
[Cerita berisi bacaan 21+]
Seketika, seluruh lampu padam. Gelap gulita. Membuat suasana tampak mencekam. Bahkan, suara teriakan para gadis yang ketakutan layaknya paduan suara pemakaman.
03 - Lilin Merah Hati
LANGIT malam minggu ditaburi oleh gemerlap bintang di angkasa. Awan-awan putih yang terlihat seperti kabut pun menutupi sekitarnya. Sementara rembulan bersinar cerah seakan tersenyum menyambut malam promnight di Universitas Jakarta.
Di sebuah ruangan berukuran lima kali enam meter itu tampak begitu sunyi, seperti tak berpenghuni. Lampu tak menyala. Hanya cahaya rembulan yang berusaha menembus celah gorden jendela yang tak tertutup rapat.
Dua insan yang tak terikat pernikahan tampak bergelung penuh gairah di atas sofa. Memadu kasih dan berusaha memarkirkan jeda waktu sesaat jika malam ini hanya untuk mereka berdua.
“Ahhh ….” Erangan Tiara keluar begitu saja. Gadis berusia dua puluh tahun itu meremas punggung Setya kuat. Dia terengah. Dalam kungkungan tubuh sang rektor dan juga sentuhan di setiap tubuh mulusnya, napas Tiara terputus-putus. Lalu, melenguh ketika pria itu menyusuri tiap bagian tubuhnya bersamaan dengan isapan hangat di leher. Dia bisa merasakan napas Setya yang kian menggila.
“Kau sangat cantik … Tiara,” ucap Setya parau.
Desahan pun saling bersahutan ketika Setya melakukan penetrasi pada pusat tubuh Tiara. Berbalut peluh dan gairah yang memuncak, keduanya saling memacu adrenalin dalam hentakan yang sama. Sementara Setya memejamkan netranya kala merasa pusat tubuh Tiara meremas miliknya semakin kencang dan pelepasan itu tak lagi sanggup untuk mereka tahan.
Klik !
Seketika ruangan yang lebih mirip ruang kerja ini terang benderang ketika Setya menekan saklar lampu di dinding. Setya merapikan kemejanya sembari melangkah ke arah Tiara yang telah terbalut mini dress terbuka yang tampak seksi. Gadis itu sedang merapikan rambut panjang sepunggungnya di atas sofa.
“Makasih, ya, Tiara. Service kamu bener-bener bikin saya puas banget malam ini. Malahan, saya enggak pernah merasa sepuas ini kalau sama istri saya,” curhat Setya. Pria berusia empat puluh tahun itu duduk di samping Tiara. Merogoh saku celana bahannya dan mengambil sebuah amplop berwarna cokelat. “Ini uang service kamu. Saya kasih tips buat mahasiswi secantik kamu,” godanya sambil menyodorkan amplop tersebut kepada Tiara, lalu mengelus pipi gadis itu.
Netra Tiara langsung berbinar senang kala melihat amplop tersebut. Dia tersenyum sembari buru-buru meraihnya. “Sama-sama, Pak. Kalau Bapak kepengen lagi, jangan sungkan buat hubungin mami. Aku siap kok nemenin Bapak.”
Setya tertawa. “Oke. Tapi, kalau kita lagi berduaan gini, jangan panggil saya bapak dong. Panggil aja saya Setya.”
Tiara tersenyum kecut, tetapi mengangguk. “Oke, Pak—eh, Setya.”
Lagi-lagi Setya tertawa melihat tingkah menggemaskan mahasiswinya itu. “Ngomong-ngomong kamu bekerja kayak gini udah berapa lama?” tanyanya penasaran. Sebab, dengan service yang cukup memuaskan, tak mungkin jika Tiara melakukannya hanya sekali.
Tiara tampak mengingat-ingat. “Hmmm … kayaknya sejak impian aku buat menjadi model direbut sama Happy,” akunya kemudian sambil tersenyum getir.
“Happy yang anaknya Kombes Pol Adam itu?”
Tiara berdehem, tak berminat membicarakan gadis yang merupakan saingannya itu. Seorang gadis yang juga telah merebut laki-laki yang sangat disukainya, Raja. Entah pelet apa yang digunakan, membuat Raja terus mengejar Happy, hingga sampai menolak kehadirannya.
“Sepertinya saya harus pergi.” Setya beranjak dari duduknya. “Kamu pakai dress kayak gini, mau ikut promnight?” tanyanya. Yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Tiara.
“Kalau gitu kamu boleh pergi sekarang. Pastikan saat keluar nanti enggak ada mahasiswa yang melihat kamu keluar dari ruangan saya.”
****
Petik demi petik senar gitar terdengar mengalun indah di ruang aula yang cukup megah ini. Semua siswa telah larut dalam irama musik yang membuat suasana tampak begitu syahdu.
Malam kehadiran cinta, sambut jiwa baru
Telah lama kutunggu hadirmu di sini
Namun hanya ruang semu yang nampak padaku
Meski sulit harus kudapatkan
Alunan lagu yang dibawakan oleh Always mengiri decak kagum semua mahasiswa yang menonton. Suaranya yang merdu ditambah oleh hiasan kelap-kelip lampu berwarna-warni di atas panggung, menambah indah suasana.
Happy termangu saat mendengar lagu Kau Auraku milik Ada Band yang menjadi penutup pada acara promnight hari ini. Gadis yang mengenakan midi dress berwarna biru yang panjangnya sampai pertengahan betis, lalu dipadu padankan dengan wedges hitam, tampak begitu manis. Sementara manik mata yang terbalut kontak lensa berwarna cokelat, tak henti menatap ke arah Awes di depan. Bagi Happy, malam ini Awes tampil begitu memukau dengan setelan jas berwarna krem yang dikenakan.
Kau auraku, oh, pancarkan sepercik harapan
Datanglah merasuk, menjelma, meleburkan cinta
Kubawa kau terbang menembus awan yang beriring
Kembangkan senyuman bagai bunga bawa keindahan
Bait demi bait lagu Awes senandungkan dengan sempurna. Sementara netranya tak pernah lepas dari sosok gadis bersurai hitam yang saat ini dibiarkannya tergerai di bawah panggung di hadapannya. Gadis itu juga tengah menatapnya. Ada debar yang tak wajar saat si pemilik mata indah itu menatap ke arahnya. Namun, justru seulas senyum terbit di sudut bibirnya.
“Kau auraku ….”
Awes mengakhiri lagunya bersamaan dengan senar gitar yang juga berhenti. Seketika, gemuruh riuh suara tepuk tangan kekaguman terdengar yang ditujukan untuk Awes. Awes tersenyum senang. Lalu, meletakkan gitarnya di samping yang kemudian bangkit dari kursi. “Terima kasih semua,” ungkapnya. “Lagu itu khusus gue persembahkan untuk seseorang,” lanjutnya.
Sorak riuh penonton kembali tertuju kepada Awes. Namun, kali ini tak hanya sorak kekaguman, tetapi sorak ejekan yang berasal dari sosok laki-laki yang berdiri tak jauh di belakang Happy. Laki-laki yang mengenakan setelan jas mahal berwarna biru muda itu adalah Kenan, yang merupakan anak dari pemilik kampus ini, Setya.
“Huuuu … turun lo, tukang ojek!”
Awes tak memedulikan arogansi Kenan. Sebab, ada sesuatu yang lebih penting dibanding harus mendengarkan ejekan Kenan. Awes sudah memikirkan hal ini secara matang sejak jauh-jauh hari, dan sekaranglah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Mengatakan semua perasaannya, meski pun keraguan terus menghantui.
Sesaat, mungkin hanya sedetik, Awes berpikir kenapa dia tak jatuh cinta pada wanita lain saja? Mungkin dengan begitu dia tak akan merasa segalau ini. Di mana saat ini pertanyaan-pertanyaan aneh terus bermunculan di benaknya. Bagaimana jika ditolak nanti? Lalu, bagaimana jika malah Happy menjauhinya? Namun, bagian dirinya yang lain berdiri seolah ingin menyatakan kenyataan sesunggungnya. Jika bukan Happy, maka Awes tak akan bisa jatuh cinta sedalam ini.
Bukannya Awes rela harus kehilangan Happy jika ditolak nanti, tetapi ini adalah upayanya untuk memperjuangkan perasaannya. Sebab, jujur saja dia mulai lelah dengan segala rasa yang selama ini disimpannya rapat-rapat selama lima tahun lamanya.
Awes mengangguk mantap. Melirik sekilas ke arah Yoga, temannya, yang sudah mau bersusah payah untuk membantunya; meminjamkan jas serta memberikan ide tentang penembakan. Awes beruntung, karena masih dikelilingi oleh mereka yang mau berteman dengannya tanpa harus memandang status sosial.
Yoga, laki-laki bermata empat yang mengenakan setelan jas berwarna putih itu mengangguk di samping panggung, memberikan kode kepada Awes untuk segera bersiap. Dan ….
Jleb !
Seketika, seluruh lampu padam. Gelap gulita. Membuat suasana tampak mencekam. Bahkan, suara teriakan para gadis yang ketakutan saling bersahutan layaknya paduan suara pemakaman.
Selang tak beberapa lama, sebuah kilau cahaya berbentuk bulat tampak menyinari Awes di atas panggung. Sekejap, pekik teriakan lenyap. Sunyi seketika. Kini, Awes telah membawa sebuket bunga mawar yang cantik digenggaman. Sebuah proyektor yang menampilkan lilin berwarna merah berbentuk hati pun menjadi background pada acara pentingnya.
“Malam ini, gue mau ungkapin perasaan gue ke seseorang.”
Alih-alih suasana riuh, justru hening. Hal itu, malah membuat Awes semakin gugup. Ditambah, Happy yang sedang berbincang dan tertawa bersama Rosa. Seakan gadis itu tak peduli dengan apa yang sedang dilakukan. Awes jadi kembali tak yakin, haruskah dia melanjutkan?
Kendati begitu, tekadnya sudah bulat. Dalam sekali tarikan napas, Awes mulai mengungkapkan isi hatinya. “Happy Lovinta. Aku sayang sama kamu. Kamu mau enggak jadi pacar aku?”
Bagai blitz paparazi yang menyilaukan ketika belasan pasang mata menatap penuh ke arah Awes. Termasuk Kenan. Laki-laki dengan postur tubuh ideal itu tertawa mengejek. Dia mencibir, “Wes, ngaca, Wes! Gue aja yang tajir melintir ditolak. Apalagi elo yang cuma tukang ojek! Hahaha …,” ejeknya diiringi oleh gelak tawa teman-temannya.
Awes turun dari atas panggung, berjalan menghampiri Happy. Gadis itu tampak tercengung sambil menatapnya. Awes juga tak memedulikan ejekan demi ejekan dari para mahasiswa yang dilontarkan untuknya. Dia hanya tak bisa melakukan hal yang bertentangan dengan prinsipnya. Bagi Awes, ketika seorang laki-laki telah memegang sebuah prinsip, maka tak ada kata mundur atau menyesal di hidupnya.
Namun, berada di jarak sedekat ini dengan Happy, justru membuat detak gelisah jantung Awes makin tak keruan. Awes mencoba menemukan manik Happy yang jernih, yang memaksanya menyelam lebih jauh ke dalam. Berenang di antara gemerlap bintang berkilauan. Sejenak Awes terlena dalam indahnya. “Py, lima tahun kita sahabatan. Selama itu juga aku selalu menyimpan perasaanku ke kamu. Dan hari ini. Malam ini. Izinin aku buat ungkapin semua perasaanku ke kamu.”
Awes menjeda ucapannya. Hawa kegugupan kian membekap. “Py, aku sayang sama kamu.” Dia mengulurkan sebuket bunga mawar digenggaman ke arah Happy. “Kamu mau enggak jadi pacar aku?”
Awes meneguk salivanya dengan susah payah. Sesusah kalimat selanjutnya yang akan keluar dari kerongkongannya. “Kalau kamu terima aku, kamu boleh ambil bunga ini. Tapi … kalau kamu tolak aku, kamu boleh pergi dari hadapanku.”
“Terima … terima … terima ….”
Sorak riuh kegembiraan datang dari Rosa. Gadis yang mengenakan dress lengan buntung itu tampak bersemangat dan bertepuk tangan. Yang diikuti oleh beberapa teman-teman lainnya yang juga mendukung mereka.
Sementara Awes kian was-was. Sebab, wajah Happy tak beriak sama sekali, membuatnya tak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Awes tertunduk, bersiap menerima segala hal terburuk yang akan Awes dapat setelah ini.
“Aku mau, Wes.” Happy menerima bunga pemberian Awes.
Mendengar itu, Awes mendongak cepat. Mematung di tempat, sekujur tubuhnya terasa membeku, mulutnya terbuka setengah. Dia tak bisa berkata apapun. Ingin menjerit rasanya tak bisa, hanya jantungnya yang berdetak cepat tak terkendali dan darahnya yang mengalir dengan aneh, menimbulkan desiran-desiran yang sulit diartikan.
Awes tak bisa menahan diri untuk tak tersenyum. Ucapan Happy benar-benar telah membuat hatinya bahagia. Bahkan, dia tak tahu harus berekspresi bagaimana lagi. Happy menerima cintanya. Awes terus menekankan kalimat itu berulang-ulang. Hingga Awes merasa jika saat ini dia sedang bermimpi. Lalu, bolehkah Awes meminta untuk tak terbangun dari tidur panjangnnya saat ini?
“Ka-kamu serius, Py?” tanya Awes kembali memastikannya lagi. Yang kali ini dibalas dengan senyuman dan anggukan kepala Happy.
Netra Awes berbinar senang. Dengan cepat, Awes menarik gadisnya itu ke dalam pelukan. “Makasih, ya, Py.” Hanya kalimat sederhana itu yang mampu keluar dari bibir Awes. Dengan jantung yang terus berdetak kencang, Awes memeluk Happy lebih erat. Hingga perlahan kehangatan yang mereka bagi menyebar ke segala sela tubuhnya.
Apalagi hati keduanya.
Gemuruh sorak kebahagiaan pun bersambut untuk dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Beragam ekspresi dari para mahasiwa pun tertuju kepada mereka.
Kenan mendengkus geram. “Anjrit! Py, lo bercanda, kan? Kenapa lo malah nerima Awes dibanding gue!” umpatnya. Tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Hingga wajahnya saja sampai menunjukkan berbagai emosi yang bercampur dan tak bisa disimpulkan dengan satu kata. Dia berniat ingin menghampiri Happy untuk meminta kejelasan, tetapi sudah lebih dulu dihadang oleh Yoga. Membuat keduanya saling adu mulut dan saling tarik menarik kerah jas.
Namun, di balik sorak kegembiraan, ada Raja yang tampak sendu. Laki-laki yang merupakan partner kerja Awes hanya bisa menatap nanar kebersamaan Awes dan Happy yang terekam jelas oleh maniknya. Dia meremat kuat genggaman tangannya. Ingin rasanya dia berlari dan menyeret Happy, kemudian menyembunyikan gadis itu hanya untuk dirinya sendiri. Kemungkinan itu hanyalah angan semata. Di mana nyatanya, gadis yang sejak lama disukainya itu, kini telah menjadi kekasih orang lain.
Tiara mencibir. “Dasar cewek murahan! Sama tukang ojek aja mau. Pasti dia cuma mau manfaatin si tukang ojek,” cemoohnya tak sadar diri.
Raja menegang. Pinggiran hatinya bergerigi pedas saat mendengar Tiara yang menjelek-jelekkan Happy. Lalu, menatap tajam gadis itu yang berdiri di sampingnya. Membuat Tiara sedikit cemas. “Jaga mulut lo!” tekannya kemudian.
Raja pun berlalu. Tak ingin terus berada di ruangan ini yang bisa membuat dadanya akan terasa semakin sesak. Sialnya, tubuhnya harus berbenturan dengan sosok laki-laki berjaket hitam yang baru akan masuk ke dalam ruangan. Membuat Raja menghentikan langkahnya sesaat.
“Maaf.” Orang itu sedikit menunduk, membuat wajahnya tak terlihat dan suaranya terdengar begitu berat.
Netra Raja menyusuri laki-laki bertudung yang tingginya setara dengannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sebelum akhirnya memilih berlalu pergi.
Sementara, orang berjaket hitam menatap punggung Raja yang kian menjauh. Lalu, maniknya menyusuri ruangan aula mencari sosok sang kekasih. Namun, berakhir mendengkus geram saat menemukan gadisnya sedang bermesraan dengan laki-laki lain di hadapannya.
Mulutnya bergumam, “Kenapa kamu mengkhianatiku, Py?” Tangannya terkepal. “Kali ini, aku enggak akan tinggal diam! Aku harus memisahkan kalian!” Sebuah seringaian terbit di bibir, sehingga membuat deretan gigi-giginya yang rapi terlihat.
“Tunggu aku!” katanya lagi terakhir kali, sebelum membalikkan tubuh untuk pergi dari tempat ini. Saat yang sama, sebuah sablon bergambar seekor serigala terlihat jelas pada punggung jaketnya. Sementara sebuah tulisan juga terukir di bawahnya. Sebuah tulisan yang bertuliskan Wolf.
Kita pun memanggil orang berjaket hitam itu dengan … WOLF.
***
Halo …
Terima kasih sudah membaca kisah Always dan Happy sampai hari ini. Sambil menunggu besok update, ada novel teman aku, Kak Widisyah yang bisa jadi rekomendasi bacaan teman-teman. Berikut spoilernya.
SPOILER
Berkisah tentang Braga, Penyidik Kepolisian yang berusaha mengumpulkan bukti demi membersihkan nama kekasihnya, Aleira, yang dituduh membunuh Pramudya. Namun, ketika semua bukti yang ia dapatkan, Braga justru dihadapkan pada satu keputusan sulit, terlebih saat hubungan romansa Aleira dan Pramudya di masa lalu pun ikut terungkap. "Kami memang pernah dekat, tapi aku enggak membunuh Om Pram, Ga." Kisah Braga dan Aleira ini bisa dibaca di akun KaryaKarsa WidiSyah atau bisa langsung klik link ini https://karyakarsa.com/WidiSyah/tsthe-01

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
