
Happy reading ya!
PART 16
Nara merasa jika ia harus mencari tahu tentang siapa mantan pacar terakhirnya Martin. Karena sampai hari ini ia masih bertanya-tanya, kenapa pria itu mendadak tobat dan tidak main perempuan lagi? Bahkan—katanya—sudah hampir satu tahunan.
Tetapi, sepertinya hal itu terasa cukup sulit. Karena Martin memang jarang sekali memamerkan pacarnya di sosmed. Bahkan saat Nara cek, isi feed sosial media pria itu hanya berupa foto-fotonya saat sedang liburan, beberapa potret pemandangan, serta pertemuan-pertemuan bersama orang penting yang masih berhubungan dengan bisnis dan pekerjaan.
Nara merengut. Jangankan menemukan foto seorang wanita muda, foto adik pria itu saja sama sekali tidak mejeng di sana.
Nara lantas mengecek daftar following-nya. Tentu saja akunnya ada di urutan teratas, dan ia baru menyadarinya beberapa menit tadi, kalau ternyata pria itu adalah salah satu followers-nya di sosial media. Lantaran ia memang sangat jarang sekali mengecek siapa saja orang yang mengikutinya, dan menyukai foto serta melihat instastory miliknya. Karena biasanya ia hanya akan memposting-posting saja, tidak peduli dengan notif serta direct message yang masuk ke sana.
Ia mendengkus saat menemukan kalau ternyata Martin mengikuti Lisa Blackpink di sosial media. Lalu ia juga menemukan beberapa akun artis western di sana, rata-rata memang kebanyakan akun bercentang biru semua—termasuk akun bisnis, seperti akun resort dan spa milik keluarga pria itu, serta beberapa brand yang sepertinya masih bekerja sama dengan perusahaan Martin. Sisanya adalah keluarga, rekan bisnis, dan teman dekat.
Nara iseng mencari-cari nama Gea, ataupun akun-akun dengan username yang tak biasa. Maksudnya, username yang berindikasi sebagai second account atau semacamnya. Tapi tidak ada.
Ia jadi lelah sendiri dan memutuskan untuk berhenti. Karena ia tidak mendapatkan sedikit pun informasi.
Nara mulai berpikir, kira-kira siapa orang yang paling tepat untuk ditanyai tentang Martin?
Tentunya selain sosok Martin itu sendiri, karena tidak mungkin ia langsung bertanya kepada Martin.
Mau ditaruh di mana mukanya nanti?
Dan saat ini Nara terlihat sedang benar-benar sibuk berpikir, sampai-sampai tidak menyadari jika sudah ada orang asing yang tengah masuk ke dalam apartemennya saat ini. Ia sontak terpekik kaget, refleks melepaskan kedua tangan yang baru saja melingkar di perutnya, dan langsung menoleh. Karena sejak tadi ia memang sedang duduk di atas karpet dengan kedua siku tangan yang berada di atas meja kopi.
Martin tampak cengengesan, tidak merasa bersalah sama sekali. Nara yang melihatnya, tampak segera mengambil bantal sofa dan memukuli Martin.
“Bisa gak sih gak usah ngagetin?!”
“Maaf. Gak sengaja tadi.”
Namun, Nara masih belum puas memukuli Martin. Ia tetap memburu pria itu. Karena selain dibuat kaget, ia juga memang mempunyai dendam kesumat terhadap Martin. Hanya saja, entah dirinya yang memang ceroboh, atau Martin yang sangat pintar untuk mencari celah di mana pun dan kapan pun, tahu-tahu mereka sudah berpangkuan di dekat kaki sofa ruang tamu.
Nara mengerjap, sejak kapan mereka berpindah ke ruang tamu? Bukankah tadi ia sedang duduk di ruang tengah, tepatnya di atas karpet bulu yang ada di sana?
“Kamu ganas banget,“ keluh Martin sembari mengusap pinggang Nara sekaligus mengangkatnya, karena ia harus segera membenarkan letak posisi duduknya, supaya ia bisa bersandar di kaki sofa dengan lebih nyaman.
Nara lantas teringat akan satu hal. “Kok kamu bisa masuk ke sini sih? Perasaan tadi enggak ada bel bunyi,” katanya sembari mengernyit.
Martin terkekeh kecil. “Aku masuk sendiri.”
“Kamu ... tahu password apartemen ini?”
Martin mengangguk. “Dikasih tahu Mami.“
“Mami-Mami,” omel Nara kepada Martin. “Jangan panggil Mami-ku kayak gitu lagi.”
Martin hanya mengendik. Sedangkan Nara menunduk, baru menyadari jika saat ini ia masih dipangku oleh Martin, dan pinggangnya sedang dirangkul oleh sebelah tangan pria itu. Ia lantas bergerak, mencoba untuk bangkit, tapi gagal. Karena Martin malah menahan dirinya. Tidak memberinya kesempatan untuk segera beranjak dari sana.
“Duduk sini aja. Aku kangen tauk, enggak ketemu kamu, udah tiga hari.”
Nara sontak mencibir.
“Ditelepon, gak diangkat. Di-WA juga gak dibales. Apa lagi video call.“ Pria itu mulai menggerutu. “Kenapa kamu enggak pernah angkat telepon dari aku?“ tanyanya setelah itu.
“Sibuk.”
“Sibuk apanya?” balas Martin dengan nada tidak terima. “Kemarin Mami bilang kalau kamu cuma nemenin Davira berenang sebentar pas pulang kerja.“
“Ya itu sibuk namanya.”
Padahal, ia memang sengaja tidak pernah mengangkat telepon dari Martin selama pria itu mengerjakan pekerjaannya di Bali.
Martin mendengkus samar. Kemudian, ia pun berujar, “Lain kali kalau aku ada kerjaan di luar kota, kamu bakalan aku ajak aja sekalian.”
“Buat apa? Kamu pikir, aku gak sibuk apa? Aku kan bukan pengangguran.“
“Kan bisa cuti, nanti biar aku yang bilang ke Pram.”
Nara langsung menggelengkan kepala. “Aku enggak mau. Lagian, ngapain juga aku ngikutin kamu?”
“Biar aku gak kangen.”
Nara mendengkus, tetap menolak usul yang baru saja diberikan oleh pria itu. “Alasan kamu enggak penting banget,” cibirnya tak lama setelah itu. “By the way, udah berapa banyak?”
“Apanya?” Kening Martin tampak berkerut.
“Udah berapa banyak cewek yang kamu ajak pergi ke luar kota pake alasan ‘biar gak kangen’?” tanya Nara sambil tersenyum mengejek.
Martin langsung tertawa mendengar pertanyaan itu. “Baru kamu.”
Nara tidak percaya, sehingga ia pun kemnali mendengkus dan mencibir jawaban yang keluar dari bibir titisan buaya darat satu itu.
“Serius lho, aku mana pernah ngajak perempuan kalau lagi kerja, kecuali sekretaris aku—Shintya.”
“Kerja, ya kerja. Kalau waktunya pacaran, baru aku ngajak perempuan,” sambung Martin dengan nada santai dan tersenyum ke arah Nara.
Namun, tetap saja, Nara tidak akan mempercayainya begitu saja. Biar nanti kapan-kapan ia sendiri-lah yang akan mengorek-ngorek informasi tentang Martin melalui Shintya. Karena sepertinya, sekretaris pria itu adalah salah satu orang yang paling cocok untuk ditanya-tanyai oleh dirinya. Itu pun kalau ia berhasil bertemu dan melobi sosok Shintya. Jika tidak, Nara tidak tahu lagi harus bertanya kepada siapa.
***
“Udah, stop.“ Nara segera mendorong kepala Martin supaya menjauh. “Aku dikadalin mulu sama kamu,” keluhnya setengah menggerutu. Ia lantas mengusap dadanya dan membenarkan letak tank top sekaligus menurunkan ujung baju kaus miliknya. Supaya kaus itu bisa kembali terpasang dengan benar, serta menutupi bagian atas tubuhnya yang tadi sempat terbuka. Sedangkan Martin hanya tertawa pelan, lalu kembali menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka. Karena selimut itu tadi sempat melorot ke bawah.
Well, mereka memakai selimut karena sedang menonton. Sementara lampu utama di ruangan itu sudah dimatikan, menyisakan penerangan dari layar televisi serta lampu LED yang menghiasi meja TV.
Mereka menonton sejak tadi sore, dilanjut sambil makan malam, dan dilanjut lagi sampai sekarang—pukul 11 malam.
Toples serta bungkus snack, juga cangkir, dan cup—serta kotak—bekas minuman, tampak memenuhi meja kopi.
Sesekali Martin akan mencuri-curi kesempatan untuk menyentuh Nara, apa lagi saat gadis itu sedang sangat fokus menonton dan tidak terlalu menggubris dirinya. Ia akan memeluk, mencium rambut, pipi, serta bahu gadis itu. Meski di beberapa kesempatan, Nara akan mengamuk. Kemudian menyalahkan dirinya saat gadis itu melewatkan beberapa detik scene yang tidak sempat tertonton.
Puncaknya, tadi, ketika film itu sudah berakhir. Martin langsung mengambil kesempatan untuk mencium Nara sekaligus mencumbunya selama beberapa saat. Karena sudah 3 hari ia tidak bertemu dengan gadis itu dan sama sekali tidak berkomunikasi dengannya. Lantaran Nara tidak pernah mengangkat panggilan ataupun membalas pesan darinya. Meski begitu, ia tetap menghubungi Sarah—seperti biasa. Kebetulan sekali, kemarin Nara sempat pulang ke rumah orang tuanya. Sehingga ia pun bisa mendapatkan sebuah foto dari ibu gadis itu ketika Nara sedang membantu ibunya untuk menyiapkan meja makan.
Di foto itu Nara terlihat sedang berdiri sembari menuangkan air putih ke dalam beberapa gelas.
Hanya berupa foto sederhana, bahkan Nara pun hanya mengenakan kaus putih kebesaran dengan rambut yang dicepol asal. Tetapi, wajah tanpa make-up-nya terlihat begitu cantik dan segar. Hingga mampu menghipnotis Martin, dan membuatnya tergerak untuk menjadikan foto itu sebagai wallpaper di ponsel miliknya.
“Aku nginep ya?“ tanya Martin kemudian.
Nara langsung mendelik sebal.
“Kan udah malem. Masa kamu tega sih nyuruh aku nyetir malem-malem?”
“Halah. Biasanya juga kamu sering tuh pulang subuh. Jangan kamu pikir aku gak tahu.”
Martin tampak mengulum senyum. “Aku baru tahu kalau ternyata selama ini kamu sering merhatiin aku.“
Nara kontan mencibir ucapan pria itu. “PD bener. Padahal aku ngomong gitu karena udah ketebak banget, kamu kan sering ke club. Pulang jam sebelas malem, pasti masih terlalu sore buat orang-orang kayak kamu.”
Martin mendengkus. “Pokoknya malem ini aku enggak mau pulang,” katanya dengan keras kepala sembari menyembunyikan wajah di salah satu pundak Nara dan melingkarkan sebelah tengannya di atas perut gadis itu yang saat ini tengah berbaring telentang. “Aku mau di sini aja, bareng kamu. Ya?”
“Enggak bisa,” tolak Nara sembari mendorong Martin. “Aku enggak mau kumpul kebo. Apa lagi sama kamu.”
Martin berdecak, berusaha keras agar tidak benar-benar terdorong ke bawah. “Ini bukan kumpul kebo, ini namanya nginep.”
“Bodo. Pokoknya aku enggak mau.”
“Tapi, aku mau.” Martin tampak mengusal-ngusal bahu gadis itu, hingga suaranya jadi sedikit teredam. “Aku mau di sini terus sama kamu.”
Nara langsung mendengkus setelah mendengar kalimat terakhir pria itu. “Berasa dapet mainan baru, hm?” tanyanya dengan nada menyindir.
Nara tidak heran, ini masih di awal. Jadi, ya begitulah ... sikap lelaki buaya.
Martin yang sedang tengkurap—sedikit menindih tubuh Nara, lantas segera menegakkan kepalanya dan menatap gadis itu sambil geleng-geleng pelan. “Aku enggak pernah nganggap kamu sebagai mainan.”
Nara hanya mengendik samar. Kemudian, ia pun mulai menebak, “Kira-kira berapa lama permainan ini bakal selesai? Berapa lama lagi kamu bakal bosen sama aku? Hm?”
“Aku harap ... jangan kelamaan, karena aku udah enggak punya banyak waktu lagi buat main-main terus di umurku yang sekarang,” sambungnya lagi, yang membuat Martin tetap bungkam. Tetapi, kedua bola mata pria itu tampak terus memandang lurus ke arah dirinya.
Nara tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Martin sekarang setelah mendengar semua pertanyaannya barusan, tapi ia tetap lanjut berbicara.
“Semoga kamu ngerti, ya?“ pinta Nara dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya. Ia tidak ingin bermusuhan dengan Martin. Karena itulah ia memberikan peringatan halus kepada pria itu malam ini, supaya jangan terlalu lama mempermainkan dirinya. Lantaran ia tahu jika pria itu pasti tidak sedang serius ingin benar-benar mendekati dirinya.
Mungkin Martin hanya penasaran saja, ingin mencoba beberapa hal yang ada pada dirinya. Setelah rasa penasarannya sudah terpuaskan semua, Nara yakin kalau pria itu pasti akan segera berhenti mendekati dirinya. Dan ia akan berakhir seperti semua mantan pacarnya Martin yang sebelum-sebelumnya.
Tetapi, tidak apa-apa. Tidak masalah. Karena untuk sekarang Nara masih belum merasa keberatan. Asalkan hal itu tidak berlangsung terlalu lama, dan harus cepat-cepat dihentikan. Karena jika tidak segera dihentikan, lalu bagaimana caranya ia bisa mendapatkan pasangan sungguhan?
Di umurnya yang sekarang, Nara ingin sekali memiliki seseorang yang mau diajak serius dan memiliki satu tujuan. Bukan cuma ingin coba-coba ataupun bermain-main saja, karena hal itu hanya akan membuang-buang waktunya dengan percuma.
*******
PART 17
Nara berkata seperti itu karena ia ingin segera memproteksi dirinya. Ia tidak ingin terlalu lama terlibat bersama Martin jika pria itu memang hanya ingin bermain-main. Karena sesungguhnya ia sadar jika dirinya sudah memiliki ketertarikan terhadap Martin. Ia suka dicium oleh pria itu, dan tidak masalah saat beberapa bagian tubuhnya dijamah sekaligus dicumbu.
Selama ini, ia tidak pernah berciuman ataupun berpelukan dengan seorang lelaki di saat mereka tidak sedang memiliki hubungan apa pun.
Seumur-umur, Nara hanya pernah berciuman dan bermesraan dengan kedua mantannya. Selain itu ... ya, hanya Martin. Dan Nara tidak tahu harus menganggap Martin sebagai apa. Karena ia merasa jika hubungan mereka sekarang masih tidak jelas.
Semalam saja, tak lama setelah ia bertanya sampai kapan permainan di antara mereka akan selesai, pria itu malah memilih untuk pulang. Padahal, sebelumnya, Martin sangat keras kepala dan terus membujuknya agar diperbolehkan untuk menginap.
Akibat hal itu, Nara jadi semakin yakin kalau Martin memang tidak serius dan hanya ingin bermain-main. Ia bahkan nyaris tidak bisa tidur semalaman suntuk, karena terus memikirkan Martin serta ketidakseriusan pria itu, dan pagi ini ia baru saja selesai mengganti password di pintu.
Ia sengaja tidak langsung memberitahukan tentang password barunya itu kepada sang ibu, atau siapa pun. Karena sebelumnya, seluruh keluarganya mengetahui apa password apartemen ini. Termasuk istri dari kedua kakak lelakinya.
Nara lantas kembali duduk di hadapan kitchen island, dan mulai mendekatkan permukaan cangkir teh ke hadapan bibirnya. Ia langsung menandaskan isinya saat itu juga, karena sisa teh di cangkir itu memang sudah sangat mendingin setelah tadi ia tinggal.
Setelah ini, rencananya Nara akan berbelanja kebutuhan sehari-harinya. Mungkin nanti ia akan sekalian makan siang di luar. Karena persediaan bahan makanannya memang sudah habis, dan hanya tersisa beberapa butir telur saja.
Itu pun sudah dipakainya untuk isian sandwich sebagai menu sarapan.
Begitu selesai mencuci semua piring kotor di dapurnya, Nara pun segera mandi dan bersiap-siap. Sekitar pukul setengah 10-an, ia sudah rapi dan cantik mengenakan one shoulder knit yang dipadukan dengan celana jeans. Sementara college triomphe bag keluaran celine tampak sudah tersampir di salah satu bahunya. Ia akan langsung pergi ke super market.
Hampir 3 jam-an waktu yang dihabiskan oleh Nara di sana, karena ia memang membeli cukup banyak bahan makanan. Termasuk buah, dan segala macam. Ia sempat makan siang di super market itu sebelum benar-benar bertolak pulang. Sedangkan sopir pribadi ibunya tampak sudah stand by untuk membantunya memasukkan seluruh barang belanjaan.
Saat itulah, Nara tak sengaja melihat sebuah mobil—mirip seperti mobil Martin—baru saja melintas di basement.
Namun, saat itu Nara tidak mau terlalu ambil pusing. Ia segera masuk ke dalam mobilnya sendiri begitu selesai memasukkan sekaligus menyusun semua barang belanjaannya tadi.
“Oh iya, Non. Barusan tadi Ibu titip pesen. Katanya, tolong bilangin Non Nara jangan lupa buat cek WA dari Ibu.” Darman—sopirnya Sarah yang sering mengantar-jemput Nara—tampak berbicara sembari melirik anak majikannya itu melalui spion tengah.
Nara terlihat terkejut dan segera membuka tas untuk meraih ponsel miliknya. Ia baru ingat kalau ponselnya itu tadi sudah mati karena lupa di-charger. Terakhir, benda itu masih aktif saat digunakannya untuk menghubungi Darman, serta memastikan kalau list daftar belanjaannya sudah terbeli semua sebelum ia memesan beberapa menu makanan di super market dan duduk-duduk sebentar.
“Iya, Pak. Nanti pulang dari sini bakalan langsung saya cek. Makasih ya,” katanya sembari memasukkan kembali benda persegi panjang itu ke dalam tas.
Darman tampak menganggukkan kepala sembari membalas ucapan gadis itu dengan sebaris kalimat sederhana. Sedangkan Nara langsung teringat akan satu hal, “Tapi, Mami gak pergi ke apartemen kan, Pak?“ tanyanya yang hanya ingin memastikan. Karena password apartemen telah diubah oleh dirinya, dan ibunya itu masih belum mengetahui tentang password barunya. “Soalnya password apartemen baru aja saya ubah.”
Bisa-bisa pulang dari sini nanti ia akan langsung diomeli oleh ibunya, karena telah mengubah password apartemen tanpa mengatakan apa-apa, sementara ponselnya sedang tidak bisa dihubungi seperti sekarang.
“Enggak sih, Non. Tadi Ibu cuma nge-WA begitu.”
“Syukurlah ....” ujar Nara sembari mengembuskan napas lega.
***
Ternyata ibunya itu hanya meminta pendapat mengenai warna kain. Nara pikir ada apa. Ia lantas mengamati beberapa gambar yang telah dikirimkan oleh ibunya melalui pesan WhatsApp. Ia mengamatinya beberapa saat sebelum benar-benar mengirimkan pesan balasan.
Warna biru atau lilac bagus tuh, Mi
Ibunya hanya membalas dengan kata ‘oke’ sebelum kembali memintanya untuk memilih.
Nara sontak mengernyit. “Sebenernya Mami ini mau ngapain sih?” gumamnya sebelum mengirimkan sebuah balasan sekali lagi.
Tepat setelah balasan itu terkirim, dan ibunya sudah tidak bertanya tentang apa pun lagi, Nara pun segera beranjak dari atas karpet. Karena bel apartemennya baru saja berbunyi.
Nara pikir, itu adalah Martin. Tapi ternyata ia salah. Karena begitu ia mengintip dari dalam, rupanya sosok Tiffany-lah yang tengah berdiri di sana.
Nara baru ingat kalau tadi pagi sahabatnya itu sempat bertanya, apakah hari ini ia sibuk atau tidak. Dan tadi pagi ia menjawab tidak, paling hanya berberlanja untuk mengisi kulkas saja.
“Hei, gue bawain ini, kesukaan lo.” Tiff tampak tersenyum sembari memamerkan paper bag dari sebuah cafe ternama di tangan kanannya, lalu memberikan tas itu kepada Nara.
Nara lantas menerimanya sembari menggumamkan kata ‘thanks’ tanpa banyak tanya. Karena dari tampilan paper bag itu saja, ia sudah dapat mengetahui apa isinya.
“Dari mana lo? Kok ... cantik bener?” tanya Nara sembari mengamati penampilan Tiffany yang terlihat sangat niat, hingga memakai blazer di tubuhnya.
“Biasa,” sahut Tiffany sembari melepas alas kakinya di dekat pintu. Sementara Nara sudah melangkah menuju ke arah ruang tengah lebih dulu. “Habis meeting lagi sama beberapa vendor.”
Tiff lantas menceritakan mengenai persiapan pernikahannya yang akhirnya sudah hampir selesai, dan hari H-nya pun sudah semakin dekat.
Nara turut merasa senang begitu mendengarnya. Karena ia tahu jika rencana serta konsep pernikahan itu memang sudah dipikirkan oleh Tiffany sejak lama. Tepatnya 8 bulanan yang lalu, ketika sahabatnya itu menerima lamaran dari Jo.
Nara ingat betul, malam itu—beberapa jam setelah resmi dilamar oleh Jo—Tiff langsung mencari-cari beberapa kontak wedding planner & organizer. Lalu menyeleksinya sebelum benar-benar memakai jasa itu.
Nara tahu karena malam itu Tiff mengajaknya menginap di apartemen milik gadis itu, dan ia turut memberi saran mengenai beberapa wedding planner & organizer yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh Tiff untuk mengurus pernikahannya dengan Jo. Karena dulu, saat keempat kakaknya menikah, sesekali Nara juga akan ikut memperhatikan beberapa pihak yang pernah diajak bekerja sama oleh semua kakak-kakaknya. Jadi, sedikit-banyak ia pun sudah mengetahui jasa mana saja yang hasilnya memang bagus, ataupun masih ada yang sedikit kurang. Karena ia sudah memiliki referensi dari pernikahan yang pernah digelar oleh keempat kakaknya.
Dan sore itu, Tiff juga turut membahas tentang Nara, serta menggoda gadis itu mengenai ‘pacar barunya’. Karena dua hari yang lalu Tiffany memang sempat bertemu dengan Sarah, dan wanita itu menceritakan tentang Martin dan Nara yang sekarang sudah resmi berpacaran.
Saat itu Tiffany bahkan langsung cepat-cepat menghubungi Nara untuk bertanya mengenai hubungan gadis itu dengan Martin yang belum diketahui oleh dirinya, hingga cerita yang sesungguhnya pun mulai meluncur begitu saja.
Jadi, dua hari yang lalu, Tiffany sudah mengetahui segalanya. Meski begitu, ia tidak banyak berkomentar. Malahan ia mendukung hubungan itu, dan menyuruh Nara untuk tebar pesona habis-habisan supaya Martin tidak berpaling dari dirinya. Apa lagi—sepertinya—Sarah juga sudah merestui hubungan mereka.
“By the way ...,“ Tiff menjeda ucapannya sembari berusaha mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Gadis itu tampak mengutak-atik hp-nya sekilas sebelum menyodorkannya ke hadapan Nara. “ ... nih, gue punya video lo, anjirrr!“
Tiff langsung terbahak, sedangkan Nara segera mengambil alih benda pipih itu dan melihat sebuah video pendek yang tengah terputar.
“Sialan,“ umpat Nara dengan gregetan. Karena ternyata Tiff sempat memvideokan dirinya dan Martin yang sedang berciuman saat di acara birthday dinner-nya Messy.
Sementara itu, Tiffany yang masih tertawa, tampak segera merebut ponselnya dari tangan Nara. “Ettsss, jangan dihapus.”
Nara langsung memasang wajah masam, karena tidak berhasil menghapus video laknat itu dari ponsel sahabatnya.
“Ini tuh kenang-kenangan tauk,” ucap Tiffany sembari mengamankan ponselnya dan menyimpannya kembali ke dalam tas. “Siapa tahu nanti lo butuh.”
“Buat apa?“ tanya Nara yang masih memandang sebal ke arah gadis itu.
“Buat lo nikah nanti,” jawab Tiffany dengan santai sembari menyeringai jahil. “Siapa tahu lo mau bikin kumpulan video tentang kebersamaan lo sama Martin, terus dijadiin satu gitu, kayak film pendek. Nah, video tadi harus ikutan nyempil. Biar ditonton juga sama semua tamu.”
Tiff kembali tertawa, dan ia juga jadi membayangkan bagaimana reaksi semua orang. Karena disuguhi oleh video ala-ala Drama Korea yang diperankan oleh Martin dan Nara.
Sementara itu, Nara hanya mendengkus dan kembali memasang raut wajah masam. Lantaran ia dan Martin tidak akan pernah menikah, apa lagi menayangkan video semacam itu di hadapan orang banyak.
******
PART 18
Nara pikir, ia betul-betul tidak masalah kalau Martin hanya ingin mempermainkan dirinya. Tetapi, rupanya ia salah. Karena hari ini ia mendapati dirinya yang mulai hilang kesabaran, merasa marah, dan tidak terima setelah dicampakkan.
Ya, Nara merasa dicampakkan. Karena sudah 5 harian ini Martin sama sekali tidak pernah muncul lagi di hadapannya. Tidak pernah lagi menjemputnya, dan tidak menyabotase sopir pribadi ibunya. Padahal, Nara yakin jika pria itu tidak sedang berada di luar kota, ataupun luar negeri untuk mengurusi pekerjaan.
Bukan hanya itu saja, panggilan telepon serta chat dari pria itu pun benar-benar tidak ada.
Lalu, kesabaran Nara itu semakin diuji ketika Jeandra bertanya mengenai kebenaran tentang hubungannya dengan Martin saat mereka tak sengaja berpapasan di dekat pintu masuk cafe seberang kantor. Cafe langganan bagi para karyawan serta bos di Adikara Group.
Nara lantas mendelik sebal, dan menjawab pertanyaan pria itu dengan nada ketus. “Tanya aja sana sama adik sepupu kamu. Gak usah nanya-nanya sama aku.“
Tepat setelah menjawab seperti itu, Nara pun langsung bergegas pergi dari cafe itu. Karena mobil milik ibunya yang dikendarai oleh Darman tampak sudah menunggu.
Nara jadi berpikir untuk mampir dulu ke kediaman keluarga Fadil sebelum benar-benar pulang ke apartemen.
Namun, urung. Lagi pula, untuk apa ia datang ke situ? Lebih baik ia langsung pulang, dan merilekskan tubuhnya di dalam bathtub. Nara ingin berendam sekaligus mendinginkan kepalanya yang terasa panas. Karena ia sadar jika hari ini ia sedang sangat sensitif terhadap—nyaris—semua orang. Nara lantas menghela napas panjang, dan memperhatikan kemacetan yang terjadi di sekitar mobilnya.
Butuh waktu nyaris 1 jam perjalanan sebelum ia benar-benar sampai di apartemen dengan selamat. Darman menurunkannya di depan lobi gedung apartemen, dan langsung pamit pergi setelah ia mengatakan jika dirinya tidak perlu diantar ke tempat lain saat sopir ibunya itu menawarkan diri.
Begitu sudah sampai di dalam unitnya, Nara pun langsung bergegas pergi ke kamar mandi dan mulai mengisi air. Selain itu, ia juga turut menyiapkan beberapa kudapan, seperti buah dan smoothies mangga. Lalu memasang lilin aromaterapi, dan tak lupa memutar musik klasik dengan melodi lembut yang mungkin bisa menenangkan pikirannya saat ini.
Setelah semuanya selesai, Nara tampak mulai mencepol rambut panjangnya, serta menanggalkan seluruh kain di tubuhnya. Ia masuk ke dalam bathtub, menyandarkan tubuhnya di sana, lalu mulai memejamkan mata. Terasa sangat rileks sekaligus menenangkan.
Sementara musik terus berputar, justru ingatannya malah sibuk memutar ulang adegan tentang dirinya dan Martin yang sudah cukup sering berciuman. Di sofa, juga di mobil.
Nara lantas menggeram. Ia langsung membuka mata. Karena saat matanya tertutup, malah sosok pria itulah yang ia lihat. Terasa begitu jelas dan nyata.
“Sial,” umpat Nara dengan suara pelan. Ia lantas meraih ponselnya, dan ingin sekali menghubungi Martin. Sekadar bertanya tentang kabarnya melalui aplikasi chatting.
Tetapi, ia ragu, atau mungkin memang dirinya yang terlalu gengsi?
Nara geleng-geleng samar, kemudian mengurungkan niatnya yang ingin menghubungi Martin, dan meletakkan kembali benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke tampat semula.
Padahal, kedekatan mereka kemarin baru terjalin secara singkat. Sangat singkat. Sekitar 1 mingguan. Itu pun terpotong akibat Martin yang sempat pergi ke Bali selama 3 hari. Setelah itu, tidak ada lagi sosok Martin. Pria itu benar-benar menghilang hingga hari ini.
“Apa aku mulai kencan lagi aja ya?” gumam Nara sembari menggosokkan sekumpulan busa di sepanjang lengan kirinya. Sejak tahun lalu ia ingin sekali menggunakan dating apps. Tetapi, hal itu belum pernah direalisasikan oleh dirinya sampai sekarang. Karena dari beberapa pengalaman yang pernah ia baca di sosial media, ia menyimpulkan jika kebanyakan pria yang ada di dating apps terasa cukup berbahaya. Ada yang langsung mengajak check in di pertemuan pertama, staycation, dan segala macam. Bahkan ada pula yang kena tipu, hingga uangnya dibawa kabur.
Baru membacanya saja, Nara sudah takut. Apa lagi jika ia benar-benar bertemu dengan pria semacam itu. Meski begitu, Nara juga pernah menemukan thread tentang seseorang yang menikah, bahkan sampai punya anak, karena berkenalan di dating apps. Walau tidak banyak, tapi ada. Hanya saja, kemungkinan itu terasa sangat kecil bagi Nara. Sekecil kesempatannya untuk mendapatkan pasangan setelah ia dan Jeandra sepakat membatalkan pertunangan di antara mereka.
Nara jadi berpikir, apa ia sulit mendapatkan jodoh karena hal itu? Lantaran sejak dulu ia sering sekali mendengar mitos ataupun pamali, mungkin semacamnya—Nara tidak terlalu mengerti—jika menolak lamaran dari seseorang, nanti akan susah mendapatkan pasangan.
Nara tidak ingin percaya, apa lagi ia juga sama sekali tidak menolak lamaran dari Jeandra, melainkan sepakat untuk membatalkan pertunangan sekaligus perjodohan di antara mereka. Tetapi, entah kenapa, ia seolah sedang mengalami mitos itu sekarang. Ia sulit sekali mendapatkan pasangan. Karena dari beberapa pria yang pernah dikenalkan kepada dirinya, pasti ada saja sifat ataupun kelakuan dari pria itu yang tidak bisa diterima serta ditoleransi oleh dirinya.
Namun, di sisi lain, ada Jeandra yang juga ikut andil dalam pembatalan pertunangan di antara mereka, tapi pria itu malah cepat sekali mendapatkan seorang pasangan. Bahkan tidak sampai setengah tahun, dan Jeandra langsung menikah. Meski saat itu ia tidak diundang—karena pernikahan Jeandra memang hanya dihadiri oleh anggota keluarga saja, tapi Nara tahu kapan dan di mana pria itu melangsungkan akad nikah.
Nara jadi bimbang. Sebenarnya yang mana yang benar?
Cukup lama ia berkutat dengan isi pikirannya sendiri, sampai akhirnya Nara pun mempercepat acara berendamnya saat ini. Ia segera membersihkan diri, lalu memakai bathrobe, dan menghabiskan smoothies-nya sembari berjalan keluar dari kamar mandi.
***
Oke. Sekarang Nara sudah bisa lebih berlapang hati, ia tidak ingin terlalu memikirkan tentang Martin lagi. Malah bagus jika pria itu langsung berhenti bermain-main dengan dirinya. Karena dengan begitu, ia tidak perlu membuang-buang waktu terlalu lama hanya untuk terlibat dalam hubungan yang tidak jelas.
Rencananya, besok, Nara akan ikut menemani sang ayah pergi bermain golf bersama teman-teman sejawatnya. Karena sudah cukup lama ia tidak ikut menemani ayahnya ke sana. Meski semalam pria paruh baya itu sepertinya tengah merasa heran, lantaran tiba-tiba saja ia menelepon dan ingin mengikuti salah satu kegiatan sang ayah.
Semalam, ayahnya itu bahkan sempat bertanya, memangnya lusa ia tidak memiliki acara dengan Martin? Karena lusa itu adalah hari Sabtu, baru awal weekend. Dan semalam Nara langsung menjawab jika ia sudah putus dari Martin.
Ayahnya itu memang tidak banyak berkomentar, hanya berkata, “Ya sudah, lusa ikut Papi main golf aja. Biasanya beberapa anak kolega Papi juga bakal ada di sana. Kamu tahu, ‘kan? Biar nanti Papi bantu kenalin ke mereka, kalau kamu memang interest dan mau kenal lebih dekat.”
Tentu saja Nara mengetahuinya, karena sebelum ini ia memang sudah cukup sering ikut menemani ayahnya ke sana, dan di sana juga cukup banyak anak-anak muda. Bukan hanya pria setengah baya yang seumuran dengan sang ayah.
Namun, berbeda dengan ibunya, semalam ibunya itu—sepertinya mengetahui tentang kabar putusnya dari sang ayah—malah segera menghubungi dirinya dan berkata, “Dek, kamu ngambek lagi ya sama Martin?”
“Ngambek apa sih, Mi?“
“Kalau gak ngambek, terus kenapa kamu bilang begitu ke Papi? Tadi Papi cerita, katanya kamu udah putus dari Martin.”
“Memang udah putus kok, Mi. Aku aja baru kena ghosting.”
“Kena ghosting gimana sih?”
“Ya kena ghosting, Mi. Aku ditinggalin. Martin enggak ngehubungin aku sama sekali.”
“Coba kamu duluan yang ngehubungin Martin, siapa tahu dia sibuk. Makanya gak sempet ngehubungin kamu.”
“Enggak mau ah, Mi. Ngapain?” Dan sebelum ibunya itu berbicara kembali, Nara sudah lebih dulu berniat untuk menyudahi panggilan telepon di antara mereka. “Udah dulu ya, Mi. Aku mau tidur. Besok aku masih harus kerja.“
Kira-kira begitulah percakapan mereka saat di telepon semalam, walaupun kenyataannya semalam ia tidak langsung tidur. Karena dirinya masih belum mengantuk. Akibat hal itu, pagi ini ia malah bangun kesiangan, dan nyaris saja terlambat saat pergi ke kantor. Untungnya, ia masih sanggup untuk bersiap-siap dengan cara yang cukup proper. Meski pagi ini ia hanya sempat meminum segelas susu, tanpa menyantap makanan sedikit pun.
******
PART 19
Pagi itu Nara sudah terlihat sangat rapi dan cantik dengan busana golf miliknya. Ia memakai rok lipit di atas lutut, baju kaus, serta topi di atas kepala. Wajahnya sudah di-make-up. Walau tipis, tapi tetap kelihatan segar. Sementara rambut panjangnya tampak dikepang dan disampirkan ke atas pundak.
Ia lantas duduk di salah satu kursi yang tersusun di hadapan kitchen island, dan mulai menikmati sarapan paginya yang tadi sudah sempat disediakan olehnya di atas sana.
Menu sarapannya kali ini hanya berupa 2 lembar roti panggang yang sudah diolesi dengan ovomaltine, serta segelas cokelat hangat.
Sederhana, tapi Nara sangat menyukainya. Walaupun terkadang, perutnya lumayan sering berulah, dan merasa kurang jika hanya diberi makan menggunakan 2 lembar roti panggang. Makanya, di beberapa kesempatan, biasanya ia akan kembali sarapan dengan lontong sayur ataupun bubur ayam yang dijual tak jauh dari gedung apartemen tempat ia tinggal. Tetapi, sepertinya kali ini perutnya itu sedang tidak ingin berulah. Karena roti panggang dan cokelat hangat tadi sudah cukup membuatnya merasa kenyang. Sehingga ia pun tinggal menunggu untuk dijemput saja oleh ayahnya.
Nara lantas melirik jam yang tertera di layar ponsel miliknya. Tak lama lagi ayahnya itu pasti akan segera tiba.
Sembari menunggu, Nara tampak memutuskan untuk duduk-duduk dulu di atas sofa ruang tengah. Ia sempat mengambil beberapa foto selfie di sana, lalu mengamatinya beberapa saat, dan iseng menjadikan salah satunya sebagai instastory di akun sosial media miliknya.
Nara sengaja tidak membubuhkan caption apa-apa, dan hanya memberikan emoji hati berwarna hijau yang senada dengan baju kaus yang sedang ia pakai.
Tepat setelah ia menutup aplikasi itu dari ponselnya, bel di pintu apartemennya pun sudah mulai terdengar. Nara lantas meraih nylon hobo bag berwarna hitam miliknya yang sejak tadi sudah siap di atas meja.
Kali itu Nara sama sekali tidak mengintip terlebih dahulu siapa tamunya, karena ia mengira jika itu sudah pasti ayahnya. Namun, siapa yang menduga, kalau orang yang berdiri di sana bukan sang ayah, melainkan sosok Martin dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya.
“Hai,“ sapa Martin sembari semakin melebarkan senyum. Terlihat tanpa rasa bersalah, yang membuat Nara kontan mendengkus, dan melemparkan tatapan sebal ke arah pria itu.
“Ngapain lagi dateng ke sini?” tanya Nara dengan sangat ketus. Bahkan seraya melipat tangan dan sedikit mengangkat dagu. Karena ia sama sekali tidak mengharapkan kedatangan pria itu.
“Jutek banget,” kata Martin yang mulai berseloroh, serta memandang geli ke arah gadis itu. “Boleh aku masuk?”
Nara kembali mendengkus. “Gak lihat apa? Orang yang punya rumah udah mau pergi, mending kamu juga cepet-cepet pergi dari sini.”
Saat itulah Martin baru menyadari, jika Nara sedang membawa tas dan tampak begitu rapi.
“Mau main golf sama siapa?” tanya Martin setelah mengamati penampilan gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kenapa harus pake-pake rok pendek begini? Memangnya kamu enggak punya bawahan yang lain?”
Martin mencecar sembari menyentuh ujung rok Nara yang terlihat sangat pendek.
Sementara itu, Nara langsung menghindar sekaligus berdecak sebal. Karena tidak terima lantaran busananya baru saja dicecar.
“Ganti sana,” suruh Martin sebelum memberikan sebuah saran kepada Nara. “Mending pake celana aja, yang panjang.”
“Di tempat golf banyak angin, nanti rok kamu kebuka,” sambung Martin kemudian.
“Biarin. Lagian, kamu juga gak punya hak buat ngatur-ngatur aku begini. Memangnya kamu siapa?”
Martin sontak berdecak. Kemudian, ia pun menjawab, “Aku pacar kamu, jadi aku punya hak.”
Nara hanya mencibir jawaban pria itu tanpa mau menurutinya.
“Minggir sana, aku mau lewat,” kata Nara sembari mendorong lengan bagian atas milik Martin, supaya pria itu segera menyingkir. “Papi pasti udah nungguin aku di lobi.”
Namun, Martin sama sekali tidak mau menyingkir. Malahan ia yang mendorong Nara agar kembali masuk ke dalam apartemen. Membuat Nara langsung melayangkan sebuah protes.
“Apaan sih?! Jangan dorong-dorong begini!”
Tetapi, tetap saja, Nara terlihat didorong dengan mudah. Apa lagi sneakers dan marmer apartemennya adalah perpaduan yang sangat pas. Karena gadis itu terdorong tanpa hambatan.
“Masuk, ganti pake celana. Rok kamu kependekan.”
“Ogah!”
“Mau ganti sendiri, atau aku yang gantiin?”
“Udah gila,“ ucap Nara yang langsung berkomentar.
Namun, sepertinya saat itu Martin memang sedang sangat serius dengan ucapannya. Karena pria itu benar-benar mendorong Nara sampai masuk ke dalam kamar, dan dia pun ikut masuk juga ke dalam. Membuat Nara panik sekaligus kelimpungan.
“Keluar sana! Martiiinn!”
Teriakan gadis itu melengking ketika ia tidak berhasil mendorong serta menyuruh Martin untuk segera keluar dari tempat ini. Pria itu bahkan sudah bergerak untuk membuka pintu lemari.
Nara tampak menggeleng. Setelah membuka pintu lemari, lalu apa lagi? Apakah pria gila itu akan benar-benar menggantikan roknya dengan celana, tapi menggunakan kedua tangan pria itu sendiri?
Nara kontan bergidik. Ia tidak mau. Berhubung tidak mempunyai pilihan lain, jadi ia pun mencoba untuk kabur.
“Nara! Hei, mau ke mana kamu?“
Martin segera mengejar gadis itu.
Tepat saat Nara membuka pintu, sosok Baskara terlihat sedang berdiri dan sudah berancang-ancang untuk mengetuk.
“Papiii,” Nara langsung berlindung di balik tubuh sang ayah. Sedangkan Martin yang melihat, hanya mampu berdecak pelan sebelum mendekati mereka, dan menyapa Baskara sekaligus mencium punggung tangannya.
“Kalian ngapain?” tanya Baskara sembari melirik putrinya dengan sedikit pendar geli. “Bukannya kalian udah putus? Kok malah berdua-duaan di apartemen?”
“Putus? Siapa yang bilang, Om?“
“Lho?” Raut wajah pria setengah baya itu terlihat sedikit terkejut. “Nara sendiri yang bilang waktu itu.”
“Ini aja dia mau ikut Om main golf, biar sekalian kenalan sama cowok-cowok,” sambung Baskara sembari melangkah masuk. Sementara itu, Nara masih betah berada di punggung sang ayah sembari memegangi ujung kaus polo yang dikenakan oleh ayahnya pagi itu.
Bibir Martin kontan berkedut. “Maksudnya, Nara mau kenalan sama temen-temennya Om? Sesama Om-Om?” tanyanya sembari melirik jahil ke arah gadis itu.
Nara langsung mendelik sebal, karena dikira ingin berkenalan dengan Om-Om.
Baskara lantas tertawa, lalu menepuk pelan sebelah bahu milik pemuda itu. “Jangan sembarangan kamu, di tempat golf juga banyak cowok-cowok tajir, muda, dan ganteng.“
“Tuh, dengerin,“ ucap Nara sembari sedikit mengangkat dagu. Refleks melepaskan pegangan tangannya di ujung kaus milik sang ayah ketika ayahnya itu bergerak untuk duduk.
Sebelum kedua anak itu kembali berbicara, Baskara tampak sudah lebih dulu menyuruh Nara untuk membuatkan minuman. “Dek, tolong bikinin minuman buat Papi dong. Sekalian buat Martin juga. Papi mau ngobrol sama dia.“
Baskara mengendik ke arah salah satu sofa, mempersilakan Martin untuk duduk bersamanya.
Nara sontak mengerjap kaget begitu mendengar perintah dari sang ayah. “Lho? Bukannya kita udah mau pergi ya, Pi?”
“Perginya bisa nanti-nanti, Papi mau ngobrol dulu sama Martin.”
“Memangnya Papi mau ngomongin apa sama dia?” tanya Nara sembari melirik Martin dengan sebal. Karena ia masih kesal lantaran pria itu menghilang selama seminggu, tanpa kabar. “Kami udah putus, Pi. Jadi, Papi enggak perlu ngajak dia ngobrol lagi. Lagian, dia juga cuma mau main-main. Buktinya, udah semingguan ini aku kena ghosting.”
Baskara hanya menampilkan raut wajah geli, ia melirik Martin yang sudah cepat-cepat mengeluarkan sesuatu dari saku celananya begitu Nara menyebutkan kata ‘main-main’. Tetapi, sepertinya gadis itu tampak belum menyadari, karena dia asyik nyerocos, seolah tanpa henti. Mengeluarkan sedikit unek-uneknya tentang Martin.
“Siapa bilang aku cuma mau main-main? Ini ... buktinya aku udah beliin kamu ini,” sahut Martin, terlihat sedang memamerkan sebuah cincin.
Nara yang masih berdiri, sontak menoleh dan langsung dibuat sangat terkejut. Ia speechless. Sedangkan Martin mulai menyeringai kecil, lalu beranjak dari sofa, dan benar-benar mendekati Nara.
“Sini, mana tangan kirinya,” pinta Martin seraya mencoba untuk menarik tangan kiri Nara. Tetapi, gadis itu malah langsung menolak.
“Gak!” tolak Nara sembari menyembunyikan tangan kirinya. “Udah beneran gila kamu ya?!”
Martin hanya menatap Nara dengan heran sebelum menoleh ke arah Baskara yang tengah memperhatikan mereka berdua. “Gimana nih, Om? Terakhir ketemu, dia ngode pengen diseriusin. Giliran udah dikasih cincin, reaksinya malah begini,” ucapnya pada Baskara, tapi sesekali masih melirik ke arah Nara.
Nara langsung terlihat sedikit gelagapan. Tetapi, sejurus kemudian, ia pun langsung mengelak. Tampak geleng-geleng pelan. “Siapa juga yang pengen diseriusin? Gak usah ngarang!”
Martin tampak menatap Nara dengan mata menyipit. Lalu menjawab, “Kamu. Kamu kan yang malem itu bilang kalau kamu udah enggak punya waktu lagi buat main-main di umur kamu yang sekarang?”
Kepala gadis itu masih geleng-geleng pelan. Tetapi, kali ini suaranya terdengar sangat ragu saat sedang mengelak. “Enggak ....”
Martin mendengkus. Ia kembali berpaling ke arah Baskara ketika bertanya, “Terus gimana ini, Om?“
“Coba kamu tanya langsung ke anaknya. Mau gak dia terima cincinnya?” ucap Baskara.
“Gimana, Ra? Mau gak?” tanya Martin di hadapan Nara, dan saat ini ia sudah kembali memusatkan perhatian kepada gadis itu sepenuhnya.
Sementara itu, Nara yang merasa sedang ditodong jawaban, apa lagi di hadapan sang ayah, hanya mampu menggigiti bibirnya dengan resah. Sedangkan matanya tampak berpendar dengan gelisah. Jujur saja, ia tengah merasa sangat bimbang. Tidak tahu harus menjawab apa. Karena ini juga terlalu mendadak bagi dirinya. Terlalu cepat untuk mereka berdua. Tetapi, di sisi lain, sesuatu dalam dirinya seolah-olah sedang mengatakan, jika ia menolak cincin dari pria itu sekarang, sepertinya ia akan benar-benar kesulitan untuk segera mendapatkan pasangan.
“Tapi, aku masih belum punya perasaan apa pun buat kamu,“ ungkap Nara dengan jujur. Karena ia memang belum memiliki rasa cinta untuk pria itu.
Martin tampak mengangguk. “It's okay. Aku enggak masalah sama itu.”
“Terus ... gimana sama kamu?” Sedetik kemudian, Nara pun langsung memperjelas kalimatnya saat itu. “Gimana sama perasaan kamu? Kamu cinta gak sama aku?”
Pandangan mereka masih bertemu, dan Nara bisa melihat sebuah keteguhan di sepasang bola mata milik pria itu.
“Aku enggak tahu ini bisa disebut cinta apa bukan, tapi cuma kamu satu-satunya perempuan yang berhasil ngebuat aku senekat ini dalam berhubungan. Mungkin kamu bener, aku memang udah gila. Tapi, Nara ... kamu harus tahu, aku bisa senekat dan segila ini cuma mau ngebuktiin ke kamu. Kalau kali ini aku beneran serius, dan sama sekali gak ada niatan buat main-main sama kamu.” Martin lantas membasahi bibir, terlihat agak gugup sebelum melengkapi kalimat panjangnya saat itu. “So, kamu mau gak terima cincin dari aku?”
“Sorry kalau kalimatku malah begini, soalnya aku masih dilarang sama Papi kamu buat bilang ‘will you marry me’,“ sambung Martin sembari berbisik. Tetapi, sesungguhnya masih bisa didengar oleh Baskara yang tengah tersenyum simpul dengan kedua bola mata yang berpijar geli.
Nara mengerjap pelan, masih memandang kedua bola mata Martin ketika bertanya, “Kenapa?”
“Kamu belum boleh tahu, soalnya ini urusan di antara kami, sesama lelaki.” Martin lantas berdeham, dan segera menagih jawaban atas pertanyaannya yang tadi. “Ayo, jawab, kamu mau gak terima cincin ini?” tanyanya sembari menggoyangkan kotak beledu di tangannya yang sudah terbuka sejak tadi, memamerkan cincin berwarna rose gold dengan batu permata merah muda berbentuk emerald cut yang di sekelilingnya tampak disempurnakan oleh beberapa berlian kecil. “Sorry, kalau batu cincinnya warna pink, bukan lilac atau biru. Karena waktuku mepet banget, dan cuma cincin ini yang kayaknya bakalan pas di jari manis tangan kamu.“
*******
Jangan lupa like, serta follow akunku di sini ya~~~
Psssttt… setelah bab ini, kalian bisa lanjut baca Special Part - Martin, tapi babnya terkunci^^
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
