
This section contains :
- Chapter 09 - Engage
- Chapter 10 - Visit
- Chapter 11 - Stay
- Chapter 12 - First Kiss
- Chapter 13 - Broke Up
PART 09 ● ENGAGE
Hari telah menjelang siang ketika Alex check out dari hotel tempat ia menginap. Kakek Marwan sudah kembali ke ibukota lebih awal bersama Pak Hilman. Alex sengaja mengulur kepulangannya karena ingin mampir ke suatu tempat. Ia melajukan Rover-nya tanpa tergesa saat membelah jalanan pinggiran kota.
Kala itu Alex memutuskan singgah untuk menemui Rosa. Semalaman nalurinya seakan memaksa ia harus memastikan keadaan gadis itu. Alex sebenarnya bukan tipe pria yang suka beramah tamah. Tapi ia memberikan satu pengecualian untuk Rosa dengan dalih ingin sekedar berpamitan.
Tok tok tok
Alex mengetuk pintu kayu bercat putih yang ada di depannya.
"Sebentar..." sayup-sayup terdengar suara dari dalam.
Ceklek
Si empunya rumah membuka pintu. Begitu tau siapa yang bertandang ia langsung terhenyak kaget.
"Nak Alex..." tante Lastri menggumam pelan.
Alex menarik sudut bibirnya sekilas. Ia diam sambil mengernyit melihat tante lastri yang justru terbengong. Wanita itu kemudian menggelengkan kepala untuk meraih kesadaran kembali.
"Nak Alex kok tau rumah tante? Ada perlu apa kesini?"
Alex mengulas senyum tipis yang dibuat-buat.
"Saya ingin bertemu Rosana" jawabnya lugas.
"Rosa? bb-buat apa ya nak Alex nyari Rosa?" Tante lastri gelagapan karena wanita itu tentu tak ingin Alex mengetahui kondisi Rosa yang tengah babak belur karena dihajar dirinya dan sang suami.
"Cuma mau pamitan saja" Alex menjawab singkat.
"Pamitan? Maksudnya?" Tante Lastri memastikan detail maksud kedatangan pria itu. Ia sempat berharap Alex berubah pikiran dan mau menerima perjodohan.
"Iya. saya cuma mau bertemu dan ngobrol sebentar sebelum balik ke Jakarta" Alex menegaskan.
"Ooooohhh..." pupus sudah harapan tante lastri punya mantu tajir. kirain mau bilang kalau jadi kawin. Taunya malah cuma mau pamit. Begitu isi pikiran wanita paruh baya itu.
"Maaf Nak Alex, tapi Rosanya baru pergi..."
"Pergi? kemana?" tanya Alex penasaran dengan sebersit rasa cemas yang timbul.
"Kayaknya sih main ke rumah temennya. Kalau udah main suka lupa waktu tu anak. Paling juga sampai sore. Udah, Nak Alex pulang aja gak usah nunggu dia. Nanti tante sampein kalau Nak Alex kesini mau pamitan" tante Lastri malah mengusir Alex secara halus. Kalau laki-laki itu tau Rosa kemarin ia pukuli bisa jadi masalah juga buatnya. Sebenarnya siang itu Rosa tengah disuruh sang tante untuk mengantarkan laundry ke rumah pelanggan.
Mendengar penjelasan Tante Lastri, Alex hanya bisa memendam kekecewaannya.
*
Alex segera melajukan Range Rover-nya untuk pergi meninggalkan pelataran sempit rumah tante Lastri. Dengan masih sedikit kesal karena gagal menemui Rosa, ia jadi memutar kemudi malas-malasan. Namun belum sampai ia berbelok ke jalan raya, tiba-tiba mata lelaki itu tertuju pada sosok familiar yang tengah melintas di tengah jalan. Alex menajamkan pandangan untuk memastikan ia benar tengah melihat sosok yang ia cari.
Alex memarkirkan mobilnya di sisi kiri jalan. Ia kemudian turun lalu berlari kecil menyebrangi jalan yang sepi tersebut. Setelahnya ia mengejar sosok yang melangkah pelan tak jauh di depannya.
"Rosana!" Panggil Alex seraya meraih tangan si gadis dan menahanannya.
Sementara itu, Rosa terpaksa berhenti karena seseorang mencengkeram pergelangan tangannya erat. Ia menengok kaget dan lebih tercengang lagi setelah mengetahui siapa yang saat itu berdiri di hadapannya.
Raut kelegaan di wajah Alex langsung berubah 180 derajat. Seharusnya ia senang karena berhasil bertemu dengan gadis yang ia cari. Tapi semua itu lenyap begitu ia melihat kondisi wajah Rosa yang penuh lebam. Hatinya seketika terasa panas seperti terbakar api.
**
Keduanya terduduk diam di dalam mobil Alex yang terparkir di sisi jalan. Alex mencengkeram erat kemudi hingga tangannya yang berurat semakin menampakkan guratan-guratan panjang yang menonjol. Raut wajahnya menunjukkan seseorang yang sedang memendam amarah. Sementara Rosa disampingnya hanya bisa mematung sambil meremas roknya kuat karena takut.
Alex melirik Rosa sesaat, tanpa menunggu lebih lama ia mulai menyalakan mesin mobil, menginjak pedal gas dan memutar kemudi untuk kembali melaju.
"Kita mau kemana om?" Tanya Rosa antara takut dan gelisah. Ia cukup ngeri melihat Alex yang sedari tadi membisu dengan wajah seram. Apalagi sekarang pria itu mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Alex masih bungkam tak menjawab. Ia hanya tampak fokus pada jalanan di depan.
"Om..." Rosa terus meminta jawaban.
"Om... Rosa harus pulang, nanti tante Lastri nyariin" suara gadis itu semakin terdengar putus asa.
"Mana kantor polisi paling deket sini?" Akhirnya Alex merespon namun bukan dengan jawaban yang diinginkan Rosa.
"Om ngapain mau ke kantor polisi?" Tanya Rosa dengan suara gemetar. Ia mulai khawatir Alex mempunyai rencana yang aneh-aneh.
"Om..."
Tanpa Rosa beritahupun, Alex sudah bisa menebak siapa yang membuat gadis itu penuh luka.
"Kamu masih mau selamat atau kamu memang sudah menyerah?" Alex justru menyindir Rosa.
"Maksud om apa?"
"Semakin kamu ngebiarin hal seperti ini, semakin bajingan-bajingan itu akan berbuat seenaknya" kini Alex sudah tak peduli ia mulai bicara kasar pada Rosa.
"Rosa sudah bilang ini bukan karna mereka... Rosa habis jatuh..."
"Kamu pikir saya percaya omong kosong kamu?!" Alex justru membentak Rosa disampingnya. Ia terlanjur emosi pada Rosa yang keras kepala. Padahal ia hanya memedulikan keselamatan gadis itu.
"Om... berhenti om... berhentiin mobilnya" Rosa merengek. Ia ingin mencegah niat nekat Alex.
Tanpa mengindahkan permintaan Rosa, Alex terus melajukan Rover yang ia kendarai.
"Om dengerin Rosa dulu. Berhenti dulu, om... stop!"
"Om Alex!" Rosa memohon dan mulai berani meraih lengan Alex untuk mendapat perhatian lelaki itu. Alex hanya melirik Rosa sekilas dengan terus menginjak pedal gas.
"Berhenti om. Biar Rosa jelasin. Tolong jangan kayak gini" Rosa terus mengguncang lengan Alex. Alex tak bergeming. Namun saat guncangan itu makin kuat dan Rosa terus mendesak, ia akhirnya menepikan mobil dengan decitan keras di sisi jalan lapang.
"Terus mau kamu apa hm? Balik ke rumah om tante sialan-mu itu?! Kalau kamu gak berani lawan mereka... fine! Kita lihat bakal jadi apa kamu nanti" Alex memandang tajam Rosa yang tengah gemetar di kursi penumpang.
"Ttapi bukan dengan cara ke kantor polisi om. Dengerin Rosa dulu..."
Gadis itu mengambil nafas sesaat kemudian melanjutkan.
"Kalau om laporin tante dan om Rosa ke polisi, terus gimana nasib sepupu Rosa? Gimana nasib Rosa? Anak om dan tante Rosa itu masih kecil-kecil om. Kita semua masih sekolah. Siapa yang bakal ngurus mereka?"
"Om dan tante Rosa itu satu-satunya wali yang kami punya. Lagian Rosa kayak gini juga karena Rosa bikin salah. Tapi semua udah selesai. Tante lastri udah gak marah"
"Oke. Sekarang kita balik ke rumah kamu! Biar aku hajar om tante mu itu sampai sekarat"
"Jangan om! Tolong jangan memperkeruh keadaan. Rosa udah gapapa. Kalau om lakuin itu, justru nanti Rosa yang bakal dapat masalah lagi" pinta gadis itu sungguh-sungguh.
Alex menatap Rosa yang tengah memegangi lengannya dengan erat. Mata besar gadis itu sudah berkaca-kaca dan memandangnya dengan begitu memelas.
"Arghhh... Bangsat!" Alex menggeram sambil memukul kemudi mobil dengan keras. Ia lalu mengusap kasar rambut hitamnya. Sialnya, ucapan Rosa memang sangat benar. Di satu sisi ia ingin membalas dendam namun di sisi lain Rosa lah yang akan jadi korban kalau ia berani macam-macam. 'dasar bajingan' rutuknya. Untuk kedua kali dalam hidup, Alex merasa tak berdaya, dan ia sangat membenci itu.
*
Alex menyandarkan tubuh pada kursi mobil sembari menerawang. Sesekali ia memandang Rosa yang tengah menunduk memandang jemari. Ketika ia melihat luka di wajah gadis cantik itu hatinya seolah ikut teriris. Ia tak ingin membiarkan Rosa kembali ke rumah paman dan bibinya. Alhasil, Rosa jadi tawanan Alex selama beberapa saat di dalam mobil. Sampai pada akhirnya ponsel pria itu bergetar dan membuyarkan keheningan diantara mereka.
Drrtt drrttt drrttt
Alex melihat caller id yang tertera di layar ponsel. Ia segera mengangkat telfon yang ternyata dari supir pribadinya.
"Halo. Ada apa Man?" Tanya Alex begitu telfon tersambung.
"........."
"Apa?! Kakek masuk rumah sakit??" Pekik Alex.
Rosa yang mendengar laungan pria itu sontak mendelik penuh kecemasan.
".........."
"Trus gimana keadaan kakek?"
"..........."
Alex menghela nafas sedikit lega.
"Kamu sama siapa disana?"
".........."
"Ck" Alex tiba-tiba berdecak.
"Rumah sakit mana?"
"........"
"Oke. Saya otw balik. Kamu temani kakek sebentar"
"........"
*
"Ada apa Om?"
Rosa buru-buru bertanya ketika ia melihat Alex telah mengakhiri telfonnya dengan Pak Hilman.
"Kakek masuk rumah sakit" jawab Alex singkat sembari melihat spion untuk bersiap memutar mobil.
"Sakit apa? Apa parah?" Tanya Rosa terdengar khawatir.
"Kecapean. Kakek suka gitu kalau capek"
"Trus sekarang gimana?"
"Ini saya langsung balik Jakarta"
"Kalau gitu Rosa turun sini aja, nanti Rosa naik ojek pulangnya..."
Belum selesai gadis itu bicara, Alex sudah menyela.
"Gak! Kamu ikut saya!" Tegas Alex walau masih sibuk mengamati jalan raya.
Rosa langsung melebarkan mata mendengar ide spontan Alex. "Tapi..."
"Apa kamu gak mau lihat keadaan kakek?"
"Mau om.. tapi.. nanti Rosa pulangnya gimana?" Rosa membalas ragu.
"Itu gampang. Lagian saya gak mau balikin kamu sama om-tantemu yang gila itu..."
"Om..."
"Saya juga brengsek tapi saya gak pernah mukul perempuan. Cih! beraninya sama anak kecil... nanti kamu nginap di tempat saya. Biar saya yang ngomong sama tante kamu"
"Nginep tempet om?!" Rosa langsung gelagapan sendiri begitu mendengar rencana Alex. Ia tak berani membayangkan harus tinggal sementara di rumah lawan jenis.
"Tapi besok Rosa sekolah..." gadis itu beralasan.
"Bolos sekali aja emang gak boleh? Sudah diam! Saya mau ngebut"
Rosa menghela nafas panjang. Sekali lagi ia tak bisa berkutik jika Alex sudah bertitah.
*****
PART 10 ● VISIT
Bak seorang pembalap, Alex melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pria itu terlihat mudah saja menyalip kendaraan-kendaraan yang ada di depan. Rosa menggenggam tangan dan terus berdoa dalam hati. Semoga ia bisa sampai di ibukota dalam keadaan selamat dan bisa menjenguk Kakek Marwan.
Hari sudah menjelang sore ketika Alex dan Rosa tiba di rumah sakit. Jalanan yang cukup macet menghambat keduanya untuk sampai sesuai waktu perkiraan. Rosa langsung mengikuti Alex dari belakang begitu mereka masuk ke dalam bangunan rumah sakit tersebut.
Ting
Pintu lift terbuka, Alex dan Rosa keluar untuk menyusuri lorong lantai tempat Kakek Marwan dirawat. Dengan langkah cepat Alex segera menemukan kamar tempat kakeknya berada.
Sebelum Alex masuk ke dalam, Ia terlebih dahulu bicara pada Rosa yang sedari tadi mengekor di belakangnya.
"Kamu tunggu disini dulu..." kata Alex saat keduanya melintasi ruang tunggu area VVIP.
"Kakek bisa tambah khawatir kalau lihat kamu kayak gini" ia menambahkan. Alex bukannya melarang Rosa untuk melihat sang kakek. Ia hanya tak ingin kakeknya yang sudah lemah bertambah cemas jika melihat keadaan Rosa yang menyedihkan.
Rosa memaklumi alasan Alex. Ia mengangguk menuruti permintaan pria itu. "Iya om" jawabnya.
*
Ceklek
Alex membuka pintu kamar VVIP tempat Kakek Marwan dirawat. Ia masuk lebih dalam dan melihat sang kakek ternyata tengah tertidur di atas hospital bed, lengkap dengan infus dan oksigen yang terpasang.
Alex kemudian beralih pada Pak Hilman dan ART sang kakek yang bernama Bi Siwi yang tengah duduk di sofa. Keduanya terlihat lelah. Mereka langsung berdiri begitu tau sang majikan datang.
"Gimana keadaan kakek?" Tanya Alex pada dua orang pegawainya itu.
"Baik Mas, baru saja di visit sama dokter. Katanya Pak Marwan cuma kecapaian saja, tensinya agak naik" jawab Bi Siwi mewakili.
Alex manggut manggut, hatinya lega mengetahui kondisi sang kakek baik-baik saja.
"Tadi Bapak sempat sadar, Pak. Tapi ini tidur lagi, barusan dikasih obat" ujar Pak Hilman menambahkan.
"Baguslah. Biar kakek istirahat dulu" gumam Alex.
"Om Albert sama tante Deta belum kesini?" Alex menanyakan perihal kehadiran kerabatnya yang lain. Om dan tantenya itu adalah keluarga terdekat Alex yang tinggal dalam satu kota.
"Katanya nanti agak malam Mas. Pak Albert masih banyak kerjaan soalnya" bi Siwi kembali memberikan informasi. Alex hanya ber 'oh' singkat mendengar penuturan sang asisten rumah tangga.
Kemudian ketiganya tampak mengobrol satu sama lain. Alex tampak menanyakan beberapa hal pada Pak Hilman dan Bi Siwi.
Setelah beberapa saat berbincang, Alex melihat jam di tangannya dan langsung teringat akan Rosa yang sedang menunggu di luar.
"Man ikut saya sebentar, Bi Siwi disini dulu ya. Jagain Kakek kalau bangun" pinta Alex pada wanita paruh baya itu.
"Iya Mas, biar Pak Marwan saya yang jagain" patuh Bi Siwi tanpa perasaan keberatan. Alex langsung memimpin Pak Hilman untuk keluar ruangan.
Rosa sontak berdiri begitu ia melihat Alex dan Pak Hilman berjalan ke arah tempatnya duduk.
"Gimana keadaan kakek Om? Baik-baik aja kan?" Tanya gadis itu penuh kecemasan.
"Baik" jawab Alex singkat namun melegakan.
Pak Hilman yang berdiri di belakang Alex tampak terkejut begitu melihat Rosa dengan kondisi wajah lebam. Namun kemudian ia tersenyum membalas sapaan gadis itu. Pak Hilman tak menyangka ternyata atasannya datang bersama seorang tamu yang ia kenal.
Alex menggeser tubuhnya untuk bicara pada Pak Hilman.
"Man, anterin Rosa cari makan ya, dari tadi dia belum makan" perintah Alex pada sang supir pribadi.
"Oh iya Pak.baik baik" ucap Pak Hilman cepat tanpa bantahan.
"Tapi Om gimana? Om juga belum makan" tanya Rosa menyela. Raut wajah gadis itu menampakkan kekhawatiran yang tulus.
"Kamu gak usah mikirin saya. Saya bisa pesan makan dari sini" jawab Alex. Ia tak menyangka Rosa cukup perhatian padanya.
Rosa menggigit bibir. Ia tau Alex pasti juga lapar dan lelah apalagi tadi ia mengemudi lintas kota, belum lagi menghadapi kemacetan ibukota yang pasti membuat stress.
Alex meraih dompet di dalam saku celana. Ia kemudian mengeluarkan salah satu kartu kreditnya dan mengulungkannya pada Rosa.
"Pakai ini buat makan kamu sama Pak Hilman" kata Alex dengan entengnya. Ia yang menculik Rosa tentu tau gadis itu tak membawa persiapan apapun.
"Tapi saya bawa uang kok, Om" tolak Rosa secara halus yang ternyata membawa dompet di saku roknya.
Hhhh..
Alex mendengus kecil.
"Nurut aja kenapa sih, Rosana... Sekalian belanja kebutuhan kamu buat nginap di tempat saya. inget?"
"Om..."
"Belanja apa aja yang kamu mau, jangan sampai kelupaan"
"Man, nanti sekalian anterin Rosa ke supermarket" tambah pria itu pada Pak Hilman yang kembali manggut-manggut.
Rosa pun enggan membantah lebih lanjut.
"Om mau nitip apa? Mau sekalian Rosa bawain makan?" Gadis itu hanya bisa menawarkan sedikit bantuan untuk Alex yang sudah berbaik hati mencukupi kebutuhannya.
"Gak usah, nanti saya beli sendiri. Sudah sana buruan, gak lapar apa kamu?" Ucap Alex sambil mendorong pelan pundak gadis itu agar cepat melaksanakan perintahnya.
Rosa hanya bisa pasrah, ia dan Pak Hilman lalu segera turun ke parkiran untuk keluar mengisi perut yang sudah keroncongan.
**
"Mbak Rosa kenapa?" Tanya pak Hilman penasaran sambil melirik wajah Rosa sekilas yang berada di sampingnya. Rosa memilih duduk di kursi depan mobil karena tak ingin berlagak seperti nyonya dengan sang supir.
"Gak apa-apa pak" jawab gadis itu klise.
"Pasti karena om tante mbak Rosa ya?"
Rosa menengok heran.
"Kok pak Hilman tau?" Ia penasaran dengan ilmu ramal supir Alex.
Pak Hilman tersenyum kecut.
"Bener kan, kemarin aja waktu pulang om tante mbak Rosa mukanya udah kayak mau bunuh orang, duh serem..."
"Kasihan ya mbak Rosa ini..." lontar Pak Hilman sambil memandang penuh simpati pada gadis disampingnya. Sementara Rosa hanya menyimpulkan senyum tipis.
Setelah mencari cukup lama akhirnya Pak Hilman dan Rosa memutuskan untuk mengisi perut di restoran cepat saji.
Di tengah sesi makan, Pak Hilman tiba-tiba mendapat telfon dari Alex yang berada di rumah sakit.
Rosa hanya bisa mendengar Pak Hilman berkata; iya pak, baik, siap Pak.. ketika bicara dengan atasannya tersebut.
"Ada apa Pak?" Tanya Rosa penasaran ketika Pak Hilman sudah memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. "Kakek Marwan baik-baik aja kan?" Cemas Rosa.
"Gak papa mbak..." Pak Hilman mulai menjelaskan.
"Tadi Pak Alex bilang, katanya saya suruh anter Mbak Rosa ke tempatnya Bu Delia"
"Bu Delia? Bu Delia itu siapa Pak?" Tanya Rosa antusias.
"Temen pak Alex" jawab Pak Hilman enteng.
*
Rosa sudah kembali berada di dalam mobil Mercedez hitam milik kakek Marwan yang disopiri Pak Hilman. Ia dan Pak Hilman tengah dalam perjalanan menuju tempat "Bu Delia". Rosa terus saja memikirkan kira-kira siapa sebenarnya sosok Bu Delia itu.
'Apa mungkin pacar Om Alex? Apa aku jadinya mau diinapkan disana ya? Gak mungkin juga aku nginep satu rumah sama Om Alex. Ahhh pasti dia gak mau orang ngira yang enggak enggak. Apalagi pacarnya...'
"Bu Delia itu siapa sih pak?" Rosa memberanikan bertanya untuk yang kedua kali. Entah kenapa ia begitu penasaran dengan sosok tersebut.
"Lah kan saya sudah bilang mbak tadi. Bu Delia itu temennya Pak Alex"
"Maksud saya... temen apa pak? Temen deket ya? Atau pacarnya om Alex?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Rosa. Ia sudah tak bisa menahan rasa ingin taunya.
"Hahaha" Pak Hilman terkikik kecil mendengar pertanyaan tersebut.
"Temennya mbak..." terangnya sambil menahan tawa.
"Oh..." entah mengapa tiba-tiba hati Rosa merasa lega.
"Kalau pacar Pak Alex namanya Bu Shely" celetuk Pak Hilman tiba-tiba, memberi informasi yang sebenarnya tidak Rosa minta namun sangat ingin tau.
'Shely... jadi itu namanya, pasti cantik' Rosa membatin, entah kenapa membayangkan pacar Alex membuat dadanya sesak.
"Kenapa mbak? Cemburu ya?" Seloroh Pak Hilman karena melihat Rosa yang langsung terdiam saat disinggung tentang kekasih pria itu.
"Enggak lah Pak. Pak Hilman kok bisa ngomong gitu?" Rosa langsung menyanggah. Tapi suasana hatinya sepertinya membenarkan dugaan Pak Hilman.
"Hehe.. maaf... bercanda mbak. Ngomong-ngomong, mbak jadi nikah ni sama Pak Alex? Kok ikut ke sini?"
Rosa menatap lebar pak Hilman.
'Apa semua pegawai itu pasti kepo ya sama bos nya? Lumayan buat bahan gosip di kantor gitu?' Kata batin sang gadis penuh tanya. Padahal ia sendiri juga kepo dengan kehidupan pribadi Alex.
"Enggak pak, saya cuma pengen tau keadaan kakek Marwan" jawab Rosa memberi alasan yang masuk akal. Padahal sebenarnya Alex lah yang memaksanya kesana. Namun ia tak ingin ada kesalahpahaman mengenai hubungannya dengan Alex.
"Ohh begitu toh mbak..." Pak Hilman pun menggumam sambil mengangguk pelan.
**
Dugaan Rosa yang mengira akan dibawa ke tempat teman Alex untuk mendapat tempat menginap ternyata salah. Ia justru diturunkan oleh Pak Hilman di depan sebuah butik yang tak jauh dari rumah sakit.
"Udah sampai Mbak.." kata Pak Hilman. "Mbak Rosa masuk aja. Bilang mau ketemu Bu Delia, bilang juga mbak ini temennya pak alex. tadi pak Alex nitip pesan kayak gitu. Saya tunggu sini ya"
"Oh... Iya Pak" angguk Rosa tanda paham.
Gadis itu kemudian turun dari mobil dan melangkah menuju pintu masuk. Ia tak perlu repot mendorong pintu karena sudah ada yang membukakannya dari dalam.
"Selamat Sore..." sapa seorang greeter wanita. Sang greeter berusaha menyembunyikan kekagetannya begitu melihat wajah Rosa yang penuh tanda biru.
Rosa tersenyum untuk membalas sapaan greeter tersebut.
"Mari silahkan..." selanjutnya seorang pramuniaga muncul dan mengarahkan tangannya menunjuk dalam butik. Rosa tersenyum kembali sambil menghampiri pramuniaga tersebut.
"Mbak..." panggilnya pada sang pramuniaga.
"..saya mau ketemu Bu Delia"
"Oh Bu Delia.. dengan kakak siapa? Sudah bikin janji ya?"
"Belum sih..." Rosa menggeleng
"Saya Rosa, temannya Pak Alex" gadis itu menambahkan sesuai dengan yang diajarkan pak Hilman.
"Oh Pak Alex. Baik kak. Tunggu disini dulu ya" angguk pramuniaga tersebut begitu mendengar kata Alex yang seolah kata kunci ampuh. Ia pun masuk ke dalam butik untuk menyampaikan pada Delia.
Setelah menunggu dengan sabar, tak berapa lama sang pramuniaga muncul lagi bersama seorang wanita cantik yang berjalan di depan. Wanita itu masih cukup muda, mungkin sekitar akhir 20an, tampak modis ditunjang badannya yang aduhai serta enak dilihat seperti artis-artis yang biasa Rosa lihat di televisi.
"Jadi ini yang namanya Rosa..." Suara nya terdengar begitu menyenangkan.
"Delia" katanya sambil mengulurkan tangan. Rosa menyambut dan menjabat tangan wanita cantik itu.
"Rosa"
"Muka kamu kenapa?" Tanya Delia kaget.
"Oh ummmm.." Rosa bingung harus menjawab apa.
"habis jatuh" jawab Rosa sekenanya.
Delia mengernyitkan dahinya sesaat. Namun ia tak berusaha bertanya lebih lanjut. Ia kemudian malah tampak manyun.
"Heran deh mukabonyok tapi masih aja cantik..." ucapnya frontal sembari melemparkan pujian. Rosa hanya tersenyum sesaat ketika dipuji oleh wanita sesempurna Delia.
"Anyway, jangan panggil aku Bu ya, aku belum tua-tua amat kok..." celetuknya.
"panggil Delia aja... atau kak juga boleh" pinta Delia yang menduga Rosa memang jauh di bawah usianya.
Rosa mengangguk paham sambil tersenyum.
"Ya udah, ikut aku yuk, Alex minta aku pilihin baju buat kamu"
'Hah?'
Rosa tak sempat protes. Ia hanya mengikuti Delia yang sudah berjalan memunggunginya.
*
Butik yang ternyata milik Delia tersebut terbilang mewah. Pakaian, tas dan sepatu yang dipajang umumnya merupakan barang barang branded atau keluaran desainer luar negeri. Interior butik pun terlihat sangat glamour dengan lampu, etalase dan hiasan yang tertata rapi.
"Pilih aja Sa, bebas loh mau ambil apa aja. Gak usah malu-malu" ujar Delia pada Rosa di belakangnya.
"Semua Alex yang bayar, tenang" tambahnya sambil mengedipkan sebelah mata. Ia kemudian memeriksa Rosa dari atas kepala sampai ujung kaki dengan mata lentiknya.
"Hmmmm.. ukuran kamu S kan?"
"Iya kak" jawab Rosa membenarkan perkiraan Delia.
"Tapi boobs kamu gede juga ya. Berarti harus cari yang longgaran di atas nih" gumamnya.
Rosa langsung melirik dadanya ketika Delia mengatai bagian tubuhnya itu besar. Yah badannya yang mungil dan ramping memang kontras dengan dadanya yang cukup menonjol.
"Oke kalau gitu" bisik Delia sembari menghambur ke sebuah rak gantung pakaian.
Sementara Delia sibuk memilih pakaian, Rosa juga mencoba berkeliling. Ia meraih satu dress cantik yang digantung di dekatnya.
Gadis itu langsung melotot ketika melihat harga yang tertera pada price tag.
"Hah? Lima juta?" Pekiknya kaget pada diri sendiri sembari bergidik ngeri. Ia buru-buru mengembalikan dress tersebut pada tempatnya.
Cukup lama Rosa menunggu Delia. Tapi kemudian wanita itu muncul lagi dengan wajah sumringah.
"Loh? Kamu gak milih baju?" Tanya Delia.
Rosa menggeleng.
Delia mengulum senyum tipis.
"Gak masalah, karna aku udah pilihin baju-baju kece buat kamu. Yuk" ajaknya sambil meraih lengan Rosa dan menggandengnya menuju kasir. Rosa bisa melihat di belakang mereka para pramuaniga mengekor sembari membawakan beberapa pakaian.
"Mana?" ujar Delia sambil menengadahkan tangan kanannya.
"Apanya kak?" Tanya Rosa bingung.
"Kartu nya Alex"
"Ooh"
Rosa buru buru mengambil kartu kredit yang ada di dompetnya dan mengulungkannya pada Delia.
Sesaat kemudian Delia pergi ke kasir, menggesekkan kartu kredit Alex dan setelah selesai mengembalikan lagi pada Rosa.
"Nih. Kasih Alex ya" ujar Delia sambil menyerahkan kembali kartu tersebut berikut struk pembelian baju di butiknya.
Betapa terkejutnya Rosa ketika ia melihat nominal yang tertera pada struk sekitar 35 juta lebih. Rosa langsung merasakan pusing di kepalanya.
"Kak Delia maaf, tapi ini..."
"Oh itu. Dont worry, kamu tenang aja, bagi Alex uang segitu mah cuma kayak uang parkir. Udah gak usah dipikirin. Lagian ini juga Alex kok yang minta..." kata Delia tanpa beban sembari menepuk-nepuk bahu Rosa.
Rosa tetap saja merasa tak enak Alex harus menggelontorkan uang sebanyak itu untuk membelikannya baju ganti. Dan yang lebih parah lagi ternyata tidak hanya satu baju yang ia terima. Melainkan tiga buah shopping bag besar yang harus ditentengnya pulang.
'Astaga... aku kan cuma nginep sehari' batin Rosa heran sendiri.
*****
PART 11 ● STAY
Waktu sudah berganti malam. Lampu-lampu jalan, gedung pencakar langit, dan rumah-rumah penduduk menyala terang di bawah langit mendung ibukota. Alex sudah pamit dari rumah sakit karena Tante Deta akhirnya datang dan menggantikannya menunggui kakek Marwan. Lagipula ia juga butuh beristirahat.
Alex membawa Rosa bersamanya pulang ke apartemen untuk menginap. Gadis itu mengira ia akan dibawa menuju sebuah rumah besar seperti yang pernah di ceritakan tante Lastri, namun kenyataannya Alex justru membawanya ke sebuah bangunan gedung yang menjulang tinggi.
Ia dan Alex mulai menyusuri parkiran basement untuk menuju sebuah private lift. Begitu mereka sudah berada di dalam lift, Alex langsung memencet tombol angka 58.
Apartemen Alex merupakan salah satu apartemen termewah di pusat kota, berada di area central business district atau CBD dengan tipe penthouse. Alex harus menggelontorkan puluhan milyar untuk menjadi pemilik properti tersebut.
Setelah sampai di lantai 58, pintu lift pun terbuka. Dengan menenteng tiga shopping bag besar, Rosa mengikuti Alex dari belakang. Tadi gadis itu hampir saja mati ketakutan kalau Alex akan marah melihat struk belanjanya yang mencapai puluhan juta. Namun ternyata Alex malah tak menghiraukan sedikitpun kertas tersebut dan langsung membuangnya ke tempat sampah. Ia hanya mengambil credit card yang di kembalikan oleh Rosa tanpa bertanya apapun.
Hanya terdapat satu pintu di lantai 58 tower tersebut dan pintu itu lah yang menuju tempat tinggal Alex di griya tawang. Alex memencet enam digit angka di door knop lalu menyentuhkan jempolnya untuk mencocokkan sidik jari. Setelah terdengar bunyi klik barulah pintu terbuka kemudian ia dan Rosa masuk ke dalam.
Mata Rosa serasa tak bisa berkedip begitu kakinya sudah menginjakkan kaki di griya tawang yang Alex tempati. Ruangan tersebut begitu mewah dan bahkan cukup luas untuk ukuran apartemen. Rosa bisa melihat di depannya sebuah ruang santai dengan sofa-sofa nyaman, TV led dengan layar yang super besar dan lampu yang otomatis menyala terang begitu mereka masuk.
Di seberang ruangan yang lain terdapat dapur dengan kitchen set yang lengkap, kitchen island dan minibar. Terlihat juga beberapa pintu untuk menuju kamar yang tentu saja belum pernah Rosa kunjungi.
Bibir Rosa masih terbuka lebar ketika ia masuk lebih jauh ke dalam griya tawang. Namun ia berusaha menahan kekagumannya karena Alex mulai berbicara.
"Malam ini kamu stay disini. Disini ada kamar untuk tamu, kamu bisa tidur disana" ucap Alex sembari membalikkan badan untuk berbicara dengan Rosa. Rosa yang masih ternganga langsung mengatupkan bibir nya.
"Iya Om" jawab gadis itu lirih.
Rosa kembali melihat sekeliling dan kemudian tampak berpikir keras.
"Oo-om tinggal sendiri di sini?" Tanya gadis itu ragu-ragu sambil melirikkan bola matanya ke atas untuk mencuri pandang wajah Alex. Ia merasa sungkan seolah mengajukan pertanyaan yang aneh.
"Iya. Memang kenapa?" Balas Alex cepat sembari memandang tajam gadis itu.
"Ah, gapapa ko, cuma nanya aja" jawab Rosa buru-buru. Ia tak ingin pertanyaannya mengusik tuan rumah dan membuatnya di usir.
Selang beberapa detik kemudian Alex justru terkekeh kecil. Dengan tangan yang ia masukkan ke dalam saku, lelaki itu memandang gadis yang ada di depannya dengan tatapan iseng. Matanya menelanjangi Rosa dari bawah ke atas. Setelah bungkam sesaat, Alex kemudian menyunggingkan senyum miring lalu menegaskan satu hal pada gadis itu.
"Perlu kamu tau, saya gak tertarik sama anak kecil..."
"Jadi buang jauh-jauh pikiran negatif kamu itu! Saya gak akan macem-macem sama kamu" ucap Alex penuh percaya diri dan jumawa.
Wajah Rosa langsung merona saat Alex menyinggung hal tersebut. Rosa merasa malu seolah ia lah yang memikirkan hal yang tidak-tidak. Ia mungkin lupa diri kalau Alex hanya menganggapnya bocah ingusan yang tak menarik.
Alex mengakhiri kecanggungan diantara mereka dengan menunjukkan kamar tidur yang akan Rosa tempati. Ia juga memberi tahu kamar mandi tamu yang bisa Rosa gunakan. Setelah selesai, Alex sendiri mulai beranjak ke kamarnya untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak.
*
Rosa mulai masuk ke dalam guest room penthouse. Kamar itu cukup luas dengan furniture yang lengkap; ranjang berukuran queen-size, wardrobe, nakas, meja rias, beberapa kabinet dan kursi duduk yang terlihat empuk tampak memenuhi ruangan.
Tak ingin berlama-lama Rosa pun beranjak dan bersiap untuk mandi. Gadis itu iseng membuka wardrobe. Rosa semakin terkejut ketika menemukan lemari tersebut penuh dengan barang. Ada selimut, sprei, peralatan mandi yang lengkap, handuk, bathrobe, dll sudah disiapkan rapi seolah tau jika tamu dapat berkunjung kapan saja. Rosa mendengus pelan. Jika tau dari awal ia tak perlu repot membeli peralatan mandi di supermarket.
Alex dan Rosa membersihkan diri bersamaan, tapi tentu saja di kamar mandi yang berbeda. Rosa memakaikan bathrobe yang ia ambil dari wardrobe. Kemudian kembali ke kamar untuk memakai baju.
"Ini apa..." Rosa menggumam pelan ketika hendak memilih baju dan mengeluarkan beberapa helai pakaian dari shopping bag.
Ia tadi kurang memperhatikan berbagai macam baju yang dipilihkan oleh Delia, ternyata semuanya terlalu terbuka bahkan terkesan seksi. Kebanyakan dari pakaian-pakaian tersebut adalah dress yang tidak berlengan dengan ukuran mini yang akan sangat pendek jika dikenakan.
Rosa kembali beralih untuk melihat isi shopping bag yang lain. Dan, oh Astaga! Gadis itu semakin tercengang ketika dilihatnya berbagai macam pakaian dalam sangat seksi yang ternyata ada di dalamnya. Rosa menatap ngeri sebuah celana dalam berenda berwarna merah transparan tergolek di atas tempat tidur.
tok tok tok
Rosa yang tengah memakai salah satu dari dress tersebut dikejutkan oleh suara ketukan di pintu.
tok tok tok
Pintu diketuk lagi dan Rosa semakin panik karena ia belum selesai memakai bajunya. Ia tentu was-was jika orang yang berada di balik pintu tau-tau akan membukanya begitu saja karena tidak terkunci.
tok tok tok
"Sebentarrr!" Jerit Rosa sambil setengah berlari setelah akhirnya selesai memakai baju walau masih asal-asalan. Ia terlanjur ngeri jika seseorang diluar tak sabar dan langsung ingin masuk kamarnya.
Ceklek
Pintu terbuka.
"Ada apa om?" Tanya Rosa sambil mengatur nafasnya yang memburu dan merapikan rambutnya yang tersangkut di tali dress yang ia kenakan.
Sorot mata Alex langsung menyipit tajam ketika melihat Rosa berdiri di depannya dengan mengenakan pakaian yang amat mini, terbuka di bagian atas dan sangat pendek di bagian bawah. Sebelum laki-laki itu berpikir yang tidak-tidak, Rosa buru-buru menjelaskan.
"Bu..Bukan Rosa yang milih bajunya. tapi kak Delia..." pekik Rosa membela diri. Ia tak ingin Alex salah paham dan menganggap ia sengaja menggodadengan berpakaian seksi.
Alex langsung menghembuskan nafas kasar.
"Ganti yang lain!" Perintahnya galak.
"Tapi ini udah yang paling ketutup om..." jawab Rosa pelan.
"What?!" Alex tak percaya. Ia pun masuk ke dalam kamar Rosa dan melihat baju dari butik Delia yang berserakan di atas ranjang.
Dengan tak sabar Alex mengobrak-abrik isi shopping bag dan menumpahkan semua isinya. Alex mengambil satu baju, mengamati dengan kedua matanya lalu membantingnya kasar ke atas ranjang.
"Jalang sialan!" Umpat Alex lirih menujukan kutukannya pada Delia. Ia kemudian kembali menelisik Rosa yang berdiri di dekatnya dengan gelisah.
"Sepuluh menit lagi saya tunggu kamu di sofa ruang tengah" ucap lelaki itu kemudian buru-buru melewati Rosa tanpa memandang lebih lama.
"Bbaik om" Rosa menjawab terbata walau Alex sudah berlalu dari hadapannya.
*
"Apa-apaan lo kasih baju kayak gitu ke Rosa?!" protes Alex keras ketika telfonnya dengan Delia sudah tersambung.
"Apaan sih Lex, cuma begitu doang... " jawab Delia terdengar santai seperti menahan tawa.
"...Lo biasa liat cewek pake bikini. Ini cuma baju kayak gitu kenapa protes? nafsu ma tu bocah?" Cecar Delia.
"Ngomong apaan sih lo? Gak jelas" sahut Alex.
"Oh jadi bener ya lo nafsu? sejak kapan sih lo jadi "om-om senang"? jangan sampe gue bilangin Shely lo ada main sama PSK di bawah umur"
"Jaga mulut lo Del! Gila lo! Itu cewek bukan psk, jangan asal ngomong!" Bentak Alex dengan nadanya yang kian meninggi.
"Terus siapa kalau bukan cewek bayaran? Kok lo tadi gue tanya gelagapan, bilang cuma temen. Lo kenal dimana cewek kayak gitu? Panggil lo Om lagi.. aneh"
"Gak usah ikut campur urusan gue! sampe lo nyebarin berita macem-macem, gue hancurin butik lo! Inget itu!" Ancam Alex.
Tring
Alex menutup telfon dengan kesal. Ia lalu membanting ponselnya ke atas tempat tidur. Kali ini keisengan teman wanitanya itu sudah kelewat batas. Alex merasa menyesal sendiri telah mengirim Rosa bertemu Delia.
**
Setelah mengambil nafas untuk berusaha lebih tenang, Alex kembali keluar kamar untuk menemui Rosa yang sudah terduduk di ruang tengah. Pria itu meletakkan sebuah paper bag dari rumah sakit ke atas coffee table. Ia kemudian mengambil isi paper bag tersebut yang ternyata adalah salep untuk mengobati luka di wajah Rosa. Alex nampak mempelajari petunjuk pemakaian yang ada di kemasan dengan serius. Sementara itu Rosa tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari lelaki itu.
Alex melirik Rosa yang tengah menatapnya lekat. Dengan sedikit gamang, pria itu kemudian melangkah mendekat pada Rosa. Alex lalu mendudukan diri di samping gadis itu.
Jantung Rosa seketika berdegup kencang begitu menyadari Alex sangat dekat dengannya. Sementara Alex masih berusaha tenang menghadapi penampilan gadis cantik disampingnya yang terlihat menggoda.
Walaupun masih remaja, tubuh Rosa sudah bertumbuh dengan baik di beberapa bagian. Dadanya sudah tercetak sempurna di balik bustier mini dress yang ia kenakan. Terlihat lebih besar dan penuh dari remaja kebanyakan.
Rosa memegangi roknya untuk mengatasi rasa gugup. Tanpa ia sadari aksinya itu malah membuat paha putih mulusnya menjadi semakin terlihat. Alex berusaha menahan keinginan untuk melihat ke bawah dan fokus memandang luka-luka di wajah Rosa.
"Diem, jangan kebanyakan gerak" perintah Alex kepada Rosa ketika tangannya memalingkan wajah gadis itu untuk menghadap ke arahnya.
Dengan hati hati, dipencetnya salep yang berwarna bening itu. Alex lalu meletakkannya di jari telunjuk kanan dan mulai megoleskan ke dahi Rosa terlebih dahulu. Sesuai perintah, Rosa jadi diam seribu bahasa sambil sesekali melirik wajah serius Alex yang tengah mengobati lukanya.
"Pacar kamu nyariin gak?" Tanya Alex di tengah kegiatannya mengobati luka gadis itu.
Alex yang tiba-tiba menyinggung ranah pribadi, cukup membuat Rosa terkejut. Gadis itu lalu menggeleng pelan.
"Cowok macam apa ceweknya ngilang gak dicariin" sindir Alex.
"Rosa gak punya pacar om" jawab Rosa cepat yang langsung membuat Alex menghentikan aksinya dan beralih memandang wajah perempuan di depannya. Ia tak percaya tak ada lelaki yang mengejar gadis secantik Rosa.
"Gak usah bohong..." Alex menggumam.
"Bener om..." Rosa meyakinkan.
"Tante Lastri gak ngebolehin Rosa pacaran" lanjut gadis itu jujur.
Alex terdiam sesaat.
"Serius?" Tanyanya.
Rosa mengangguk.
"Tante Lastri gak suka kalau Rosa deket-deket sama cowok. Jangankan cowok, Rosa punya temen cewek aja tante juga kurang suka. Lagian Rosa juga gak sempat main om. Rosa lebih banyak di rumah bantuin urus laundry" terang gadis itu yang masih di dengarkan dengan seksama oleh Alex.
Alex mengulum bibir untuk menyembunyikan sebuah senyuman yang tau-tau terulas tipis.
"Tante kamu girang banget waktu tadi saya telfon kamu nginep disini. Kamu dipukul gara-gara nolak perjodohan kita kan?" Tebak Alex. Ia sudah bisa menduga watak materialistis om dan tante Rosa.
Rosa menanggapi dengan bungkam dan tak menjawab. Ia malah menunduk memandang jemarinya yang tak bisa diam. Alex menghela nafas kasar. Ia menjadi merasa bersalah karena dirinyalah Rosa terluka.
Alex meraih dagu Rosa dengan jarinya untuk menengadahkan wajah gadis itu. Mereka sempat bertukar pandang sesaat dan berakhir dengan kegugupan masing-masing pihak. Alex mencoba menguasai diri dengan melanjutkan kembali mengobati luka lebam di wajah Rosa. Ia beralih untuk mengoleskan salep bening ke sudut bibir kiri gadis itu.
Namun di tengah aksinya, Alex justru tak kuasa menahan jarinya untuk tak mengusap bibir merah Rosa yang merekah dan tampak basah.
Deg
Jantung Rosa seakan berhenti berdetak saat Alex menyapukan jari di bibirnya saat itu. Ia tak pernah mengalami sensasi yang baru pertama kali ia rasakan tersebut.
Melihat Rosa yang salah tingkah, Alex pun ikut tersadar.
'Shit!'
Umpatnya dalam hati merasa hampir lepas kendali. Lelaki itu kemudian berdehem kecil dan berusaha senormal mungkin untuk tak terpengaruh. Ia sudah berkata pada Rosa bahwa tak akan macam-macam. Sebagai lelaki sejati ia tak ingin melanggar ucapannya.
Akhirnya, setelah selesai mengobati luka di wajah gadis itu, Alex berhenti sejenak. Namun kemudian pria itu melanjutkan.
"Balik badan!" Pinta Alex sembari menggaruk kecil dahinya yang tak gatal.
Walaupun heran tapi Rosa menurut. Ia tak tau apa yang hendak dilakukan Alex tatkala menyuruhnya melakukan hal tersebut.
Rosa pun menggeser posisi duduk dan membalikkan badannya. Sekarang di depan Alex terhampar pemandangan punggung Rosa dari belakang.
"Ke depanin rambut kamu" pinta Alex lagi yang masih ditanggapi dengan kernyitan dahi oleh Rosa namun ia tak berani membantah.
Gerakan Rosa saat terduduk di depan matanya sembari meraih rambut panjang setengah punggung lalu menyampirkan di pundak cukup membuat Alex menelan saliva dalam diam.
Setengah leher jenjang Rosa kini terekspos jelas. Menguarkan wangi segar khas habis mandi. Semua indera Alex jadi ikut tergugah. Namun keindahan itu bukanlah yang sebenarnya ia cari.
"Jangan protes dulu..." ucap Alex saat meraih resleting dress yang Rosa kenakan lalu dengan perlahan mulai ia turunkan ke bawah.
"Saya cuma mau lihat luka kamu..." bisik Alex pelan agar Rosa tak salah paham.
Ssssrrrrrtttt
Alex menurunkan resleting dress gadis itu sampai ujung hingga mengekspos seluruh punggungnya yang putih polos namun dipenuhi bekas luka merah akibat cambukan yang diberikan tante lastri.
Alex menghirup udara yang terasa begitu sulit, tangannya mengepal menahan marah. Ternyata dugaannya benar, tak hanya wajah Rosa yang terluka, bahkan punggung gadis itu lebih parah. Tadi ia memang sempat melihat sekilas sedikit guratan tersebut karena baju Rosa yang terbuka.
Alex mengobati luka Rosa sembari menahan kegusarannya yang sudah meluap-luap. Sementara Rosa hanya bisa menggigit bibir begitu jemari kokoh Alex mengusap setiap inci punggungnya dengan gemetar karena menahan emosi. Gadis itu tau Alex tengah geram karena melihat lukanya. Rosa tentu sangat menghargai sikap Alex yang terkesan peduli padanya.
"Dah!" Ucap Alex setelah selesai mengobati punggung Rosa.
Alex menutup salep dan melemparkannya dengan asal ke atas meja. Wajahnya datar dan dingin. Namun Rosa memaklumi itu.
"Makasih om" ucap Rosa buru-buru walaupun tak direspon oleh Alex tapi ia tetap bersyukur.
Alex berdiri dan memandang Rosa sekilas.
"Jangan tidur malem-malem" ucap sang tuan rumah memberi pesan sekaligus ucapan perpisahan untuk malam itu. Alex kemudian membalikkan badan dan kembali menuju kamarnya.
"Iya om" jawab Rosa sambil mengangguk. Setelah melihat Alex berlalu gadis itu pun melakukan hal yang sama dengan pergi ke kamar dan beristirahat.
***
Alex berdiri di dalam kamar utama, menghadap dinding kaca besar dengan pemandangan gemerlap malam pusat kota yang berada di bawah kakinya. Pemandangan yang begitu indah, membuat Alex serasa berada di atas langit dan bintang bintang berada di bawahnya. Ia membayar mahal untuk bisa menikmati panorama tersebut.
Dengan tangan di saku, Alex tampak merenung. Ia meminta Rosa untuk tak tidur terlalu larut namun justru ialah yang bahkan masih terjaga walau sudah tengah malam.
Alex memejamkan mata sejenak. Menghalau bayangan Shely dan Rosa yang secara bergantian muncul di dalam benaknya. Lelaki itu lalu menghela nafas sesaat. Mata tajamnya menyipit memandang kelip lampu dari gedung-gedung didepannya. Beberapa detik kemudian bibirnya tertarik menjadi sebuah smirk tipis. Ia telah membuat keputusan.
*****
PART 12 ● FIRST KISS
Alex batal mengantar Rosa untuk kembali ke rumah keesokan paginya. CEO muda yang super sibuk itu beralasan tengah mempunyai urusan bisnis mendadak sehingga ia harus menunda memulangkan Rosa ke rumah sang paman dan bibi. Tante Lastri yang mengetahui hal tersebut sudah jelas tak keberatan. Ia bahkan sangat senang, keponakannya menghabiskan waktu lebih lama bersama Alex.
Rosa menghabiskan siangnya hanya berada di dalam penthouse. Ia tak bisa keluar karena pakaiannya yang kurang sopan untuk jalan-jalan. Alex tadi meninggalkannya cukup pagi, lelaki itu tak sempat berpesan macam-macam maupun sekedar memberikan baju yang lebih layak untuk Rosa kenakan. Dan mungkin juga Alex dengan sengaja melakukan hal tersebut agar Rosa tetap berada di sangkar emas griya tawangnya.
Walaupun sama sekali tak keluar penthouse, Rosa tak perlu mengkhawatirkan kondisi perutnya. Alex telah mengatur layanan pesan antar untuk gadis itu. Lagipula Rosa sebenarnya juga bisa memasak di dapur dengan berbagai macam bahan makanan yang melimpah. Ia yang sebenarnya juga ingin membantu bersih-bersih pun justru hanya berpangku tangan seperti nyonya besar karena penthouse Alex memang rutin dibersihkan petugas setiap hari.
Rosa menghibur diri dengan hanya menonton acara tv. Kadang kala gadis itu pergi ke balkon untuk sekedar mencari angin dan menikmati pemandangan pusat kota dari atas. Untunglah kepulangannya hanya tertunda selama satu hari. Kalau tidak ia bisa mati kebosanan, merasa seperti Rapunzel yang tertawan di sebuah menara tinggi.
Tepat pukul sembilan malam, Alex akhirnya pulang. Pria itu membersihkan diri sejenak kemudian mengajak Rosa untuk mengobrol empat mata di ruang tengah. Ada satu hal penting yang hendak ia sampaikan pada gadis yang menemaninya beberapa hari belakangan.
***
Rosa tengah terduduk di sofa panjang ruang tengah, sementara Alex berdiri mengamati dengan tangan menyilang di dada. Ia memindai tekun sang gadis yang terlihat cantik walaupun masih menyisakan sedikit lebam samar di kening dan sudut bibirnya. Alex mematung sembari mencoba menghalau hal-hal kotor yang melintas dalam benaknya. Bagaimana mungkin pikirannya tak berkelana kalau malam itu Rosa kembali memakai pakaian minim bahan; dress beraksen bunga dengan tali bahu tipis dengan panjang hanya menutupi beberapa senti paha kecilnya membalut tubuh Rosa dengan begitu pas.
Ditambah saat itu Rosa tengah terduduk. Ia terus menahan roknya agar tak tertarik ke atas karena jika naik sedikit saja bisa dengan mudah mengekspos bagian intimnya.
Alex merasakan dadanya memberat, tubuhnya memanas dan nafasnya terasa sulit. Ia tau ia sedang menahan naluri buas nan biadab yang bergejolak hebat dalam dirinya. Apalagi Rosa masih begitu muda, ia merasa makin di uji. sekarang ia benar-benar mencoba fokus pada inti masalah yang harus segera diketahui oleh gadis cantik di depannya itu.
"Ada satu hal yang mau saya sampaikan sama kamu" ucap Alex mengawali pembicaraan dengan Rosa malam itu.
"Ehmm" tapi kemudian ia berdehem ringan karena menyadari suaranya yang terdengar serak menahan gairah.
"Apa om?" Rosa bertanya dengan memiringkan kepala. Wajah cantiknya memandang Alex penuh keluguan. Mata besarnya berkedip-kedip memperhatikan Alex yang tampak tegang. Ia tak menyadari sama sekali jika lelaki di hadapannya sedang bersusah payah menahan nafsu untuk tak menerkamnya.
Alex berancang-ancang dengan mengambil nafas dalam.
"Saya sudah memutuskan..." ucap pria itu.
"...ada baiknya kita berdua jadi menikah" lanjut Alex mantap tanpa ada keraguan yang tersirat dari roman wajah lelaki tampan tersebut.
Setelah merenung semalaman dan mempertimbangkan berbagai macam hal, akhirnya Alex mengambil keputusan final untuk mau menikahi Rosa. Pada akhirnya, ada begitu banyak alasan yang mendorongnya untuk mengambil langkah tersebut.
Rosa tentu saja langsung terperanjat begitu mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Alex.
"Oo-om bilang apa?" Tanya gadis itu terbata takut ia salah dengar.
Alex menarik singkat sudut bibirnya ke samping.
"Kurang jelas saya bicara?" Ia mendengus kasar. Alex lalu mengambil beberapa langkah mendekat pada gadis belia di hadapannya agar suaranya bisa terdengar lebih jelas.
"Setelah dipikir-pikir, menerima perjodohan kakek juga tidaklah buruk. Saya bakal menikahi kamu Rosana. Sudah paham?" Ucap Alex penuh penekanan dengan tatapan yang setajam pisau.
Bola mata Rosa melebar dan bibirnya terbuka. Ia lalu menelan saliva kasar, saat itu nafasnya berubah memburu cepat. Entah mengapa tubuhnya merespon keputusan Alex seperti sebuah hentakan.
Rosa melirik sekilas ke kanan kiri sebagai pelampiasan kegugupannya. Ia masih sangat bingung dan merasa tidak percaya dengan keputusan Alex. Selanjutnya gadis itu kembali menengadah untuk menemui arah pandang pria yang berdiri di hadapannya.
"o-om becanda ya?" Lirih Rosa justru meragukan kesungguhan Alex.
Alex mengernyitkan dahinya. Ia tak percaya Rosa menganggapnya main-main.
"Apa yang membuat kamu berpikir saya gak serius?" Alex berusaha sabar.
Rosa mengumpulkan segenap tenaganya. Ia kemudian berdiri dan memberanikan diri berhadapan dengan Alex.
"Karena... karena waktu itu om sendiri yang minta Rosa untuk menolak perjodohan itu kan..." jawab gadis itu terburu.
"Itu kan dulu. Sekarang saya berubah pikiran" balas Alex enteng.
"Maksudnya?" Rosa masih merasa bingung.
"Kenapa masih tanya. Kamu paham gak apa yang barusan saya bilang? saya menerima perjodohan kakek. SAYA MAU MENIKAHI KAMU! KAMU MAU ATAU TIDAK MENIKAH SAMA SAYA?! Sesimple itu... Jawab. YES OR NO?"
Alex semakin gemas dengan sikap berbelit-belit Rosa. Ia jadi berbicara pada gadis itu dengan intonasi yang kian meninggi. Hampir saja kesabarannya habis karena jarak mereka yang semakin dekat membuatnya bertambah panas.
"Om kenapa sih bahas itu lagi... Ini pasti cuma... cuma..." Rosa terbata. "om cuma mau godain Rosa kan?" Tuduh gadis itu tanpa tedeng aling-aling. Ia memang merasa rendah diri jika berhadapan dengan Alex. Rosa berpikir tak mungkin pria sesempurna Alex mau menikahi gadis dengan latar belakang seperti dirinya. Lagipula setau Rosa pria itu sudah punya kekasih. Semakin menguatkan praduganya jika semua hanyalah permainan.
"Astaga ni bocah" gumam Alex geram.
"Om yang bilang sendiri om mau menikah sama pacar om. Terus kenapa bilang seperti tadi? Apa iya mungkin om langsung berubah pikiran secepat itu?"
"Kapan saya bilang mau menikah?"
"Waktu kita pertama kali ketemu"
Alex mencoba memanggil kembali memorinya. Yah memang waktu itu ia secara spontan beralasan . Padahal sebenarnya ia belum punya rencana sama sekali untuk menikahi kekasihnya saat itu yaitu Shely.
Tapi belum sempat Alex menjelaskan lebih jauh, Rosa sudah menyela.
"Om bahkan kasih Rosa perhiasan ratusan juta sebagai tanda kesepakatan buat menolak perjodohan itu. Apa om gak ingat? Rosa bahkan harus dimarahi om dan tante karena semua ini... dan sekarang om bercandain Rosa seperti ini. Rosa gak habis pikir..." Rosa menatap kecewa pria di depannya. Saking merasa kecil hati ia jadi sulit percaya pada kesungguhan Alex.
"Saya-enggak-bercanda Rosana..." desis Alex tanpa membuka mulutnya lebar. Ia merasa hampir putus asa.
Tapi memang Rosa adalah gadis yang cukup keras kepala dalam beberapa hal. Ia bahkan takut jika sudah memberi jawaban iya Alex justru akan berbalik mengoloknya dan mengatakan semua hanyalah omong kosong.
"Tolong gak usah bilang yang aneh-aneh om. Sekarang mending Rosa balik kamar aja. Rosa mau siap-siap buat besok. Om udah janji mau anterin Rosa pulang... " ucap gadis itu kemudian tanpa memandang wajah alex.
Dengan pendirian yang masih mengira Alex hanya mempermainkannya dengan lelucon konyol, Rosa membalikkan badan dengan berang. Namun baru saja ia melangkahkan kaki untuk berjalan menjauhi Alex, laki-laki itu sudah meraih tangannya terlebih dahulu.
Alex menarik satu tangan Rosa dan membuat gadis itu berputar 180 derajat. Ia lantas menahan pinggang gadis itu agar tak kehilangan keseimbangan. Tubuh keduanya berbenturan dan saling berhadapan.
Rosa yang masih terkejut hanya bisa mengerjapkan mata memandang dada Alex yang hampir menempel pada wajahnya. Sebelum ia bisa mendongak untuk melihat wajah pria itu, jemari Alex sudah terlebih dahulu meraih kedua sisi rahangnya dan membuatnya menghadap ke atas.
Tak sampai beberapa detik kemudian, Rosa yang tengah memandang Alex langsung menutup matanya secara spontan. Alex telah menyapukan bibirnya di atas bibir gadis itu dan membuat keduanya berpadu dalam sebuah ciuman hangat.
*
Bagi Rosa itu adalah kali pertama ia berciuman. Gadis itu tak tahu apa yang harus dilakukan sehingga hanya bisa diam terpaku merasakan bibir Alex yang menelusuri bibirnya dengan lembut.
Sementara Alex sadar betul bahwa ia telah mencuri ciuman pertama gadis yang berada dalam rengkuhannya kini. Ia diam-diam menyembunyikan senyuman tipis disela aksinya mencumbui bibir manis Rosa yang terasa stroberi.
Rosa pun saat itu juga sama sekali tak menolak. Tubuhnya begitu saja menerima kecupan dari Alex. Lama kelamaan ia justru menyambut setiap lumatan basah yang Alex berikan pada bibirnya. Gadis itu menikmati dan meresapi apa yang dilakukan oleh Alex padanya. Ia mengikuti langkah Alex yang seolah membimbing untuk berciuman lebih dalam.
Dan seakan tak pernah puas, Alex melumat bibir Rosa yang merah merekah, terasa manis juga halus terus selama beberapa menit. Ia hanya membiarkan gadis itu bernafas sesaat sebelum menyatukan lagi bibir keduanya. Alex menekan tengkuk Rosa, kemudian satu tangannya turun ke pinggang ramping gadis itu dan menarik tubuh Rosa agar makin merapat. Rosa mencengkeram erat kemeja Alex. Membiarkan dirinya terhanyut dalam kecupan demi kecupan yang dilancarkan pria tampan tersebut.
Rosa terus merasakan hidung Alex yang lurus dan lancip menusuk pipinya tatkala pria itu mencumbunya penuh gelora. Namun setelahnya Alex melepaskan pagutannya dan memandang manik mata Rosa dalam-dalam.
Alex mengusap lembut bibir Rosa dengan ibu jari begitu ia melihat bibir gadis itu basah karena salivanya. Setelah berusaha menetralkan nafas, ia membisikkan satu kalimat sambil mengadukan dahinya pada gadis itu. Ditatapnya mata besar sang gadis dengan sungguh-sungguh.
"Kamu masih pikir saya bercanda?" Tanya Alex menghanyutkan dengan suara baritonnya.
"....... ..... ..." Rosa terdiam sembari menata nafasnya yang terputus-putus. Alex melihat dada Rosa naik turun menyembul dari balik pakaian. Ia menelan salivanya susah payah. Betapa saat itu ia ingin sekali memiliki Rosa yang teramat cantik seperti bunga.
"Katakan IYA sebelum saya berubah pikiran" bujuk Alex setengah mengancam.
"...om..." gumam Rosa lirih.
"Apa kamu lebih memilih dijual ke laki-laki bajingan sama om-tante mu daripada menikah sama saya?" Alex kembali memprovokasi Rosa agar segera memgambil keputusan.
Rosa menggeleng takut. Ia tak berani membayangkan hal tersebut walaupun itu sangat mungkin terjadi.
"Enggak..."
"So please say Yes, Rosana..." lirih Alex serak hingga membuat Rosa merinding dan menembus sanubari yang terdalam."Will you marry me?" Lanjutnya dengan bisikan rendah dan membuat Rosa kian gemetar. Ia bertanya sekali lagi dan terakhir kali.
Rosa kesusahan menghirup oksigen di sekelilingnya. Jemari kokoh Alex yang terasa begitu panas terus mengusap kedua pipinya. Bibir mereka yang masih berdekatan membuat Rosa mendamba gelisah. Ia pun bisa merasakan betapa hangat nafas Alex menyapu kulit wajahnya. Betapa lelaki itu juga resah menunggu jawaban darinya.
Rosa kembali memejamkan mata. Ia mengangguk pelan.
"I-ya..." bisik Rosa setengah tersengal. Kata itu kemudian disambut seringai tipis oleh Alex. Tanpa membuang waktu pria itu kembali mencumbu bibir merah Rosa yang telah menjadi candu baginya.
*
Mmmhhhh
Rosa mendesah pelan saat Alex memagutnya kian intens dan beralih memberikan lumatan-lumatan kasar. Alex semakin memerangkap Rosa ke dalam rengkuhannya. Ia kemudian mendorong pelan tubuh Rosa untuk berjalan mundur hingga membentur sofa ruang tengah.
Dengan tanpa melepaskan pagutannya, Alex perlahan tapi pasti membuat Rosa terududuk di atas sofa. Selanjutnya ia dengan begitu lihai mendesak tubuh gadis itu hingga terbaring pasrah di atas sofa ruang tengah penthouse.
Alex telah gelap mata. Nafsu duniawi mulai mengambil alih akal sehatnya. Ia menindih sembari mencumbui Rosa seolah tiada hari esok. Bahkan Alex mulai berani memberikan kecupan di seluruh wajah dan juga leher gadis itu.
Alex terhanyut dalam aroma memabukkan tubuh Rosa yang harum bunga-bunga. Tangannya refleks membelai bagian tubuh sang gadis dimanapun yang bisa ia sentuh. Bahkan saat itu dress yang Rosa kenakan sudah naik sebatas perut, memamerkan harta berharga gadis itu yang hanya tertutupi sehelai kain tipis. Alex semakin tergoda untuk segera mencicipinya.
Alex menjeda dengan menarik tubuhnya ke atas. Ia dapat melihat bibir Rosa membengkak karena ciumannya yang begitu brutal dan tanpa henti. Pipi gadis itu memerah dengan tubuh yang menggeliat di bawah kungkungannya dan sinar mata Rosa begitu sayu ketika memandang dirinya.
Pandangan Alex semakin beralih ke bawah. Karena rok mininya telah tersingkap, area intim Rosa yang hanya berbalutkan kain tipis berenda terpampang jelas di depan mata Alex. Alex mengepalkan tangan ketika melihat pemandangan indah nan cantik di bawahnya. Milik Rosa begitu menggoda apalagi lipatan gadis itu tampak tercetak sempurna. Kejantanan Alex semakin menggeliat ingin mencari kehangatan pada milik sang gadis yang terlihat telah basah.
"Rrrggghhh" Alex pun tak tahan, ia menggeram saat dengan tak sabarnya kembali menyerang bibir Rosa yang masih bengkak sensual. Tangannya mengelus dan mengusap nakal paha ramping nan mulus gadis itu, dan membuat si empunya terus bergerak gelisah.
"nngghhh..."Rosa mendesah pelan saat Alex terus membelai pahanya dan semakin lama semakin naik ke atas.
ahhhhh!!
Rosa sontak memekik kecil ketika jemari Alex yang panjang nan kokoh tau-tau mengelus lembut miliknya. Dengan refleks gadis itu mendorong pelan tangan Alex yang baru saja menyentuhnya. Tubuhnya bergetar karena begitu terkejut merasakan sensasi yang baru pertama kali ia alami.
Saat mendapati Rosa tersentak itulah yang akhirnya membuat kesadaran Alex kembali.
Dengan berat hati, Alex mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya. Dan seolah begitu enggan lelaki itu menarik diri dari atas tubuh Rosa dan mundur teratur ke belakang. Ia berdiri dengan gamang memandang Rosa yang masih terbaring bingung.
"Bangun Rosana, cepat kembali ke kamar kamu..." desis Alex pelan namun masih bisa didengar oleh gadis yang baru saja ia gerayangi tubuhnya itu.
"Om..." lirih Rosa seraya perlahan bangkit. Ia terdiam sejenak menatap Alex dengan penuh tanya.
"Tunggu apa lagi! Saya bilang cepat kembali ke kamar kamu!" Alex tampak gemetar.
" ...... "
"Cepat! Sebelum kamu hancur di tangan saya..." ucap Alex sambil menahan gelora di tubuhnya yang berkecamuk hebat. Tangannya mengepal kuat hingga menampakkan gurat pembuluh darahnya begitu jelas.
Rosa menuruti keinginan Alex dengan segera merapikan baju. Ia lalu berdiri dan menghambur ke dalam kamar secepat yang ia bisa.
Setelah Rosa meninggalkannya seorang diri, giliran Alex yang mendudukan diri di sofa sembari mengusap kasar wajahnya karena frustrasi. Ia pun lantas bergegas beranjak dari ruang tengah untuk kembali ke kamar. Ia membuka pintu kamar lalu membantingnya dengan keras. Tanpa membuang waktu Alex melangkah ke kamar mandi. Ia masuk dan langsung memposisikan diri dibawah shower.
Dengan masih berpakaian lengkap, Alex memutar keran shower hingga air seketika menghujani tubuh tegapnya. Alex menempelkan telapak tangannya di dinding, wajahnya menunduk merasakan air mengguyur tengkuk kepalanya.
Ia membutuhkan guyuran air dingin untuk memadamkan api gairah yang masih berkobar hebat dalam dirinya.
*****
PART 13 ● BROKE UP
Mata tajam Alex melihat jam yang ada di tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 16.20, yang berarti ia sudah terlambat dua puluh menit dari janji temunya dengan sang kekasih atau yang mungkin sebentar lagi akan jadi mantan, Shely Tania.
Ting
Pintu lift terbuka. Alex melangkahkan kaki keluar dan berjalan menyusuri lorong sebuah kantor di lantai dua puluh tiga. Ia kemudian disambut oleh seorang sekretaris yang tengah terduduk di office desk. Si sekretaris pun berdiri dan memberi salam kala Alex melintas.
"Sore Pak" sapa sang wanita dengan sopan sembari menundukkan kepala. Ia tau bahwa pria yang lewat di hadapannya saat itu tak lain adalah kekasih atasannya.
Alex mengacuhkan si sekretaris dengan tak berusaha menyunggingkan senyum ramah sedikitpun. Ia melangkah begitu saja sampai akhirnya menemukan sebuah ruangan dengan pintu dan dinding berkaca buram. Tanpa mengetuk terlebih dahulu Alex langsung membuka pintu tersebut dan masuk ke dalam.
Kedatangannya disambut oleh senyuman cantik dari seorang Chief Marketing Officer sebuah perusahaan properti tersebut. Wanita itu langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri Alex dengan sumringah.
"Macet ya?" Sapa Shely sambil meraih lengan Alex dan mendaratkan kecupan manis di bibir pria itu. Ia agak heran karena saat itu Alex datang terlambat, padahal biasanya ia selalu on time.
"Iya" jawab Alex berbohong. Sebenarnya alasannya terlambat bukan karena macet. Melainkan ia harus mampir terlebih dahulu ke sebuah hotel tempat pesta pernikahannya nanti akan digelar.
"Tumben mau ngobrol aja harus datang ke kantor. Ada apa sih, sayang?" Shely bertanya was-was. Mengantisipasi bahwa Alex akan menyampaikan berita yang tidak ingin ia dengar.
Semenjak Alex memberi tahunya akan rencana perjodohan Kakek Marwan, Shely menjadi tak bisa tidur nyenyak. Seusai makan malam dengan kakek Marwan waktu itu, Alex langsung memberi tahu kekasihnya mengenai keinginan sang kakek. Shely yang mendengarnya menjadi sangat shock dan tak percaya. Namun malam itu juga Alex meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja dan ia tidak akan menerima perjodohan tersebut.
Alex menghela nafas panjang untuk bersiap menyampaikan berita buruk pada Shely. Ia memandang wajah ayu wanita itu. Shely selalu terlihat matang, dewasa dan anggun. Tipe perempuan berkelas dengan sejuta prestasi dan membuat kekasihnya itu tampak nyaris sempurna. Melepaskan wanita seperti Shely sungguh terasa seperti membuang bongkahan berlian.
"Aku gak mau ngajak kamu dinner kalau hanya buat nyampein bad news" ucap Alex memberi sedikit hint tujuannya kesana adalah untuk menyampaikan berita buruk bagi Shely.
Alis Shely naik sebelah.
"Bad news? What bad news? Ada apa sih sayang?" Tanya Shely penasaran dan feeling nya sudah tak enak.
"Shel..." Alex menyebut pelan nama kekasihnya. Manik mata Shely tak lepas memandang bola mata Alex dalam-dalam. Sesaat terdiam namun kemudian Alex mulai menyampaikan maksudnya menemui Shely sore itu.
"Aku sudah terima rencana perjodohan kakek. Aku bakal nikah sama perempuan itu" ungkap Alex segera dan berusaha mengatakan sejelas mungkin agar ia tak perlu mengulang perkataannya.
Mendengar ucapan Alex, Shely langsung menarik satu tangan untuk membungkamkan mulutnya yang terbuka. Mimpi buruknya selama ini berubah menjadi nyata.
"Kamu serius?" Tanya wanita itu dengan nada bergetar. Shely berusaha menguasai perasaannya yang semakin berkecamuk.
"Iya" jawab Alex sambil mengangguk. Ada sebuah keyakinan tersirat ketika pria itu mengucapkan kata tersebut. Shely bisa melihat kesungguhan dari sorot mata Alex.
Shely mengambil langkah mundur sampai membentur pada sisi meja kantornya. Ia terhuyung dan membuat tangannya menyenggol pajangan di atas meja dan membuatnya jatuh ke lantai. Hening sesaat sebelum ia berusaha menenangkan diri.
"Tt-tapi kenapa? Kamu bilang kemarin kamu bakal nolak perjodohan itu kan" Shely bertanya bingung.
"Awalnya emang aku sama dia udah nolak. Tapi terus kakek sakit. Gimana pun juga aku pengen nyenengin kakek sebelum terlambat. Itu aja" tutur Alex memberi alasan.
Mendengar alasan Alex, Shely tak kuasa menahan airmata. Bulir-bulir air itu jatuh membasahi pipi Shely yang mulus. Shely buru-buru mengambil tissue di meja dan menyapukan pada wajah dan matanya. Make up tebal yang ia gunakan luntur seketika.
"Aku gak tau harus ngomong apa. Kalau memang alesannya adalah Pak Marwan, aku udah pasti gak akan bisa nahan kamu..." kata Shely penuh sesal. "But you have to know that..." ucap Shely melambat. "Sampai kapanpun... aku bakal terus cinta sama kamu, Al" lirihnya sungguh-sungguh dari dalam hati.
Alex hanya bisa termangu begitu melihat Shely yang kini patah hati. Salahkah ia telah berbohong pada kekasihnya seperti itu? Bisik batin Alex. Sebenarnya Ia menikahi Rosa bukan semata-mata karena permintaan kakek Marwan. Namun ia juga tak mungkin jujur pada Shely bahwa alasannya menikahi gadis itu adalah karena sebuah rasa yang kompleks yang tiba-tiba muncul dan ia sendiri masih meraba-raba apa artinya.
Alex berjalan mendekat pada Shely yang tengah menunduk sembari mengusap airmata wanita itu yang terus terjatuh. Ia meraih wajah Shely dan menengadahkan agar balas menatapnya.
"I'm so sorry Shel..." bisik Alex pelan. "You are matter to me..." ucap Alex berusaha menenangkan Shely yang tengah terisak. Ia lalu membenamkan wajah gadis itu di bahunya dan mengelus pelan rambut Shely. Cukup lama Alex membelai kekasihnya dan memeluk penuh ketentraman.
"Tapi aku juga berharap kamu bisa segera menemukan pendamping hidup yang tulus sama kamu. You have to move on..." ucap Alex masih sembari mengelus kepala Shely. Shely tiba-tiba menarik wajahnya dan memandang Alex dengan tatapan penuh tanya.
**
"Kamu mau menikah beneran sama cewek itu Al?" Tanya Shely tiba-tiba.
"Maksud kamu?" Alex terhenyak, tak bisa memahami sepenuhnya pertanyaan sang mantan kekasih.
"Ini bukan pernikahan pura-pura buat nyenengin Pak Marwan doang?" Tanya Shely lagi.
Alex menyimpulkan senyum miring. "Aku bakal nikah beneran. Itulah kenapa aku kesini dan minta maaf. Aku gak pengen kamu menunggu dan berharap kalau aku cuma pura-pura nikahin dia" jawab Alex tanpa keraguan.
"Dia cantik ya?" Tanya Shely tiba-tiba. Ia merasa kehadiran gadis yang dijodohkan dengan Alex mengancam keberadaannya.
"Apa?"
"Cewek itu. Pasti cantik kan?"
Alex terkekeh mendengar pertanyaan Shely. "Sejak kapan kamu jadi kekanakan kayak gini..." Alex menyindir tingkah kekasihnya yang bertingkah seperti wanita tak percaya diri.
"Kenapa kamu gak jawab aku Alex? Is it because she's pretty that's why you want to marry her?"
"I wont answer that stupid question!" sahut Alex sembari menatap tajam pada Shely.
Alex tak ingin berbohong. Ia mengakui bahwa Rosa memang cantik. Rosa masih muda, lebih terkesan natural dan murni. Shely? Cantik luar biasa, setara dengan artis ibukota. Tapi kecantikannya telah tertimpa berbagai macam perawatan dan upgrade sana sini. Mereka berdua tak bisa dibandingkan. Alex tak ingin memberikan jawaban apapun yang membuat ia menjadi serba salah.
"Aku udah bilang sama kamu Shel. Aku nikahin dia karena permintaan kakek. Terserah kamu mau percaya atau enggak" tegas Alex.
"Terus yang kamu bilang ke aku malam itu bakal kamu lakuin?" Bukannya mundur, Shely justru semakin mencecar Alex.
"Maksud kamu?"
"Gak usah pura-pura lupa Al. Kamu tau persis maksud aku.." jawab Shely yakin sembari tak gentar memandang Alex.
Alex menyipitkan mata balas memandang tajam seorang Shely Tania. Wanita itu benar, ia masih ingat perkataannya pada Shely di malam ia memberitahu masalah perjodohannya. Perkataan yang mungkin suatu saat nanti akan Alex sesali pernah terucap dari bibirnya.
"I know what you mean..." jawab Alex tak mengingkari. Sembari mengambil satu helaan nafas ia kemudian melanjutkan."Tapi satu yang pasti. Sekarang ini... Whatever happened between us is over..."
"Aku gak tau kedepannya akan seperti apa. Tapi yang jelas aku sangat kagum dengan kegiatan-kegiatan filantropi-mu itu. Dan aku akan selalu support kamu..." ujar Alex dengan nada yang lebih pelan. Ia ingin mengakhiri percintaannya dalam damai. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan dan mengapresiasi hal baik yang ada di dalam diri Shely agar wanita itu tak larut dalam kesedihan.
Mendengar pernyataan Alex, bukannya gembira Shely justru kembali menangis sampai terisak di tangkupan tangan. Alex jarang sekali melihat Shely menangis tersedu-sedu seperti itu. Hatinya langsung bersimpati melihat shely bersedih karena dirinya. Alex kemudian meraih pundak Shely yang naik turun.
"Hey... we still can be friends, right? I'm not going anywhere" ucap Alex berusaha menenangkan. Shely melepaskan tangkupan tangannya dan memandang Alex dengan wajahnya yang basah.
"Boleh aku minta satu hal terakhir dari kamu sayang?" Pinta Shely masih memanggil Alex dengan sebutan sayang nya.
"Apa?" Tanya Alex.
"A kiss. Just one last kiss" ucap Shely dengan mata berkaca-kacanya menatap Alex begitu intens. Memohon pria itu untuk menciumnya untuk terakhir kali. Alex tersenyum miring mendengar permintaan Shely.
"Okay" jawab Alex sembari mengangguk walau sebenarnya hatinya sedikit ragu. Alex kemudian menarik pelan tengkuk Shely dan menempelkan bibirnya pelan. It just a kiss to seal a goodbye, nothing more. Alex menganganggap itu adalah ciuman perpisahan, tidak lebih.
Berapa saat larut dalam ciuman terakhirnya dengan Alex, Shely mulai meminta lebih. Ia mencium Alex penuh gairah dan menyusupkan tangannya kebalik jas dan menanggalkan pakaian luar pria itu.
"Gak apa-apa kita lakuin disini. Gak ada yang lihat..." bisik Shely nakal di telinga Alex sambil meraih ikat pinggang pria itu untuk ia lepaskan.
"Stop Shel. I can't do this" tolak Alex tiba-tiba dan tegas. Ia melepaskan pelukan Shely dan mendorong tubuh gadis itu ke belakang. Mata Shely membulat mendapati penolakan Alex. Padahal selama ini pria itu tak pernah menolak bercinta dengannya.
Alex menghela nafas dan menatap Shely serba salah. Ia meraih jas nya yang tergeletak di atas lantai kemudian menatap gadis itu lekat-lekat.
"I have to go..." Alex mengucapkan kata perpisahan sebelum ia melangkahkan kaki keluar dari ruangan Shely. "You will be fine. I know" tambahnya lagi sambil menepuk pelan pundak Shely, ia melontarkan kalimat penghiburan untuk wanita itu.
Alex kemudian membalikkan badan dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Ia sempat terhenti ketika meraih handle pintu namun meyakinkan diri untuk tak menoleh kebelakang.
Hubungannya dengan Shely telah berakhir. Yang ada di depannya adalah masa depannya bersama Rosa. Begitu kiranya pikiran Alex saat itu.
Alex akhirnya membuka pintu dengan mantap dan berlalu dari pandangan Shely begitu saja.
Sementara itu Shely masih tertegun tak percaya dengan bersandar pada tepi meja. Airmatanya semakin deras mengalir seiring kepergian pria yang ia cintai. Ia merasakan kecewa yang sangat mendalam, tak hanya pada mantan kekasihnya, tapi juga pada sesosok perempuan yang bahkan belum pernah ia temui, perempuan yang sanggup mengambil Alex dari sisinya.
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
