Bagaimana jadinya ketika bertahun-tahun Aruna berusaha keras melupakan sosok Sadewa yang pernah menyakiti dan mengambil nyaris seluruh pengalaman pertamanya, kini justru terjebak dalam hubungan adik-kakak yang tidak mereka duga.
Perjuangannya untuk mengubur rasa sakit dengan jatuh cinta pada laki-laki lain, terkesan sia-sia. Karena Sadewa berada dalam jarak dekat dengannya. Lelaki itu bisa dengan mudah menyentuhnya, memengaruhinya, bahkan kembali membuat Aruna gila akibat sentuhan-sentuhan intimnya....
Happy reading!
===
Di bawah langit yang mulai merona jingga, sekelompok siswa SMA berbaris di tengah hutan, dengan ransel penuh peralatan bertengger di punggung mereka. Di antara mereka, Sadewa berdiri paling depan, wajahnya tampan dengan lesung pipi yang menghiasi senyum ramahnya. Dia adalah ketua Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), dikenal sebagai sosok yang karismatik dan penuh perhatian. Hari itu, mereka memulai kegiatan orientasi untuk anggota baru KIR, termasuk Aruna, seorang siswa baru yang masih canggung dengan dunia baru di sekolah tersebut.
Aruna berdiri beberapa langkah di belakang Sadewa, sesekali melirik ke arahnya dengan malu-malu. Gadis itu memiliki sifat pemalu dan polos, selalu berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya di bawah senyum tipis. Namun, hatinya berdebar-debar setiap kali Sadewa berbicara, terutama ketika suara lembutnya memanggil perhatian seluruh kelompok.
"Oke, teman-teman," Sadewa memulai, suaranya jernih dan penuh semangat. "Kita akan membangun tenda di area ini. Setelah itu, kita akan menjelajahi hutan untuk mengamati flora dan fauna sekitar. Jangan lupa, tetap dalam kelompok dan perhatikan instruksi yang sudah saya berikan." Lesung pipi itu kembali muncul saat dia tersenyum, membuat beberapa anggota, termasuk Aruna, merasa hangat di tengah suasana hutan yang mulai mendingin.
Aruna mengangguk pelan, meski kata-kata Sadewa terasa jauh karena hatinya sibuk bergulat dengan rasa kagum yang terus bertambah. Dia bergabung dengan kelompok kecilnya, mengikuti instruksi untuk membangun tenda. Namun, matanya tak bisa lepas dari Sadewa yang berjalan berkeliling, memastikan semuanya berjalan dengan lancar.
Saat malam tiba, api unggun dinyalakan di tengah lingkaran tenda. Sadewa duduk di dekat Aruna, yang berusaha menenangkan dirinya sendiri dari kegugupan yang merayap.
Selalu ada alasan kenapa Aruna bisa memutuskan mengagumi Sadewa yang baru ia kenal selama masa orientasi siswa tiga bulan lalu, kan? Jawabannya, karena entah kenapa, mereka selalu menemukan momen tatap bertemu, atau mereka menemukan momen interaksi bersama, bahkan saat Sadewa tengah menjadi anggota OSIS, lalu berperan sebagai kakak pendampingnya.
Salah satu alasan Aruna masuk ke ekskul KIR punl, tentu saja karena ajakan Sadewa yang meyakini bahwa KIR punya banyak kegiatan seru. Akhirnya, Aruna pun tidak lagi memiliki alasan untuk menolak.
Singkatnya, perasaan percaya dirinya mengatakan bahwa sepertinya, Sadewa tertarik pada gadis lugu yang setiap hari gaya rambutnya hanya di kucir kuda dengan poni dora di depannya.
"Aruna, gimana kesanmu sejauh ini?" Sadewa bertanya dengan lembut.
Aruna terkejut sejenak, tetapi kemudian tersenyum tipis sambil menunduk. "Aku... masih menyesuaikan diri. Tapi... senang bisa ada di sini."
Sadewa tertawa kecil, suara tawa yang membuat jantung Aruna berdebar lebih kencang. "Kamu akan cepat terbiasa. Kita di sini untuk belajar dan menikmati alam. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk tanya, ya."
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Aruna mulai merasa lebih nyaman. Meski rasa kagumnya pada Sadewa masih tersembunyi di balik sikap malu-malunya, dia tahu bahwa perjalanannya di KIR akan menjadi pengalaman yang penuh makna. Sementara itu, Sadewa, dengan ketulusannya, terus menjadi sosok inspiratif bagi setiap anggota, termasuk Aruna, yang pelan-pelan menemukan kepercayaan diri di antara dedaunan dan suara malam di hutan.
"Oh, ya, malam ini kayaknya cuacanya akan bagus," gumam Sadewa yang membuat Aruna menoleh padanya.
"Oh... mungkin," balasnya kebingungan.
Sadewa menoleh, balas menatap Aruna yang kini memalingkan wajah. Lelaki itu terkekeh pelan, kemudian ia memajukan wajah hingga berakhir tepat di samping telinga Aruna. "Aku pengen nunjukkin tempat indah dan tersembunyi di sini," bisiknya.
Jantung Aruna bertalu-talu ketika merasakan suara dan napas yang terlalu dekat dengannya, ia ingin menghindar, tetapi entah kenapa tubuhnya membeku. Untungnya Sadewa dengan segera menjauhkan diri sebelum ada orang yang menyadari tingkah keduanya.
"T-tempat indah? Apa itu?" tanya Aruna gugup.
Kali ini, Sadewa tidak lagi mendekatkan wajah hanya untuk berbisik pada Aruna, tetapi lelaki itu sengaja memeluk kedua kakinya yang ditekuk, lalu merebahkan kepala di atas lutut sambil memandang ke arah Aruna yang kini mati-matian menahan gugup.
"Kalau kamu mau tahu, jam 10 nanti, aku tunggu di gapura," ucap Sadewa dengan serius.
"Harus malam ini, ya, Kak?" Jam 10 malam, semua jadwal kegiatan sudah selesai, dan seharusnya semua anggota KIR beristirahat. Jika Aruna menjadi satu-satunya yang keluar, apakah ia tidak akan dicurigai?
"Iya, karena momennya ada di malam hari," ucap Sadewa yang kini sudah kembali menegakkan kepala. "Aku berharap kamu datang, ya, Runa?"
Aruna mendongak kala Sadewa sudah berdiri menjulang di sisinya yang masih duduk. Ia tatap wajah lelaki itu dengan perasaan berdebar di bawah rembulan, lalu setelah matanya memaku tatap Aruna, gadis itu tanpa sadar mengangguk, seakan terhipnotis oleh semua hal yang ada dalam diri Sadewa.
Tentu saja, Aruna akan lebih bodoh jika menolak ajakan langka ini, bukan?
===
Malam telah menjelma menjadi pelukan sunyi yang diselimuti oleh gemerlap bintang. Sadewa memimpin langkah Aruna, melewati jalur setapak yang jarang dilalui. Suara dedaunan kering yang terinjak menjadi irama lembut di antara deru angin malam. Di balik semak belukar yang rimbun, mereka tiba di sebuah tempat yang seolah terjaga dari dunia luar—sebuah danau tersembunyi, tenang dan memantulkan cahaya bulan yang berkilauan di permukaannya.
Aruna terdiam di tempatnya, mata bulatnya melebar dalam kekaguman yang tak mampu disembunyikan. Danau itu dikelilingi oleh tanah berumput lembut, dengan pohon-pohon tinggi yang melindungi tepiannya, menciptakan sebuah pelukan alam yang hangat dan menenangkan.
"Ini luar biasa...," bisik Aruna, suaranya hampir tak terdengar di antara deru lembut angin yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan.
Sadewa hanya tersenyum, senyum yang mengangkat kedua sudut bibirnya dan membuat lesung pipi itu tampak lebih dalam. Dia tahu tempat ini adalah sebuah hidden gem, hadiah alam yang jarang dijamah oleh manusia. Dengan gerakan yang penuh kelembutan, dia meletakkan kain tipis di atas rumput, mengundang Aruna untuk duduk di bawah naungan pohon yang rindang.
Aruna masih tidak habis pikir, bagaimana bisa Sadewa mempersiapkan ini begitu matang? Lelaki itu bahkan tidak memberinya clue untuk membawa barang-barang yang dibutuhkan. Namun sekarang, Aruna melihat Sadewa membawa ransel besar, yang isinya kini sedang dikeluarkan.
Ada sebuah kain tipis untuk menjadi alas keduanya, lalu sebuah selimut tipis, serta makanan roti-rotian, camilan, hingga beberapa termos yang berisi teh dan juga susu.
Aruna sampai merasa bersalah karena hanya membawa diri saat ini. Ia juga tidak berpikir harus membawa barang karena itu akan dicurigai teman satu tendanya, dan juga... mereka tidak akan menginap di sini, kan?
"Aku sering datang ke sini," kata Sadewa, menatap danau yang berkilauan di bawah sinar bulan, seperti sengaja mengabaikan tatap rasa bersalah Aruna. "Tempat ini selalu bikin aku merasa tenang."
Aruna duduk di sebelahnya, menghela napas. Poninya tampak terayun oleh angin yang berembus. Ia sedikit mencengkeram sisi hoodie dengan tangannya masing-masing, menandai bahwa Aruna kedinginan.
Tubuh kecilnya itu kini tampak tenggelam dibalik hoodie berwarna navy yang dikenakannya, celana kulotnya juga tampak menenggelamkan kaki-kaki jenjangnya di bawah sinar rembulan. Diam-diam, Sadewa tersenyum kecil, memandangi Aruna yang tampak begitu lucu di matanya.
Lama mereka saling diam, hingga Aruna merasakan sebuah asap mengepul di depannya, dan ia melihat tangan Sadewa mengulurkan gelas berisi teh hangat.
"Minum dulu biar gak kedinginan," kata Sadewa yang diterima oleh Aruna.
"Makasih, Kak." Aruna kembali memandangi danau yang terhampar di depannya. Lama-lama ia kembali terpesona oleh keindahan danau itu. Matanya masih memandang takjub pada panorama yang tersaji di depannya, tetapi kini, di sela-sela kagum itu, ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya. Dia melirik Sadewa, yang duduk dengan tangan terlipat di belakang kepala, ekspresi puas terpancar dari wajahnya.
"Terima kasih karena Kak Dewa udah bawa aku ke sini," ucap Aruna, suaranya begitu lembut dan tulus. "Aku belum pernah melihat tempat seindah ini."
Sadewa menoleh, menatap Aruna dengan mata yang penuh kelembutan. "Kamu suka?"
Aruna mengangguk pelan, senyum kecil mulai muncul di wajahnya. "Sangat suka. Ini kayak tempat dari mimpi."
Sadewa tertawa kecil, suara tawa yang terdengar seperti bisikan hangat malam. "Aku senang kamu suka. Tempat ini memang spesial."
Sadewa kemudian bangun dari tidurannya, ia membuka bungkusan roti yang berisi krim cokelat. Fokus Aruna pun akhirnya beralih, membantu Sadewa yang juga membuka beberapa camilan.
"Kalau tahu Kak Dewa mau bawa banyak barang, aku pasti ikut bawa," ucap Aruna yang dibalas kekehan oleh Sadewa.
"Ini juga cukup, Runa." Sadewa kemudian menyodorkan salah satu roti pada Aruna yang diterima dengan senang hati oleh gadis itu, saat ia melahap pada gigitan pertama, Sadewa menyeletuk, "Kamu suka sama aku, Runa?"
Wajah berseri Aruna seketika memucat, ia mendadak tidak bisa mengunyah roti yang baru saja ia gigit, dan mata bulat itu memelotot menatap Sadewa yang menampilkan ekspresi santai.
Dalam kecanggungan itu, Aruna menundukkan kepala dalam-dalam, ia mencoba mengunyah roti cokelat itu dengan rasa yang mendadak hambar. Pelan-pelan, Aruna mencoba menyelesaikan gigitan, hingga roti itu tertelan dengan susah payah
"K-Kenapa... Kak Dewa bisa berpikir kayak gitu?" tanya Aruna masih sambil menundukkan kepala.
Sadewa memperhatikan gerak gadis itu, bahkan saat ia lihat tangannya meremat roti yang baru saja digigit satu kali.
Senyum di sudut bibir Sadewa terbit, lalu tangannya terulur untuk meraih dagu Aruna agar mendongak.
"Karena... aku juga suka sama kamu."
Tubuh Aruna membeku. Matanya mengerjap polos menatap Sadewa, sementara mulutnya sedikit terbuka, sebagai respons keterkejutan dari pengakuan Sadewa.
Hal itu tentu saja tidak lepas dari sorot mata Sadewa yang kini terkekeh pelan, merasa gemas. Apalagi melihat matanya kini membulat, pipinya sedikit menggembung, lalu... mata Sadewa salah fokus pada noda krim cokelat di sudut bibir Aruna.
Tangannya kemudian terulur, menyentuh krim cokelat itu dengan ibu jarinya. Lagi dan lagi sikapnya membuat Aruna membeku, tidak dapat mencegah, bahkan menolak. Ia justru diam saja begitu melihat Sadewa memajukan wajah dengan kening yang mengernyit, lalu ibu jarinya yang sudah mengusap sisi bibir kini ditarik dan menunjukkan noda krim yang kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya untuk dijilat sambil menatap mata Aruna.
"K-Kak...," Aruna bergumam gugup. Ia sempat menahan napas ketika menyadari bahwa Sadewa kini tampak menyunggingkan senyum miring yang berbeda dari biasanya ketika ia selalu menampilkan senyum ramah.
Aruna... benar-benar melihat sisi lain dari Sadewa.
"Ada krim cokelat di bibir kamu," kata Sadewa yang kembali menyentuhkan ibu jarinya di bibir bawah Aruna.
Aruna yang sudah mulai tersadar, hendak menjauhkan kepala, tetapi Sadewa sudah lebih dulu menekan bibir bawahnya hingga ujungnya masuk sedikit. Lalu, kepala lelaki itu meneleng ke sisi, dan Aruna rasakan sebuah usapan bibir dengan ibu jari dari ujung ke ujung.
"Bibir kamu ternyata, merah alami, ya?"
"K-Kak Dewa-"
"Sebentar, ada noda yang susah hilang."
Aruna belum sempat memprotes atau menolak sentuhan Sadewa ketika wajah lelaki itu sudah memangkas habis jarak keduanya, dan Aruna hanya merasakan helaan napas keduanya saling beradu, lalu sebuah benda lembut tampak membasahi bibir Aruna, dari ujung ke ujung.
Sesaat, wajah Sadewa menjauh, ia menilik mata bulat Aruna yang kini mengerjap pelan, kemudian turun kembali ke bibir Aruna yang basah dan terbuka sedikit.
"Nggak hilang juga," ucap Sadewa. "Gimana kalau akau isap, Runa?"
Pertanyaan itu terlontar begitu santai, sedangkan Aruna tidak salah lihat ketika Sadewa justru kembali menunjukkan senyum itu. Senyum seringai yang lagi-lagi tidak bisa membuatnya menolak.
Di bawah langit malam, Aruna mulai merasa bahwa malam itu lebih dari sekadar pengalaman baru; itu adalah awal dari sesuatu yang lebih indah, di antara suara dan keheningan, di bawah sinar bulan yang menyelimuti dunia mereka.
===
TBC
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰