
Happy reading, guys!
- PART 06 -
Arsyad tampak memijat pangkal hidungnya sekilas sebelum benar-benar melangkah masuk ke dalam kamar tidurnya Risty atas paksaan dari Mayra. Lalu ia pun kembali memandangi wajah cantik istrinya, karena saat ini Mayra masih berdiri di sana—tak jauh dari pintu kamar Risty yang tadinya memang dibukakan oleh wanita itu untuk dirinya. Lantaran istrinya itu sempat masuk ke dalam, dan mengecek sekaligus memberitahu Risty kalau dirinya akan segera datang.
“Cepetan masuk, Mas.” Mayra kembali mendorong tubuh pria itu, karena sepertinya Arsyad sengaja berjalan dengan sangat pelan.
“Aku bakal masuk kalau kamu udah naik ke atas,” balas Arsyad. Karena bagaimanapun juga, ini terasa sangat awkward bagi dirinya.
Mayra lantas berdecak sekilas, “Kamu masuk. Baru habis itu aku bakal naik ke lantai atas. Aku mau mastiin dulu kalau kamu enggak kabur ke mana-mana.”
Arsyad kembali menghela napas, entah untuk yang keberapa kalinya. Karena sejak tadi ia memang sudah terlampau sering melakukannya.
Kemudian, pria itu pun mengalah, menuruti kemauan istrinya. Sehingga ia pun benar-benar masuk ke dalam, dan mulai menutup pintu secara perlahan.
Setelah beberapa hari sengaja mengabaikan keberadaan Risty di dalam rumahnya, kini tibalah saat di mana mereka berdua harus terjebak di dalam ruangan yang sama.
Jujur saja, Arsyad masih enggan untuk memulai malam pengantin bersama istri barunya.
Namun, ia harus segera menyelesaikan hal ini agar gadis itu cepat hamil dan mengandung anaknya.
Sebenarnya ini terasa mudah bagi Arsyad jika saja mereka menggunakan bantuan seorang dokter, sehingga ia tidak perlu repot-repot bersentuhan dengan gadis itu serta menidurinya seperti apa yang akan dilakukannya sekarang. Tetapi, ia sangat sulit untuk menolak perkataan Mayra—istrinya. Apa lagi perkataan wanita itu terasa benar dan masuk akal.
Semua ini ... terpaksa dilakukan Arsyad demi Mayra, juga ibunya. Kalau saja ia tidak mengingat kedua wanita itu, Arsyad yakin kalau ia tidak akan mau melangkah sampai sejauh ini, dan menikah dengan wanita lain.
Arsyad tampak masih berdiri, bersandar di balik pintu yang belum terkunci, hanya memandang Risty dengan tatapan dingin, serta minim ekspresi.
Sementara itu, Risty yang sedang duduk meringkuk di tengah ranjang, sontak memalingkan pandangan tanpa berani melihat ke arah Arsyad. Ia lantas menunduk, menatap permukaan seprai yang bercorak. Membuat Arsyad mendengkus, kemudian sibuk berperang dengan isi hatinya.
Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Mayra bilang, ia tidak perlu memperlakukan Risty seperti ia memperlakukan istrinya selama ini saat mereka sedang bercinta. Karena Risty itu adalah wanita panggilan, dan dia sudah terbiasa melayani banyak orang.
Awalnya Arsyad terkejut dengan fakta yang dibeberkan oleh Mayra, dan kenapa pula wanita itu baru memberitahunya ketika ia dan Risty sudah resmi menikah?
Saat itu Arsyad bahkan langsung merasa tidak terima, karena ia tidak mau dan tidak rela kalau keturunannya nanti akan dilahirkan oleh seorang wanita murahan.
Namun, istrinya benar. Ia tidak boleh mengeluh, apa lagi terlalu memilih dan menginginkan wanita baik-baik yang akan melahirkan keturunannya. Karena di luar sana tidak ada wanita baik-baik yang mau melakukan pekerjaan semacam ini, kecuali kalau Arsyad memang berniat mempersunting dengan benar, dan selamanya ingin memiliki dua orang istri yang diketahui oleh khalayak.
Itu pun pasti tidak akan mudah, karena jarang sekali ada orang yang mau menikah untuk dijadikan istri kedua. Bahkan tanpa rasa cinta.
“Lagi pula, ini enggak akan lama kok, Mas. Setelah anak itu lahir, kamu bisa menceraikan Risty dan bersikap seolah-olah kamu enggak pernah menikah lagi. Biar ini cuma jadi rahasia kita aja. Memangnya kamu mau kalau semua orang tahu tentang pernikahan kamu?
“Habis itu cepat atau lambat mereka juga pasti akan tahu kalau ternyata aku yang mandul. Mereka akan sibuk menggungjing dan membicarakan kekurangan aku, dan akhirnya aku yang akan menanggung malu. Apa kamu tega ngelakuin itu?“
Tidak. Arsyad tidak mungkin membiarkan semua orang tahu kalau ternyata Mayra tidak bisa memiliki seorang anak. Dan karena wanita itu menganggap kalau hal itu adalah sebuah aib yang memalukan, maka Arsyad tidak akan membiarkan orang di luar sana sampai mengetahuinya, apa lagi sampai membicarakan hal buruk tentang Mayra.
Setelah meneguhkan hatinya, akhirnya Arsyad pun berbalik badan sekilas. Tampak mengunci pintu, dan mulai mendekati Risty yang tadi langsung mendongak. Karena menyadari pergerakan dari dirinya.
“Buka baju,“ suruh Arsyad yang kini berjalan sembari membuka sweater panjang yang dikenakan olehnya. Membuat Risty terkejut, dan refleks berkata, ’Hah?!’
“Buka baju kamu, saya enggak akan lama.“ Arsyad kembali mengulangi perintahnya sekaligus memperjelas.
Risty yang sesungguhnya masih belum benar-benar menguasai keadaan, tampak segera bergerak dan menumpukan kedua lututnya di atas ranjang, mulai melorotkan kedua lengan baju dasternya secara bergantian.
Untung saja kamar ini sudah dibuat temaram. Jadi, Risty tidak perlu malu-malu untuk melakukan perintah dari Arsyad barusan.
Namun, ia sengaja tidak benar-benar melepaskan baju daster itu dari tubuhnya.
Risty agak menggigil dengan tubuh meremang. Karena saat ini kulit tubuhnya sudah terekspos cukup banyak. Ia lantas mengerjap, sedangkan kedua tangannya tak lagi bergerak. Ia jadi ragu untuk melanjutkan.
Kalau ia berkata belum siap, apa Arsyad dan Mayra mau memberinya waktu sampai ia benar-benar siap untuk memulai ini semua?
Karlina bilang, ia tidak boleh tegang, harus rileks dan segala macam. Tetapi, kondisi ini tidak bisa membuatnya merasa tenang. Apa lagi ini juga adalah pengalaman pertamanya sebagai seorang perempuan yang amat-sangat minim pengalaman.
Risty jadi berpikir, seharusnya ia menyuruh Karlina saja untuk menjadi istri keduanya Arsyad. Lalu ia akan kembali meminjam uang kepada sepupunya itu seperti biasa, walaupun ia juga tidak tahu kapan dirinya bisa mengembalikan uang-uang itu kepada Karlina. Bahkan utangnya yang lama pun sebenarnya sudah cukup menumpuk, tapi Karlina nyaris tidak pernah menagihnya.
Hanya saja, di beberapa kesempatan, Karlina cukup sering menegaskan, “Utang ya utang, berarti harus dibayar. Kalau gue emang sengaja ngasih, baru ... enggak perlu dibalikin.”
Sementara itu, di sisi lain ... Arsyad yang sudah mulai menaiki ranjang, tampak segera mendorong Risty sekaligus menindih tubuhnya. Karena perempuan itu sangat lelet, bahkan belum sempat membuka celananya.
Arsyad lantas memejamkan matanya sekilas, lalu bergerak sebentar hanya untuk menarik lepas celana perempuan itu hingga mempertontonkan sesuatu di sana.
Hal itu sontak saja membuat Risty terpekik, tapi langsung bungkam begitu Arsyad memandangnya dengan sangat tajam. Bahkan kembali menindih tubuhnya seperti semula, dan kali ini terasa jauh lebih dekat dari sebelumnya. Hingga ia pun refleks menahan kedua bahu pria itu agar tubuh bagian atas mereka tidak terlalu bersentuhan.
“Berapa uang yang kamu terima?” tanya Arsyad sejurus kemudian.
“Maksudnya?“
Arsyad lantas berdecak. Rupanya selain lelet, perempuan itu memang lemot menanggapi perkataannya.
Ia tak habis pikir kenapa Mayra malah memilih perempuan seperti ini untuk melahirkan keturunannya. Apakah tidak ada perempuan lain yang lebih pintar dan cekatan?
“Berapa uang yang kamu terima dari istri saya?” tanya Arsyad yang mengulangi pertanyaannya dengan cukup sabar.
Walaupun merasa bingung, karena menurutnya seharusnya Arsyad tahu, tapi Risty tetap membuka suara untuk menjawab pertanyaan itu. “Tiga ratus juta, Pak, untuk uang di muka.“
“Berarti masih ada sisanya? Berapa?”
“Emm ...,” Risty benar-benar tidak nyaman dengan posisi mereka sekarang, makanya ia terus memegangi kedua bahu telanjang pria itu untuk menahan. “ ... Satu M, Pak.”
Arsyad mendengkus begitu mendengarnya. Sudah jelas kalau semua ini memang dilakukan oleh perempuan itu karena tertarik dengan sejumlah uang yang akan diberikan oleh Mayra padanya, dan Arsyad jadi semakin tidak berselera untuk meniduri Risty karena label perempuan murahan yang melekat di tubuh perempuan itu tidak bisa hilang di dalam benaknya. Sehingga ia pun berguling ke samping, lantas menyuruh Risty melakukan sesuatu agar adik kecilnya di bawah sana bisa segera terbangun, sementara ia sudah menutupi wajahnya dengan bantal—tidak mau berusaha, karena ia berpikir kalau Risty sudah dibayar. Jadi, ini adalah tugas Risty sekarang.
Dan Risty yang merasa kebingungan, tampak hanya terduduk di samping Arsyad. Tidak tahu harus melakukan apa. Karena ia juga tidak mengerti bagaimana caranya membuat sesuatu di balik celana pendek pria itu jadi berdiri tegak.
Risty menyesali dirinya yang tidak mempersiapkan segala sesuatu dengan matang. Karena sekarang ia sendiri yang merasa kesulitan.
******
- PART 07 -
“Ayo, cepet!“ suruh Arsyad dengan suara teredam, karena ia kembali berbicara di balik bantal. Lantaran ia tak kunjung merasakan sentuhan Risty di bawah sana.
Bukannya ia sedang mendamba, apa lagi tidak sabar disentuh oleh istri barunya, tapi saat ini ia tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di sini dan meninggalkan Mayra sendirian.
Setelah ini, ia akan langsung kembali ke kamarnya, lalu memeluk istrinya itu dengan sangat erat.
Sementara itu, Risty yang sejak tadi menggigiti bibirnya dengan resah, kini tampak semakin merasa serba salah setelah mendengar ucapan pria itu barusan. Sampai akhirnya ....
“Itu ... anu, Pak.” Risty terlihat ragu dan takut-takut saat mengatakannya. “Saya ... enggak bisa,“ akunya dengan suara yang lebih pelan.
Meski begitu, ternyata pendengaran Arsyad memang sangat tajam.
“Apanya yang gak bisa?“ tanya pria itu dengan galak setelah membuka bantal yang sejak tadi menutupi wajah.
Risty yang masih terduduk di tempat semula, yaitu di samping tubuh Arsyad yang sedang berbaring telentang dengan bertelanjang dada serta celana pendek yang masih tersisa, sontak meringis pelan begitu mendengar pertanyaan pria itu barusan. Apa lagi Arsyad yang sedang bersamanya ini sangat berbanding terbalik dengan sosok Arsyad ketika pria itu sedang berinteraksi bersama Mayra.
Risty jadi takut berhadapan dengan Arsyad.
“Saya ... saya enggak bisa,“ Rasanya Risty hampir menangis sekarang. Padahal ia sama sekali tidak kesakitan. “Saya enggak ngerti mau ngapain,” sambungnya lagi dengan suara tertekan. Lalu menunduk, dan menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.
Ia merasa begitu bodoh, karena sempat gegabah dalam mengambil keputusan.
Namun, malam itu, saat ia menumpang memakan mie instan di tempatnya Karlina, sebenarnya ia sudah cukup lama ditagih utang oleh salah satu penghuni rumah susun lantai bawah setelah sempat beberapa kali meminjam beras kepada keluarga itu untuk makan. Belum lagi, ia juga sudah mendapatkan surat panggilan dari sekolah adiknya karena bayaran sekolah mereka sudah menunggak beberapa bulan.
Selain itu, ibunya juga sedang sakit karena keseringan terlambat makan.
Semua masalah seakan menumpuk, dan itu adalah puncaknya. Sehingga untuk kesekian kalinya, Risty merasa jika Karlina adalah harapan satu-satunya. Hanya saja, perempuan itu juga sedang sepi job dan tidak menyimpan banyak uang. Bahkan uang 50 ribu milik perempuan itu sudah direlakannya supaya Arda, Adel, dan Kasih bisa membeli bahan makanan.
Sebelumnya Risty bahkan sudah sempat beberapa kali menawarkan dirinya untuk mengikuti jejak Karlina. Ia meminta bantuan kepada sepupunya itu untuk menjual dirinya. Tetapi, perempuan itu langsung melarang sekaligus menolak keras keputusan yang baru saja ia buat. Lalu berjanji akan segera mencarikan pinjaman uang kepada beberapa temannya.
Namun, sayang. Risty harus menunggu sekitar dua mingguan lagi, atau saat awal bulan sekalian. Sementara kartu ujian kedua adiknya masih ditahan. Padahal tinggal beberapa hari lagi mereka akan segera melaksanakan ujian.
Walaupun Adel maupun Kasih tidak memaksa, bahkan terlihat pasrah, tapi Risty mengerti kalau kedua adiknya itu sangat berharap kepada dirinya. Supaya ia bisa segera melunasi uang bayaran sekolah mereka yang sudah menunggak selama beberapa bulan lamanya.
Terlebih lagi Kasih, adiknya itu sudah kelas 6. Jika ia tidak mengikuti ujian semester ganjil, dan nilainya kosong satu semester, sudah pasti anak itu tidak akan lulus.
Dan Arsyad yang melihat tangisan perempuan itu, sontak beranjak dengan bingung. Ia ikut terduduk, memangku bantalnya tadi, dan ....
Arsyad tidak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan gadis itu.
Ia mendadak merasa bodoh. Tidak tahu bagaimana caranya menenangkan kaum hawa, padahal selama ini ia sering menenangkan ibunya dan juga Gista. Terlebih lagi Mayra—istrinya.
“Hei ... kenapa?” tanya Arsyad sembari menyentuh bahu gadis itu dengan pelan. Bahkan kini nada suaranya pun sudah terdengar jauh lebih bersahabat. Kemudian teringat pada ucapan Risty sejak tadi yang sempat mengatakan kalimat ‘tidak bisa’. “Apanya yang gak bisa?”
“Ngomong sini, pelan-pelan,” bujuk Arsyad kemudian.
Risty lantas menarik bagian atas dasternya yang berkumpul di pinggang, tampak menyeka wajahnya yang basah sebelum mengangkat pandangan ke arah Asyad yang sedang bertanya.
Setelah itu, Risty langsung berterus terang. “Saya enggak ngerti harus ngelakuin apa ke Bapak. Saya beneran enggak bisa,” jelasnya sembari menggeleng pelan, serta hidung yang memerah.
Arsyad tampak mengernyit, merasa heran. “Maksudnya gak ngerti ...?”
Dengan wajah memerah sehabis menangis, Risty tampak semakin memperjelas apa maksudnya tadi. “Saya belum pernah begituan, Pak, dan saya juga enggak pernah pacaran. Jadi, saya beneran enggak ngerti harus ngapain sekarang. Saya gak tahu harus mulai dari mana, harus ngelakuin apa duluan.“
Risty nyaris frustrasi saat mengatakannya. Sedangkan Arsyad langsung terhenyak di tempat. Terlihat tak percaya dengan fakta yang dikatakan oleh Risty barusan. Karena hal itu sangat berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan oleh Mayra kepada dirinya.
Tidak mungkin Risty belum pernah melakukannya, tapi gadis itu sudah berani mengambil keputusan sebesar ini demi sejumlah uang.
“Enggak mungkin,” gumam Arsyad sembari menggeleng pelan, berusaha menampik perkataan perempuan itu barusan. “Kamu pasti bohong, ‘kan?“ tanyanya dengan suara normal.
“Pak, saya enggak bohong.” Risty tampak menggelengkan kepalanya untuk meyakinkan.
Sejurus kemudian, ia pun mencoba untuk mengambil sedikit peruntungan. Siapa tahu Arsyad mau berbaik hati kepada dirinya. “Boleh gak kalau saya minta waktu sampai beberapa hari lagi? Soalnya saya belum siap.”
Arsyad memicing sekilas, lalu mengembuskan napas panjang, atau justru napas lega? Karena sesungguhnya ia pun memang masih merasa berat hati untuk tidur dengan perempuan lain selain Mayra. Sehingga ia pun mengangguk, menyetujui permintaan Risty barusan.
Setelah itu, Arsyad kembali memakai sweater serta celana training miliknya. Kemudian berjalan keluar dari sana, meninggalkan Risty sendirian.
Dan malam itu memang tidak terjadi apa-apa di antara mereka, bahkan Mayra pun sama sekali tidak merasa curiga. Karena Arsyad mengiakan saja ketika istrinya itu bertanya.
Lalu, sesuai dengan peraturan yang telah dibuat oleh Mayra. Bahwa Arsyad dan Risty hanya boleh berhubungan di saat Risty sedang dalam masa subur saja, serta Arsyad yang sedang dalam kondisi prima. Jadi, 3 hari setelahnya, Mayra kembali menyuruh Arsyad untuk mendatangi Risty di kamarnya.
“Memangnya gak bisa gitu kalau cuma satu kali aja?“ tanya Arsyad yang secara tidak langsung sedang menolak. Membuat Mayra berdecak, lantas mendelik tajam ke arah suaminya.
“Kamu ikuti aja saran aku deh, Mas.” Mayra tampak mengerutkan wajah tidak suka. “Aku enggak mau ya kalau sampai Risty nanti enggak jadi telat datang bulan. Aku enggak mau buang-buang banyak waktu, jadi kamu juga harus berusaha dengan lebih optimal.”
“Kamu masuk sana,“ suruh Mayra yang mengendik ke arah pintu kamar Risty. “Aku udah bilang sama dia kalau malem ini kalian harus tidur bareng lagi.“
Arsyad tampak menghela napas panjang. Kemudian melangkah dengan berat hati ke arah kamar Risty yang terletak tak jauh dari sana. Ia langsung masuk ke dalam tanpa mengetuknya, dan tidak melihat sosok Risty di mana-mana. Ia lantas mengendik sekilas, mungkin perempuan itu sedang berada di kamar mandi untuk melakukan sesuatu di sana. Sehingga ia pun mulai membaringkan tubuhnya ke atas ranjang, segera mengistirahatkan dirinya dengan kedua mata terpejam.
Tak lama kemudian, Risty mulai membuka pintu kamar mandi dan sedikit terkejut begitu melihat keberadaan Arsyad di dalam kamar tidurnya.
Saat itulah, ia mendengar mesin mobil yang dinyalakan, lalu perlahan-lahan menjauh ke arah pagar.
Risty mengintip sekilas, ternyata benar. Itu adalah mobilnya Mayra. Sekarang ia sudah semakin hafal dengan suara mobil wanita itu, karena Mayra memang sangat sering berpergian. Bahkan beberapa kali ia pernah mendapati wanita itu belum pulang ke rumah di saat Arsyad sudah pulang kerja.
Entahlah, Risty tidak mengerti sesibuk apa Mayra sebenarnya, dan apa pekerjaan wanita itu di luar sana. Yang ia tahu, Arsyad adalah anak dari pemilik perusahaan yang memproduksi berbagai macam produk pembersih rumah tangga. Seperti aneka sabun, pemutih, dan lain sebagainya. Bahkan adik kandung pria itu pun adalah seorang Chef yang cukup terkenal. Karena sebelumnya—begitu mengetahui nama lengkap Arsyad ketika mereka sedang mengurus berkas pernikahan—Risty memang sempat iseng mencari tahu siapa pria itu sebenarnya.
Dan hasilnya memang terasa sangat mengejutkan. Tetapi, seharusnya ia tidak perlu merasa terkejut lagi begitu mengingat berapa jumlah bayaran yang akan diberikan oleh Mayra. Karena totalnya memang sangat banyak. Bahkan 1,3M itu belum termasuk bonus yang nantinya akan ia terima.
*****
- PART 08 -
Semalam Arsyad kebablasan tertidur sampai subuh di kamar Risty. Begitu bangun, ia langsung beranjak dari sana, dan tak sengaja dipergoki oleh salah satu ART-nya.
Namun, Arsyad cuek saja. Lagi pula, semua orang di rumah ini sudah mengetahui apa status Risty sebenarnya.
Sementara itu, Risty yang seranjang bersama Arsyad, benar-benar pandai menjaga jarak walaupun hanya ada sebuah guling yang menjadi pemisah. Untungnya, selain dirinya, Arsyad juga tidak bergerak terlalu ekstrem dalam keadaan tidak sadar. Sehingga guling itu pun tetap anteng berada di tengah.
Sekitar pukul 6 pagi, Risty yang sebenarnya sudah bangun tidur sejak tadi, tampak baru keluar dari kamar untuk mencuci teko kaca di kamarnya sekaligus mengisinya dengan air minum seperti biasa. Karena selama tinggal di sini, ia memang lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Jadi, ia selalu menyimpan persediaan air minum di sana.
“Non Risty.“
Risty yang sedang membilas teko di tangannya, lantas menyahuti panggilan itu sembari menolehkan kepala. “Iya, Mbok? Ada apa?“
“Non Risty sibuk?” Hasna bertanya balik sebelum menjawab pertanyaan dari Risty barusan.
“Eng ... enggak sih,“ jawab Risty sedikit ragu. Tetapi, membuat Hasna tersenyum.
“Kalau gitu, Non Risty mau ya siapin bekal buat Bapak?”
Risty sontak tergagap.
“Tinggal dimasukin aja kok ke dalem kotak,“ tambah Hasna kemudian, yang membuat Risty langsung geleng-geleng pelan.
“Kan ada Bu May—”
“Ibu enggak pulang. Jadi, Non Risty aja ya?“ bujuk Hasna sembari merangkul sebelah tangan wanita muda itu dengan lembut. Bermaksud untuk membawanya ke meja makan. Ia lantas meletakkan teko kaca yang dipegang oleh Risty ke atas meja.
“Tapi, Mbok ...,“ Risty tampak berjalan mengikuti Hasna dengan langkah tersendat. “ ... Saya kan bukan istrinya.“
Hasna langsung menoleh kaget ke arah Risty, yang membuat gadis itu sadar kalau ia telah salah bicara.
Supaya Hasna tidak salah paham, jadi Risty pun segera menambahkan. “Maksudnya ... ya, saya juga istrinya, tapi itu bukan tugas saya, Mbok. Saya cuma—”
“Nah, Non Risty kan istrinya Bapak juga. Jadi, ini tugasnya Non Risty. Ayo, dibiasakan.“
Nada suara Hasna terdengar sangat keibuan. Hingga mau tak mau, Risty yang sudah diajak ke meja makan pun, tampak mulai memasukkan sebagian menu yang sudah terhidang di sana ke dalam sebuah kotak bekal.
Semuanya memang sudah disiapkan, sehingga Risty hanya perlu mengisi kotak bekal itu sesuai arahan. Bahkan Hasna juga memberitahunya tentang takaran kopi yang biasanya rutin diminum oleh Arsyad. Dan berhubung hari ini kopi itu sudah terhidang, jadi besok pagi Risty baru bisa mulai mempraktikkan.
Risty hanya mendengarkan tanpa banyak berkomentar.
Saat itulah Arsyad muncul di sana. Dahinya langsung mengernyit memandang Risty yang masih sibuk mengurusi kotak bekal. “Ngapain?“
Risty yang terkejut, refleks mengelus dada. Karena suara berat pria itu muncul secara tiba-tiba. Sehingga Hasna yang duluan angkat bicara.
“Non Risty lagi belajar menyiapkan bekal buat Bapak.”
“Oh ya?”
Hasna langsung mengangguk, tampak membenarkan.
“Bagus.“ Arsyad tampak manggut-manggut. “Biar dia aja kerjaan, dan enggak ongkang-ongkang kaki aja di rumah.”
Risty langsung menoleh ke arah Arsyad sembari membesarkan kelopak matanya saat itu juga. Karena Arsyad baru saja menyindirnya secara terang-terangan. Padahal, pria itu sama sekali tidak mengetahui apa saja pekerjaannya di rumah. Karena nyatanya, selama ini Mayra cukup sering menyuruh-nyuruh dirinya. Bahkan ia juga sudah sering pergi ke beberapa tempat sambil mengayuh sepeda. Biasanya ia menawarkan diri untuk pergi ke mini market jika ada bahan makanan yang kurang. Hitung-hitung sekalian mencari angin di luar, agar tidak terlalu sumpek karena terus berada di rumah.
Namun, ia tidak bisa memprotes ucapan pria itu karena masih ada sosok Hasna di sana. Ia hanya tidak ingin dianggap tidak sopan. Apa lagi Arsyad itu lebih tua di atasnya. Sehingga ia pun tidak membalas, dan segera menyelesaikan pekerjaannya, lalu tak lupa menyiapkan sendok serta garpu untuk kotak bekal pria itu agar tidak ketinggalan.
Dan Risty baru tahu kalau ternyata Arsyad senang membawa bekal. Padahal ia pikir kalau orang kaya seperti Arsyad pasti lebih menyukai makanan di luar ketimbang membawa sendiri dari rumah.
***
Keesokan harinya, ternyata Hasna serius ingin melihat Risty mempraktikkan ilmunya. Karena saat Risty belum juga keluar dari kamar, padahal jarum jam sudah hampir menyentuh pukul 6, Hasna tampak mengetuk pintu kamar wanita itu, lalu berkata. “Katanya kemarin mau belajar bikin kopi buat Bapak. Kalau mau bikin kopi, Non Risty harus udah siap-siap di dapur sebelum jam enam.“
Sebenarnya Risty ingin menolak, tapi merasa tidak enak. Apa lagi Hasna juga sudah merangkul lengannya. Sehingga ia pun ikut melangkah.
Begitu sampai di dapur, Risty tampak berdiri di depan mesin kopi sembari mengikuti segala arahan yang diberikan oleh Noni.
Noni adalah ART termuda di sana sekaligus yang paling mengerti dan paling sering menggunakan mesin kopi. Biasanya ia-lah yang membuatkan kopi untuk Arsyad. Walau begitu, sepertinya semua ART di sana bisa membuatkan kopi dalam takaran yang sama. Karena selama Risty berdiri di sana, sesekali Inah juga akan ikut menimpali perkataan Noni yang sedang mengajarinya.
“Kalau nanti rasanya gak enak, gimana?“ tanya Risty pada Noni sembari memandang kopi buatannya dengan khawatir. Saat ini kopi itu sedang dituangkan ke dalam sebuah cangkir.
“Non Risty tenang aja. Bapak kan baik, apa lagi Non Risty juga istrinya. Bapak pasti gak akan marah.“
Namun, Risty tetap cemas. Karena Noni tidak mengerti bagaimana hubungannya dengan Arsyad. Apa lagi Arsyad juga selalu terlihat galak terhadap dirinya.
“Mending Bibi buat lagi aja kopinya, yang ini—”
Perkataan Risty saat itu harus terpotong karena Hasna muncul di dapur dan memberitahukan kalau Arsyad sudah menanyakan kopinya.
Hal itu sontak saja membuat Risty jadi bertambah cemas. Tetapi, ketiga ART di sana kompak menyuruhnya untuk menghidangkan kopi itu ke meja makan sendirian.
Risty merasa kalau ia sedang dijadikan kelinci percobaan, dan ia tidak tahu bagaimana nasib hidupnya setelah kopi ini terhidang.
Namun, ia juga sudah menyiapkan dirinya jika nanti dimarahi oleh Arsyad karena kopinya tidak enak dan tidak sesuai takaran. Atau mungkin ia juga akan langsung ditegur oleh Mayra. Karena sejak awal wanita itu sudah memperingati dirinya agar tidak terlalu sering berinteraksi dengan Arsyad jika tidak sedang memiliki kepentingan.
Dan kepentingannya dengan pria itu hanyalah misi untuk membuat anak. Selain itu, tidak ada. Sehingga Risty takut kalau aksinya ini akan memancing kemarahan Mayra.
Untungnya, saat itu Arsyad sedang menikmati sarapannya sendirian. Jadi, Risty pun bisa sedikit bernapas lega.
“Lho? Kenapa kamu ...?“ Arsyad mengernyit sambil mengambil alih kopi itu.
“Iya, Pak. Tadi disuruh sama Mbok.”
“Kemanisan,“ komentar Arsyad dengan dahi yang masih mengernyit setelah menyesap kopi dari Risty. “Kamu yang bikin?“ tanyanya kemudian. Membuat Risty mengangguk, tampak membenarkan. Dan segera meminta maaf, karena tak sengaja membuat kesalahan.
“Maaf, Pak. Tadi saya baru belajar.“
Arsyad hanya mengangguk sekenanya. Lalu memberi isyarat agar Risty segera meninggalkannya sendirian. Karena ponselnya berdering, dan nama ‘Mama’ terpampang jelas di layar.
******
- PART 09 -
Arsyad tampak membuka sekaleng soda yang disodorkan oleh Athar—adik kandungnya. Karena saat ini ia memang sedang berada di apartemen pria itu untuk sedikit menjernihkan pikiran.
Namun, tetap saja, pikirannya tetap terasa penuh. Bahkan melayang jauh, pada obrolannya tadi pagi bersama sang ibu.
“Sayang, gimana? Istri kamu udah kasih tanda-tanda kehamilan belum ya?”
Tentu saja belum, dan tidak akan pernah. Karena istri yang dimaksud oleh ibunya itu sudah divonis mandul sejak lama. Bahkan sejak mendiang ayahnya masih hidup, dan masih lumayan gagah. Masih sering pergi memancing serta pergi ke mana-mana dengan ditemani oleh Tama. Termasuk bolak-balik ke luar negeri dengan santai. Benar-benar menikmati hari tua.
“Belum, Ma.“
Fira sontak berdecak begitu mendengar jawaban dari Arsyad. Nada suaranya yang terdengar ramah tadi langsung berubah seketika. Arsyad sangat hafal dengan tabiat ibunya. “Coba kalian pergi honeymoon lagi, atau langsung aja pergi ke dokter sama-sama. Mama takut kalau ternyata kalian berdua kenapa-napa.”
“Iya, Ma. Nanti ya ....”
“Jangan nanti-nanti, Arsyad!“ Fira mulai terdengar semakin tidak sabar. “Kalau kamu ngulur-ngulur waktu terus, mungkin Mama yang akan meninggal duluan. Terus tahu-tahu anaknya Gista udah pada dewasa. Seluruh harta warisan kamu diambil sama mereka, dan roh Mama cuma bisa nangis karena ngelihat kamu yang akhirnya hidup susah. Enggak punya apa-apa.”
“Udah ....“ Athar segera menyenggol pelan bahu sang kakak. “Enggak usah dipikirin omongannya si Mama.“
Arsyad yang sejak tadi melamun sambil sesekali meneguk sodanya, kini sontak menghela napas panjang, dan meletakkan kaleng soda itu ke atas meja.
“Menurut lo, Papa terlalu tega gak sih sama gue?“ tanya Arsyad kepada sang adik. Ia tahu kalau Athar pasti mengerti. Karena ia adalah satu-satunya anak Adi Kusuma yang masih belum bisa mengklaim seluruh harta warisan miliknya. Sedangkan Gista dan Athar sudah lama mengklaim bagian mereka dengan mulus, tanpa hambatan.
Pertanyaan itu sontak saja membuat Athar jadi terkekeh pelan. “Salah lo juga sih, Mas. Kenapa pake nunda-nunda segala? Ngapain coba nikah muda kalau enggak siap buat langsung punya anak?”
“Nikah itu bukan cuma buat punya anak aja, Thar,“ sahut Arsyad dengan pelan. “Masih banyak hal yang lainnya.“
“Ya, tapi kan masalahnya lo ini Putra Mahkota. Satu-satunya kebanggaan Papa.“ Athar sama sekali tidak bermaksud untuk menyindir kakaknya, tapi apa yang dibicarakannya ini adalah sebuah fakta. Bahkan selain kebanggaan sang ayah, Arsyad juga satu-satunya anak yang paling bisa diandalkan untuk mengurusi perusahaan keluarga, serta melestarikan nama belakang keluarga mereka.
Masa depan perusahaan itu ada di tangan kakaknya, juga keturunan pria itu nantinya. Karena Athar sadar, perusahaan keluarga bukan ranahnya. Ia lebih suka memasak, dan menjadi seorang Chef ketimbang mengikuti jejak sang ayah ataupun kakaknya untuk mengembangkan bisnis keluarga. Karena itulah, ayahnya tidak bisa mengharapkan dirinya. Lantaran ia sudah menentukan sendiri jalan hidupnya.
“Jujur aja, Mas. Sebenernya gue gak masalah kalau lo sama Mbak Mayra memang enggak mau punya anak. Dan gue juga tahu kalau lo nanti pasti bakalan legowo karena enggak jadi dapet harta warisan.“ Kini Athar terlihat semakin serius dari sebelumnya. “Tapi, lo harus pikirin juga dong masa depan perusahaan Papa. Kalau Kusuma Group beneran diambil alih sama anak-anaknya Mbak Gista, gak bakal menutup kemungkinan kalau nama perusahaan itu nanti bakal diganti sama mereka, dan nama Kusuma enggak akan ada lagi. Beneran digeser. Apa lagi Mbak Gista juga masih dendam banget sama Papa.”
“Kerja keras Eyang Kakung, dan sesepuh di keluarga kita dulu bakalan sia-sia,“ sambung Athar kepada kakaknya. Karena ia akan menjadi salah satu orang yang paling menyayangkan jika perusahaan turun-temurun milik keluarga mereka itu akan diambil alih oleh anak-anaknya Gista. Bukan karena ia membenci wanita itu dan kedua anaknya. Melainkan karena Gista itu adalah seorang perempuan, dan dia tidak bisa mewariskan nama belakang keluarga mereka kepada seluruh anak-anaknya.
Makanya, akan lebih bagus kalau perusahaan itu tetap berada di tangan Arsyad. Supaya keturunan asli dari keluarga Kusuma bisa terus dilestarikan, dan bisa semakin mengembangkan perusahaan itu sampai ke generasi-generasi selanjutnya tanpa perlu merasa takut jika nama perusahaan itu nanti akan diubah.
***
Arsyad sudah memikirkan segalanya. Jika ibunya dan Mayra tidak mau kalau sampai perusahaan itu jatuh ke tangan Gista dan anak-anaknya, karena kedua wanita itu berada di dalam kubu yang sama, yaitu membenci Gista karena sejarah di masa lalu yang terjadi di keluarga Kusuma. Maka Arsyad setuju dengan adik kandungnya.
Kusuma Group harus tetap dipegang sekaligus dikembangkan oleh keturunan asli keluarga mereka. Jika bukan oleh anaknya, maka itu adalah anaknya Athar. Karena bisa saja anaknya nanti malah seorang perempuan, dan nama Kusuma akan terhenti di dia.
Namun, sebelum itu, Arsyad harus memiliki keturunan terlebih dahulu untuk benar-benar mengklaim seluruh harta warisan miliknya. Supaya ia bisa terus memegang kendali atas perusahaan itu sepenuhnya.
Arsyad yang baru pulang ke rumah, tampak mulai keluar dari mobilnya. Ia memicing ke arah pagar rumah yang masih terbuka. Karena di sana ada sosok Risty yang entah baru pulang dari mana, dan sedang mengendarai sepeda yang biasanya digunakan oleh ART di sana, kecuali Hasna. Lantaran Hasna tidak bisa mengendarai sepeda.
Sementara itu, Risty yang sedang bersepeda, memutuskan untuk melewati Arsyad begitu saja. Lagi pula, mereka memang tidak dekat, dan jarang bertegur sapa.
Namun, tanpa diduga, pria itu malah memegangi bagian belakang sepeda Risty sambil menahan tubuh perempuan itu agar tidak oleng ke bawah. Hanya saja, Risty tetap panik, bahkan heboh sebentar sebelum benar-benar menguasai dirinya.
Sekarang, perempuan itu sudah berhasil menumpukan kedua kakinya di atas paving block, kemudian mendelik kesal ke arah Arsyad. “Bapak ngapain sih?” tegurnya dengan refleks. Tanpa sadar, menggunakan nada suara yang cukup tinggi.
“Untung saya enggak kenapa-napa. Kalau saya jatoh, gimana?” Risty tampak mengusap dada, lalu sadar dan langsung berdeham pelan.
Perempuan itu segera memalingkan wajah, kembali menghadap ke arah depan dengan punggung sekaku papan. Seharusnya ia tidak perlu sekesal itu terhadap Arsyad. Karena bagaimanapun juga, pria itu adalah majikannya—sama seperti Mayra. Ia ada di sini karena sedang bekerja untuk mereka berdua.
Untungnya, saat itu Arsyad sama sekali tidak terlihat sedang marah. Karena pria itu hanya bertanya, “Habis dari mana?“
“Itu ... dari mini market, Pak.”
Dan Arsyad tidak bertanya lebih lanjut, lalu memilih mengatakan, “Nanti malem kamu harus siap.“
“Hah?!” Risty langsung memandang kaget ke arah Arsyad.
“Habis isya saya akan langsung menemui kamu di kamar.”
Risty sontak geleng-geleng panik di tempat. Karena ia mengerti apa yang dimaksud oleh pria itu barusan. “Tapi, Pak ... Bu Mayra enggak bilang—“
“Kita bahkan enggak pernah mengikuti jadwal yang dia buat.“
Risty tampak langsung mengatupkan bibirnya. Tetapi, wajah gadis itu tidak bisa berbohong kalau saat ini ia sedang panik, kaget, dan sedikit ketakutan.
“Malam ini kita mulai.”
******
- PART 10 -
Risty langsung dilanda kepanikan yang terasa sangat besar setelah mendengar ucapan Arsyad sore tadi, karena pria itu sedang tidak ingin dibantah. Sehingga ia pun sudah tidak bisa lagi mengulur-ulur waktu seperti sebelumnya.
Dan tadi pria itu juga sempat mengatakan kalau dia akan datang setelah isya, itu artinya sekitar pukul setengah 8 malam. Benar-benar lebih awal. Padahal, sebelumnya pria itu baru datang ke kamarnya sekitar pukul 10 malam-an. Bahkan saat pertama kali, Risty sampai harus dibuat menunggu terlalu lama. Karena Arsyad tak kunjung muncul di kamarnya, hingga membuat Mayra harus mengoceh terlebih dahulu serta memarahi pria itu di depan pintu kamarnya yang terbuka.
Saat itu Risty dapat mendengar suara mereka dari arah dalam. Tetapi, ia sama sekali tidak berkomentar. Apa lagi ikut campur. Karena malam itu ia hanya duduk menunggu di atas ranjang.
Risty lantas menghubungi nomor ponselnya Karlina. Karena sekarang ia sedang butuh teman bicara, supaya hatinya berhenti merasa gelisah.
Namun, panggilan itu langsung di-reject oleh sepupunya. Membuat Risty terhenyak tak percaya, tapi setelah itu sebuah pesan singkat tampak muncul di sana.
Alin Cantik
Jangan nelpon dlu, ege
Dan sebelum Risty sempat mengetik balasan untuk bertanya, Karlina tampak sudah lebih dulu mengirimkan sebuah pesan lagi kepada dirinya.
Alin Cantik
Gue lgi di rmh lo, nanti smua org malahcuriga
Risty langsung menggigiti bibirnya. Ia jadi menyesal karena sudah berbohong untuk menjadi TKW di luar negeri kepada sang ibu dan kedua adiknya. Karena sekarang ia tidak bisa menghubungi Karlina dengan leluasa seperti biasa.
Seharusnya ia mengatakan kalau dirinya akan menjadi ART di luar pulau saja. Jadi, ia masih bisa menghubungi Karlina dengan bebas tanpa perlu membuat keluarganya jadi merasa curiga.
Sekarang, Risty jadi berpikir untuk mengunci pintu kamarnya setelah ia selesai makan malam. Karena dengan begitu, ia masih bisa mengulur waktu, kemudian beralasan jika ia ketiduran hingga tidak bisa membukakan pintu untuk Arsyad.
Risty rasa ... itu adalah ide yang bagus.
Sayangnya, ketika saat itu tiba, Arsyad malah nekat terus menggedor pintu kamarnya. Hingga tak segan-segan untuk memberikan ancaman dari arah luar.
“Risty, kamu mau buka pintunya, atau pintu ini akan saya dobrak?“
Nada suara Arsyad terdengar sangat dalam, bahkan terselip nada kesal yang tidak dapat disembunyikan. Membuat Risty jadi merasa ketakutan, tapi tetap bergeming di atas ranjang.
“Kalau pintu ini beneran saya dobrak, maka kamu sendiri yang harus memperbaikinya, dan malam ini kita tidur tanpa pintu biar ditonton oleh semua orang.”
Risty rasa Arsyad sedang tidak bermain-main dengan ucapan pria itu barusan, sehingga ia pun cepat-cepat turun dari ranjang dan segera membukakan pintu kamar.
Saat itu Arsyad langsung menyipit tajam, lalu melewati Risty begitu saja.
“Kunci pintunya,“ suruh Arsyad sembari berjalan. Sedangkan Risty hanya diam saja, tapi ia menuruti perintah pria itu barusan. Ia lantas menutup pintu itu secara perlahan.
Namun, Arsyad yang sudah duduk di ujung ranjang, tampak mendengkus kesal begitu melihat Risty yang sepertinya sengaja untuk berlama-lama agar bisa tetap berdiri di sana.
“Bisa gak sih kamu ngunci pintunya?“ tanya Arsyad dengan sangat kesal, karena kelakuan Risty sangat menguji kesabaran dirinya.
“Bisa kok, Pak. Ini udah saya kunci.” Risty menjawab pelan sambil benar-benar mengunci pintu itu dengan rasa terpaksa. Kemudian berbalik badan, terlihat ragu untuk mendekati Arsyad yang sedang duduk di ujung ranjang.
Berhubung tidak ada pergerakan apa pun dari Risty, jadi Arsyad pun memerintahkan perempuan itu untuk segera mendekat. Hanya saja, tetap tidak ada pergerakan berarti dari perempuan itu setelah mendengar perintahnya barusan.
“Kamu yang ke sini, atau saya yang ke sana?” Kali ini nada suara Arsyad terdengar jauh lebih galak dari pada biasanya.
Mau tak mau, Risty pun jadi melangkah mendekati pria itu supaya Arsyad tidak bertambah marah.
Namun, karena Risty terlalu lelet dan terlihat takut-takut untuk mendekat, jadi Arsyad pun segera meraih tubuh perempuan itu agar duduk di atas pangkuannya.
Risty terkejut dan sempat memekik kaget sebelum benar-benar mendarat di atas pangkuan pria itu dengan benar. Ia menatap Arsyad dengan gugup, serta jantung yang berdebar-debar, dan terasa sangat kencang.
Sebelah tangannya berpegangan pada lengan Arsyad, lalu tangan yang satunya lagi sempat refleks mencengkeram baju kaus di bagian dada bidang pria itu dan belum dilepaskannya sampai sekarang. Sementara otaknya terus sibuk mengingat perkataan Karlina tempo hari, jika ia tidak boleh tegang, dan harus rileks saja.
Namun, masalahnya, situasi ini tetap saja membuatnya merasa tegang. Meskipun ia sudah sempat meminta waktu kepada Arsyad, serta berhasil mengundur malam pertamanya sampai beberapa hari setelah jadwal yang ditentukan oleh Mayra.
Kemudian, Arsyad pun mulai bertanya. “Kamu yakin kalau kamu masih perawan?”
Walaupun cukup terkejut dengan pertanyaan Arsyad yang terdengar sangat blak-blakan, tapi Risty tetap mengangguk pelan sebagai jawaban.
“Oke ....” gumam Arsyad menanggapi anggukan Risty barusan. “Mari kita lihat ....”
Namun, Risty langsung menahan Arsyad yang sepertinya ingin mencium bibirnya.
“Saya ... enggak mau dicium, Pak,” tolak Risty yang berbisik dengan nada sungkan, dan sebenarnya masih terdengar cukup sopan.
Namun, hal itu malah sukses memancing kekesalan Arsyad untuk kembali muncul dan naik ke permukaan. “Ya terus kamu maunya, gimana? Apa kamu mau langsung saya masuki tanpa pemanasan lagi? Yakin kamu bakal kuat kalau saya—“
Risty langsung geleng-geleng kepala. Membuat Arsyad tidak jadi melengkapi pertanyaannya. Sebagai gantinya, pria itu pun berkata, “Ya udah, kalau gitu nurut aja.”
Dan sebelum kembali memulai aksinya, kali ini Arsyad tampak membantu Risty untuk memperbaiki posisi tubuh perempuan itu agar segera mengangkang di atas pangkuannya.
Kedua tangan Risty sontak berpegangan di kedua bahu Arsyad supaya ia tidak oleng ke belakang.
Saat itu ia sama sekali tidak protes, dan hanya menurut saja. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Arsyad sebelumnya.
Tepat setelah itu, Arsyad kembali meneguhkan hatinya. Matanya terpejam sekilas, dan ia sempat menarik napas panjang.
Begitu matanya sudah kembali terbuka, ia pun segera mendekatkan wajah mereka berdua.
Risty refleks menutup mata, membiarkan Arsyad mengecup bibirnya.
Awalnya terasa baik-baik saja, Risty bisa menerimanya. Karena ia tidak masalah dengan pertemuan bibir mereka. Tetapi, begitu Arsyad mulai menggigit kecil bibirnya, ia sontak merasa terganggu, kemudian mengernyit, tapi masih berusaha menahan diri. Hanya saja, ia tidak bisa menahan lebih lama lagi begitu merasakan pergerakan lidah pria itu.
Risty sontak membuka mata, begitu pula dengan Arsyad yang sedang memiringkan kepalanya. Pria itu sedikit membuka kelopak matanya, tapi tetap berusaha membuat Risty mau membuka mulutnya.
Namun, perempuan itu tak kunjung memberikan respon yang ia inginkan. Sehingga Arsyad pun sedikit membuat jarak, kemudian bergumam, “Buka mulut kamu.“
Dan lidah pria itu pun bergerak perlahan. Risty sempat kaget, tapi begitu melihat Arsyad yang sudah kembali menutup mata, ia pun jadi ikut melakukannya juga. Hanya saja, ciuman itu tidak bertahan lama. Karena Arsyad segera melepaskan ciuman mereka.
Pria itu tampak menjauhkan wajah. Sedangkan Risty yang kebingungan, kini mulai merasa ada yang janggal. Sehingga ia pun segera bertanya kepada Arsyad.
“Ke-kenapa, Pak?“ tanya Risty dengan sedikit tergagap, bahkan sambil mengerjap pelan. Ia lantas menyeka bibirnya. Tetapi, Arsyad hanya menggeleng tanpa memberikan jawaban.
Setelah itu, Arsyad pun menyuruh Risty untuk segera beranjak—turun dari atas pangkuannya sekarang, dan langsung berbaring saja ke atas ranjang.
Sekali lagi, Risty hanya menuruti perkataan Arsyad tanpa banyak berkomentar. Lalu keduanya pun sama-sama berakhir di atas ranjang, dan Arsyad segera menindih tubuh Risty di sana.
Walaupun merasa tegang, tapi Risty terus berusaha keras untuk tetap rileks seperti yang dikatakan oleh Karlina.
Sejurus kemudian, Arsyad sudah kembali mencium bibir Risty. Tetapi, tidak menggunakan lidah seperti sebelumnya. Meski begitu, sesekali ia akan menggigit pelan bibir Risty sembari terus menggerakkan telapak tangannya. Membelai tubuh perempuan itu dari arah luar pakaian. Karena ia sudah bertekad kalau malam ini mereka harus benar-benar berhubungan. Benihnya harus mulai ditanam.
Sementara itu, Risty yang mulai merasa tenang, tidak setegang sebelumnya, kini terlihat berusaha keras untuk mencontoh Arsyad sekaligus mengimbangi pergerakan bibir pria itu di atas bibirnya. Walaupun terkesan sok tahu, tapi setidaknya ia berinisiatif dan tidak diam saja.
Untuk hal itu, Arsyad sama sekali tidak berkomentar.
Namun, begitu bibirnya mulai turun, berhasil melewati dagu, hingga berlama-lama di leher Risty, dan sesekali sibuk mengendus aroma tubuh perempuan itu, sebelah tanggannya mulai bergerak untuk membuka kancing baju. Karena malam itu Risty memang mengenakan setelan piama. Bukan daster seperti sebelumnya. Barulah Arsyad berkomentar, karena Risty malah menepis tangannya.
“Maaf, Pak. Saya gak sengaja,” gumam Risty setelah meringis pelan. Karena Arsyad juga langsung menghadiahinya dengan tatapan tajam, terlihat penuh peringatan.
Setelah itu, Arsyad pun sudah kembali meneruskan aksinya. Begitu berhasil membuka semua kancing baju Risty, Arsyad tampak langsung menggerakkan tangan untuk melorotkan bagian depan bra berwarna hitam milik perempuan itu.
Namun, Risty refleks menahan bra miliknya agar tidak terbuka, karena ia merasa malu untuk memperlihatkan isinya.
“Jangan ditahan,” gumam Arsyad, supaya Risty segera menyingkirkan tangannya dari sana, dan berhenti menghalangi dirinya.
“Tapi, Pak—”
“Jangan ngebantah suami, dosa.”
Arsyad mengatakan kalimat itu dengan ketus, dan raut wajah kurang bersahabat. Sukses membuat Risty langsung menutup rapat bibirnya, kemudian membiarkan pria itu membuka penutup dada miliknya.
Saat itulah Arsyad sempat menjauhkan wajahnya sebentar hanya untuk mengamati dada perempuan itu sekilas.
Risty yang melihatnya, sontak menahan napas dengan kedua pipi yang terasa semakin memanas. Dan ketika Arsyad sudah kembali mendekat, seperti akan melakukan sesuatu di sana, Risty tampak kembali menghalangi pergerakan pria itu barusan.
Membuat Arsyad langsung berdecak, karena Risty ini sulit sekali diajak bekerja sama.
“Kalau kamu begini terus, kapan kita akan selesainya?“ tanya Arsyad yang sudah benar-benar terlihat sangat kesal. Karena Risty terus menghalang-halangi dirinya, dan membuat waktu mereka jadi banyak yang terbuang.
Risty lantas kembali meminta maaf dengan nada sungkan. Kemudian membiarkan Arsyad melakukan apa pun pada kedua puncak dada miliknya. Napasnya sontak memberat, dan ia mati-matian menjaga kedua tangannya agar tidak segera mendorong kepala pria itu untuk segera menyingkir dari sana.
******
Next bakal ada Additional Part ya! Bebas mau dibaca juga atau langsung diskip aja. Nanti aku usahain bakalan tetep nyambung kayak biasa.
Jangan lupa like & follow akunku di sini ya^^
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
