
PART 06
Malam itu Keira pulang ke indekos dengan diantar oleh kakak serta kakak iparnya. Tadinya mereka ingin pergi ke rumah orang tuanya Jeandra. Tetapi, Keira menolak dan mengatakan kalau sebaiknya mereka semua tidak perlu pergi ke sana. Lagi pula, ia juga baik-baik saja. Atau lebih tepatnya lagi, ia berusaha keras untuk meyakinkan sepasang suami istri itu kalau dirinya sama sekali tidak kenapa-napa. Ia bahkan mengatakan kalau dirinya sama sekali tidak telat datang bulan. Hanya saja, saat sedang mengatakan tentang hal itu di hadapan mereka berdua, Keira langsung berdoa mati-matian dari dalam lubuk hatinya. Semoga saja semesta mau mendukung kalimat yang terucap dari bibirnya. Karena sesungguhnya ia pun tidak tahu kapan ia akan datang bulan. Apakah sudah telat atau belum. Karena ia juga tidak terlalu peduli dengan periode bulanannya yang kadang-kadang memang tidak teratur.
Namun, tanpa diketahui oleh Keira. Malam itu Melisa dan Pram tetap datang ke rumah orang tuanya Jeandra. Karena pria itu memang masih sering tinggal bersama kedua orang tuanya. Meski kadang-kadang dia akan menginap di apartemen ataupun di rumahnya sendiri. Karena sesungguhnya Jeandra sudah memiliki sebuah hunian yang memang sangat jarang untuk ditempati.
Pram bilang dia hanya ingin memberikan sedikit pelajaran. Meski yang terjadi sebenarnya jauh dari kata ‘sedikit’, karena kegilaannya Pram malam itu sampai harus dipisahkan oleh Bastian—ayahnya Jeandra yang akhirnya ikut turun tangan untuk menengahi mereka setelah mendengar keributan yang terjadi di halaman rumah.
Usut punya usut, ternyata Jeandra telah meniduri Keira—adiknya Melisa. Karena hal itulah, akhirnya mereka semua berdiskusi tanpa kehadiran sosok Keira yang seharusnya ikut serta. Hingga akhirnya, keputusan pun telah dibuat, Jeandra siap menikahi Keira dan bertanggung jawab.
Hanya saja, pagi ini, Keira yang akhirnya kembali izin untuk tidak bekerja dengan alasan sedang memiliki masalah keluarga, tampak sedang mengatakan sebuah kalimat yang sama sekali tidak terduga.
“Tapi, aku enggak mau nikah,” cetus Keira di hadapan semua orang. Karena tadi ia sudah sempat dijemput oleh kakak beserta kakak iparnya dan dibawa ke kediaman orang tuanya Jeandra. Karena Pram dan Bastian merasa kalau hanya di tempat itulah mereka semua bisa berdiskusi dengan aman tanpa gangguan.
“Lho? Kenapa?“ tanya Arum yang langsung berkomentar. Arum adalah ibunya Jeandra.
Keira sempat memandang ke arah Jeandra—yang terlihat babak belur—sekilas sebelum berpaling kembali kepada Arum untuk menjawab pertanyaan dari wanita itu barusan. “Saya rasa enggak perlu sampe nikah, Tante. Saya juga enggak kenapa-napa kok.”
“Tapi gimana kalau nanti kamu sampe kenapa-napa?” Arum tampak kembali bertanya. “Tante enggak mau kalau sampai jarak pernikahan dan kelahiran anak kalian jadi terlalu deket. Jadi, lebih baik kalian berdua cepet-cepet nikah supaya jaraknya nanti enggak kentara banget.”
“Kakak setuju. Bener kata Tante Arum,” kata Melisa kepada Keira yang duduk tepat di sebelah dirinya. Ia lantas menarik punggung tangan adiknya itu dan mulai memegangnya. “Ini juga demi kebaikan kamu, Kei.”
Hanya saja, Keira benar-benar merasa ragu. Apa lagi pernikahan yang ditawarkan kepada dirinya itu tidak akan mengundang terlalu banyak tamu. Karena pernikahan itu dadakan, dan akan dilangsungkan secepatnya.
***
Nyaris dua minggu berselang sejak pertemuan mereka di rumah orang tuanya Jeandra, dan selama itu pula Keira selalu berharap semoga saja ia bisa cepat-cepat datang bulan. Sebenarnya ia ingin sekali memeriksakan dirinya ataupun membeli test pack untuk meyakinkan semua orang jika dirinya baik-baik saja, dan Jeandra tidak perlu sampai harus menikahi dirinya. Tetapi, ia sendiri pun terlalu sibuk dan takut dengan segala pemikiran yang ada di dalam kepalanya. Terlebih lagi, ia juga takut untuk menyelundupkan test pack ke indekosnya Tante Dahlia. Karena hal itu terlalu berisiko dan bisa membuat semua orang jadi berspekulasi buruk tentang dirinya. Hingga hari pernikahan itu pun sudah ada di depan mata ....
Keira sempat meminta maaf kepada ibunya saat ibunya itu sudah tiba di Jakarta. Karena sekali lagi, dirinya telah kembali membuat masalah. Saat itu Syahila memang tidak bicara banyak. Tetapi, Keira sempat melihat setitik sorot mata kecewa dari pancaran mata ibunya.
Keira tahu kalau ibunya itu pasti berharap kalau dirinya bisa menikah dengan jauh lebih layak. Namun, ada daya. Keadaanlah yang sedang tidak memihak kepada dirinya.
Lalu ... di sinilah ia berada. Di sebuah villa keluarga yang cukup jauh dari permukiman warga. Ia akan benar-benar menikah dengan Jeandra. Tetapi, tidak ada satu orang pun yang membahas tentang sosok Dinara. Karena itulah Keira juga sama sekali tidak bertanya.
Dan meskipun pernikahan ini hanya dihadiri oleh beberapa anggota keluarga saja, tapi Keira tetap didandani sekaligus dipakaikan baju yang terlihat sangat layak. Sebuah kebaya model duyung tampak membalut tubuh gadis itu dengan sangat sempurna, hingga bentuk tubuhnya pun jadi terlihat semakin indah. Rambut panjangnya digelung dengan sederhana, sedangkan di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota kecil yang turut menyempurnakan penampilan.
Keira terlihat sangat cantik dan nyaris membuat semua orang jadi terpana. Sedangkan Jeandra sudah terlihat sangat gagah dengan jas putih yang membalut tubuh tegap miliknya, dan wajahnya pun sudah terlihat membaik seperti semula. Karena sisa-sisa keganasan dari Pram tempo hari sudah mulai memudar.
Mereka melaksanakan acara pernikahan secara private, dan hanya dihadiri sekitar 20 orangan saja—termasuk penghulu sekaligus kedua belah mempelai.
Acaranya pun berlangsung dengan sangat lancar. Sama sekali tidak memiliki kendala, dan begitu ijab kabulnya telah selesai, kedua mempelai pun sempat berfoto—baik berduaan saja maupun bersama anggota keluarga. Lalu dilanjut dengan acara makan malam. Setelah itu ... selesai. Dan ya, pernikahan mereka hanya terjadi begitu saja. Tidak ada yang spesial apa lagi berkesan—setidaknya bagi Keira yang sama sekali tidak puas dengan acara pernikahannya.
***
Keira yang malam itu sedang duduk sendirian di atas arm chair, tampak menaikkan pandangannya ke arah Jeandra yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Mas...“
“Ya?“
“Ini kita enggak nikah beneran, ‘kan?” tanya Keira yang benar-benar ingin memastikan.
Jeandra tampak menatap Keira dengan dahinya yang sudah mengerut dalam. “Maksudnya?“
“Maksudnya kita enggak perlu bersikap selayaknya pasangan suami-istri pada umumnya. Iya, ‘kan?” Kali ini suaranya Keira mulai terdengar seperti sedang mendesak. Ia butuh kepastian. Karena ia merasa sangat asing dengan ini semua—termasuk dengan sosok Jeandra yang telah resmi menjadi suaminya, dan mereka juga tidak menikah atas dasar cinta. Mereka bahkan jarang sekali berbicara. Lebih tepatnya lagi, ia-lah yang malas menanggapi ataupun ikut membangun obrolan. Anggap saja ia kekanakan, tapi ia benar-benar kesal dengan Jeandra yang setuju untuk menikahi dirinya. Dan ia juga kesal kepada ibunya Jeandra yang terkesan seenaknya, meskipun wanita itu mengatakan kalau ini semua demi kebaikan dirinya serta calon anak yang mungkin sedang dikandung oleh dirinya. Padahal calon anak itu pun masih belum pasti, apakah dia benar-benar ada atau tidak. Dan Keira juga sebenarnya tidak masalah jika dirinya tidak dinikahi oleh Jeandra. Hanya karena mereka pernah ‘tidur’ bersama, bukan berarti pria itu wajib menikahi semua wanita yang pernah ditiduri oleh dirinya.
Jeandra sempat terdiam sebentar, entah sedang berpikir atau apa, tapi Keira benar-benar menunggu jawaban yang mungkin sebentar lagi akan segera meluncur dari bibirnya.
Keira berharap, semoga saja jawaban dari pria itu akan sesuai dengan keinginan dirinya. Karena ia tidak ingin menjalani pernikahan ini selayaknya penikahan pada umumnya.
*****
PART 07
Tidak ada satu pun orang di indekos yang tahu kalau kini Keira sudah benar-benar resmi menikah. Mereka hanya tahu kalau gadis itu akan segera pindah dan tidak lagi tinggal di indekosnya tante Dahlia.
Saat itu Melisa dan Pram-lah yang menemui Dahlia sekaligus membantu Keira untuk mengurus semua barang-barang miliknya. Sebagian ada yang dibawa Keira ke rumahnya Jeandra, lalu sebagiannya lagi ada yang dikirim ke rumah ibu mereka, sedangkan sisanya ada juga yang akan disumbangkan karena sudah tidak lagi terpakai.
Sampai saat ini Keira masih belum bisa menerima pernikahannya, apa lagi Jeandra juga sempat mengatakan kalau pernikahan mereka akan berjalan sebagaimana mestinya. Pria itu bahkan menegaskan kalau dia tidak ingin bermain-main dengan pernikahan mereka berdua.
Keira tidak bisa membayangkan kalau ia dan Jeandra akan terikat selamanya. Tetapi, ia juga tidak memberikan banyak komentar ketika dirinya mulai disuruh untuk pindah rumah. Saat itu ia hanya diam saja, sama sekali tidak membantah. Apa lagi kakaknya juga turut mengatakan tentang hal yang serupa. Jika dirinya harus pindah ke rumahnya Jeandra, karena mereka berdua telah resmi menikah, dan tidak mungkin kalau mereka berdua tetap akan tinggal secara terpisah.
“Kamu baik-baik ya sama Pak Jeje.” Melisa tampak mengusap pelan kepala sang adik, karena ia sudah akan bergegas pergi. Sedangkan Keira hanya diam saja—terlihat kurang tertarik untuk menanggapi. “Terus jangan terlalu sering keluar malem-malem lagi. Kalau bisa, nurut apa kata suami.”
“Kamu denger kakak kan, Kei?” tanya Melisa sekali lagi. Karena Keira sama sekali tidak menanggapi.
“Hmm... denger kok.“
“Ya udah, kalau gitu kakak pulang dulu.“
Keira ingin sekali menahan kakaknya atau meminta untuk ikut pulang bersama sang kakak. Tetapi, ia tidak mungkin melakukannya. Apa lagi masih ada sosok Arum yang sedang mengobrol dengan Pram di atas sofa ruang tengah. Karena sejak tadi wanita paruh baya itu memang sudah ada di sini—mungkin ikut mengontrol kepindahan dirinya ke rumah ini.
Setelah kepergian Melisa dan Pram, kini Keira pun hanya berduaan saja bersama Arum yang masih belum pulang. Sedangkan Jeandra sudah izin untuk mandi setelah ikut bantu-bantu sekaligus menata beberapa furniture baru di dalam kamar. Karena sekarang kamarnya itu sudah akan ditempati juga oleh Keira, dan Keira sama sekali tidak menduga kalau Jeandra memiliki inisiatif sendiri untuk membelikannya meja rias.
Awalnya kamar utama itu hanya berisi karpet bulu, ranjang, 1 buah nakas, lemari dua pintu, dan 3 tingkat ambalan di tembok yang dihiasi oleh beberapa buku serta miniatur keramik dan beberapa hiasan dari kristal.
Namun, kini kamar itu sudah benar-benar terisi dan ditata ulang dengan sedemikian rupa, sehingga terlihat jauh lebih hidup dan lebih ramai. Ada ranjang besar di tengah-tengah ruangan dengan karpet bulu di bagian bawahnya, nakas di bagian kanan-kiri yang dilengkapi lampu tidur dari kristal yang terlihat sangat cantik, meja rias, lemari baru yang jauh lebih lebar, serta satu set kursi yang dilengkapi dengan sebuah meja bundar. Sementara 3 tingkat ambalan di salah satu dinding sama sekali tidak berubah.
Tak lama berselang, Arum sudah pamit pulang dengan dijemput oleh sopir suaminya. Wanita paruh baya itu juga sempat berpesan, “Kalian berdua yang akur ya. Jangan bertengkar. Kalau ada masalah, cepet-cepet diomongin berdua.”
Lalu, tinggal-lah Keira dan Jeandra yang hanya berduaan saja di dalam rumah. Sebenarnya bertiga bersama Gia—asisten rumah tangga yang dipekerjakan oleh Jeandra untuk mengurus rumah sekaligus dipercayanya untuk tinggal di rumah itu sendirian. Karena sebelumnya Jeandra memang jarang pulang dan lebih sering pulang ke rumah orang tuanya. Tetapi, Gia tadi pamit izin untuk pergi ke mini market sebentar. Karena ada beberapa kebutuhan di dapur yang harus segera dibeli oleh dirinya.
Keira lantas masuk ke dalam kamar—membiarkan Jeandra dan sama sekali tidak menegurnya. Ia belum sempat memindahkan semua pakaian miliknya, karena ia tadi baru sempat memasukkan setengahnya ke dalam lemari pakaian. Sedangkan sepatu serta tasnya sama sekali belum sempat dibongkar. Keira bahkan bingung harus menyimpan tas dan sepatunya itu di mana. Karena tidak mungkin juga ia harus menyimpannya di dalam lemari pakaian. Tetapi, bisa saja ia menyimpannya di bagian bawah baju yang tergantung agar tidak terlalu memakan tempat.
Keira akan mempertimbangkannya nanti saat ia sudah selesai membereskan semua baju-bajunya yang ternyata lumayan banyak. Pantas saja dulu kakaknya sempat mengeluh karena pakaiannya yang memakan banyak tempat dan semakin membuat kamar kos mereka jadi lebih sesak. Untung saja saat itu keduanya masih tetap betah untuk tinggal di sana.
Setelah selesai membereskan semua baju-baju miliknya, akhirnya Keira pun memutuskan untuk segera mandi agar bisa segera berganti pakaian. Karena pakaiannya saat ini sudah lumayan tidak enak untuk digunakan. Apa lagi ia juga sempat mengosongkan kamar kosnya dan ikut membereskan semua barang-barang yang ada di sana.
Saat itu Keira sama sekali tidak berpikir untuk turut membawa baju gantinya ke dalam kamar mandi, sehingga ia pun merasa sangat terkejut begitu keluar dari kamar mandi—hanya dengan mengenakan selembar handuk—dan mendapati Jeandra yang baru saja membuka pintu.
“Kenapa pintunya gak diketuk dulu sih, Mas?!“ Keira langsung mendelik kesal sembari memegangi belitan handuk yang ada di bagian depan dadanya. Karena ia tidak ingin kalau sampai handuk itu melorot secara tiba-tiba, lalu Jeandra akan melihat tontonan gratis dari dirinya. Demi apa pun, ia masih merasa tidak rela.
Jeandra yang sudah menutup kembali pintu kamar, tampai menaikkan sebelah alisnya menatap Keira. “Ini kan kamar saya, jadi saya rasa saya bisa bebas mau masuk kapan aja.”
Keira kontan mendengkus kesal begitu mendengarnya. “Tapi kan sekarang udah ada saya. Jadi, mas-nya udah enggak bisa lagi berbuat seenaknya.“
Jeandra malah tersenyum kecil, sedikit merasa geli dengan panggilan ‘mas-nya’ yang masih saja digunakan oleh Keira. Sedangkan Keira masih berdiri di tempatnya sekarang, tapi dengan wajah berkerut percampuran antara rasa kesal dan bingung dengan tingkah lakunya Jeandra yang sedang tersenyum seperti barusan.
“Ya udah, sorry.” Akhirnya, Jeandra pun memilih untuk mengalah. “Lain kali saya bakalan ketuk pintu dulu sebelum masuk.“
Keira yang mendengarnya, tampak tidak memberikan tanggapan apa pun. Tetapi, ia sedang menunggu, menunggu Jeandra untuk segera keluar karena ia ingin mengambil baju sekaligus memakainya di situ. Hanya saja, Jeandra tak kunjung keluar yang membuat Keira akhirnya bertanya—masih dengan rasa kesal meski tidak terlalu kentara. “Terus ini mas-nya ngapain masih di sini?”
“Memangnya kenapa?“ tanya Jeandra yang mulai sedikit menolehkan kepalanya. “Kan ini kamar saya juga.”
Keira langsung membuang napas dengan agak kasar. Tetapi, ia sedang malas untuk berdebat. Jadi, ia pun segera melangkah ke arah lemari pakaian, lalu menarik baju piamanya dari lipatan teratas, serta mengambil pakaian dalamnya dari laci yang ada di bagian bawah. Ia berharap semoga saja Jeandra tidak memedulikan apa yang tengah ia lakukan. Karena ia tidak ingin kalau sampai bentuk pakaian dalam miliknya dilihat oleh orang lain, meskipun orang itu telah resmi menjadi suaminya. Ingat, pernikahan ini bukan pernikahan yang diinginkan oleh dirinya. Ia terpaksa menerimanya karena nyaris semua orang mengatakan kalau pernikahan inilah yang terbaik untuk dirinya. Kalau dipikir-pikir, kenapa kemarin itu ia tidak memberontak saja. Atau kabur seperti dulu hingga kakaknya harus melapor ke polisi saat ia sengaja menghilang tanpa kabar.
Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Keira pun cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi. Ia bahkan tidak memedulikan sosok Jeandra yang sepertinya sedang mencari sesuatu di laci nakas. Karena dari ujung matanya—kalau ia tidak salah lihat—pria itu tampak sedang berjongkok di sana dan mencari sesuatu entah apa.
Kemudian, tanpa diduga, saat Keira sudah selesai memakai baju dan sedang menjemur handuknya di sebuah jemuran handuk stainless yang terdapat di dalam ruangan itu, ia malah ingin pipis hingga akhirnya ia pun mendapati sesuatu. Sial. Kenapa ia baru mens hari ini? Di saat dirinya sudah menikah dengan Jeandra selama tiga hari dan orang-orang beranggapan kalau dirinya pasti sedang hamil.
Rasanya Keira ingin sekali berteriak dan memutar waktu supaya dirinya tidak perlu menikah. Kalau sudah seperti ini, bukankah pernikahan kemarin itu terasa sangat sia-sia?
*****
PART 08
“Mas, kalau kita ngajuin pembatalan pernikahan aja, gimana?”
Keira tahu ini konyol, tapi pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya saat ia keluar dari kamar dan mendapati Jeandra yang sedang duduk sendirian di atas meja makan. Gia yang saat itu sedang berada di sekitar sana juga, tampak ikut terkejut atas pertanyaan Keira yang terasa sangat tiba-tiba.
Sementara itu, Keira yang baru menyadari tentang keberadaannya Gia, karena ia tidak tahu kalau ternyata wanita paruh baya itu sudah pulang ke rumah, tampak langsung meringis kecil dan melirik takut ke arah Jeandra yang saat ini sudah mulai menampilkan tatapan tajam—seakan sudah siap untuk menyemprot dirinya.
“Gak usah aneh-aneh kamu, Kei. Saya enggak akan ngebatalin apa pun. Mending kamu duduk, sekarang kita makan dulu.”
Keira hanya mampu merengut, lalu menarik salah satu kursi yang terletak paling jauh. Supaya dirinya tidak perlu berdekatan dengan Jeandra yang saat ini masih menampilkan raut wajah seram—berikut dengan tatapan tajam. Karena demi apa pun, tatapan mata pria itu kadang-kadang mampu membuat dirinya jadi merasa cukup ketakutan.
Mereka berdua tampak makan malam dalam diam. Hanya suara dentingan dari alat makanlah yang sesekali akan terdengar dan mengisi kesunyian. Sedangkan Gia tadi sudah pamit pergi ke belakang—ke arah dapur kotor untuk membereskan beberapa pekerjaan.
“Saya serius lho, Mas.” Keira akhirnya berani bergumam ketika Jeandra sudah mulai menampilkan raut wajah normal. Saat itu mereka sudah selesai makan, dan Keira sengaja mengekori Jeandra yang ternyata duduk di kursi teras samping rumah. Keadaan di sana lumayan sejuk akibat angin malam yang berembus tidak terlalu kencang.
“Serius soal apa? Pernikahan kita?” tanya Jeandra yang menolehkan kepalanya sekilas, karena Keira masih berdiri di dekat sliding door kaca yang terhubung ke halaman samping rumah.
“Tentang pembatalan pernikahan,” sahut Keira dengan suara pelan. Dan Jeandra pun langsung mengembuskan napas kasar.
“Memangnya kenapa sih?! Kenapa sampe harus dibatalin?“ Jeandra benar-benar terlihat sangat kesal dan sensitif saat membahas tentang hal ini. Tetapi, kali ini Keira memilih untuk memberanikan diri. Karena ia sudah mens, dan sama sekali tidak sedang hamil.
“Soalnya saya enggak hamil.”
“Tahu dari mana kalau kamu enggak hamil? Memangnya kamu udah berani buat beli test pack?” tanya Jeandra, masih dengan sisa-sisa raut wajah kesal yang terlihat cukup jelas.
“Tadi aku udah mens,” jawab Keira dengan suara kecil dan tanpa sadar menggunakan kata ‘aku’. “Jadi, aku pikir—“
“Ya udah, malah bagus. Itu artinya kita enggak punya anak di luar pernikahan. Tadinya saya udah bingung, gimana kalau anak kita nanti perempuan? Mungkin saya enggak bakalan bisa buat jadi wali nikahnya kalau nanti dia udah dewasa.”
Keira yang masih berdiri di dekat pintu kaca, tampak langsung terhenyak. “Maksud saya bukan itu—“
Kalimat Keira harus terpotong, karena Jeandra baru saja menoleh dan memberi isyarat berupa jari telunjuk di depan mulut. Lalu sebelah tangan pria itu pun tampak mendekatkan ponselnya ke arah samping telinga, dan dia kembali menoleh ke arah depan tanpa memedulikan lagi sosok Keira.
Hal itu kontan saja membuat Keira jadi kembali merengut dan merasa tidak terima. Ia belum selesai berbicara, tapi Jeandra malah sibuk menerima telepon—entah dari siapa. Keira lantas berbalik masuk sambil mengentak-entakkan kedua kakinya. Ia kesal karena Jeandra sama sekali tidak mau menuruti apa kemauan dirinya. Padahal ia ingin sekali mengajukan pembatalan pernikahan, tapi ia tidak mungkin melakukannya sendirian. Bisa-bisa ibu serta kakaknya nanti malah akan menyalahkan dirinya.
Saat sudah berada di kamar, Keira baru berpikir kalau bisa saja Jeandra tadi sedang berteleponan dengan sosok Dinara. Dan seharusnya ia tadi tetap berada di sana saja, lalu ikut mendengarkan obrolan mereka berdua, bukannya malah masuk ke dalam kamar dan membiarkan Jeandra menerima teleponnya sendirian.
Sekarang Keira jadi merasa sedikit menyesal. Meskipun ia terpaksa menikah dengan Jeandra, tapi bukan berarti ia rela jika harus diduakan begitu saja. Apa lagi waktu itu Jeandra juga sudah sempat mengatakan kalau pernikahan mereka akan berjalan secara normal, seperti pasangan suami-istri pada umumnya.
Kalau Jeandra sudah berani mengatakan hal itu, itu artinya dia juga harus bisa berkomitmen, dan tidak lagi berhubungan dengan Dinara walaupun hubungan mereka sudah berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama.
Keira yakin kalau pemikirannya saat ini sama sekali tidak salah. Sehingga ia pun mulai berpikir untuk memata-matai Jeandra melalui kakaknya. Karena setahu dirinya, Jeandra dan Dinara masih satu kantor bersama sang kakak. Mungkin melalui kakaknya, ia nanti bisa sedikit mendapatkan informasi apakah Jeandra dan Dinara masih sering terlihat bersama, atau yang lebih parahnya lagi akan makan siang berdua?
Lihat saja, kalau sampai ia tahu jika Jeandra masih sering makan siang berduaan bersama Dinara, maka ia tidak akan segan-segan untuk meminta bantuan kepada kakak iparnya yang memiliki uang serta kekuasaan agar bisa membebaskan dirinya dari Jeandra serta pernikahan konyol yang terjadi di antara mereka berdua.
***
Saat malam pertama mereka di villa, Keira sempat merasa was-was kalau-kalau Jeandra akan langsung meminta haknya sebagai seorang suami.
Namun, ternyata tidak. Malam itu tidak sempat terjadi apa-apa. Sehingga membuat Keira jadi merasa sangat lega. Begitu pula dengan malam-malam setelahnya. Karena malam itu Keira sudah kembali ke indekosnya Dahlia dan menginap di sana sendirian.
Lalu, malam ini, ketika dirinya sudah kembali akan tidur sekamar bersama Jeandra, Keira sudah bisa merasa jauh lebih tenang dan aman. Karena saat ini ia sedang datang bulan, dan Jeandra tidak mungkin memaksanya untuk melakukan hal yang bukan-bukan.
Keira memutuskan untuk tidur duluan saat ia merasa kalau sudah hampir 2 jam ia menurunkan nasi yang tadi sudah sempat ia santap. Dan selama 2 jam itu, Keira hanya duduk di atas kursi sambil bolak-balik menonton reels IG serta YouTube Short. Sesekali ia akan berbalas pesan di grup chat berisi ia, kakaknya, juga ibunya. Karena ibunya itu sudah tidak marah lagi kepada dirinya, dan sudah mau berbicara dengan dirinya secara normal—sama seperti biasanya. Karena sepertinya ibunya itu sudah bisa menerima kalau ia menikah dengan Jeandra dengan cara yang tidak wajar, serta alasan yang tidak wajar pula.
Jeandra baru masuk ke kamar ketika Keira sedang membenarkan letak bantal di atas tempat tidur mereka berdua. Saat itu Keira hanya menoleh sekilas, lalu kembali sibuk dengan aktivitasnya sebelum berbaring di atas ranjang sekaligus menyelimuti tubuhnya di atas sana. Keira sengaja menutupi tubuhnya sampai ke bagian leher, serta menaruh guling di tengah-tengah ranjang. Sedangkan Jeandra tadi sudah menghilang ke kamar mandi, dan Keira segera memejamkan matanya sembari berbaring miring menghadap ke arah jendela yang tertutup gorden.
***
Keira tak sengaja terbangun dan menyadari kalau ada sesuatu yang sedang menindih bagian perutnya. Ia lantas mengerjap-ngerjap sekilas, kemudian menunduk dan melihat tangannya Jeandra. Keira jadi refleks menyingkirkan tangan pria itu dan membuka selimutnya yang sudah turun ke bawah—hanya menutupi bagian perut hingga kedua kakinya.
Jeandra sempat bergumam tidak jelas sebelum bergerak dan memunggungi tempatnya Keira. Keira yang melihatnya, sama sekali tidak berkomentar. Ia malah langsung melesat ke kamar mandi setelah melirik jam yang tergantung di salah satu dinding kamar. Ia ingin mengganti pembalut serta celana dalam miliknya. Karena bagian pantatnya mulai terasa tidak nyaman. Untung saja celananya tidak bocor dan masih terlihat sangat aman.
Begitu sudah selesai dengan urusannya di dalam sana, Keira pun langsung kembali mendekati ranjang dan baru teringat kalau ia tadi sempat dipeluk oleh tangannya Jeandra.
Keira jadi merasa geli sendiri. Bisa-bisanya Jeandra malah memeluk dirinya. Apakah saat mereka tidur seranjang di villa, pria itu juga sempat melakukan hal yang sama?
Keira benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau nanti ia sudah selesai datang bulan, dan Jeandra malah melakukan hal yang jauh di luar batas dan lebih dari sekadar pelukan.
Keira jadi bergidik ngeri sendiri, lalu melihat kalau satu-satunya guling di sana sedang didekap oleh Jeandra yang sedang tidur dengan posisi tubuh memunggungi dirinya. Sehingga di bagian tengah-tengah ranjang pun sama sekali tidak memiliki pembatas. Dan akhirnya Keira pun hanya bisa pasrah, kemudian masuk kembali ke dalam selimut sebelum berbaring miring menghadap ke arah jendela.
******
PART 09
Mungkin satu-satunya hal yang bisa disyukuri oleh Keira setelah ia menikah adalah dirinya yang kini sudah tidak perlu repot-repot lagi untuk bekerja. Sehingga pagi ini pun ia tidak tahu harus melakukan apa setelah mandi dan berganti pakaian. Karena pekerjaan rumah sudah dikerjakan oleh Gia. Lantaran orang kepercayaannya Jeandra itu sudah bangun lebih dulu, sepertinya saat masih pagi-pagi buta. Dan begitu Keira keluar dari kamar sekitar pukul 6 lewat 15 menit waktu setempat, ia melihat keadaan di lantai 1 rumahnya Jeandra sudah terlihat rapi dan bersih karena sudah hampir selesai untuk dibereskan.
Keira lantas pergi ke dapur dan mengecek keadaan di sana. Meskipun ia tidak bisa memasak, tapi mungkin ia bisa membantu Gia untuk mengupas bawang.
“Bik,”
“Iya, Non?” Gia yang sedang berjongkok di depan pintu kulkas—mengumpulkan bahan makanan yang sedang ia perlukan, tampak menoleh ke arah Keira yang saat ini sudah terlihat sangat cantik dan segar.
Perempuan itu mengenakan blus berlengan pendek berwarna biru muda yang dipadukan dengan celana di atas lutut berwarna putih serta riasan simple yang terlihat sangat fresh di wajah. Sedangkan untuk alas kakinya, dia menggunakan slipper berwarna pink pastel yang sejak kemarin memang selalu dia gunakan selama berada di dalam rumah.
Gia benar-benar merasa kagum saat melihatnya. Meskipun apa yang dikenakan oleh Keira terlihat simple khas anak rumahan, tapi cara gadis itu memadu-padankan pakaian terlihat sangat cocok dan enak dipandang. Dari awal Gia mengenal Keira ketika gadis itu diperkenalkan sebagai istrinya Jeandra, ia sudah merasa sangat kagum dan sampai hari ini ia masih sering dibuat terpana. Karena wajahnya Keira memang benar-benar luar biasa cantik dan gadis itu juga terlihat sangat pandai untuk merawat dirinya.
“Bibi perlu bantuan atau enggak? Saya bisa kok kalau disuruh metik cabe atau ngupas bawang.”
Gia yang mendengarnya, langsung menolak dengan nada sungkan. “Non enggak perlu repot-repot buat bantuin saya, saya udah biasa kok ngerjain semuanya sendirian.”
“Tapi Bik...”
“Enggak usah ya, Non? Saya enggak enak. Kemarin juga Nyonya Arum udah titip pesen, katanya Non Keira enggak boleh kecapek-an.”
Keira langsung meringis kecil begitu mendengarnya, tapi akhirnya ia setuju untuk tidak melakukan apa-apa. Jangan sampai Gia malah mendapatkan teguran karena dirinya yang ngeyel dan keras kepala. Lalu, sebagai gantinya, Keira pun memilih untuk segera kembali menaiki anak tangga. Ia ingin menghampiri Jeandra yang saat ini masih berada di dalam kamar, kemudian meminta kepada pria itu agar segera mengatakan kepada Arum kalau ia tidak hamil supaya ibu mertuanya itu bisa segera berhenti berharap.
Sebelum masuk kembali ke dalam kamar, Keira sengaja mengetuk pintunya. Berhubung tidak ada sahutan, jadi ia pun mulai memanggil dengan suara sedang. “Mas ...?“
Dan ternyata hasilnya masih sama. Keira berpikir mungkin saja Jeandra masih berada di dalam kamar mandi, makanya tidak bisa mendengar ataupun menyahuti ketukan pintu serta panggilan dari dirinya barusan.
Keira lantas membuka pintu itu dan memasukkan sedikit bagian kepalanya untuk melihat keadaan di dalam kamar. Kosong. Jeandra tidak terlihat, dan kemungkinan besar urusan pria itu di kamar mandi memang belum selesai.
Keira pun mulai duduk di atas kursi yang terletak di bagian sudut ruangan. Karena di bagian kamarnya itu memang terdapat 1 set kursi yang terdiri dari 4 buah arm chair serta meja bundar yang masih kosong melompong—rencananya nanti Keira ingin menghias meja itu dengan sebuah vas serta memberinya sedikit sentuhan bunga segar. Keira yakin kalau Jeandra tidak akan marah hanya karena ia menambahkan bunga di dalam kamar tidur mereka berdua.
Tak lama berselang, Keira pun akhirnya mendengar kalau pintu kamar mandi baru saja dibuka, sehingga ia pun segera memalingkan pandangannya ke arah sana. Tetapi, apa yang dilihatnya benar-benar di luar dugaan. Jeandra keluar dari kamar mandi hanya dengan selembar handuk yang menggantung dari pinggang hingga ke bagian lututnya.
Keira sempat membelalakkan matanya sekilas, lalu segera membuang muka sembari berkata, “Kenapa enggak sekalian pake baju di dalem aja sih, Mas?“
“Lho? Kamu di sini? Bukannya tadi udah keluar?”
“Iya, aku di sini.”
“Ngapain?” tanya Jeandra dengan keningnya yang masih mengernyit. Tidak mungkin kan kalau Keira ingin menggunakan kamar mandi? Karena kamar mandi di kamar tamu ataupun di lantai bawah masih sama-sama berfungsi.
“Aku mau ngomong sama kamu.”
“Ngomong apa?” Jeandra tampak menaikkan sebelah alisnya. “Jangan bilang kalau ini masih ada hubungannya sama pembatalan pernikahan yang kamu omongin semalem. Soalnya jawaban saya masih sama, saya enggak mau.”
“Ini soal Ibu kamu,” sahut Keira tanpa memalingkan wajahnya sedikit pun, ia masih betah menatap ke arah luar jendela supaya tidak perlu melihat Jeandra yang masih shirtless. Karena telinganya tidak mendengar kalau pria itu sudah membuka lemari pakaian, apa lagi sudah memakai baju.
“Hah? Mama?“ gumam Jeandra yang dengan dahi yang berkerut samar. Ia lantas mendekat ke arah Keira. “Kenapa sama Mama?”
Keira akhirnya melirik ke arah Jeandra yang saat ini sudah berdiri di dekat arm chair yang ada di hadapan dirinya. Bentuk tubuh pria dewasa yang rajin olahraga memang terlihat sangat luar biasa. “Mending Mas kasih tahu Mama kalau sebenernya aku enggak hamil, supaya Mama enggak terlalu berharap. Kan kasihan.“
“Oh... saya pikir ada apa.“ Jeandra tampak menanggapi dengan santai, sampai Keira merasa kesal sendiri saat melihatnya.
Gadis itu pun langsung berdecak samar.
“Kok cuma gitu aja sih tanggapannya? Mending kamu kasih tahu Mama sekarang deh, Mas. Nanti lupa.”
“Kenapa enggak kamu aja yang ngehubungin Mama? Biar kalian berdua jadi lebih akrab.“
“Please deh, Mas.“ Keira nyaris saja memutar bola mata. “Kalau mau mengakrabkan diri, kayaknya topik ini sama sekali enggak tepat. Mending kamu aja deh yang bilang sendiri ke Mama. Kamu kan anak kandungnya. Aku enggak mau ikut-ikutan.”
Keira segera berdiri dari atas kursinya.
“Oke. Nanti saya langsung bilang ke Mama, tapi ada syaratnya.”
“Apa?“
Bukannya memberikan jawaban, Jeandra malah memegang sebelah pergelangan tangan istrinya.
Sontak saja hal itu membuat Keira jadi merasa terkejut dengan mata membelalak. “Mau ngapain?!” tanyanya dengan nada panik.
Jeandra hanya tersenyum tipis, lalu menarik Keira serta menahan bagian belakang kepala istrinya. Ia lantas meraup bibir gadis itu dan melumatnya sebentar.
Keira speechless di tempat. Tubuhnya terasa kaku seketika. Jeandra baru saja melumat bibirnya, dan ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
***
Ini pertama kalinya Keira dicium oleh pria dewasa dalam keadaan sadar. Karena sebelumnya, saat ia tak sengaja tidur dengan Jeandra, ia tidak ingat apa-apa, tapi ia yakin kalau pria itu pasti sudah pernah mencium bibirnya. Dan tadi ... saat mereka berdua sedang ada di kamar, Keira benar-benar merutuki dirinya yang hanya mematung dan baru tersadar saat Jeandra sudah mengeluarkan suara tawa renyah sembari mengusap bagian ujung bibirnya.
Keira yakin jika pria itu sedang menertawakan dirinya, menertawakan reaksi konyolnya. Karena ia bertingkah seperti gadis perawan yang baru mendapatkan ciuman pertama. Padahal ... ia sudah sering berciuman, apa lagi ciuman pertamanya sudah dimulai sejak ia masih duduk di bangku SMA.
Tadi, begitu tersadar, Keira hanya sempat melemparkan tatapan sebal, lalu segera keluar dari kamar dan memutuskan untuk duduk di atas sofa ruang tengah.
Keira jadi berpikir, jika sekarang saja Jeandra sudah berani untuk mencium bibirnya, lalu nanti apa lagi?
Tetapi, kalau dipikir-pikir. Tentu saja Jeandra berani, kan mereka berdua sudah resmi menjadi suami-istri.
Dan sekarang, Keira-lah yang merasa semakin ketakutan. Ia takut kalau tamu bulanannya akan segera selesai, kemudian Jeandra akan melakukan hal yang lebih jauh dari sekadar pelukan ataupun ciuman.
Di tengah kekacauan yang sedang terjadi di dalam pikirannya, Keira pun mendengar suara langkah kaki dari arah anak tangga. Refleks, ia pun jadi menolehkan kepala. Lalu merengut masam, walau hanya sekilas. Karena ia langsung bersyukur begitu menyadari kalau Jeandra sudah rapi dengan mengenakan setelan pakaian kerja. Itu artinya ia akan ditinggal sendirian di dalam rumah dan ia bisa melewati harinya tanpa kehadiran pria itu di sana.
Keira benar-benar merasa lega begitu mengetahuinya.
*****
PART 10
Seharian ini Keira sama sekali tidak mengerjakan pekerjaan rumah, karena semuanya telah dikerjakan oleh Gia, dan wanita itu pun tidak ingin dibantu oleh dirinya. Sehingga ia pun hanya mengisi waktu luangnya dengan merawat diri, seperti bersantai sambil memakai masker, lalu tidur siang sebentar, dan dilanjut dengan memakai lulur sekaligus berendam. Ia bahkan lupa untuk bertanya kepada kakaknya apakah hari ini Jeandra terlihat sedang menghabiskan waktu makan siangnya bersama sosok Dinara atau tidak. Padahal semalam ia sempat berpikir untuk memata-matai Jeandra melalui kakaknya. Tetapi, hari ini aksi memata-matai itu sama sekali tidak dilakukan oleh dirinya. Karena ia tidak peduli dan hanya ingin menghabiskan waktunya di rumah tanpa menambah beban pikiran. Lebih baik ia memanfaatkan waktunya itu dengan sebaik mungkin selama berada di dalam rumah. Apa lagi biasanya ia juga hanya sempat memakai masker kecantikan saat malam telah tiba. Karena dari pagi hingga sore waktunya hanya dihabiskan di tempat kerja. Begitu pula dengan weekend. Ia nyaris tidak memiliki waktu luang untuk dirinya sendiri.
Dan saat ini Keira sudah selesai mandi, ia memutuskan untuk tidak memakai piama, melainkan celana training bewarna hitam yang dipadukan dengan baju kaus berlengan pendek model crop top yang terlihat agak ketat. Tetapi, baju itu tidak terlalu mengekspos bagian perutnya.
Keira lantas menyalakan hair dryer untuk mengeringkan rambutnya. Saat itu ia duduk di hadapan cermin meja rias sembari mengamati wajahnya yang terlihat lebih glowing dan segar. Pasti ini adalah efek dari masker yang dipakainya tadi siang. Dan jika ia kembali rutin untuk memakainya, mungkin wajahnya akan jauh lebih cantik dan semakin enak untuk dipandang.
Tanpa sadar, Keira pun mulai tersenyum kecil dan segera mematikan hair dryer di tangan kanannya. Ia sempat bersisir sebentar sebelum berdiri dari kursi meja rias dan berjalan keluar dari kamar.
Entah apa yang akan ia lakukan selanjutnya, tapi Keira tetap menuruni anak tangga, lalu tak sengaja melihat sosok Jeandra yang baru saja berjalan ke arah tangga sembari menunduk memainkan ponsel di tangan.
“Lho? Kok udah pulang?“ tanya Keira dengan nada heran. Hal itu kontan saja membuat Jeandra jadi menaikkan pandangan matanya dan menatap ke arah Keira yang terlihat cantik meskipun tanpa riasan di wajah.
“Memangnya kenapa?“ tanya Jeandra tak lama kemudian setelah ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
“Ya ... enggak apa-apa.“ Padahal, Keira sangat berharap jika Jeandra akan lembur dan pulang larut malam. Supaya mereka berdua tidak perlu bertemu, dan ia sudah tidur nyenyak saat pria itu sampai rumah.
Jeandra lantas menyipitkan matanya ke arah Keira. Sedangkan Keira sudah menatap ke arah lain—menghindari tatapan mata dari pria itu agar dirinya tidak ketahuan. Ia tidak ingin Jeandra menyadari kalau dirinya mempunyai keinginan supaya pria itu pulang malam.
Namun, Jeandra memilih untuk menyudahinya tanpa bertanya lebih lanjut kepada Keira. Kemudian, ia pun memandang penampilan perempuan itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Sebenarnya sejak tadi hidungnya sudah bisa mencium aroma wangi yang sepertinya berasal dari tubuh istrinya. Dan aroma itu terasa sangat menggelitik, hingga ia pun ingin sekali mendekap tubuh perempuan itu sekaligus memenjarakan tubuhnya di tembok. Karena demi apa pun, keberadaan Keira di sini benar-benar menguji dirinya. Apa lagi dengan status mereka yang sudah sah untuk melakukan apa saja.
Jeandra lantas berdeham samar dan menanyakan di mana keberadaannya Gia.
“Enggak tahu deh Bibi ke mana.“ Keira tampak mengangkat bahunya dengan ringan. “Mungkin lagi di dapur atau di kamarnya.“ Tetapi, ia pun langsung teringat akan satu hal. “Kenapa? Mau diambilin sesuatu, atau ....”
“Minta Bibi buat bikinin teh buat saya,” sahut Jeandra kepada Keira. “Saya mau mandi dulu, gerah.“
Setelah itu, Jeandra pun langsung berlalu menuju ke arah lantai dua. Dan Keira sempat mengamati langkah kaki pria itu sekilas, kemudian melangkah ke arah dapur untuk segera menemui Gia.
***
Keira tampak mengamati Gia yang sedang membuatkan teh untuk Jeandra. Ternyata gulanya hanya satu sendok teh saja. Karena Jeandra tidak terlalu menyukai minuman ataupun makanan yang terlalu manis di lidah. Dan menurut informasi yang diberikan oleh wanita paruh baya itu kepada dirinya, Keira jadi tahu kalau Jeandra selalu meminum secangkir kopi di pagi hari serta secangkir teh di sore hari, dan teh itu pun harus sudah siap saat pria itu sudah selesai mandi. Tetapi, jika sedang lembur dan pulang malam, biasanya Jeandra jarang sekali meminta untuk dibuatkan teh seperti biasa. Karena itulah, biasanya Gia selalu menunggu perintah untuk membuatkan teh atau tidak. Apa lagi jam pulang kerjanya Jeandra kadang tidak terduga, dan pria itu pun kadang pulang ke rumah ini tanpa aba-aba.
“Terus biasanya tehnya ini dibawa ke dalem kamar, atau enggak?” tanya Keira saat Gia sudah mulai menuangkan air panas ke dalam cangkir teh milik Jeandra. Tadi wanita itu juga turut menawari teh untuk dirinya, tapi ia menolak.
Gia tampak menggelengkan kepalanya sembari menjawab, “Enggak, Non. Biasanya cuma Bibi taruh di meja makan aja. Nanti habis mandi, Den Andra sendiri yang bakalan minum di atas meja.“
Keira hanya mengangguk mengerti, dan tidak jadi menawarkan dirinya untuk mengantarkan teh itu ke dalam kamar. Ia lantas pamit pergi ke depan. Sesungguhnya ia bingung harus melakukan apa. Tetapi, sepertinya ia bisa menikmati sisa sore ini dengan duduk-duduk sebentar di kursi teras.
Keira lantas membuka pintu depan, dan mulai mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Ia duduk sendirian di kursi teras sembari berselancar di media sosial.
Selama hampir satu bulan terakhir, ia sama sekali tidak membuat postingan terbaru di sana, termasuk postingan tentang pernikahannya yang dilakukan secara diam-diam. Tetapi, RT setempat sudah mengetahui siapa dirinya. Sehingga ia pun tidak perlu merasa takut untuk menjadi gunjingan saat dirinya muncul dari dalam rumah ini dan duduk di kursi teras.
Keira yakin kalau beberapa tetangga yang tinggal di sekitar sini sudah mengetahui jika sekarang Jeandra sudah resmi menikah. Lagi pula, Jeandra juga jarang pulang ke sini, jadi rasanya wajar kalau Jeandra tidak mengundang para tetangga.
“Ngapain?”
Keira yang mendengar suara teguran dari Jeandra barusan, sempat menoleh sekilas sebelum menjawab dan kembali sibuk dengan layar ponselnya yang sedang menampilkan ruang obrolan bersama seseorang. “Kayak yang Mas lihat, saya lagi ngapain.”
Kedua matanya Jeandra sempat memicing. Kemudian, ia pun mulai mendekati Keira yang sedang sibuk mengetik. “Chatting-an sama siapa?” tanyanya dengan suara rendah.
“Kepo,” jawab Keira sembari menyembunyikan layar handphone-nya dari Jeandra, karena pria itu baru saja mendekati dirinya dan sepertinya ingin mengintip isi ruang obrolan yang tadi sempat ia buka.
Jeandra yang melihatnya, tampak langsung menyipitkan mata—merasa curiga. “Pasti chatting-an sama cowok ya?”
Keira yang sudah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana, kini mulai mendongak ke arah Jeandra yang masih berdiri di dekat dirinya. “Memangnya kenapa?” tanyanya dengan nada santai, yang membuat Jeandra langsung bereaksi dengan sangat cepat. “Jadi, bener? Chatting-an sama cowok?”
“Bener atau enggak, itu kan urusan aku, Mas. Mas-nya enggak boleh ngelarang. Aku juga perlu berinteraksi sama beberapa orang.”
Jeandra tidak membalas, tapi pria itu tampak membuang muka dan langsung mengembuskan napas kasar. Sedangkan Keira hanya mengernyit mengamatinya.
******
Thanks for reading!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
