiba terlempar ke dunia dalam webtoon. Ia merasuki tubuh figuran budak dari tokoh antagonis Lucas. Demi bisa terbebas dari ikatan perbudakan, Fiona membantu Lucas mengolah lahan yang dipenuhi pepohonan beracun bernama pangium. Rupanya pohon tersebut tak lain adalah kluwek, penghasil biji bumbu masak rawon!

Mampukah Fiona mengerahkan seluruh kemampuannya dalam memasarkan rawon yang dibuat dengan biji pangium yang beracun?

Ketika...

BAB 1 - Kamar Asing

Fiona mengerjap-ngerjapkan mata. Ia tidak tahu sudah tak sadarkan diri berapa lama. Kepalanya terasa dihantam benda tumpul berkali-kali di sisi kanan dan kiri. Padahal seingatnya, tadi dia sedang berada di kamar sendirian, menghabiskan rawon yang baru saja dimasaknya sebelum matahari terbenam. Setelah suapan terakhir dia malah merasakan pusing yang begitu hebat.

Dalam keadaan berbaring, Fiona memandang ke sekeliling. Ruangan tempatnya berada saat ini begitu gelap. Tidak ada pencahayaan sedikit pun, hanya sinar rembulan yang masuk melalui jendela. Aneh sekali. Tadi dia makan rawon dalam keadaan lampu dinyalakan, Fiona ingat betul itu. Apa sedang mati lampu? pikirnya.

Selain gelap, wangi ruangannya juga beda. Rumah yang ia tinggali selalu diberi aroma bunga lavender di sudut ruangan. Karena mendiang neneknya suka. Katanya, supaya tidak ada nyamuk. Akan tetapi, di ruangan ini, Fiona lebih mencium aroma keringat tubuh manusia ketimbang bunga. Ada campuran bau alkohol juga. Seperti ada yang baru habis mabuk. Tercium cukup dekat. Fiona yakin, bukan berasal dari dirinya. Aku cuma baru makan rawon! Apa biji kluwek yang kupakai masak tadi mengandung sianida? Tidak mungkin, kan?

Rasa pusing itu kembali menyerang. Fiona hendak memijit kepala, lalu menyadari kalau tangannya berada di bawah balutan selimut tebal. Kebingungannya bertambah. Fiona tidak punya selimut semacam ini.

Gadis itu memutuskan untuk menegakkan badan. Sekelilingnya tampak makin jelas, setelah tadi ia hanya bisa melihat bagian langit-langit. Ada berbagai perabotan warna putih, dengan hiasan ukiran di tiap sudut pinggirnya. Luas kamar ini jelas tiga kali lipat dibanding kamar Fiona yang sebenarnya.

Ranjang tempat Fiona duduk saat ini pun bukanlah miliknya yang biasa. Lebarnya dua kali lipat dibanding miliknya. Kain alasnya begitu lembut dan halus, tampak seperti barang mahal. Mulut Fiona tak dapat mengatup, terlalu melongo melihat semua itu. 

Jantungnya berdegup kencang. Fiona menyadari, saat ini ia sedang berada di tempat yang sangat asing, dalam keadaan hanya memakai gaun putih yang tipis, bahkan hampir transparan, di bawah selimut. Berbagai pikiran buruk mulai muncul. 

Apa aku sedang diculik? Di mana aku sekarang?

***

Satu bulan yang lalu.

“Fi, kamu dipanggil sama bos, tuh.” Suara Dea membuyarkan lamunan Fiona yang sedari tadi duduk termangu di meja cubicle miliknya. Layar komputer di hadapan gadis itu menampilkan dashboard grafik penjualan produk tas dan pakaian BX Apparels secara daring selama setahun terakhir.

Berbagai nama online marketplace terkenal terdaftar di grafik tersebut, dalam satu kolom panjang. Sementara itu, di tabel samping kanannya berderet sejumlah angka yang menunjukkan performa kampanye iklan dan diskon produk perusahaan yang dipasang oleh Fiona. Kini, gadis itu menatap salah satu tabel yang angka penjualannya merosot di semua marketplace.

“Pak Theo, Mbak?” tanya Fiona memastikan.

Dea mengangguk. “Sori, aku udah bilang alasannya, tapi beliau tetap pengen ngomong langsung sama kamu.”

Fiona beranjak dari kursi dan melangkah gontai ke arah suatu ruangan besar yang ada di sisi barat kantor ini. Itu adalah ruangan atasannya, Theodore. Pria berusia setengah abad itu menjabat sebagai pimpinan operasional di BX Apparels, tempat Fiona bekerja. 

Memang, seharusnya Fiona tidak melapor langsung padanya. Masih ada dua orang lagi di atas Fiona untuk bisa sampai pada Theo. Akan tetapi, Theo orang yang bekerja secara micromanagement, alias adanya keinginan mengurusi masalah perusahaan sampai ke hal-hal kecil, yang seharusnya ia tidak perlu turun tangan langsung.

Begitulah yang terjadi saat ini. Fiona membuka pintu ruangan, dan langsung disambut oleh muka masam Theodore. Ada sebuah laptop hitam yang telah terbuka, menghadap ke arah Fiona. Gadis itu tahu apa yang akan dibicarakan, tetapi ia diam saja, menunggu atasannya bicara terlebih dahulu.

Tanpa basa-basi, Theo menunjuk pada tabel yang dikhawatirkan Fiona, seraya bertanya, “Ini kenapa turun? Sudah ketiga kalinya dalam setahun terakhir, kamu tidak fokus pada pekerjaan. Apa kamu sudah bosan, jadi digital marketing di sini?”

Fiona hanya bisa menunduk pasrah. BX Apparels adalah perusahaan pemilik merek dagang tas dan pakaian BXs yang ternama. Popularitasnya bahkan sudah sampai negeri tetangga. Makin tenar pula setelah Fiona direkrut untuk mengurusi bagian pemasaran daringnya.

Angka penjualan naik pesat hingga 60 persen sejak Fiona bergabung dengan perusahaan, dan gadis berambut hitam panjang dikuncir kuda itu sangat menjaga performa kerjanya. Namun, benar kata Theo. Ini sudah ketiga kalinya, performa kerja Fiona menurun. Kali ini, perusahaannya telah kehilangan potensi penjualan sebanyak 200 juta dalam satu minggu.

“Maaf, Pak … mungkin saya sedang kelelahan … ,” jawab Fiona takut-takut.

Sebenarnya, jawaban gadis itu tidaklah salah. Sejak bekerja sebagai digital marketing, Fiona memang jarang untuk bisa beristirahat. Setiap harinya, terutama ketika terjadi tanggal dan bulan berangka sama, menjelang waktu gajian karyawan Indonesia, bahkan saat libur nasional sekali pun, Fiona harus tetap memantau pergerakan grafik penjualan.

Fiona memastikan bahwa barang terlaris di hari sebelumnya akan muncul di iklan lebih sering, supaya makin sering dilihat orang dan mengundang pembeli berdatangan. Ia juga harus teliti melihat diskon terpasang dengan benar, serta memastikan bahwa stok barang di gudang sesuai dengan apa yang terpampang di website. Pergerakan barang yang diperdagangkan secara daring sangat dinamis setiap harinya, dan Fiona harus bisa menyesuaikan diri.

“Apa ini ada hubungannya dengan nenekmu lagi?” tanya Theo. Fiona mengangguk. Air matanya hendak tumpah, tetapi ia berusaha tegar. Nenek adalah satu-satunya anggota keluarga yang tersisa. Sejak kedua orang tuanya tiada, Fiona memboyong wanita tua itu ke ibu kota, karena dirinya diterima bekerja di sana. Baru seminggu yang lalu, neneknya telah meninggal dunia.

Paru-paru wanita sepuh itu tidak dapat lagi bertahan di tengah polusi udara kota besar seperti Jakarta. Sebelumnya, sudah dua kali sang nenek mengalami serangan asma hebat. Dua kali itu pula, Fiona kehilangan konsentrasi saat bekerja, memikirkan neneknya yang harus opname di rumah sakit. Kini, neneknya benar-benar tiada. Fiona merasa sangat bersalah, karena bahkan di saat-saat terakhir hidup beliau, Fiona tetap sibuk bekerja.

Theo menghela napas dan menghembuskannya perlahan. “Saya tahu, kamu masih dalam keadaan berduka. Tapi, kamu harus bisa bersikap profesional. Perusahaan merugi setiap kali kamu kepikiran hal lain saat bekerja … .”

Theo menceramahi Fiona panjang lebar. Kata-kata selanjutnya tidak lagi masuk ke dalam telinga gadis itu. Justru, ada rasa emosi menyeruak. Berikutnya, luapan amarah keluar begitu saja dari mulut Fiona. Sesuatu yang ia tak pernah pikir akan dilakukan sebelumnya.

“Tidak profesional? Saya? Pak, saya bela-belain ke kantor untuk acara siaran langsung produk kita di website marketplace X, saat nenek saya berjuang untuk hidupnya di rumah sakit! Karena tidak ada yang bisa menggantikan saya! Dan sekarang, Bapak bilang saya tidak profesional?!”

 “Bukan itu maksud saya, Fiona. Tenanglah … .” Theo berusaha menenangkan amarah karyawatinya itu. Akan tetapi, emosi Fiona terlanjur tumpah bak air terjun yang tak bisa tertahan.

“Siang malam selama 24 jam saya terus kerja, hari libur pun saya tidak bisa santai-santai menikmati waktu istirahat, semua demi perusahaan ini! Dan Anda bilang, saya tidak profesional? BXs untung banyak sejak saya kerja di sini, apa Anda lupa hal itu!” Fiona menggebrak meja atasannya dengan sebelah tangan. Theo sampai terlonjak kaget dan mengelus dada.

“Sekarang, saya bahkan tidak diizinkan berduka, begitu? Anda sendiri kerjanya apa! Anda itu egois, hanya karena CEO marah pada Anda karena angka penjualan menurun, Anda langsung memanggil saya!”

“Fiona! Jaga bicaramu!” Theo mulai naik pitam. Beliau beranjak dari kursi, memperlihatkan tubuh tambunnya yang sedari tadi bersembunyi di balik meja. Kedua mata pria tua itu menyorot tajam, tetapi Fiona tetap mencerocos.

“Harusnya, sebagai atasan yang baik, Anda membela saya, bukan menceramahi seperti ini!” Napas Fiona tersengal-sengal, diikuti air mata yang kerap menetes di pipi.

Theo jadi iba dibuatnya. Memang benar, beliau diperingatkan oleh sang pemilik perusahaan mengenai kerugian yang terjadi. Tanpa Fiona ketahui, Theo sendiri sudah berusaha untuk berkelit, memberi alasan agar Fiona tidak disalahkan. Beliau tahu gadis itu sedang berduka. Theo hanya ingin memberi sedikit teguran. Rupanya, ia menegur di waktu yang salah. Pria tua itu tak menyangka hal ini malah menyulut emosi karyawatinya itu.

“Saya mau resign saja, Pak,” cetus Fiona tiba-tiba.

***

 

 

 

 

BAB 2 - Mengundurkan Diri

Kedua mata Theo terbelalak, tetapi beliau tetap berusaha tenang menanggapinya. Fiona masih dalam keadaan tidak stabil. “Apa kamu serius? Jangan mengambil keputusan saat sedang emosi.”

“Serius, Pak. Maafkan saya.” Fiona menatap mata atasannya itu lekat-lekat. Ia sudah membulatkan tekad.

“Pikirkan matang-matang sekali lagi,” ucap Theo.

Fiona tidak mengubah keinginannya. Ia keluar dari ruangan atasannya itu dan mengirimkan surat pengunduran diri melalui surel, ditujukan pada Theodore selaku pimpinan dan Dea selaku manajernya. Betapa terkejutnya Dea ketika menerima surel tersebut.

“Fi, kamu serius?! Jangan resign, Fi!” seru Dea. Fiona menggeleng seraya menjawab, “Aku capek, Mbak Dea. Nanti aku serahkan sisa kerjaanku ke Mbak, ya.”

Selama sebulan menunggu kepergiannya dari perusahaan tersebut, Fiona menyerahkan seluruh pekerjaan sisanya pada Dea dan beberapa karyawan lain yang terkait. Setiap hari, Dea berusaha mengubah keinginan Fiona, tetapi sia-sia. Fiona sendiri menjalani hari-hari terakhir kerjanya bagai mayat hidup. Ia datang ke kantor, mengutak-atik sebentar komputernya, lalu pulang dengan langkah gontai. Ia hanya memenuhi kewajiban sebagai pekerja yang ingin mengundurkan diri sesuai UU Ketenagakerjaan, yakni tetap masuk kerja selama tiga puluh hari terakhir.

Tibalah hari ini, tanda pengenal diri sebagai karyawati BXs Apparels telah Fiona tanggalkan dari leher, setelah satu bulan menunggu. Fiona mengemas seluruh barang-barang pribadi yang tersisa di meja cubicle-nya. Theodore tampak tak rela kehilangan Fiona. Pria beruban tersebut datang menghampiri meja gadis itu dan memberikan sepucuk surat.

“Ini surat rekomendasi kerja yang sudah saya tulis untuk kamu.” Theo menyodorkan secarik amplop putih pada Fiona. Gadis itu terkejut. Seharusnya, ia mengambil sendiri surat tersebut di ruangan Theo, bukan si bos yang malah datang ke mejanya.

“Terima kasih, Pak … .” Fiona memandangi amplop di tangannya. Surat rekomendasi kerja dari perusahaan sekelas BX Apparels akan membuatnya diterima oleh banyak pekerjaan lain. Meski begitu, Fiona tidak yakin kalau dia ingin bekerja lagi secepat itu.

Theo menepuk pundak Fiona dan berkata, “Istirahatlah. Tapi, yang perlu kamu ingat, kamu adalah salah satu karyawati terbaik kami. Perusahaan ini akan selalu membuka pintunya untuk kamu.”

Dea yang duduk di meja cubicle sebelah menghampiri Fiona dan memeluk sembari menangis. “Sering-sering kontak, ya, Fi!”

“Iya, Mbak … .”

Fiona tidak tahu harus membalas apa kebaikan dari Theo dan Dea. Ia banyak termenung, menghabiskan sisa-sisa jam terakhirnya di kantor. Selama ini, ia berjuang untuk bisa menafkahi neneknya, agar mereka dapat hidup layak. Fiona telah berhasil mencicil lunas sebuah unit apartemen studio murah di pinggir kota. Memang bukan rumah yang memiliki halaman luas seperti tempat tinggalnya waktu kecil dulu, tetapi tetaplah layak untuk bisa memiliki tempat tinggal sendiri dan bukan kontrak. Fiona juga merancang kebun mini di beranda apartemennya, agar sang nenek punya kegiatan lain di kamar selain bersih-bersih dan memasak.

Fiona lupa, kalau neneknya terbiasa dengan udara bersih di desa. Mungkin sejak awal Fiona mengajak tinggal di kota, neneknya selalu menahan sesak, tetapi tidak pernah diberitahukan pada cucunya. Lalu, dalam satu tahun terakhir ini, sudah terjadi dua kali serangan asma hebat yang membuat beliau harus opname. Yang ketiga, ketika sang nenek mengembus napas terakhir di usianya yang sudah 80 tahun.

Fiona tahu, neneknya tidak mungkin hidup selamanya. Namun, yang gadis itu sesali, neneknya tiada dalam keadaan tersiksa, justru saat Fiona sedang ada meeting di luar kantor. Fiona mendapati tubuh neneknya telah terbujur kaku di tempat tidur, sembari tersenyum. Seolah beliau sendiri juga sudah pasrah. Betapa teriakan histeris Fiona memenuhi seluruh koridor apartemen kala melihat sang nenek untuk yang terakhir kali, terbaring tak berdaya di dapur. Mungkin, dalam detik-detik terakhirnya, sang nenek meronta minta tolong, memanggil-manggil cucunya yang tengah sibuk bekerja.

Kini, Fiona merasa sangat terpukul. Jelas ia bersalah, karena telah membuat neneknya menderita, meski berkali-kali sudah dikatakan oleh beliau saat opname dulu, kalau itu bukan kesalahannya. Akan tetapi, ada suara menggema dalam pikiran Fiona berkata, “Aku yang salah. Aku yang salah … .”

Fiona membawa semua barang-barang pribadinya dalam satu boks yang dia angkut sendiri. Selain Theo dan Dea, tidak ada orang lain lagi yang mengantar kepergiannya. Fiona terlalu sibuk bekerja. Setiap hari kedua matanya serasa menempel pada layar, membuatnya tidak sempat untuk bersosialisasi dengan siapa pun. Kehadiran neneknya adalah sebagai tempat pulang bagi Fiona. Namun sekarang, tempat pulang itu sudah tidak ada, meski saat ini ia tetap melangkah menuju apartemennya.

Fiona berjalan lemas menuju unit apartemen yang terletak di lantai tiga. Jaraknya tak jauh dari lift sebelah kiri, nomor 303. Fiona jadi ingat kegiatan neneknya sehari-hari, yakni merawat kebun mini, memasak, dan menonton televisi. Tak jarang juga, neneknya penasaran dengan barang-barang yang ada di online marketplace dalam gawai yang Fiona belikan. Dengan sabar, Fiona mengajari wanita sepuh tersebut cara membelinya.

Sering tiba-tiba ada kotak paket di depan pintu masuk, entah apa isinya, ditujukan untuk neneknya itu. Beliau suka berbelanja barang-barang yang menarik perhatian, entah itu aksesori atau sekadar keperluan dapur. Fiona sering mengingatkan kalau pesan barang secara daring, harus sering-sering mengecek pintu keesokan harinya, barangkali paketnya sudah tiba. Akan tetapi, wanita tua itu sering lupa.

Hari ini seharusnya tidak ada paket apa pun, karena yang sering berbelanja sudah tiada. Seharusnya begitu. 

Namun, saat ini, Fiona melihat ada kotak kecil hitam seukuran dua kali telapak tangan, berada di depan pintu unit apartemennya, menunggu untuk dibawa masuk.

“Paket untuk siapa ini?” tanya Fiona lirih. Gadis itu mengambil kotak tersebut dan membawanya ke dalam apartemennya. 

Fiona meletakkan kotak hitam itu di atas meja, beserta boks dari kantor dan tas kerjanya. Fiona memeriksa kotak tersebut, membolak-baliknya, dan mendapati nama ‘Fiona Adiwijaya’, lengkap dengan nomor unit apartemen dan telepon yang tertera di bagian penerima. Di sisi belakang kotak tersebut, ada nama pengirim yang benar-benar asing bagi Fiona, yakni Isekai Group.

“Nama penerimanya benar untukku. Apa Eyang yang pesan dari seminggu lalu? Tapi …,” Fiona membaca nama pengirim sekali lagi. “Isekai Group? Perusahaan apa itu?”

Fiona beranjak ke dapur untuk mengambil gunting. Ia segera membelah plastik bubble warp bening yang membungkus kotak tersebut. Apa di dalamnya barang pecah belah, sampai harus dibungkus bubble?

Pertanyaan Fiona dalam hati terjawab cepat, saat ia membuka penutup kotak tersebut. Bukan barang pecah belah seperti yang ia duga sebelumnya, tetapi sepertinya sangat dijaga dengan khusus, karena dibungkus berlapis-lapis.

Di dalam kotak tersebut, ada satu kantung kertas kecil yang berisi empat biji kluwek. Empat saja, tidak lebih. Fiona makin mengernyit. 

“Untuk apa Eyang memesan biji kluwek cuma empat begini?”

***

 

 

 

 

BAB 3 - Paket Misterius

“Ini kalau dimasak jadi rawon, hanya cukup untuk sekali masak!” celetuk Fiona, saat melihat jumlah biji kluwek yang hanya empat di tangannya.

Satu hal yang sama di keluarga Fiona adalah mereka hobi makan rawon. Masakan sup daging berkuah hitam itu memang menjadi kegemaran masyarakat asal Jawa Timur. Bahkan di desanya dulu, kedua orang tua Fiona memiliki sepetak tanah kecil yang ditumbuhi pohon kluwek. Sesekali, mereka memunguti buah kluwek yang telah jatuh ke tanah dan mengolah bijinya agar bisa dijual ke pasar. Biji kluwek adalah bumbu masak utama rawon yang menyebabkan kuahnya berwarna hitam. Aromanya sedap dan dapat menambah selera makan.

Sudah lama, Fiona tidak makan rawon. Melihat biji kluwek di hadapannya, ia jadi membayangkan masakan tersebut. Fiona tidak terlalu pandai mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi kalau masak rawon, ia patut mendapat pujian. Neneknya bahkan sering memuji kelihaian Fiona yang satu itu.

Fiona tidak menaruh curiga apa pun lagi pada si paket misterius. Ia hanya berasumsi kalau neneknya yang memesan untuknya. Segera gadis itu membuka kulkas dan mengeluarkan daging sapi, taoge, dan bumbu-bumbu lain yang diperlukan untuk memasak rawon. Tak lupa pula, Fiona membelah biji kluwek tadi dan mengambil gumpalan hitam di dalamnya, untuk dicampurkan bersama bahan-bahan lain.

“Selesai!” Satu senyuman kecil mengembang di wajah Fiona, setelah seminggu lamanya tak ada yang bisa membuat gadis itu tersenyum. Fiona mengambil semangkuk rawon hangat dari atas panci dan sepiring nasi, lalu duduk berlesehan di depan meja bundar dan makan di atasnya.

“Eyang, Ayah, Ibu … Fiona makan dulu, ya … Selamat makan … .” Fiona meneteskan air mata, seraya menyuap sesendok rawon di tangannya. Enak, sangat enak. Namun, tidak ada lagi yang memujinya seperti dulu.

Fiona menyeka air mata di pipi, berusaha menghindari perasaan sedihnya. Ia tahu tidak boleh berlarut-larut dalam duka, tetapi kadang air matanya sulit dihentikan. Gadis itu memikirkan cara lain untuk mengalihkan perhatian. Ia membuka aplikasi baca komik daring di smartphone, lalu mencari webtoon terakhir yang dia baca.

Fiona begitu asyik membaca webtoon sembari makan rawon, sampai suapan terakhir tanpa ia sadari. Gadis itu langsung membereskan piring kotor bekasnya, dan membawanya ke wastafel dapur. Namun, baru saja ia bangkit dari duduk, kepalanya terasa berdenyut-denyut. Seolah sedang dihantam sampai rasanya pusing sekali. Seluruh ruangan tampak berputar di mata Fiona.

Tak lama, tubuh Fiona oleng karena tak bisa ditahan lagi. Gadis itu meringkuk kesakitan sembari memegangi kepala. Fiona tak tahu, bahwa itu adalah hari terakhirnya, bukan hanya di kantornya saja, melainkan juga di dunia tersebut.

***

Kembali ke masa kini.

"Aduh!" Rasa sakit di pangkal paha menyadarkan Fiona dari lamunan. Ia tadi tengah berusaha mengingat-ingat apa saja yang telah dilakukan sebelum pingsan. Namun, perih yang gadis itu rasakan membuatnya meringis. Perihnya baru terasa, setelah Fiona tak sengaja menggerakkan kedua kaki yang berada di bawah selimut. 

Gadis itu menyelipkan telunjuk kanannya, hendak meraba bagian kulit di antara paha di bawah selimut. Terasa lengket di area kulit labia mayor-nya, yang kalau disentuh jadi perih seperti terluka terkena gesekan kasar, seolah baru saja digunakan paksa.

“Nduk … kowe nek kerjo sing ati-ati, ya! Ati-ati karo wong lanang!” (Nak, kamu kalau kerja yang hati-hati, ya! Hati-hati sama kaum lelaki!)

Fiona terkenang akan ucapan mendiang sang nenek bertahun-tahun lalu, ketika dulu ia mulai bekerja di kota besar. Neneknya juga menasihati agar tidak melakukan tindakan yang terlalu jauh sebelum menikah.

Selama ini, Fiona masih memegang nasihat tersebut. Tidak, Fiona bukanlah gadis yang lugu atau terlalu patuh. Ia hanya memilih untuk tidak melakukannya. Baginya, itu adalah pilihan hidup masing-masing. Ia tidak memandang aneh pula kalau ada orang lain atau bahkan temannya sendiri yang memilih berbeda. Fiona menganggap kalau itu bukan urusannya. Selain itu, ia terlalu sibuk bekerja untuk bisa punya ikatan cinta dengan seorang pria.

Jadi, apa yang terjadi sekarang, Fiona tak pernah mengalaminya. Namun, perihnya terasa. Fiona mulai berpikir yang tidak-tidak. Apa jangan-jangan, aku sudah dilecehkan …?

Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya saat ini. Fiona berpikir, ia hanya sendirian di ruangan ini. Tak ada satu orang pun yang dapat memberikan penjelasan.

Sampai akhirnya, Fiona merasakan adanya tangan yang menyentuh pahanya. Tangan tersebut besar karena memiliki banyak lemak. Fiona bergidik. Kedua mata gadis itu terbelalak saat perlahan menengok ke kiri. Siapa yang bilang tadi ia sedang sendirian?

Rupanya tidak, ada sesosok pemuda asing tampak tertidur pulas di sebelah Fiona. Rambut peraknya berkilau tertimpa cahaya bulan purnama yang mulai menghilang sebagian. Selimut di atas tubuh gemuk pemuda itu tersingkap, menampilkan dirinya yang bertelanjang dada dan hanya memakai celana kain saja.

Fiona terlonjak kaget. Napasnya menderu, seraya menyeret kedua kakinya ke tepi ranjang, hendak turun dan menjauh dari pemuda asing itu. Selimut putih tadi ia bawa serta guna menutupi dada. Fiona menginjak karpet bulu yang menghiasi lantai. Tubuhnya terus mundur, hingga membentur meja di belakang.

Fiona bergerak ke arah kanan, melihat ke arah jendela yang tirainya terbuka. Gelapnya malam terlihat masih menyelimuti langit, disertai awan yang bergelung. Fiona berusaha menggoyang-goyangkan gagang kusen jendela, hingga terdengar berderak bersahutan. Terkunci. Fiona terlalu panik untuk bisa menyadari bahwa membukanya hanya perlu menggeser selot. Gadis itu malah berlari kecil ke arah yang berlawanan. Lalu, secara tak sengaja, melewati sebuah cermin seukuran tubuh manusia yang ada di sebelah lemari. Fiona spontan berhenti.

“I-ini … ini … siapa?!” Kedua mata Fiona membulat lebar, menatap pantulan yang muncul di sana. Itu bukan dirinya. Ia tak pernah memotong rambutnya yang panjang menjadi pendek sepundak. Fiona juga merasa tidak pernah mengubah warna rambutnya dari hitam menjadi ungu. Gadis itu juga mampu untuk membeli set krim perawatan tubuh dengan gajinya, hingga membuat kulitnya mulus terawat, bukan kusam seperti yang ada di cermin.

“Oke, aku harus tenang … .” Fiona mencoba menarik dan mengembus napas secara perlahan, sambil menutup mata. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk menenangkan diri kecuali dengan cara itu. Tak lama, ia kembali membuka mata dan melihat ke arah cermin.

“Sebelumnya, aku baru saja resign dari kantor. Lalu, ada paket misterius, isinya biji kluwek. Terus, aku memasaknya … lalu, apa sekarang aku berhalusinasi? Apa aku benar-benar mabuk? Tapi, aku yakin biji kluwek tadi tidak mengandung racun! Rasanya tidak pahit, kok! Kalau sianidanya masih ada, pasti rasa rawonnya juga jadi tidak enak!”

Fiona terus saja mencerocos di depan cermin. Gadis itu tidak menyadari, bahwa suaranya telah mengganggu tidur seseorang. Ya, si pemuda gemuk berambut perak tadi. Lelaki itu meraba area kasur di sebelah kanannya. Yang seharusnya ditempati seorang gadis, rupanya sudah kosong.

Pemuda itu membuka mata, lalu mengusap-usapnya, membersihkan kotoran yang mungkin menempel. Ia menegakkan badan, ingin melihat siapa yang sedari tadi mengoceh ribut. Pandangannya makin jelas, terutama saat ia melihat kalau gadis yang seharusnya ada di sebelahnya saat ini, malah berbicara sendirian di depan cermin.

“Fiona,” panggil pemuda itu. Yang dipanggil langsung terkesiap, lupa kalau ada orang lain di kamar yang sama. Fiona menoleh perlahan ke belakang. Si pemuda berambut perak beranjak turun dari tempat tidur, hendak mendekati dirinya. Secara refleks, Fiona melangkah mundur.

“Kau sedang apa?” tanya pemuda itu. Lipatan lemak di dagu dan perutnya bergoyang kala ia melangkah. Fiona melirik ke kanan dan kiri, panik. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia bahkan tidak tahu berhadapan dengan siapa. Fiona hanya bisa diam saja.

Melihat gadis di hadapannya tak mengucap sepatah kata pun, pemuda itu menjadi gusar. “Hei, aku bertanya padamu, Fiona Nayesa! Kau sedang apa!”

Fiona mengerutkan dahi. Fiona adalah benar namanya, tetapi Nayesa bukan. Meski begitu, ia merasa tidak asing dengan gabungan nama Fiona Nayesa itu. Tapi … siapa?

***

 

 

 

 

BAB 4 - Pelampiasan Belaka

Saat ini, Fiona sedang berhadapan dengan pemuda gemuk berkulit putih, berambut perak dan memiliki iris mata merah. Fiona menduga bahwa pemuda itulah pemilik dari kamar mewah ini.

Namun, warna rambut dan matanya menunjukkan kalau dia bukanlah orang Indonesia. Sempat terlintas di pikiran Fiona bahwa itu adalah rambut palsu dan lensa kontak, tetapi setelah dipikir-pikir lagi, jarang sekali ada orang tidur tanpa melepas keduanya.

Tapi, seandainya dia adalah orang asing, dia bicara bahasa yang sama ..., pikir Fiona lagi. Pemuda itu mendekat, membuat Fiona secara refleks bergerak mundur hingga terpojok dan punggungnya mengenai cermin.

"Sudah kukatakan, jangan bangun dari tempat tidur kalau belum dini hari! Apa kau lupa, Fiona Nayesa!"

Lagi-lagi, pemuda itu memanggil Fiona dengan nama belakang Nayesa. Akan tetapi, gadis itu tidak berani bertanya. Jantungnya berdegup kencang tiap kali si lelaki asing berteriak. Sorot mata yang tajam itu menciutkan hati. Yang Fiona bisa lakukan hanyalah berusaha mengingat siapa yang pemuda itu maksud.

Nayesa? Entah mengapa, rasanya tidak asing mendengar nama itu. Nayesa ... Nayesa ... Naye--- ohhh!!

Fiona terkejut dalam diam, hanya mulutnya yang menganga dan langsung ditutupinya dengan tangan. Pemuda di hadapannya bingung melihat reaksi Fiona, "Ada apa?"

"Ah, ti-tidak ada apa-apa, Luc--- err, maksudku, Tuan Lucas!" Fiona segera memperbaiki caranya berbicara pada pemuda di hadapannya, yang tak lain adalah Lucas Foxton. Fiona menoleh ke cermin yang ada di belakangnya. Sekarang, gadis itu makin yakin tentang ingatannya. Ia hanya tidak menyangka, bahwa dirinya akan mengalami apa yang biasa terjadi dalam kisah-kisah transmigrasi ke dunia lain di webtoon.

Lucas Foxton, putra sulung Duke Foxton dari Kerajaan Navarre. Lucas adalah pemuda bertubuh gemuk yang menjadi tokoh antagonis dalam serial "Lady Renata", komik daring yang Fiona baca sembari makan rawon, sebelum ia pingsan dan mengalami perpindahan jiwa. Namun, tak seperti cerita-cerita isekai lainnya, Fiona tidak menjadi protagonis maupun antagonis.

Fiona Nayesa adalah budak yang dibeli oleh Lucas untuk melayaninya. Tokoh figuran yang mudah dilupakan oleh pembaca mana pun. Fiona bisa ingat hanya karena namanya sama dengan dirinya.

Fiona Adiwijaya telah merasuki tubuh Fiona Nayesa, dan si Fiona Nayesa ini bisa berakhir dengan kisah hidup yang tragis kapan saja, selama status budak masih menempel pada dirinya.

***

"Lady Renata" adalah komik daring yang mengisahkan protagonis wanita bernama Renata Basset. Ia hendak dijodohkan dengan Lucas Foxton oleh kakaknya.

Namun, Lucas memiliki reputasi tidak baik, yakni pria gendut yang suka bermain wanita. Oleh karena itu, Renata kabur dari perjodohan, sampai bertemu protagonis pria bernama Collin, si pemuda desa biasa. Sepanjang cerita, Lucas berusaha menggagalkan rencana Renata yang ingin agar Alex - kakaknya - bisa menerima Collin. Di akhir kisah, Alex menerima Collin karena ternyata ia adalah seorang pangeran, sementara Lucas dihukum mati akibat berusaha meracuni Collin.

Lalu, si budak Nayesa -- Fiona sebut saja begitu agar tidak rancu dengan namanya -- hanya muncul sesekali dalam cerita, ketika melayani Lucas di tempat tidur. Wajahnya pun tidak pernah dilukiskan secara jelas, karena memang hanya figuran biasa. Ia sedikit lebih beruntung karena mendapatkan nama sendiri, ketimbang figuran lain yang cuma disebut berdasarkan profesi saja, seperti "si pelayan" atau "seorang tukang kayu", misalnya.

Yang bisa Fiona ingat, Nayesa ini akan mati ketika melayani Lucas. Entah karena dia sedang sakit lalu dipaksa melakukannya, atau staminanya memang terlalu lemah dari awal sampai tidak bisa mengimbangi. Setelah meninggal, jasadnya dikuburkan Lucas di suatu tempat diam-diam tanpa sepengetahuan anggota keluarga Foxton. Pekerja di kastel Abbott cukup banyak. Tidak mengherankan, bila salah satunya menghilang, maka majikannya tidak akan ada yang menyadari.

Hanya itu yang bisa Fiona ingat. Gadis itu langsung bergidik ngeri. Meski sedang sangat berduka, bukan berarti ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Di dunia yang asing seperti ini pula.

"Tuan Lucas, saya tadi hanya mencari air minum. Itu saja," jawab Fiona. Gadis itu berusaha berkelit sebisanya.

Lucas tampak menaikkan sebelah alis, memandangi Fiona curiga. "Bukan mau kabur?"

Fiona terkesiap. Tadi dia memang punya niat seperti itu, sebelum dia mengetahui kalau jiwanya telah berpindah ke dunia lain.

"Bu-bukan, Tuan!"

Sekarang, aku sudah tahu di mana aku berada, memangnya aku bisa kabur ke mana? Lagi pula, ada sanksi yang berat bagi Nayesa untuk bisa kabur dari kediaman Foxton, ucap Fiona dalam hati.

Kerajaan Navarre memiliki hukum yang melarang adanya perdagangan manusia. Bila dilanggar, penjual dan pembeli akan dihukum penjara. Korban tidak akan mendapat hukuman, tetapi secara tak langsung akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat, yakni dipandang sebelah mata, dihina, dan dikucilkan. Sama saja seperti mati.

Meski begitu, masih ada saja oknum nakal yang melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Contohnya adalah ayah Nayesa. Dikisahkan kalau Lucas membeli budak dari seorang pria tua yang hobi berjudi dan mabuk-mabukan. Sejak saat itu, si budak tinggal di kediaman Foxton, memiliki dua pekerjaan. Siang hari sebagai pelayan rumah biasa, malam hari sebagai budak. Dengan begitu, tidak ada yang tahu profesi Fiona yang sebenarnya.

"Kau tahu, bukan, apa yang bisa kulakukan, kalau kau berani kabur?" Lucas makin mendekat ke arah Fiona hingga gadis itu tidak bisa menghindar ke belakang lagi. Tubuhnya mengimpit Fiona, hingga tangan gadis itu dapat menyentuh perut gembul majikannya.

Mudah bagi Lucas mengancamnya seperti itu. Ia adalah putra seorang Duke. Hukumannya bisa diringankan asal menebus uang denda. Dengan kekayaan tiada habis milik keluarga, Lucas bisa terbebas dari jeratan hukum kapan saja. Hanya Fiona sendirian yang menanggung akibatnya nanti.

"I-iya, Tuan ...," ucap Fiona lirih. Ia hanya menunduk, tak berani membalas tatapan mata majikannya. Fiona berusaha mengingat semua yang ada di webtoon, terkait tentang Nayesa. Gadis budak itu akan mengembuskan napas terakhir saat berhubungan intim dengan Lucas. Fiona tidak tahu kapan itu terjadi.

Mungkinkah, Nayesa yang asli sudah tiada, dan karena hal itu, aku bisa merasuki tubuhnya yang sekarang? Kalau benar seperti itu ... berarti, aku juga sudah mati di duniaku?

Fiona termenung, mengingat nenek dan kedua orang tuanya. Fiona tak lagi harus mengucapkan pamit pada siapa pun, karena pada akhirnya dia jadi sebatang kara sebelum ke dunia barunya ini. Ia juga sudah jadi pengangguran.

Benar-benar tidak ada lagi yang tersisa untukku di dunia itu. Aku hanya bisa bertahan hidup untuk duniaku yang sekarang ini. Tapi ... bagaimana caranya? Sedangkan, tubuh ini bisa mati kapan saja kalau masih harus melayani Lucas.

"Ada apa? Kenapa menangis?" Suara Lucas membuyarkan lamunan Fiona. Tanpa Fiona antisipasi, lelaki itu menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Bahkan gadis itu sendiri tak sadar kalau sedang menangis.

Fiona melihat, sorot mata tajam Lucas tiba-tiba melembut. Ini aneh sekali. Padahal seingatnya, Lucas tidak pernah berbuat seperti ini pada siapa pun di cerita yang sebenarnya.

Perlahan tetapi pasti, tubuh Lucas makin mengimpit Fiona. Sampai ia tidak dapat bergerak, baik itu ke kanan atau kiri. Tangan kanan Lucas menangkup pipi budaknya, lalu langsung mendekatkan bibirnya ke arah milik gadis itu. Ciuman yang dingin dan kasar datang bertubi-tubi. Dari bibir turun ke leher. Tidak ada cinta sama sekali yang terasa. Hanya pelampiasan belaka.

Kedua tangan Lucas mulai bergerilya, menempatkan posisinya secara tak sopan di tubuh si budak. Spontan, Fiona mendorong majikannya itu sampai mundur, menjauh dari dirinya.

***

Kembali ke DAFTAR ISI klik di sini.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Kedai Rawon Di Isekai
Selanjutnya Kedai Rawon di Isekai Vol. 2 (Bab 5 - 8)
6
3
Cuplikan:Kemudian, tibalah ia juga harus membersihkan pispot, tempat buang air kecil. Bentuknya seperti guci yang terbuat dari tembaga. Fiona meringis, hanya memegangi ujung benda tersebut dengan perasaan amat geli dan jijik.Tch, Kenapa aku harus mendapatkan ujian ini! Mau pulaaanggg! Aku kangen listrik! Ingin main internet! Ingin mandi pakai shower!***Blurb:Fiona si mantan karyawati digital marketing dan penyuka masakan rawon, tiba-tiba terlempar ke dunia dalam webtoon. Ia merasuki tubuh figuran budak dari tokoh antagonis Lucas. Demi bisa terbebas dari ikatan perbudakan, Fiona membantu Lucas mengolah lahan yang dipenuhi pepohonan beracun bernama pangium. Rupanya pohon tersebut tak lain adalah kluwek, penghasil biji bumbu masak rawon!Mampukah Fiona mengerahkan seluruh kemampuannya dalam memasarkan rawon yang dibuat dengan biji pangium yang beracun?Ketika pada akhirnya Lucas dan Fiona saling mencintai, berhasilkah jarak strata rakyat jelata dan bangsawan yang ada di antara mereka terkikis dengan semangkuk rawon?Lihat DAFTAR ISI di sini.***INFORMASI TOP UP: Silakan top up lewat website karyakarsa.com, bukan di apk (di APK lebih mahal karena terkena pajak). Pilihan bayar bisa pakai GoPay, OVO, DANA, QRIS, atau Shopee Pay. Meskipun bayarnya di web, tapi bacanya bisa lewat apk juga, jadi gak usah takut gaes.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan