Pengagum Rahasia - [02. Pengagum Rahasia]

12
5
Deskripsi

Kamar berukuran enam kali lima meter itu tampak begitu rapi. Tak ada satu barang pun yang diletakkan tak pada tempatnya. Happy duduk di tepi ranjang berukuran king size. Menatap kotak misterius keempatnya yang ada dipangkuan. Sebuah kotak yang sama persis dengan kotak yang akhir-akhir ini diterimanya. Happy sudah bisa menebak isi di dalam kotak tersebut. Kendati demikian, dia masih belum mengetahui siapa si pengirim benda tersebut. 

Perlahan, Happy membuka kotak misterius tersebut. Maniknya langsung...

02 - Pengagum Rahasia

Matahari mulai tenggelam dari singgasananya. Menciptakan warna langit perpaduan antara jingga dan ungu yang saat ini telah berubah menjadi gelap. Sebab, cahaya bulan dan bintang berhasil dikalahkan oleh gemerlap lampu gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di kota Jakarta. Kendati begitu, jalan raya masih tampak ramai.

Always mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, membelah keramaian kendaraan yang melintas. Melalui kaca spion, laki-laki dengan iris mata berwarna cokelat itu menatap Happy di belakang. Mendadak ada sesuatu yang menjalar ngilu di dada saat melihat segurat lelah yang tampak jelas di balik wajah Happy. Gadis itu tampak sedang menatap hiruk-pikuk ramainya kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang silih berganti.

Awes mendesah ringan. Entah kenapa, terlepas dari jalanan yang ramai, dia merasa jika individu yang tinggal di dalamnya justru merasa sepi.

“Jakarta itu ramai dan indah, Wes. Tapi, terlepas dari keindahan itu, orang-orangnya justru malah merasa sepi. Di mana hiruk-pikuknya ibu kota, kesibukan para pekerja, orang-orang pengejar kereta, mereka yang selalu diburu oleh waktu, sudah habis tenaga dan tampak lesu saat malam selepas pulang kerja.” 

Ya, Awes ingat jika hal itu yang selalu dikatakan oleh Gadis, neneknya, satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Miris memang. Namun, mau bagaimana lagi? Sama halnya dengan Awes, yang harus banting tulang untuk menaklukkan kerasnya ibu kota dengan menjadi ojek online untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Awes tak bisa membayangkan jika dirinya tak bekerja keras, sudah pasti akan menjadi manusia yang tak bermoral hingga menambahkan angka tingginya kasus kriminalitas di kota ini.

Awes menghentikan laju motornya saar sorot lampu lalu lintas berubah merah. Netranya kembali beralih menatap Happy melalui kaca spionnya.

“Maaf, ya, tadi aku telat jemput kamu, soalnya aku harus anter customer dulu,” kata Awes memulai percakapan di antara keduanya. 

Happy menggeleng, tak keberatan. “Iya, enggak apa-apa, Wes. Aku ngerti kok. Harusnya aku yang minta maaf, soalnya aku ngerepotin kamu mulu.”

Awes tersenyum kikuk. “Eh, enggak. Enggak ngerepotin sama sekali, kok. Malahan aku seneng bisa anter jemput kamu. Lagian, kan, emang aku yang mau.” Dia terkekeh. Sebuah alasan yang cukup klise—yang selalu dilontarkan, meski pada kenyataannya Awes hanya ingin selalu dekat dengan gadis itu. 

Mendengar itu, membuat Happy tersenyum. Namun, entah kenapa, hanya melihat senyum itu, membuat Awes bisa merasakan aliran hangat tercipta yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Awes mengaku dalam hati, dia menyukai Happy. Dia mengerti benar hal itu. Bagaimana jantungnya berdebar kencang saat ada di dekat Happy, sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti. Meski tahu jika perasaannya itu tak akan pernah terbalas. Sebab, Awes sadar, jika keduanya bak air dan minyak yang tak mungkin bisa bersatu. 

“Oh, ya. Besok malam kamu dateng, kan, ke acara promnight kampus?” tanya Awes.

“Pasti, dooong … Sebagai sahabat yang baik, aku pasti dateng. Soalnya, aku juga mau liat kamu nyanyi, Wes.”

Awes tersenyum kecut. Sahabat katanya? Sepertinya, Awes juga harus sadar, jika selama ini Happy hanya menganggapnya sebagai sahabat. Tak lebih. Awes pun segera melajukan sepeda motornya saat sorot lampu berubah berwarna hijau. 

Awes membelokkan motornya ke arah kanan saat sampai di persimpangan jalan. Melewati jalan raya kecil untuk menghindari kemacetan lalu lintas. 

“Kita lewat sini aja, ya, Py. Biar enggak macet,” saran Awes. Suaranya sedikit berteriak supaya terdengar ke belakang.

Happy mengangguk. “Tapi, kamu tau jalannya, kan, Wes?”

“Aku pernah anter customer lewat jalan ini, tapi aku lupa-lupa inget, sih. Semoga aja kita enggak nyasar.”

Happy terkekeh. “Enggak apa-apa, nanti kalau nyasar kita bisa pakai google maps.”

“Ogah, ah!” tolak Awes cepat. “Aku enggak mau pakai google maps,” katanya, membuat Happy terheran.

“Loh, emangnya kenapa?”

“Aku tuh korban google maps. Kemarin malam nih, ya, aku mau jemput customer pake google maps, eh tapi malah diarahin lewat jalan setapak terus berakhir di kuburan. Mana hujan deres lagi. Kan, sereeem.” Awes bergedik ngeri mengingat pengalamannya itu.

Namun, justru membuat Happy tertawa. “Terus, terus kamu gimana caranya bisa pulang, Wes?” tanyanya yang masih diiringi oleh tawa.

“Aku langsung buru-buru balik arah, lah.”

Awes tersenyum mendengar Happy yang tertawa setelah mendengarkan ceritanya. Ada hangat yang merambat di dada saat melihat wajah lelah itu telah tampak ceria. Melalui kaca spion, Awes bisa melihat kecantikan Happy. Gadis itu memiliki wajah yang bersih, pipi tirus, mata indah, hidung mancung, dan bibir tipis. Bagi semua orang, mungkin Happy tampak luar biasa. Namun, bagi awes, Happy selalu bisa mengalihkan dunianya.

Sesekali, Awes masih memperhatikan Happy yang sudah menghentikan tawanya. Kini, gadis itu tampak terenyuh dengan mengamati pemandangan sekitar. Sebuah pemandangan yang sangat berbanding terbalik 180* dengan apa yang dilihatnya tadi. Manik mata gadis itu tak henti menatap rumah berjejer di pinggir kali yang tak layak huni, dengan ukuran yang mungkin hanya bisa ditinggali oleh satu orang dewasa saja, akan tetapi mereka memaksakan untuk ditempati satu kepala keluarga. Ada pula para manusia-manusia yang tinggal di kolong jembatan dengan beralaskna kerdus seadanya. Awes berani bertaruh jika mereka semua adalah para pendatang yang mencari peruntungan di kota ini tanpa skill yang mereka punya. 

“Py, kita makan malam, yuk?” ajak Awes dengan senyum riangnya. Hari ini, Awes mendapat banyak tips dari customer-nya dan berniat untuk mentraktir Happy. 

“Duh, sorry. Kapan-kapan aja, ya, Wes. Sekarang, kita langsung pulang aja. Aku capek banget hari ini.”

Perlahan, senyum Awes pudar, yang terganti dengan senyum masam. Mengangguk dan berkata lirih, “Oke.”

Awes melajukan motornya sedikit lebih kencang. Sepanjang jalan, dia kembali meyakinkan hati, jika dirinya tak mungkin bisa bersama dengan Happy. Kemungkinan itu terlalu indah untuk menjadi nyata. Ya, saat ini, Awes tak ingin berharap terlalu tinggi.

***

Happy masuk ke dalam rumahnya. Sebuah foto keluarga berukuran 20R langsung menyambut kehadirannya saat menginjak ruang tamu. Sebuah foto yang memperlihatkan Happy yang tersenyum bahagia, lalu diapit oleh seorang wanita yang tampak anggun dan cantik dengan kebaya yang dikenakan, dan juga seorang pria yang tampak gagah dengan seragam kepolisian. 

Mungkin bagi semua orang, rumah mewah dua lantainya ini bisa memberikan kenyamanan untuk setiap penghuninya. Namun, Happy justru selalu merasa kosong. Sebab, ayah dan bundanya itu selalu sibuk bekerja.

Kaki jenjang Happy terus menjejak pasti ke arah tangga untuk menuju ke kamarnya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Mbak Anah, asisten rumah tangganya, datang dari arah dapur.

“Non, ini tadi ada paket buat Non Happy.” Mbak Anah menyodorkan sebuah kotak berwarna merah dengan pita yang terhias di bagian atasnya kepada Happy.

Kening Happy tertaut. “Lagi?” tanyanya heran. 

Happy menerima kotak berdiameter sekitar 25x30x7cm tersebut. “Masih enggak ada nama pengirimnya, ya, Mbak?” tanyanya lagi sambil mencari sebuah tulisan pada setiap sisi kotak.

Mbak Anah mengangguk. “Iya, Non. Tadi, mbak juga udah tanya sama kurirnya, katanya enggak tahu.”

“Tapi, kurirnya masih orang yang sama?”

“Dari penampilannya, sih, masih sama, Non. Mbak enggak bisa liat mukanya, soalnya pake jaket bertudung gitu.”

Happy manggut-manggut. “Ya, udah. Makasih, ya, Mbak.”

“Iya, Non. Sama-sama.” Mbak Anah berlalu.

Happy pun mulai melangkahkan kakinya, menaiki satu persatu gundukan anak tangga untuk bisa mencapai lantai atas.

Kamar berukuran enam kali lima meter itu tampak begitu rapi. Tak ada satu barang pun yang diletakkan tak pada tempatnya. Happy duduk di tepi ranjang berukuran king size. Menatap kotak misterius keempatnya yang ada dipangkuan. Sebuah kotak yang sama persis dengan kotak yang akhir-akhir ini diterimanya. Happy sudah bisa menebak isi di dalam kotak tersebut. Kendati demikian, dia masih belum mengetahui siapa si pengirim benda tersebut. 

Perlahan, Happy membuka kotak misterius tersebut. Maniknya langsung menemukan secarik kertas dan setangkai bunga mawar merah di dalamnya. Tangan kanannya mulai bergerak mengambil kertas, lalu membacanya. 


Aku adalah angin yang akan setia menemani dan memelukmu sepanjang kesedihan dan kegembiraan.

Dari pengagum rahasiamu.


Sejenak, Happy tertegun. “Boy Candra,” gumamnya sembari tersenyum riang. Entah kenapa, kata-kata manis yang tertulis, mampu membuatnya baper tingkal maksimal. Belum lagi, bunga mawar yang diberikan, menambah Happy seakan terbang melayang. Senyum Happy kian bertambah lebar. Lalu, mendekap dua benda itu erat di dada sembari merebahkan tubuh di atas ranjang. Benaknya telah berkelana kepada seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selama lima tahun ini selalu ada di sisinya. Seseorang yang tahu segalanya tentang dirinya, termasuk bunga mawar kesukaannya. Happy yakin jika tak ada orang lain yang tahu tentang hal itu, selain laki-laki itu.

Namun, di tengah rasa bahagianya, Happy tak menyadari. Sejak tadi, seseorang berjaket hitam dengan tudung yang menghiasi kepala, terus memperhatikan dan mengawasi di depan rumahnya. Orang itu berdiri di bawah pohon yang tumbuh di sekitar komplek perumahan. Menatap ke arah kamar Happy yang lampunya mulai padam. 

Hingga pada akhirnya, seulas senyum terbit di bibir tipis laki-laki itu, seraya bergumam, “Sleep well, Sayang. Mimpi indah. Semoga kamu suka sama hadiah yang aku kasih.” 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pengagum Rahasia - [03 - Lilin Merah Hati]
9
2
[Cerita berisi bacaan 21+]Seketika, seluruh lampu padam. Gelap gulita. Membuat suasana tampak mencekam. Bahkan, suara teriakan para gadis yang ketakutan layaknya paduan suara pemakaman.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan