
“Aku janji, aku akan datang setiap satu tahun sekali. Saat liburan tahun baru.” Itu merupakan kalimat yang selalu tersimpan di sisi lain ingatanku.
Bimo Saputra adalah sosok yang mengatakan kalimat tersebut. Membuat diriku selalu terikat dengan dirinya. Sekeras apapun hati dan pikiran ini ingin melupa, semua kenangan indah yang bercampur bersama kesedihan terus bermunculan.
Hanya satu yang ingin ku lakukan, mengakhiri semua dengan cepat. Akan tetapi, bahkan mencarinya tidak menghasilkan apa pun. Aku hanya dapat menunggu dan menunggu.
Prolog
Awan semu yang berterbangan mulai memudar dan berubah menjadi sedikit cerah. Pepohonan yang terkena derasnya hujan terlihat sangat senang. Udara sekitar café terasa begitu segar tanpa polusi.
Di sinilah aku, sebuah café yang terletak di sekitaran puncak Bogor. Dengan ditemani secangkir teh panas yang telah kosong beberapa kali. Menunggu adalah sebuah kegiatan yang sangat membosankan, tetapi aku tetap melakukannya.
Duduk seorang diri sejak pukul sebelas siang hingga jarum jam telah menunjuk angka tiga. Sudah lama aku terduduk tanpa melakukan apa pun, bahkan lapar pun tetap tertahan. Sejenak aku berpikir beberapa hal hingga satu keputusan telah diambil. Aku segera pergi setelah membayar tagihan minuman teh hangat.
Sepanjang perjalanan menaiki bus dari Bogor ke Jarakta, aku hanya duduk diam di kursi ke tiga dari depan. Membutuhkan waktu kurang lebih dua jam, kini bus telah terparkir rapi di Terminal Kampung Rambutan. Saat baru melangkah keluar dari bus, terdengar dering ponsel dari tas selempang hitam yang ku kenakan.
Saat mata ini melihat nama laki-laki yang membuatku menunggu lama. Aku angkat telepon dengan wajah malas. Terdengar jelas, laki-laki di seberang sana meminta maaf karena tidak dapat hadir.
“Setidaknya, kamu mengirim pesan. Jadi, aku tidak perlu menunggu. Bahkan kamu tidak membalas pesanku.” Setelah mengatakan beberapa kata, aku mematikan ponsel dan pergi meninggalkan terminal.
Marah dan kesal, itulah yang kini tengah aku rasakan. Mungkin karena harapan yang terlalu tinggi, seharusnya aku tetap mengubur semua itu dan jangan pernah dikeluarkan. Akan tetapi, hati ini selalu berharap.
~~~~¤ If It's You ¤~~~~
Chapter 1 Dua Merpati Yang Bertemu
Pagi ini, aku terbangun lebih awal dan melakukan beberapa rutinitas pagi yang membosankan. Senyumku mengembang saat semua pekerjaan usai, seperti mencuci pakaian, bebersih kontrakan, dan memasak. Aku pun telah bersiap diri untuk menghadiri sebuah pameran lukisan.
Namun, aku harus menuju ke perpustakaan umum untuk mengembalikan buku. Setelah dari perpustakaan, ku lanjutkan pergi ke galeri seni lukisan. Galeri ini terlihat begitu ramai oleh orang-orang yang datang bersama dengan teman, kekasih, ataupun keluarga. Sedangkan diriku ini, hanya datang seorang diri.
Kaki ini terus berjalan dan mengamati setiap lukisan yang terpasang di dinding putih. Aku masih terus melangkah pelan, hingga sebuah lukisan membuat kaki ini berhenti seketika. Ku amati lukisan yang mengingatkan akan masa lalu. Dengan senyum terpaksa, aku kembali melangkah dan melihat-lihat beberapa lukisan lagi.
Baru berjalan beberapa langkah. Kaki ini berhenti saat melihat seseorang berdiri di depanku. Saat sepasang mata cokelat kehitamanku melihat, seorang pria perawakkan tinggi dan kekar. Tengah menatapku dengan mata cokelat kehitamannya. Sejenak aku berpikir, ‘Apakah aku mengenalnya?’ itulah pertanyaan yang pertama kali muncul. Akan tetapi, pria tersebut hanya tersenyum kecil. Dengan penuh keberanian, aku bertanya kepadanya.
“Apa kita saling kenal?” tanyaku.
“Ah, maaf kamu pasti kaget. Aku Bimo Saputra, teman masa kecilmu. Aku tidak menyangka akan bertemu di sini.” ucap pria yang memperkenalkan diri sebagai Bimo Saputra dan mengulurkan tangan kanannya. Mengajakku untuk bersalaman, tetapi dengan wajah terkejut. Aku diam untuk sesaat, hingga Bimo menarik tangan kanannya.
“Aku tahu, kamu pasti kaget. Bagaimana jika kita pergi untuk makan siang, sekalian mengobrol?” ucap Bimo yang masih memasang senyum di wajah.
Dengan masih terkejut, aku mengiyakan tanpa sadar. Itu seperti sesuatu yang berada di hati terus mengendalikan diriku. Setelahnya, kini di sinilah diriku. Duduk di depannya yang tengah menyeruput kopi latte. Berbeda dengan ku yang hanya mendiamkan gelas berisi es kopi tersebut.
“Apa kabar kamu sekarang?” tanya Bimo.
“Aku baik, bagaimana denganmu?” jawabku, meski aku tahu bahwa pertanyaannya hanya sebuah basa-basi antara teman lama.
“Aku juga baik, kamu sekarang kerja apa?” tanyanya.
“Aku penulis blog dan sesekali kerja part time di café teman,” jawabku, mencoba untuk tenang, tetapi Bimo hanya menjawab ‘ah’ tanpa embel-embel lain. Aku memberanikan diri untuk bertanya mengenai pekerjaannya juga. Dengan tetap tersenyum, Bimo menjawab ‘Aku jadi Arsitek’ dan aku juga hanya ber 'oh' ria.
Untuk beberapa menit, aku terdiam tanpa bersuara. Begitu pula dengannya yang ku lihat tengah memakan nasi goreng. Tanpa berkata lagi, ku sentuh nasi goreng di meja dan memakannya dalam diam. Suasana ini terasa seperti di sebuah ruangan rapat, di mana semua merasa tegang dan gelisah. Itulah yang kini tengah terjadi kepadaku, lebih tepatnya. Inilah yang tengah aku rasakan, bertemu teman lama dan special. Setelah makanan tidak tersisa sedikit pun, kita kembali melanjutkan obrolan yang masih belum mencapai akhir.
“Sudah 10 tahun sejak itu, aku minta maaf karena tidak dapat menepati janji. Aku benar-benar minta maaf,” ucap Bimo yang tengah menatap ke arah mataku. Dengan sedikit gugup, aku hanya menjawab ‘Ah, ya. Tidak perlu dipikirkan. Lagian aku sudah lupa,’ itulah yang keluar dari mulut ini tanpa disaring terlebih dahulu.
“Kamu lupa?” ucap Bimo ulang yang terdengar seperti bertanya dan aku hanya menjawab ‘Iya,’ tanpa embel-embel lain di belakang kata.
“Ah, baiklah.”ucapnya lagi.
“Ayo kita akhiri ikatan lama ini. Kita tidak bisa terus melihat ke belakang, inilah aku. Aku sering lupa terhadap banyak hal, jadi, daripada kita teruskan dan mungkin akan menyakiti satu sama lain. Mari kita akhiri,” ucapku memberanikan diri untuk berkata yang ingin aku ucapkan.
“Kita baru saja bertemu lagi sejak lama, tapi kamu langsung ingin memutusnya lagi. Apa kamu serius?” tanyanya lagi dan membuat diriku terdiam untuk beberapa saat. Untuk waktu yang singkat, hati dan otakku terus bertarung. Mencari jawaban yang ku inginkan. Aku menarik dan mengembuskan napas.
“Apa menurutmu aku becanda?” tanyaku.
Chapter 2 Hati Yang Kacau
Setelah mengatakan itu, dapat ku lihat wajah Bimo yang sedikit memerah. Aku tahu pasti, bahwa aku salah mengatakan hal tersebut. Akan tetapi, sudah sejak lama sekali aku memiliki keinginan untuk bertemu lagi dan mengakhirinya. Tentu di balik semua itu terdapat alasan yang sangat klise. Aku hanya ingin menjalani kehidupan tanpa memikirkan masa lalu. Akan tetapi, wajah sedikit memerah Bimo menghilang beberapa detik kemudian.
“Aku tidak mau,” jawab Bimo yang terdengar jelas kedua telingaku. Aku hanya diam dan menatapnya. Yang kini tengah menatapku dengan masih memasang wajah seriusnya.
“Kenapa?” tanyaku dengan memasang wajah serius.
“Bisakah kamu memberiku kesempatan. Aku tahu, ini mungkin tidak adil. Jika dilihat dari sudut pandangmu, tapi, bisakah kamu mendengarkan sedikit kisah ku. Mungkin juga, kamu akan menganggap bahwa ini hanya sebuah alasan. Aku tidak peduli, tapi berikan aku kesempatan untuk menjelaskan. Sekali saja,” ucap Bimo. Entah kenapa, hati ini. Lagi dan lagi, meminta untuk memberikan harapan. Dan aku hanya dapat mengiyakan hal tersebut, mendengarkan dalam diam semua kisah yang ingin diceritakannya.
Hal pertama yang terlintas di benak ku saat mendengar kisahnya, sedih, sakit, rasa bersalah, dan kasihan. Bahkan, sepasang mata ini telah siap untuk mengeluarkan cairan bening itu. Akan tetapi, aku terus mencoba untuk menahannya dengan sekuat tenaga.
“Sekali lagi, aku minta maaf karena tidak dapat menepati janji. Ini semua memang salahku,” ucapnya yang terdengar telah memasrahkan diri. Tanpa sadar, aku menjawab. Yang mengartikan sebuah harapan untuk dirinya. Setelah obrolan yang cukup panjang tersebut. Bimo terus memaksa untuk mengantarku. Lagi dan lagi, aku menyerah. Membiarkannya untuk mengantar pulang diriku.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memainkan ponsel pintar di tangan kanan. Melihat postingan-postingan di beranda media sosialku, sesekali ku lirik Bimo yang tengah fokus menyetir. Beberapa menit kemudian, mobil yang ku tunggangi berhenti tepat di depan sebuah minimarket dekat jalan gang. Setelah mengatakan rasa terimakasih, aku turun dan berjalan menuju kontrakan.
Sesampainya, aku menaiki anak tangga satu per satu hingga kini telah berada di lantai tiga. Saat aku akan membukanya, tetapi pintu tersebut sama sekali tidak terkunci. Anehnya, tidak ada sepatu dan sandal lain di rak penyimpanan alas kaki yang terletak tepat di depan kontrakan tersebut.
Aku masuk dengan cepat dan melihat wanita berambut hitam kecokelatan panjang. Yang tengah terduduk di sofa dengan sebuah bir di tangannya. Setelah menutup pintu dengan rapat, aku berjalan mendekat dan duduk tepat di samping kirinya. Ku lontarkan pertanyaan yang selalu didengar di saat memiliki atau terjadi masalah.
“Aku dapat zonk. Dia sudah memiliki isteri dan lagi, aku jadi pelakor. Ini tidak adil, kenapa aku selalu berakhir seperti ini? Apa karena aku mudah ditipu? Ha, ini menyebalkan. Bagaimana denganmu?” jawab wanita tersebut dan memberikan pertanyaan yang sama kepadaku.
“Hmm, aku. Hari ini, tidak sengaja bertemu dengannya lagi.” Aku menjawabnya dengan helaan napas kasar.
“Kenapa? Bukankah itu bagus, kenapa kamu menghela napas dengan kasar? Apa ada yang salah?” Wanita di sampingku ini dan merupakan sahabat karib. Kembali memberikan pertanyaan yang bertubi.
“Aku baru tahu, alasan dia tidak dapat menepati janjinya. Kamu tahu bukan, aku memiliki harapan, jika aku bertemu dengannya. Aku ingin mengakhiri semua ikatan itu, tapi, setelah mendengar cerita dibalik dia tidak menepati janji. Itu membuat hati ku berkecamuk,” jawabku dengan begitu panjang.
“Apa itu berkecamuk? Janganlah pakai bahasa khayangan!” tanyanya dengan nada kesal.
“Hati ku kacau. Tanpa sadar, aku memberikan dia harapan. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” ucapku dengan bertanya untuk diri sendiri.
“Bukankah kamu hanya perlu mengikuti kata hati. Kenapa harus ragu?” ucapnya lagi. Dengan meneguk habis isi botol bir, sahabatku ini berdiri dari duduknya dan menuju dapur. Sedangkan diriku, masih berkelahi dengan hati dan pikiran. Hanya dapat membuat diri sendiri dalam kesulitan dan kebingungan. Inilah yang aku benci soal percintaan, hanya terdapat dua pilihan. Berhenti atau tetap maju.
Akhirnya, aku memilih untuk berjalan satu langkah. Dengan membawa perasaan yang masih sangat abu-abu ini. Aku membukanya dan memberikan sebuah kesempatan. Tidak berapa lama, sahabatku itu kembali dengan membawa satu buah bir dan gelas berisi cairan berwarna merah. Kami menghabiskan beberapa waktu sebelum tidur dengan mengobrol, bercerita, dan saling memberikan saran.
Chapter 3 Ditolong
Setelah obrolan yang cukup panjang, kami mengistirahatkan diri. Sahabat karibku telah tertidur dengan lelap. Akan tetapi, tidak dengan diriku yang masih terjaga di depan komputer. Padahal jam telah menunjukkan angka dua belas. Aku masih sibuk memainkan jari-jari di atas keyboard, mengumpulkan setiap kata hingga menjadi satu paduan kalimat.
Namun, tidak dengan otak ini yang terus memikirkan kisah tentang dia. Alasan dibalik tidak dapat menepati janji, aku merasa seperti orang yang sangat jahat. Bahkan, tidak pernah terbayangkan seperti apa sakitnya saat itu terjadi kepada dia. Aku tidak berani menceritakan hal ini kepada orang lain. Tujuanku untuk mengakhiri semua ini telah sirna. Sekarang, hati dan pirikan ini seolah tengah bertarung lagi. Memastikan apakah aku memang benar-benar mencintainya atau hanya sebatas rasa kasihan.
Dengan kasar ku embuskan napas dan mematikan komputer. Mengakhiri kerjaan malam ini yang hanya mendapatkan 10 paragraf. Dengan sebuah paksaan, kedua mata ini ku paksa untuk menutup. Menghilangkan semua pikiran, mengkosongkan, dan merilekskannya. Meski aku telah melakukan semua itu, setidaknya butuh waktu 1 jam untuk benar-benar terlelap dalam tidur.
Malam yang gelap ini tergantikan oleh terangnya langit, suara kokok ayam terdengar di seluruh penjuru kamar. Dengan malas, aku bangun dan bersiap untuk pergi bekerja. Setelah semua siap, aku pergi untuk bekerja. Meninggalkan sahabatku yang masih tertidur dengan sangat lelap. Sesampainya di tempat kerja, aku membantu pegawai lain untuk bersiap-siap membuka café.
Setelah persiapan selesai, tepat jam makan siang. Para pelanggan berdatangan dan kami mulai sibuk untuk melayani mereka semua. Akan tetapi, di saat aku tengah membereskan meja. Terjadi sebuah kecelakan, di mana salah satu pegawai terlihat tengah kena marah oleh pelangan. Aku meminta pegawai lain untuk menggantikan pekerjaan membersihkan meja. Aku melangkah mendekat dan bertanya kepada sang pelanggan.
Masing-masing dari mereka mulai menceritakan kronologi. Tentu dari sudut pandang keduanya dan yang dikatan mereka bertolak belakang. Sang pelanggan mengatakan, bahwa dia sama sekali tidak memesan makanan tersebut. Begitu pula dengan Yuli sang pegawai yang mengatakan bahwa pelanggan itu memesan makanan itu.
Dengan berlapang dada, aku menundukkan kepala dan meminta maaf atas keteloderan pegawai. Bahkan Yuli meminta maaf berulang kali, meski dia tahu itu bukan salahnya. Akan tetapi, lontaran yang keluar dari pelangan tersebut. Membuatku mengubah wajah lembut dan sopan ini menjadi sangat serius. Ku lihat wajah semua pelanggan meja tersebut satu per satu. Wajah mereka seakan merendahkan kami.
“Maaf, para tuan dan nyonya. Kami telah meminta maaf, tapi respon kalian seperti ini. Apa dengan kalian memiliki banyak uang, dapat merendahkan orang lain? Yah, kami memang orang miskin. Memang kenapa? Apa kalian bisa memainkan kami? Tidak, ha. Menyebalkan sekali. He, kalian sudah berkali-kali datang ke sini dan selalu seperti ini. Apa? Kami yang salah tulis. He, kalian lah yang selalu memainkan kami. Bukankah ini kelihatan jelas. Meski kalian satu tempat kuliah dengan Yuli, apa kalian berhak untuk menganggunya seperti ini? Dasar pecundang.” Aku keluarkan semua amarah terhadap segerombolan orang yang berasa dapat membeli apa pun dengan uang mereka. Aku tidak lagi menahan diri, bahkan semua pelanggan berfokus ke meja kami. Aku tidak peduli.
Salah satu pelanggan wanita yang tengah duduk, kini berdiri dan mulai mengeluarkan suara sumpahnya. Sedangkan aku, hanya membalasnya lebih lagi. Bahkan, perkataanku ini membuat pelanggan wanita mengangkat tangan. Bersiap untuk melayakannya, tetapi seseorang menghentikan pergerakan tangan pelanggan wanita.
“Maaf, ikut campur. Tapi, apa yang dikatakan pelayan ini benar. Kalian memesan makanan tersebut, aku punya bukti.” Aku yang mendengar suara orang tersebut, hanya diam dalam bisu. Akan tetapi, fokusku kembali datang saat seorang perempuan berpakaian olahraga menunjukkan video di ponselnya. Hal tersebut membuat mereka merasa malu dan dengan terpaksa memohon maaf. Setelahnya, aku berbicara dengan sang penolong itu yang merupakan teman kecilku, si Bimo.
Kami mengobrol dalam waktu yang sangat singkat, hanya untuk berterimakasih. Akan tetapi, aku memberikan informasi kapan jam pulang. Sepertinya, aku benar-benar sudah gila dan terlalu percaya diri. Setelah kepergian Bimo dan perempuan berpakain olahraga tersebut. Aku kembali sibuk dengan pekerjaan hingga siang telah berubah menjadi malam. Setelah café telah bersih dan rapi, kami semua berpisah. Beberapa dari kami juga tengah menunggu ojek online. Sedangkan diriku, baru saja akan memesan. Akan tetapi, seseorang yang familiar tertangkap oleh penglihatanku.
Aku yang bingung dengan kedatangan Bimo, memberikan pertanyaan simple dan tidak perlu. Setelah mendapatkan jawaban, aku dan Bimo pergi meninggalkan teman-teman pegawai yang masih menunggu kendaraan pesanannya. Aku menaiki mobil milik Bimo tanpa mengatakan apa pun lebih lanjut. Sepanjang perjalanan, terjadi obrolan kecil hingga kami memutuskan untuk makan malam di angkringan. Kami makan dalam keadaan hening dan sibuk dengan makanan masing-masing, hingga semua telah habis tanpa tersisa sama sekali. Yang aku dengar pertama adalah tawa kecil Bimo.
“Kenapa? Apa ada sesuatu di bibirku?” tanyaku dengan cepat mengecek sekitar mulut dengan tisu.
“Tidak ada apa-apa, kamu lucu saat makan dan sangat lahap.” Aku yang mendengar jawaban Bimo sedikit tersinggung dan kesal. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba untuk membela diri tentang napsu makanku dan program diet. Akan tetapi, Bimo hanya menjawab ‘Iya’ dengan tersenyum jahil. Sikap inilah yang tidak aku senangi darinya. Sejak hari pertama menjadi teman kecil, si Bimo ini sangat jahil. Bersama dengan sahabat karibnya. Mereka sama-sama memiliki tingkat kejahilan yang amat sangat tinggi. Setelah membayar semua pesanan itu, Bimo mengantarku pulang. Meski masih terlihat canggung, tetapi kami mulai sedikit menghilangkan rasa canggung.
Dengan senyuman di wajah, aku duduk di samping kiri Laras Asri sang sahabat karib yang tengah menenggelamkan kepala di kedua lutut. Aku beranikan diri bertanya, "Kamu kenapa?".
"Aku tamat, isteri dia terus menelepon. Ah, sepertinya aku harus meninggalkan apartemen itu. Kamu mau tidak bantu aku?" tanya Laras dengan wajah memohon.
"Bantu apa?" tanyaku balik.
"Tolong, ambilkan barang-barang aku di apartemen. Aku tidak tahu nasibku, kalau aku yang mengambil barang-barang. Tolonglah, sahabatmu ini." Laras memohon dengan sangat kepadaku. Dikarenakan rasa kasihan, aku mengiyakan cepat. Setelah itu aku memilih untuk istirahat dan meninggalkan Laras sendiri.
Chapter 4 Kecan Singkat
Aku benar-benar menepati janjiku untuk mengambilkan semua barang-barang milik Laras dan sinilah diriku. Mengepak semua barang, gerakan tangan ini berhenti saat mendengar suara bel berbunyi beberapa kali. Ku buka pintu itu dan terkejut saat seorang perempuan masuk dengan tidak sopan. Aku beranikan diri untuk bertanya, "Maaf, Ibu ini siapa? Kenapa masuk dengan tidak sopan?".
"Lalu, kamu sendiri siapa? Apa kamu juga selingkuhan suamiku? Di mana perempuan itu? Apa kamu bersengkokol dengan perempuan itu?" Perempuan itu memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi sebagai jawaban untukku.
"Ah, aku penghuni baru apartemen ini. Aku baru membelinya kemarin," ucapku yang terpaksa berbohong.
"Kamu serius? Kamu tidak berbohong?" tanyanya lagi kepadaku dan aku hanya mengiyakannya begitu saja.
"Dia bahkan menjual apartemen ini, dasar jalang. Kalau aku bertemu dengannya, aku akan membunuhnya." Perempuan itu pergi setelah mengeluarkan celoteh kasar. Aku merasa lega setelah kepergiannya dan kembali membereskan barang.
Semua barang telah rapi di kotak masing-masing, beberapa detik kemudian para pekerja pengantar barang datang dan membawa semuanya menuju kontrakan tempatku. Sebelum menyusul pulang, aku membersihkan seluruh ruangan dan menutup rapat sofa, lemari, tempat tidur, dan semua barang-barang yang dapat dijual dengan kain putih.
Aku istirahatkan diri sebentar di sofa dan tertidur karena kantuk yang datang, hingga suara ponsel berdering membangunkan ku. Dalam keadaan setengah sadar, ku angkat telepon tersebut.
"Hallo .... Apa? .... Siapa yang datang? .... Bimo? Untuk apa dia datang? .... Ah, baiklah. Aku akan segera pulang setelah menyelesaikan semua pekerjaan."
Setelah menerima telepon, aku bergegas membereskan semuanya dan pulang. Dan benar, Bimo tengah duduk menunggu dengan mengobrol bersama Laras. Dia tersenyum senang saat aku datang dan duduk di dekat Laras.
"Ada apa kemari?" tanyaku.
"Baru sampai kenapa langsung tanya? Basa-basi dulu gitu," ucap Laras memberiku cubitan.
"Kamu tahu betul, kalau aku tidak bisa basa-basi." Aku membalasnya.
"Aku datang ke sini, ingin mengajakmu nonton. Aku datang ke cafe, tapi teman-temanmu bilang, kamu tidak masuk karena bukan jadwal kerjamu. Jadi, aku datang ke sini." Bimo menjelaskannya tanpa ada yang tertinggal.
"Ah, aku kerja hanya di saat mereka sedang membutuhkan tenaga lebih. Jadi, terkadang aku kerja dan terkadang tidak." Aku pun ikut menjelaskan mengenai pekerjaanku sebagai pelayan di cafe temanku itu.
"Tanpa kerja pun, uang dia sudah banyak. Dia main trading saham, dalam sehari bisa dapat satu juta. Dia hanya terlalu baik dengan membantu temannya ...." Aku memberikan tatapan tajam dan membuat Laras terdiam seketika.
"Aku akan ganti pakaian dulu, setelah itu kita pergi." Aku pergi ke kamar setelah mengatakannya, memilih pakaian yang akan ku kenakan. Dari banyaknya pakaian, aku hanya memilih hoodie berwarna cream dengan dipadukan celana jeans panjang dan sepatu sneakers hitam.
Saat aku keluar, Laras memprotes cara berpakaianku. Dengan tidak mendengarkan ocehan Laras, aku menarik tangan Bimo untuk bergegas pergi. Di dalam mobil, aku hanya diam dan fokus dengan ponselku.
"Apa ponselmu semenarik itu?" tanya Bimo, memecahkan keheningan ini.
"Tidak, aku hanya sedang membalas chat Laras. Aku bukan tidak ada niatan untuk cuek ke kamu," ucapku menjawab pertanyaan Bimo.
"Tidak apa-apa, apa yang kalian bahas?" tanya Bimo lagi kepadaku.
"Ah, dia marah karena penampilanku. Aku lebih nyaman berpakaian seperti ini," jawabku dengan mematikan ponsel.
"Aku suka penampilanmu yang seperti ini, kamu terlihat manis dan lucu, jadi, itu tidak jadi masalah." Seketika wajahku sedikit memanas saat mendengar ucapan Bimo. Aku memalingkan wajah, mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang entah kenapa datang ini, senang dan malu.
Tidak lama kami telah tiba di salah satu mall terbesar di Jakarta. Kami terduduk di kursi penonton bagian tengah-tengah, tidak terlalu dekat dan tidak jauh juga. Sejujurnya, aku tidak begitu suka film bergenre romance, terkadang jika ceritanya membosankan, aku akan mengantuk. Sama seperti sekarang, aku menahan diri untuk tidak menguap dan fokus pada layar besar di depan sana.
Satu jam lebih kami menonton dan kini tengah menyantap makanan di sebuah restoran masakan Nusantara. Setelah selesai, kami pulang dan aku selalu mendapat pertanyaan dari Laras. Dengan malas aku tetap menjawab semua pertanyaannya, tetapi aku terdiam saat Laras bertanya mengenai perasaanku saat ini.
Aku terdiam dan merenungkan semuanya. Pasalnya, aku adalah perempuan yang mati rasa. Aku akan terbuka dan baik kepada laki-laki manapun, bukan karena aku mempermainkan mereka. Aku juga berteman dengan perempuan. Akan tetapi, itu karena tidak ada rasa. Dikarenakan ini, orang-orang selalu berkata aku ini wanita jalang dan murahan. Terlalu sering mendengarkan ucapan mereka, aku jadi terbiasa dan menjadi acuh. Menutup kedua telinga dan masa bodo terhadap orang-orang seperti itu. Meski terkadang, saat sedang stress, aku akan memikirkan apa yang keluar dari mulut mereka. Akan tetapi, itu hanya untuk sesaat dan tidak lama. Ku gelengkan kepala dan pergi ke kamar untuk istirahat.
Chapter 5 Bercerita Kepada Teman Kecil
Keesokan harinya, seperti biasa. Di pagi hari aku selalu meluangkan waktu untuk bermain saham, salah satu kegiatan sampinganku. Pekerjaan utamaku adalah penulis blog yang berisi tentang cerita fiksi dan dunia literasi. Meski penghasilan tidak seberapa, tetapi karena suka, itu tidak jadi masalah. Saat tengah fokusnya melihat pergerakan saham, Laras duduk di samping kiriku dengan masih mengenakan jas handuk.
"He, ajari aku main saham. Biar aku tidak perlu kerja di bar," ucap Laras.
"Aku tidak bisa mengajar, aku pun belajar secara mandiri. Sulit untuk menjelaskan kepada orang lain," balasku dengan jujur.
"Main saham itu susah tidak?" tanya Laras lagi.
"Susah-susah gampang, ini juga beresiko. Setahuku ada dua jenis, ada yang jangka panjang dan jangka pendek. Tapi keduanya sama-sama memiliki resiko," jawabku dengan sedikit menjelaskan sesuai yang ku ketahui.
"Ah, menurutmu lebih baik yang mana untuk pemula?" tanya Laras lagi.
"Terserah, kalau aku awalnya main yang jangka pendek, baru main yang jangka panjang. Semua kembali ke masing-masing," jawabku. Kami mengobrol dengan sangat panjang hingga dering ponsel membuyarkan obrolan ini.
Setelah selesai dengan bermain saham, aku melanjutkan pekerjaan menulis yang belum mencapai target sehari. Kurang lebih satu jam aku memainkan jari-jari di atas keyboard dan telah mencapai 700 kata. Ku regangkan tubuh ini, setelah merasa lebih baik. Target menulisku dalam sehari hanya sebesar itu, mungkin bagi orang lain itu sangat-sangat sedikit.
Namun, itu sudah banyak. Jika lebih dari itu, aku tidak dapat menikmati kesukaanku ini. Anehnya, kesukaan dan fakultas yang aku ambil saat kuliah tidak nyambung sama sekali. Itu lucu, menurut pribadiku sendiri. Setelahnya, aku mulai sibuk mengerjakan urusan rumah, seperti mencuci pakaian, bersih-bersih, dan memasak.
Sekarang aku telah harum dan mengganti pakaian. Hanya celana olahraga berwarna hitam sedikit kebesaran dan kaos panjang biru. Saat aku akan mengambil nasi, dering ponsel terdengar. Aku mengangkatnya cepat saat sebuah nama yang sangat ku kenal tertera di layar ponsel.
"Hallo, Tuan. Heri terhormat." Aku menyapa dengan tujuan menjahilinya. Kami berbicara untuk beberapa detik.
Percakapan Aku dan Heri.
Aku : Hallo, Tuan. Heri terhormat. Ada gerangan menelpon?
Heri : Ah, ada yang saya ingin bicarakan dengan anda. Apa kita dapat pergi untuk makan sambil mengobrol?
Aku : Baiklah Tuan. Dengan senang hati saya menerima ajakan anda. (Aku terkekeh kecil)
Heri : Udah, jangan diterusin lagi. Aku menemukan warung bakso yang terkenal enak, mau makan bersama? Sekalian ngobrol soal menu baru yang ingin aku buat.
Aku : Ok, aku the tunggu.
Setelah selesai mengobrol, aku mengambil tas selempang kecil dan menunggu hingga Heri datang. Dia merupakan temanku sejak kecil, nama panjangnya Heri Julian, lahir 15 Mei 1997. Wajahnya Lonjong dengan kulit kuning langsat. Dia baik, tetapi sangat jahil. Tidak perlu menunggu lama, terdengar ketukan pintu dan aku tersenyum lebar saat melihat Heri.
Tanpa banyak bicara, kami bergegas pergi ke warung bakso. Sesampainya, Heri memesan dan sedangkan aku duduk dengan tenang. Heri kembali dengan membawa dua gelas berisi es dan air putih.
"Jadi, kamu mau bikin menu baru apa? Menu manis udah ada, pedes udah ada. Menu yang agak berat, tapi mudah dibuat juga ada." Aku membuka pembicaraan langsung ke intinya.
"Kamu memang tidak bisa diajak basa-basi, aku belum tahu. Menurutmu, aku harus membuat menu apa lagi?" tanya Heri kepada.
"Hmm, apa ya. Aku juga tidak tahu," balasku dengan wajah bingung.
"Bagaimana dengan bakso? Atau Mie Instan? Menurutmu bagaimana?" tanya Heri lagi.
"Dua-duanya bagus," jawabku dan saat itu juga bakso pesanan kami tiba.
"Di Cafe belum ada menu berkuah, hanya ada cemilan kecil dan nasi goreng. Jadi, aku ingin memasukan menu dari Mie dan bakso, akhir-akhir ini banyak yang memilih makan siang dan nongkrong di cafe. Jika, menunya semakin banyak, bukankah itu bagus." Heri menjelaskan tujuannya membuat menu baru.
"Itu bagus, jadi, antara bakso dan mie. Kamu mau ambil yang mana? Tidak bisa dua," tanyaku lagi.
"Menurutmu yang mana?" Aku memasang wajah serius saat Heri bertanya lagi.
"Jika aku adalah kamu, pilih makanan yang sangat dekat dan disukai banyak kalangan. Mie emang banyak yang suka, tapi bakso juga banyak yang suka. Bagaimana jika buat yang bakso dulu, lalu enam bulan kemudian bikin menu yang mie?" tanyaku sambil mengunyah sisa bakso di mulut.
"Itu bagus," jawab Heri tanpa embel-embel lain.
Kami melanjutkan menyantap bakso dengan sesekali mengobrol. Ada keinginan untuk menceritakan mengenai pertemuanku dengan Bimo, tetapi aku urungkan niat tersebut. Akan tetapi, Heri yang memang cukup tahu diriku. Dia bertanya kepadaku, "Apa ada yang ingin kamu ceritakan kepadaku? Kamu terlihat sedang berpikir keras." Aku yang mendengarnya tidak terkejut.
"Hmm, sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan Bimo setelah 14 tahun. Saat aku pertama melihatnya, aku terkejut, tentu." Aku berhenti sejenak dan melanjutkan kembali.
"Dia benar-benar sangat berbeda dan banyak berubah. Wajah ovalnya menjadi sedikit tegas, badannya juga kekar dan tinggi. Sedangkan aku, aku tetap pendek dan tidak ada yang berubah." Aku berhenti bercerita saat kedua mata ini mulai memanas.
"Kamu itu baby face, tinggimu juga rata-rata. Tidak terlalu pendek dan tinggi, apa yang dia katakan? Apa dia membuatmu tidak nyaman?" tanya Heri yang terdengar serius.
"Aku mengajaknya untuk memutus tali janji dan menjalani hidup masing-masing, tapi dia menolak. Jika ditanya aku nyaman atau tidak, entahlah, aku tidak tahu." Aku menjawab dan memberitahu keadaan hatiku saat ini.
"Lakukan seperti biasa, bukankah kamu selalu mengikuti arus. Itulah Lila yang aku kenal, meski selalu berkeluh kesah, tapi tidak pernah berhenti, jika harus mengambil keputusan, selalu dapat diandalkan. Meski salah memilih, tapi selalu tidak berhenti." Heri berucap dengan senyum tipisnya.
Dengan apa yang dikatakan Heri, aku sedikit lebih baik. Setelah selesai dengan bincang-bincang dan menyantap bakso, kami bergegas pulang. Dan di sinilah aku, berakhir di depan Tablet. Memutuskan untuk mengetik beberapa paragraf lagi, hingga malam menjemput dan ku putuskan untuk tidur lebih awal.
Chapter 6 Pertemuan Tidak Disengaja
Hari-hari kujalani seperti biasa, tidak ada kejadian yang menarik. Seperti sekarang yang tengah memasak untuk makan siang. Tidak memerlukan waktu lama untuk memasak, aku dan Laras tengah duduk bersama menyantap makan siang.
"Apa kamu udah menghubungi Bimo?" tanya Laras di tengah-tengah santap makan siang.
"Tidak, aku tidak mengirim pesan apa pun. Kenapa?" Aku bertanya balik.
"Apa kamu tidak penasaran? Kenapa dia menghilang selama 2 Minggu ini? Bahkan, dia sama sekali tidak menghubungimu. Apa kamu merasa gengsi?" Laras bertanya dengan beruntun.
"Aku tidak penasaran sama sekali, aku juga tidak tahu. Mungkin dia sedang sibuk, emang dia harus mengurusiku setiap detik. Dia juga sibuk dengan pekerjaannya, aku tidak gengsi atau semacamnya. Jika aku kirim pesan, aku harus kirim pesan apa?" tanyaku lagi.
"Ah, aku lupa kalau kamu itu kan kurang suka basa-basi. Aku yang salah karena bertanya," ucap Laras.
Kami melanjutkan makan siang dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Dengan sesekali mengunyah, aku pun memiliki keinginan untuk mengirim pesan, tetapi ku urungkan niat itu. Saat aku akan menaruh ponsel, pesan masuk terdengar dan tertera nama Bimo. Ku buka pesan tersebut dan mulai saling berbalas satu sama lain.
Saat tengah fokus membalas pesan, Laras mendekatiku dan mengintip. Tidak hanya sebatas itu, Laras juga mengambil ponselku dan membalas semua pesan dari Bimo. Meski berkali-kali aku memintanya untuk mengembalikan ponsel, Laras tidak memberikannya, dia sangat kuat. Aku yang menyerah, hanya duduk dan melanjutkan santap makan siang. Beberapa detik kemudian, Laras mengembalikannya dengan senyuman yang mencurigakan.
Wajah ini sudah sangat kesal dengan balasan pesan di ponsel. Aku hela napas sebelum membalasnya, tetapi ku urungkan niat karena mungkin itu akan menyakiti hati Bimo dan terpaksa mengikuti isi pesan tersebut. Yang dimana berisi ajakan untuk makan malam.
Sepanjang aku mengetik cerita di laptop, Laras sibuk dengan melihat-lihat pakaian di lemariku. Mengoceh tentang pakaian yang kumiliki karena tidak ada feminimnya sama sekali. Meski seperti itu, aku punya satu gaun yang dikenakan saat pernikahan teman. Dan itu satu-satunya gaun yang kumiliki.
"Selama ini, apa hanya gaun ini yang kamu beli?" tanya Laras.
"Hmm, ya. Hanya itu yang ku punya," jawabku dengan tetap fokus mengetik.
"Apa kamu akan pergi makan malam hanya dengan menggunakan kaos dan celana panjang?" Laras kembali bertanya dengan kesal.
"Hmm, ya. Kenapa? Apa itu salah? Dia juga tidak apa-apa jika aku berpakaian seperti itu, kenapa kamu yang ribet?" tanyaku dengan santai.
"Ha, tidak bisa begini. Aku akan pilihkan gaun punyaku, kamu harus terlihat anggun dan menawan." Laras terus mengoceh sendiri dan memilih gaun untuk aku.
Tiga puluh menit telah berlalu, Laras memintaku untuk mencoba beberapa gaun pilihannya. Terdapat lima gaun berbeda warna dan setelah memikirkannya dengan keras. Laras memutuskan agar aku mengenakan gaun berwarna hitam yang panjangnya 3cm di bawah lutut, berlengan panjang, dan memiliki manik-manik berbentuk kupu-kupu beserta bunga.
Semuanya tidak berhenti di situ, dia bahkan menyuruhku untuk mengenakan lulur, masker wajah, dan bebersih lebih awal. Padahal jam baru menunjukkan pukul 15:30 WIB. Dengan tidak dapat menolak ku turuti semua ucapan Laras, hingga dua jam berlalu dan kini tengah mendapatkan Service make up dan rambut panjangku.
Tidak terasa jam telah menunjukkan pukul 18:30 WIB. Persiapan diri untuk makan malam telah selesai dan Laras hanya menampakkan wajah takjub. Bahkan dia memintaku untuk berpose dan mengambil beberapa foto, hingga ketukan pintu terdengar.
Tanpa berbasa-basi, kami meninggalkan kontrakan tempatku tinggal. Sepanjang perjalanan, aku hanya duduk diam hingga mobil ini berhenti di depan sebuah restoran mewah. Kami keluar dan duduk di meja dekat jendela yang sepertinya Bimo telah memesan tempat terlebih dahulu.
Aku membuka buku menu dengan tulisan berbahasa Inggris, memilih makanan dan minuman. Setelah pelayan itu pergi, aku hanya menundukkan kepala karena sadar akan tatapan Bimo. Aku tidak berani menatap Bimo, dikarenakan malu.
"Kamu cantik dengan gaun itu," ucap Bimo.
"Ah, ini bukan punyaku. Laras meminjamkannya kepadaku, kamu juga cocok dengan jas itu." Balasku dengan memujinya kembali dan tidak lagi menundukkan kepala.
Setelahnya kami kembali terdiam hingga pelayan datang dan menaruh pesanan dengan rapih di meja. Di saat kami akan mulai menyantap, suara seorang laki-laki tertangkap memanggilku. Aku terkejut saat mantan pacarku menyapa dengan tersenyum dan bersama perempuan berbeda dari yang terakhir aku lihat.
"Sepertinya kamu sudah bisa move on dariku," ucapnya dengan nada mengejek.
"Ya, tentu aku harus cepat melupakan orang tukang selingkuh. Kamu sendiri, sudah ada berapa perempuan yang diajak menjadi selingkuhan?" tanyaku dengan kesal. Tentu itu membuat wajahnya terkejut dengan pertanyaanku dan pergi begitu saja.
"Maaf, dia mantanku dan kami putus satu tahun yang lalu karena dia selingkuh." Tanpa ditanya aku menjelaskan dengan singkat kepada Bimo.
Bimo yang mendengar penuturan ku hanya mengangguk paham dan kami melanjutkan acara makan malam dengan mengobrol. Setelah acara makan malam usai, kami bergegas pulang tanpa melakukan kegiatan lain. Saat pintu kontrakan terbuka, Laras menarikku cepat dan memberikan begitu banyak pertanyaan.
"Kami hanya makan dan mengobrol tentang kesukaan, tidak yang disukai, dan sedikit mengenang masa lalu. Hanya sebatas itu," ucapku.
"Yakin hanya itu? Terus, kamu tidak tanya alasan dia tidak menghubungimu?" tanya Laras lagi.
"Dia sibuk dengan pekerjaan, sudah ya. Aku lelah dan mau tidur." Aku bergegas membersihkan diri, meninggalkan Laras dan tidur.
7. Makan Siang Bersama
Pagi telah tiba dan aku sibuk dengan urusan dapur, tetapi Laras hanya duduk menonton. Meski telah kenal tama, aku masih suka kesal saat Laras tidak membantu apa pun. Setelah selesal memasak, kami menyantap sarapan bersama.
"Oh, ya Lila. Aku mau tanya sesuatu, waktu makan malam Kalian mem bicarakan apa saja?" tanya Laras meski aku sudah membangun tembok agar dia tidak bertanya. Akan tetapi, dia akan terus mencoba melewati tembok itu.
"Ah, baiklah Aku akan ceritakan semuanya, dia sibuk dengan kerjaannya dan alasan kenapa dia ngajak makan malam karena dia menang tender. Jadi ya cuman makan malam biasa. Dan aku bertemu mantanku," jawabku, menceritakan semua.
"Wah, kamu ketemu sama mantan yang mana?" tanya Laras lagi.
Si yang suka selingkuh, jawabku den gan mengunyah makanan.
"Bukankah semua mantanmu emang suka selingkuh, jadi yang mana?" tanya Laras
"Yang terakhir," jawabku dengan malas.
"Ah, si Dion." Setelahnya, Laras tidak hanya berhenti di situ saja. Dia semakin menjadi-jadi dengan celotehannya, bahkan menyuruhku untuk menikahi Bimo agar hidupku tercukupi.
Tanpa menjawabnya ku tinggalkan Laras dan bersiap untuk pergi mencari buku. Setelah melewati perjalanan 30 menit dengan menggunakan angkutan kata sekarang aku tengah duduk di sebuah warung kopi di belakang Mall Menunggu beberapa saat hingga mall terbuka dan ramai pengunjung.
Jam telah menunjukkan pukul 11:00 WIB Setelah membayar, aku bergegas masuk dan menuju lantai empat-tempat toko buku berada. Aku mengelilingi se tiap rak-rak, mencoba mencari buku yang menarik perhatian Saat tengah membaca novel yang tidak tersegel, telinga ini mendengar suara percakapan dan sebuah nama yaitu Bimo. Dengan berpikir positif, mungkin hanya merip na manya. Akhirnya, aku kembali fokus membaca lembaran secara acak agi.
Namun, aku terkejut saat melihat Bimo berdiri dengan senyum lebamya. Dia be nar-benar Bimo, untuk beberapa saat aku terdiam. Suasana ini terlihat cung gung lebih tepatnya hanya aku
"Kamu sedang apa di sini?" tanyaku yang sebenarnya tidak perlu melontarkan pertanyaan.
"Aku mengantar adikku membeli buku," jawab Bimo Aku hanya ber 'oh' ria mendengar jawaban Bimo.
"Aku duluan ya, soalnya mau bayar bukunya." Aku berkata dengan kecanggungan yang ada di diri ini..
Aku bergegas pergi menuju kasir dan membayar, entah kebetulan dari mana Bima dan seorang perempuan juga ten gah membayar. Aku menengok ke kanan dan memberikan tatapan kepada Bimo yang mengartikan Apa? Setelah selesa membayar, aku pergi tanpa sepatah kat apun.
Namun, tangan seseorang menghentikanku saat di depan toko buku tersebut.
"Kamu mau pergi begitu saja? adikku ingin berbincang denganmu. Dia suka novel saat tahu aku mengenalmu tadi. Dia ingin berteman" ucap Bimo
"Serius?" tanyaku
"Ya, aku serius. Apa kamu berpikir ini aka-akalanku?" tanya Bimo dengan senyum kecil di wajah, aku tahu segala jenis senyuman dan dia terlihat tergah menjahili ku
"Tidak, buat apa aku berpikir seperti itu?" tanyaku baik
Sesaat kemudian, perempuan berkaca mata itu menghampiri kami dan setelah nya perg untuk makan siang. Sebelum menyantap makanan, aku dan adik Bimo saling berkenalan. Nama dia adalah Ram Maharani Umur 16 tahun dan masih kelas 1 SMA. Kami menyantap makan siang dengan mengobrol
"Apa kakak mau mengajariku membuat cerita fiksi?" tanya Rani.
"Aku tidak pandai mengajari orang dan aku juga tidak sabaran ini bukan karena aku pelit Jadi aku sarankan un tuk ikut kelas menulis online saja. Di Media Sosial Fl juga banyak," jawabku dengan sedikit memberi saran.
"Ah, tidak apa-apa. Aku akan melakukan saran Kak Lila," ucap Rani dengan tersenyum. Setelahnya, aku, Bimo, dan Rani kembali.
Setelahnya, aku, Bimo, dan Rani kembal melanjutkan makan siang dan mang habiskan waktu hingga malam muta menjemput. Kami pun bergegas pulang karena rasa lelah yang datang. Sekarang aku telah berada di kontrakan, duduk dengan memainkan ponsel Tidak lama setelahnya, ku khat Laras baru pulong dan duduk di samping kiri ku
"Hari ini, aku menyelesaikan masalah dengan pria berengsek itu Kamu tahu, dia memalsukan KTP. Alias, dia bikin KTP palsu. Hah pantas saja aku tertipu. Lucunya adalah istrinya memihak ku. Ternyata banyak akal sekali buaya-buaya sekarang."Laras menceritakan se muanya dengan singkat.
"Tentu istrinya memihak mu, kalau dia memihak suaminya, pasti kamu akan la porkan ke polisi bukan?" tanyaku
"Tentu, aku tidak terima Sudah kedua kali aku ditipu sama pria beristri" jawab Laras
"Lalu, nasib mereka bagaimana?" tanyaku.
"Istrinya bilang akan gugat cerai, kalau aku jadi dia juga bakal gugat cerai. Kata istrinya, ini sudah kesekian kali suaminya kepergok selingkuh. Wah, istrinya kuat sekali Kalau itu aku, pertama kali tahu suamiku selingkuh, aku tidak akan memberikan kesempatan apa pun. Aku akan langsung gugat cerai," jawab Laras dengan antusias.
"Aku juga akan melakukan hal yang sama," timpal ku
"Bagaimana dengan kegiatanmu hari ini? Berapa buku yang dibeli?" tanya Lares.
"Aku cuman jalan seperti biasa. hanya 3 buku saja. Aku juga ketemu Bimo, dia nemenin adiknya beli buka Kami makan siang dan mengobrol," jawabku
"Tidak ada hal menarik yang terjadi?" tanya Laras.
"Ah, ada. Dia mengira kalau aku berpikir bahwa, dia mengakali untuk berlama-lama denganku dan dia mengatakan itu dengan senyum jahil. Intinya sih seperti itu," jawabku dengan menutupi rasa malu dan kesal ini.
"Memangnya apa yang kamu katakan?" Tanya Laras lagi.
"Dia mengatakan bahwa adiknya mau berkenalan denganku, berteman dan mengobrol, aku hanya tanya Serius. Dia mengira aku berpikir lebih, itu benar-benar membuatku kesal."Aku menjawab dengan terbawa emosi.
"Ouh, kalau itu aku, aku juga akan berpikir seperti Bimo Kalau dilihat dan situasinya, itu mungkin Aku yang mendengar penuturan Laras lantas mem balas lagi, 'Aku tidak berpikir seperti itu!
"Siapa tahu kan, kamu berpikir seperti itu. Lihatlah, wajahmu merona. Aku yang kesal pergi begitu saja dan menutup seluruh badan dengan selimut Menyembunyikan din dan merenung, apa benar aku berpikir seperti itu? Aku menanyakan hal hal itu kepada diri sendiri, hingga ku putuskan untuk tidur.
8. Satu Bangunan Apartemen Yang Sama
Satu jam setelah terbangun, aku tetap berbaring di ranjang dengan memainkan ponsel. Ada rasa enggan untuk beranjak, melihat kontrakan ini menjadi sangat banyak barang Bahkan ku biarkan Laras yang kesal dan mengoceh sendin Mencari pakaiannya yang masih berada di dalam kotak penyimpanan
"Kaimu cari barang itu pakai tangan, bukan pakai mulut. Kalau ngoceh terus kapan ketemunya," kataku yang masih fokus bermain ponsel.
"Aku tahu Punya teman, tapi rasanya tidak punya. Melihat temannya lagi kesulitan, bukannya dibantu. Ini malah di ceramahi." ucap Laras sebagai balas perkataanku.
Tanpa membalas perkataan Laras, aku mematikan ponsel dan membantunya mencari pakaian yang dimaksud. Akan tetap hal itu tidak membuat Laras berhenti mengoceh. Sekarang dia malah menyalahkan kontrakan ku yang kecil sehingga terlalu sempit untuk menyimpan barang barang milk dua orang. Pembahasan yang selalu terulang hingga aku pun bosan mendengarnya. Bahkan dia sering minta untuk pindah, tetapi aku sama sekali tidak menggubrisnya.
"Kalau begitu, kamu cari kontrakan sendiri. Kenapa juga malah pilih tinggal sama aku?" tanyaku
"Aku tidak mau tinggal sendiri, kemarin aku tinggal sendiri dan itu tidak nyaman. Ditambah aku kena tipu mi brengsak itu Kama kan temanku, harus bantu sesama teman Sebelumnya juga aku tinggal sama kamu, jadi, tidak ada masalah kan?" Laras berbicara tanpa berhent, seperti kereta api eksekutif yang melaju sangat kencang. Aku hanya merjawab ya tanpa embel-embel di belakangnya.
"Bagaimana jika kita beli apartemen atau sewa? Aku punya teman yang bek erja sebagal marketing sebuah apartemen, di sana murah-murah, tidak sampai 1M. Tapi itu berbasis sewa," ucap Laras dengan bersemangat.
"Memang berapa sewa perbulannya?" tanyaku dengan menggelengkan kepala.
"Aku kurang tahu lebih baik kita lang. sung ke sana, Hari ini aku libur kerja," jawab Laras tersenyum senang
"Ok. Kita lihat ke sana dulu," ucapku
"Memang seharusnya seperti itu, jangan pelit terhadap diri sendiri. Kita berangkat sekarang," ucap Laras. Aku mengangguk paham.
Setelah menemukan pakaian yang Laras ingin gunakan, kami bergegas pergi ke sebuah bangunan apartemen berlantar 30 itu. Kamu sekarang tengah melihat hat setiap ruang apartemen mulai dari. yang termurah hingga termahal Aku berbincang terlebih dahulu dengan Laras dan mengambil satu keputusan, yaitu: menyewa salah satu unit apartemen yang memiliki dua kamar, satu kamar mandi, dan dapur.
Proses administrasi pun selesai, kamil bergegas pulang dan membereskan barang-barang saat telah memberitahu pemik kontrakan. Tanpa terasa malam telah menjemput, kami baru saja selesai membereskan barang-barang. Aku pun keluar untuk membeli makanan, tetapi saat pulang ku sempatkan singgah ke rumah seorang kemalan yang memiliki mobil pickup.
Beberapa menit berlalu dengan hasil negosiasi yang saling menguntungkan satu sama lain. Aku bergegas pulang dan menyantap makan malam bersama Laras Setelah selesai, kami memutuskan tidur lebih awal, yaitu pukul 20:00 WIB Suara keras alam membuatku ter bangun dengan kaget.
Aku terduduk, mencoba untuk mengumpulkan seluruh kesadaran. Saat semua telah terkumpul, aku bersiap diri dengan cepat. Tidak lama setelah selesai menghabiskan sara pan bersama supir dan dua orang lain nya. Kami bergegas membawa barang barang di kontrakan dalam tiga kali ambil.
Seharian penuh, aku sibuk merapikan semua barang-barang milikku hingga tidak terasa waktu sudah sore dan perut telah meminta makan Ku ambil ponsel dan satu lembar uang berwarna merah. Saat pintu lift terbuka, aku terkejut melihat Bimo yang berada di dalam. Aku menyapanya dengan senyum kecil, kemudian terdiam.
"Apa kamu tinggal di sini?" tanyaku
"Iya, bagaimana denganmu? Apa jangan jangan kamu penyewa baru?" tanya Bimo
"Iya, aku baru pindah hari ini Laras terus merajuk untuk pindah," jawabku dengan menatapnya dan dia hanya mengangguk.
"Apa kamu sudah makan malam?" tanya Bimo.
"Ah, aku baru mau beli makanan Kamu mau ikut?" tanyaku sebagai basa-basi dan tidak berharap Bimo mengiyakan. Akan tetapi, aku salah. Dengan senyum lebarnya, Bimo menerima ajakan tidak serius ku dan di sinilah kami berakhir.
Sebuah warung makan Padang, kami memesannya dibungkus dengan beberapa lauk-pauk dan aku tidak lupa membukus gorengan yang merupakan salah satu favoritku. Setelah Bimo membayar semuanya, kecuali untuk gorengan. Kami bergegas pulang dan berakhir di apartemen Bimo.
Kami menyantap makanan dalam diam, sesekali aku menatap Bimo balik Dia selalu menatapku dan itu mengganggu, tetap bukan Bimo jika tidak jahi. Meski berkali-kali ku suruh untuk tidak melihat dan menatap ke arahiku. Dia semakin menjadi-jadi, senyum lebar senang dan puas semakin terlukis di wajahnya.
Dengan sekuat tenaga, diri ini menahan agar tidak menunjukkan wajah memerah Sepertinya itu gagal, aku benar-benar ke sal dan malu. Saat makanan milikku tidak tersisa sedikitpun, kaki ini bergegas melangkah pulang.
9. Perasaan Malu dan Kesal
Saat sampai di apartemen, sesuatu baru ku sadar. Tangan kananku masih kotor dan itu memalukan. Setelah membersihkannya, aku duduk di samping Laras yang tengah menyantap makanan. Dengan wajah kasal bercampur malu int tanpa berkata apa pun.
"Kenapa wajahmu seperti itu? Apa makan malam bersama di apartemennya tidak berjalan baik?" tanya Laras
"Semua berjalan baik, tapi itu memalukan. Itu kesalahanku," jawabku, menyembunyikan wajah dengan bantal sofa
"Emang kejadian apa? Sampai kamu malu," tanya Laras kembali. Ku hela napas dan mulai menceritakan semuanya tanpa ada yang tertinggal sedikitpun Laras yang mendengarkan dengan seksama hanya mengangguk paham,
"Ah, jadi, dia satu gedung, di sini. Aku kira dia menelponemu dan mengajak. Ternyata itu cuman basa-basi, tapi dia menganggap serius. Kamu yang salah sih," ucap Laras dengan tertawanya yang terlihat seperti ditujukan untukku.
"Lagian, kamu tidak perlu berbasa basi. Terus kenapa kamu mau? Kenapa tidak menolaknya? Kamu seringkali menolak banyak laki-laki," tanya Laras
"Aku pun tidak tahu. Yang jelas, aku malu dan kesal sekarang. Ah. kenapa aku harus seperti itu? Ah, aku tidak tahu lagi." Aku berucap dengan kekesalan terhadap diri sendiri.
"Yang aku simpulkan sejauh berteman denganmu adalah kamu cenderung jadi penurut terhadap orang yang memang benar-benar kamu cintai. Bahkan, kamu tidak semenurut kepada para pacarmu dulu. Kamu juga tidak begitu nurut kepada Heri, menurutmu apa? Kamu masih memiliki dan menyimpan perasaan itu sejak dulu." Laras menjelaskan dengan pelan dan lembut, sehingga aku pun hanya dapat terdiam memikirkan perkataannya.
"Kamu itu perempuan yang tidak mudah jatuh hati, maka dari itu, banyak laki-laki yang merasa tertantang untuk mendap atkannya. Tapi, saat mereka telah mendapatkannya, kamu dibuang. Kamu mencoba membuka hati, tapi tidak benar-benar membukanya. Makannya, kamu itu cepat move on, tapi kamu akan terus ingat sebagai pembelajaran." Ku dengarkan dengan serius semua kata-kata Laras.
"Apa aku salah?" tanya Laras
"Tidak, kamu benar. Aku memang seperti itu," jawabku sambil melihat Laras yang mendiamkan makanannya. Kemudian beranjak pergi tanpa mem bereskannya.
"Bereskan dulu makananmu!" ucapku dengan keras.
Dengan menahan kemarahan dan tanpa mengomel, semuanya ku bersihkan, Setelah selesai, aku kembali duduk di sota dengan memainkan sebuah game di ponsel. Ku sadari, Laras keluar dari kamar dengan pakaian tidur. Dia duduk tepat di samping kiriku dan mulai menonton drama tanpa menggunakan headset sama sekali.
Saat aku hendak ke kamar untuk mengambil sesuatu, sebuah pesan mem buatku urungkan niat dan tertera nama Bima Ku duduk kembali dan terena i membalas pesan dengan Bimo hingga. Laras mengintip
"Wah, dia mengajakmu pergi nonton fim Kamu harus mengiyakannya," ucap Laras
"Aku sedang memikirkannya," balasku
"Kenapa harus mengiyakannya seperti Hu? Langsung jawab ya, unap Laros lagi, mengambil-alih ponsel, pergi ke k mar dan menutupnya rapat. Dari luar ku ketuk pintu dan terus memintanya untuk membuka, hingga beberapa saat kemu dian Latas keluar. Memberikan ponsel itu kembali dengan hasil yang tidak dapat ku negosiasi.
Dengan tidak bersuara, aku memilih un tuk berbaring dan lebih baik tidur lebih awal Suara dering ponsel membuatku membuka mata dan mengangkat panggi lan dari Heri.
Percakapan Aku dan Heri di telepon
Aku: Hallo! Ada apa Heri?
Heri: Besok bisa datang ke cafe? Aku butuh bantuan.
Aku: Ok Jam seperti biasa atau harus datang lebih awal?
Heri: Seperti biasa saja, kamu lagi apa? Aku Aku baru mau tidur.
Heri : Oh, ok Selamat tidur, bye.
Aku: Ok
Ku matikan panggilan tersebut dan menyalakan musik pengiring tidur. Sebuah musik relaksasi tidur yang berada di playlist. Ku simpan ponsel tepat di samping kepala dan mulai mencoba untuk tidur, hingga suara alarm membuatku terbangun dengan wajah memerah.
"Kenapu aku memimpikannya? Ha, aku suduh gila." Aku beranjak dari tempat tidur dan melihat secarik kertas di meja dapur yang bertuliskan, "Lilaku tersayang, karena aku belum punya tempat tidur, lemari, meja rias, di Tolong banget, bantu belikan. Untuk uangnya. aku kirim ke rekening, kalau kurang tolong bayarin dulu. Kamu tahu seintaku yang seperti apa kan. Terimakasih,"
Di saat seperti ini aja, kamu bilang sayang dan berangkat kerja lebih awal Setelah mengoceh banyak hal aku bergegas mandi dan pergi untuk mampir ke toko properti langganan yang selalu buka jam 07.00 pagi.
10. Ketulusan atau Kasihan
Setelah selesai memilih barang-barang dan membayarnya, aku bergegas pergi ke cafe Sesampainya, Heri telah menyambutku di depan cafe dengan seragam kerja. Tanpa mengobrol terlebih dahulu, kami bergegas menuju dapur dan telah tersedia beberapa mangkuk berisi bakso mie.
"Silakan dicoba," ucap Heri.
"Ah, baiklah." Aku mulai mencoba bakso mie itu.
"Bagaimana?" tanya Heri.
Sejenak aku berpikir sebelum menjawab pertanyaan Heri, hingga senyumku mengembang Setelah menyantap bakso mie, aku membantu pekerja lainnya. Saat semua usal, kami berdiri di depan meja kasir menunggu para pelanggan datang.
Saat jam menunjukkan pukul 12:10, pars pelanggan mulai berdatangan dan seseo rang yang ku kenal mengunjungi cate Seseorang itu adalah Rani bersama den gan perempuan berambut panjang dan terlihat cantik. Saat aku memberikan pelayanan terjadi sedikit obrolan di an tara kami. Setelahnya, aku pergi dan memberikan kertas bertuliskan pesanan kepada sang kasir.
Hari ini pun cafe ramai oleh pelanggan dan kami para pelanggan hampir ke walahan selama 2 jam Setelah mulai sep pelanggan, kami beristirahat secara bergantian dan di sini aku bersama dengan Heri yang tengah menyantap makanan buatannya.
"Bagiamana hubunganmu dengan Bimo? Aku beberapa kali bertemu dengannya, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu. Perasaanmu kepada Bimo, itu rasa kasihan atau benar-benar rasa cinta yang kamu simpan selama ini?" Aku terdiam beberapa detik saat mendengar penuturan Heri dan berhenti menyuap makanan.
"Beberapa hari yang lalu, aku memberikan saran untuk menjadi dirimu sendiri yang selalu mengikuti arun. Tapi jika kamu di samping Bimo karena merasa kasihan Aku sarankan untuk berhenti, tapi kalau kamu benar benar tulus Aku tidak bisa membuatmu berhenti, dan jika kamu terluka lagi, datanglah padaku. Aku selalu ada untukmu," ucap Heri dengan senyum di wajah.
Aku yang mendengarkan dengan seksama hanya diam dan kembali bertanya kepada diri sendiri Hati ini dan perasaan yang muncul. Apa ini perasaan yang tulus, atau hanya sebatas belas kasihan. Sepertinya, Heri lebih tahu kendala apa yang akan aku hadapi tentang kami berdua. Ku beranikan diri untuk bertanya kepada Heri, "Apa kamu ketahui tentang keluarga angkat Bimo? Sejauh mana yang kamu ketahui? Apa kamu lebih dulu bertemu Bimo daripada aku? Aku tidak bisa mengetahui perasaanku saat ini itu apa, tapi aku akan memastikannya terlebih dahulu." Aku bertanya dan menjawab dari perkataan Heri.
"Keluarga angkatnya merupakan pemilik salah satu rumah sakit terbesar di Indonesia Kamu sudah tahu pusti, alasan dia tidak menepati janji. Keluarga Itulah yang menyelamatkannya, sepasang suami-istri yang tidak memiliki anak kandung. Semua anaknya adalah anak angkat, dia memiliki 4 saudara dan i nomor 2. Hanya sebatas itu yang ku tahu, dan aku bertemu dengannya lebih dulu daripada kamu. Aku turun duluan, sepertinya ada masalah di dapur." Setelah mengatakan itu, Heri pergi meninggalkanku.
Ku hela napas dengan kasat biasanya, percintaan bukanlah hal yang sangat serius. Maka dari itu, aku memiski banyak sekali mantan. Paling lama jarak pacaran adalah satu tahun, sisanya tidak dapat dikata menjalin hubungan. Kali ini benar-benar sangat berbeda. Karena aku dan Bimo terikat karena janji di masa lalu.
Saat itu, kami masih duduk di kelas enam Bimo mandatangiku saat baru saja pulang dari main di taman, dia berkata, "Ada yang ingin aku katakan."
"Apa itu?" tanyaku.
"Ayahku harus dinas di luar kota jadi aku tidak bisa sekolah di sini. Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Bimo.
"Aku tidak apa-apa, kenapa kamu tanya?" tanyaku lagi yang saat itu sama sekali tidak memiliki kepekaan.
"Tidak apa-apa sih, hanya saja, aku mau mengatakannya saja. Oh ya. Kata ayahku, aku boleh datang ke sini satu tahun sekali. Saat liburan tahun baru. Apa kamu akan menungguku?" tanya Bimo.
"Ah, ok itu tidak masalah," jawabku dengan senyum senang.
Setelah itu, kami saling mengikat janji kelingking sebagal tanpa saling berjanji. Dua tahun dia menepati janjinya, tetapi sejak tahun ketiga hingga bertahun-tahun dia tidak datang lagi. Saat aku menginjak usia 15 tahun, satu hal yang aku sadari. Selama ini aku suka dia bukan sebagai sahabat, tetapi lebih dari itu.
Dapat dikatakan, bahwa dia cinta pertama sesudah ayahku. Laki-laki pertama selain ayah yang bahkan aku tangisi, mungkin orang akan berpikir aku berlebihan. Akan tetapi, inilah yang nyata terjadi. Bahkan, saat dia menyatakan bahwa dia suka aku dengan tawanya. Aku kira dia bercanda dan menjahiliku, tetapi kini setelah bertemu dengannya lagi, aku dapat membuktikan, apakah perasaan itu asli atau hanya sekadar singgah saja.
Dengan keras ku gelengkan kepala, menyimpan semua kenangan yang baru saja muncul dan menghabiskan makanan, setelahnya kembali bekerja hingga malam telah menjemput. Aku pulang lebih awal dan biasanya bersiap siap untuk pergi menonton bersama Bimo Saat tengah mengenakan lipstik suara bel terdengar. Dengan cepat ku buka pintu dan itu adalah Bimo. Kami bergegas pergi dengan menggunakan mobil miliknya.
Sepanjang perjalanan menuju sebuah mall, aku membuang semua pikiran-piki ran yang terus singgah tanpa enggan untuk pergi. Aku bisa memikirkannya lagi lain waktu, jika terus dibiarkan, ini akan mengganggu acara menonton film.
11. Tanpa Sadar Mengungkapkannya
Sesampainya di mall, kami bergegas menuju sebuah bioskop yang telah banyak orang mengantri. Sejak awal aku memang tidak bertanya tentang film apa yang akan ditonton, saat melihat tiketi di tangan Bimo Aku cukup terkejut, film yang akan kami tonton bukanlah ber genre romantis, tetapi action. Salah satu gente yang paling aku suka dan tanpa sadar kedua bibir ini saling menarik.
"Apa kamu suka film action juga?" tanyaku pada Bima
"Ah, aku bisa menonton semua jenis film. Aku baru ingat, dulu, kamu pernah bilang suka film action. Dan aku minta maaf karena waktu itu malah nonton film romantis," ucap Bima. Aku yang mendengar penuturan Bimo terkejut saat dia mengingat hal itu, bahkan aku sendiri tidak ingat pernah mengatakannya.
"Tidak perlu minta maaf, lagian aku juga menonton semua genre. Aku melihat fim dari ceritanya, menarik atau tidak. Tapi, memang kalau genre romance, kurang suka Bukannya tidak. suka, tapi tergantung ceritanya." Aku pun sedikit menjelaskan mengenai seleraku terhadap sebuah film.
"Ah, ok. Mari masuk," ucap Bimo dengan mengulurkan tangan kirinya.
Tanpa memikirkannya, aku menerima uluran tanga Bimo dan kemudian kami masuk. Duduk di kursi yang berada di tengan-tengah, tidak terlalu jauh dan dekat. Tempat yang paling nyaman saat menonton film di Bioskop. Sepanjang menonton film, aku benar-benar mem fokuskan din pada layar besar di depan sana hingga satu setengah jam berlalu. Sekarang kami berada di sebuah restoran Betawi untuk mengisi perut yang keroncongan ini.
Kami memesan dua mangkuk Sola Betawi, tetapi saat menyantapnya. Ku lihat Bimo memisahkan jeroan daging. daun bawang, dan tomat, bahkan dia sama sekali tidak menyentuh acar timun.
"Apa kamu tidak suka dengan jeroan daging? Kamu juga memisahkan daun bawang dan tomat," tanyaku karena rasa ingin tahu yang muncul.
"Iya, aku tidak suka. Apa kamu mau memakannya?" tanya Bimo kepadaku Sebelum menjawabnya, aku melihat wajah memelas Bimo.
Aku tidak boleh buang-buang makanan, tapi aku tidak suka dengannya. Mendengar ucapan Bimo berikutnya, aku langsung mengiyakan dan menaruh di mangkuk Sata milaku
"Hmm, oh ya Bim. Makanan apalagi yang tidak kamu suka? Nanti, lain kali kita makan yang kamu sukai." Aku memberanikan diri untuk bertanya hal tujuanku agar dia dapat makan tanpa harus memilah makanan yang tidak disukainya
"Banyak, aku tidak suka jeroan, sayur bayam, pare, daun bawang, tomat, dan makanan pedas." Bimo memberikan jawaban dengan senyum tipisnya.
"Ah, baiklah." Setelah mendengarnya, aku sedikit dapat menyimpulkan alasan ketidaksukaan Bimo terhadap semua itu Meski seperti itu, aku masih ingin bertanya alasannya tidak suka. Mungkin saja kesimpulanku ini salah.
"Apa ada yang ingin kamu tahu lagi?" tanya Bimo yang membuatku mendongak dan menatap ke matanya, tetapi detik kemudian aku menunduk lagi. Sejauh ini, aku tidak pernah melihat matanya dalam waktu lama, bahkan saat berbicara pun tidak.
"Tidak ada," jawabku sambil menyantap kembali Sala Betawinya.
"Kalau begitu, sekarang giliran aku yang bertanya Mungkin ini akan banyak, kenapa saat berbicara denganku, kamu jarang menatap mataku? Apa mataku menakutkan?" Pertanyaan yang dilontarkan Bimo tentu membuatku terkejut, jika diingat memang seperti itu.
Aku berpikir sejenak untuk menjawabnya. agar dia tidak sakit hati. Pasalnya, itu menjadi tanda kalau aku memilik perasaan kepada seorang laki-laki. Bagaimana aku akan menjelaskannya? Setelah memikirkannya, aku berusaha menjawab. Meski secara tidak langsung itu sebuah pengakuan, aku buang perasaan malu ini.
"Sebenarnya, saat aku menyukai laki-laki atau memiliki perasaan kepadanya. Aku tidak bisa menatap matanya, hanya karena itu." Ku jawab sejujurnya dan Bimo membalas dengan senyuman. Aku yang melihatnya, menunduk cepat ingin sekali ku kutuk diri ini. Kami pun melanjutkan menyantap makan malam dengan Bimo yang terus menjahili ku menggunakan kata-kataku tadi.
Setelah acara santap makan malam usai, kami pun bergegas pulang. Sesampainya di apartemen, aku terkejut saat beberapa kotak yang berisi buku-buku dan pakaian lamaku di luar. Delik berikutnya, Laras keluar kamar dengan menggunakan pakaian milikku. Tentu aku tidak perlu menduga lagi Laras pelaku yang mengeluarkan semua kotak itu
"Kamu sudah pulang!" ucap Laras dengan senyum lebarnya.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa kartu mengenakan pakaianku? Dan kenapa semua kotak-kotak ini karmu keluarkan?" tanyaku dengan penuh heran
"Ah, tadinya, aku mau baca buku atau novel. Jadi, aku keluarkan semua itu karena aku tahu kamu akan marah kalau aku buka di kamar. Aku juga menemukan pakaian bagus yang disem bunyikan temanku, bagaimana? Apa aku cocok? Kenapa tidak bilang kalau punya pakaian dress bagus seperti ini?" Laras menjawab seperti tidak merasa bersalah
"Setidaknya, kamu kirim pesan, jadi, aku tidak perlu merasa kesal sekarang." Aku membalasnya dengan nada kesal
"Aku sudah mengirim pesan, tapi tidak dijawab. Jadi, aku keluarkan saja semua. Kamu belum menjawab soal pakaian," ucap Laras yang tengah melihat satu per satu pakaian di dalam kotak.
"Itu pakaianku yang dulu, saat aku masih berada di jalan berkelok dan berpacaran untuk pertama kalinya. Saat kita belum bertemu," jawabku dengan ju jur dan sekarang, ingatan itu datang lagi.
"Pasti ada hal buruk terjadi, sampai sampai kamu hanya menyimpan semus ini dan tidak menggunakannya. Apa dia memutuskanmu?" tanya Laras lagi
"Tidak, dia meninggalkanku hanya dengan sebuah pesan singkat melalui ponsel. Bisa dibilang, dia memutuskannya secara sepihak. Setelah itu, aku berpikir untuk tidak menggunakan pakaian-paka ian itu lagi. Semua pakaian itu, dia yang memilihkannya saat aku membelinya." Aku menjawab dengan senyum kecil yang bercampur kepedihan.
"Wah laki-laki itu sangat tidak berperasaan. Kalau aku bertemu dengan nya, aku akan menghajarnya untukmu." Aku tersenyum lebar saat mendengar ucapan Laras.
"Kita tidak tahu alasannya kenapa, mungkin dia punya alasan yang menyebabkannya melakukan itu." Aku kembali berkata yang seakan membelanya bahkan Laras memarahiku penuh kesal.
"Aku hanya penasaran, meski bertemu dengannya lagi, aku sudah tidak memiliki perasaan apa pun. Hal itu sudah berlalu," ucapku.
"Kenapa kamu tidak menjual pakaian pakaian ini? Bukankah dia yang memilihkannya untukmu, kalau aku, pasti sudah tak jual semua. Lumayan, hati hancur, tapi aku bisa menghasilkan uang dan sekaligus melupakan semua kenangan," ucap Laras lagi.
"Aku pernah menjualnya di tempat pakaian bekas, tapi tidak ada yang beli. Jadi, aku simpan saja." Laras hanya mengangguk paham dan setelahnya, aku mengiyakan saat dia meminta semua pakaian itu untuk dijual.
12. Masa Lalu Yang Pedih
Aku bergegas ke kamar setelah menyuruh Laras untuk membereskan semuanya Aku duduk di tempat tidur dengan wajah lelah yang entah kenapa sangat-sangat menumpuk secara tiba-tiba. Bahkan kenangan yang sangat ingin dilupa, tetapi juga selalu teringat muncul dan selalu datang. Kesalahan yang akan selalu aku ingat sampai kapanpun, meski rasa ini ingin untuk melupakannya.
Semua berawal dari sejak masuk sekolah dasar, saat itu aku bahkan tidak mengetahui bahwa yang teman-teman sekelas ku lakukan adalah bentuk dari bully atau perundungan. Semua terpupuk selama 6 tahun bahkan hingga aku berada di SMP. Pada saat berada di SMA kelas satu, mulai dari sana adalah di masa yang membuat karakter di dalamn diri ini berubah seratus persen dan aku baru tahu, selama ini sikap teman-teman itu merupakan perundungan.
Di bangku SMA lah aku mulai berani dan tidak membiarkan siapapun melakukan hal itu lagi kepadaku. Tiga tahun aku jalani dengan tenang, bahkan tidak ada yang berani merundungku mereka semua cenderung membicarakannya di belakang. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA aku pergi merantau bersama dan tinggal bersama dengan saudara dekat. Hampir satu bulan belum juga mendapatkan pekerjaan hingga aku sadar dia memanfaatkan diriku.
Setelah berpikir cukup panjang, ku putuskan untuk pergi diam-diam dan mencari pekerjaan sendiri. Memilih jalan yang akan selalu ku sesal, seseorang menawarku untuk bekerja di SPA khusus lakaki. Dikarenakan aku enggan membebani orang tua, akhirnya ku putuskan untuk menerima pekerjaan Satu tahun aku lakukan pekerjaan itu tanpa memberitahukan fakta kepada keluarga, hingga semua mengetahuinya. Kakakku tentu memarahiku bahkan kerabat dari buku sampai mendoakan aku hamil di luar nikah.
Bahkan mereka tidak tahu keadaanku saat itu seringkali pikiran ingin mengakhiri hidup selalu menghantul sejak aku duduk di bangku SMA. Beberapa kali aku menceritakan ini kepada keluarga, tetapi mereka hanya diam. Entah masa bodo atau memang tidak tahu apa yang harus dilakukan, sejak itu, aku selalu memendamnya sendiri.
Setelah hari itu, aku bersikap buruk di tempat kerja hingga dikeluarkan dan aku pun memilih tidak kembali ke rumah. Melarikan diri dan mencari pekerjaan lain, aku tetap berhubungan melalui seluler, setiap bulan juga ku usahakan untuk mengirim uang. Pekerjaan yang telah aku lakukan banyak, seperti pelayan restoran, cafe, warung makan, pabrik, dan toko bangunan. Sekarang aku dapat menghasilkan uang dari menulis dan menginvestasikan uang ke bentuk saham.
Jika melihat dari perjalanan panjang itu aku sangat benci kepada diriku yang berusia 18 tahun. Tidak seharusnya ku lakukan itu, tetapi tetap dilakukan. Hubunganku dengan keluarga pun berjalan seperti biasa, seakan kejadian itu tidak pernah terjadi. Akan tetapi, aku masih ingat kata-kata itu hingga sekarang.
Saat aku tengah menangis tanpa suara karena ingatan itu. Ketukan pintu dan suara Laras terdengar, aku hanya diam. Tidak membalasnya dan memilih untuk tidur, hingga suara alarm terdengar dengan sangat nyaring.
Namun, aku tetap diam dan menutup kedua mata sampai ketukan beserta suara Laras terdengar. Dengan berat hati aku bangun dan bergabung makan pagi bersama.
"Apa tadi malam kamu menangis? Matamu terlihat sangat sembab," tanya Laras. Aku hanya berdehem karena tidak ingin berbincang lebih lanjut.
"Pasti kamu mengingat itu lagi, sudahlah, jangan pernah meratapinya lagi itu sudah berlalu," ucap Laras.
"Aku tahu, aku hanya teringat. Tidak ada salahnya, bukan. Kamu tahu sendiri aku ini sangat susah untuk menangis. Di saat ingin menangis pun tidak bisa melakukannya, aku harus menonton drama, film, anime, atau movie video musik baru aku menangis. Setidaknya. aku menangis karena kenangan buruk." Aku membalasnya dengan menjelaskan lagi dan lagi tentang kesulitan ku untuk menangis. Setelah mendengarmya, Laras hanya diam dan pergi tanpa berkata kata lagi, tetapi aku tahu bahwa dia mengkhawatirkan diri ini. Kami sama sama memiliki kenangan buruk di mase lalu, kisah yang sama, tetapi terdapat perbedaan.
Perbedaannya terletak pada alasan kenapa kami memilih jalan itu. Laras menjadi pemandu karaoke untuk para kaum laki-laki karena dijual oleh ayah nya. Sedangkan aku, untuk diri sendiri dan pikiranku. Kami sama-sama bukan perempuan yang baik ataupun polos Setelah menghabiskan sarapan, ku habiskan seharian dengan mengetik se buah novel yang tengah ditulis.
13. Kejadian Yang Mengejutkan
Saat jam telah menunjukkan pukul 18:00 WIB, kubantikan kegiatan menulis dan pergi menuju dapur untuk meminum sebotol air mineral dingin. Setelahnya ku bergegas pergi ke minimarket terdekat, membeli beberapa macam es krim. Saat aku tengah menunggu lift datang, Bimo menyapaku. Yang datang bersama seorang laki-laki dan anak di gendongnya.
Dengan wajah terkejut ku balas sapaan nya dan berusaha untuk bersikap biasa saja. Saat di dalam lift Bimo memperkenalkan seseorang itu sebagai kakaknya. Setelahnya, aku keluar dan berjalan cepat menuju apartemenku. Dengan masih menyimpan keterkejutan itu, aku duduk di samping kiri Laras dan masih menyantap es krim.
"Ada apa dengan wajahmu? Seperti orang yang baru saja melihat hantu," tanya Laras
"Ah, kamu benar, aku baru saja melihat hantu. Aku tidak mengira akan bertemu dan melihatnya. Dia ternyata kakak Bimo. Apa ini? Kenapa jadi seperti ini? Kenapa harus bertemu dengannya lagi? Apa karena aku penasaran dengan alasan dia meninggalkanku?" Aku menghela napas kasar.
"Apa maksudmu? Hantu itu ada hubungannya dengan Bimo? Dia siapa?" tanya Laras yang tentunya dia tidak memahami perkataanku.
"Pacar pertamaku yang memutuskanku. dia ternyata kakaknya Bimo dan sekarang sudah memiliki anak. Aku bertemu saat akan naik, apa yang harus aku lakukan?" Lagi, aku menghela napas dan membuang bungkus es krim yang telah habis.
"Wah ini hebat Kamu baru menceri takannya kemarin malam dan sekarang langsung bertemu ini seperti yang ada di drama-drama, apa ini karmamu? Soalnya, kamu suka nyiksa karakter di novelmu." Aku sedikit kesal saat melihat Laras sedikit tertawa setelah mengatakan hal itu.
"Ini tidak lucu, apa aku harus menghin dar dari Bimo? Ha, kepalaku pusing." Ku sandarkan badan ini ke sofa
"Apa yang kamu pusingkan dan takutkan? Bukankah kamu harus menur jukkan kalau sudah mave on darinya? Kalau sampai menghindar, dia akan berpikir kamu belum move on." Saat mendengar perkataan Laras, itu memang benar Untuk apa aku menghindar dan takut.
"Ya, meski sepertinya sulit untuk move on darinya. Jad, yang ingin aku tanyakan Apa kamu masih memiliki perasaan ke laki-laki mu? Bagaimana perasaanmu saat melihatnya lagi?" tanya Laras lagi, meski dia sudah tahu jawa banku. Dia seperti ingin membuatku yakin dengan perasaan dan jawabanku. Dia sahabat yang sangat-sangat baik dan pengertian.
"Aku sudah move on dan tidak memiliki perasaan apa pun. Saat melihatnya lagi, aku hanya terkejut akan pertemuan dan fakta kalau dia Kakak Bimo. Aku kesal dan penasaran alasan dia memutuskanku," jawabku dengan senyum kecil.
Kami tidak melanjutkan obrolan ini dan hanya menyantap es krim dengan menonton film ataupun dramma hingga jam telah menunjukkan pukul 23:30 WIB. Kami pun masuk ke kamar masing-masing dan tertidur pulas, tetapi ku terbangun saat Laras mengetuk pintu keras-keras. Aku bangun dengan wajah berantakan dan melihat Laras mengenakan jaket.
"Kamu mau ke mana? Ini jam berapa?" tanyaku dengan kesal.
"Aku lupa tadi malam tidak mengatakan nya, keponakanku yang baru saja lulus akan ke Jakarta dan akan sampai di sini jam 5 subuh. Kita harus menjemputnya di depan," ucap Laras.
"Ya udah," jawabku dengan males den kami bergegas untuk menjemput keponakannya itu.
Setelah menjemputnya, aku memutuskan untuk berlari di pagi hari. Mengelilingi taman di gedung apartemen ini dan saat itu aku bertemu dengannya yang sama-sama tengah berlari. Saat aku hendak pergi, dia meminta untuk berbicara sebentar dan kami duduk den gan jarak satu meter.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Sean, nama dari laki-laki yang dulu memu tuskanku melalu pesan singkat, bahkan dia tidak menjelaskan alasannya.
"Aku baik, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku dengan nada dingin.
"Dingin sekali apa kamu menyimpan dendam padaku?" Bukannya men jawab dia memberikan pertanyaan lagi.
"Menurutmu?" tanyaku balik.
"Aku minta maaf soal di masa lalu, tapi aku punya alasan. Apa kamu mau mendengarkannya?" tanya Sean lagi, tetapi aku hanya diam dan tidak men jawabnya. Akan tetapi, dia mulai menceritakan semuanya.
"Aku punya kenalan, dia perempuan yang menyukaiku, tapi aku tidak suka. Suatu hari, dia dihamili oleh seseorang dan dia membuatku menjadi pelakunya. Bahkan, dia sampai merekayasa kejadian. Sekeras apa pun aku mengelak dan membela diri, tidak ada satupun yang percaya, kecuali Bima, hingga akhirnya kita berdua menikah dan bayinya lahir." Sean berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan kisahnya.
"Saat itu aku kasihan saat akan melakukan tes DNA dan akhirnya aku menunggu hingga anak itu sedikit lebih besar. Saat ketahuan bahwa aku bukan ayahnya, akhirnya kita berpisah, tapi aku mengambil hak asuhnya. Sejak awal menikah, bahkan dia enggan untuk menyentuh anaknya sendiri. Bahkan, dia tidak diterima lagi oleh keluarganya dan begitupun anak itu. Hal itu membuat dia melakukan bunuh diri, jadi, itulah yang terjadi saat itu." Setelah mendengar cerita Sean, aku hanya diam dan tidak menyangka akan hal itu. Aku juga merasa kasihan dengan apa yang menimpanya dan rasa penasaran ini sudah terbalas.
"Aku turut merasa kasihan untukmu, dan aku sudah memaafkanmu. Aku sempat terkejut karena kamu kakak Bimo. Ternyata, dunia ini benar benar sempit," ucapku dengan menatap langit-langit yang mulai membiru itu.
Untuk beberapa menit, kami duduk terdiam hingga suara ponsel terdengar dan Sean pergi setelah menerima panggilan itu. Sedangkan aku pergi untuk membeli sarapan pagi di sebuah warung nasi uduk yang tidak begitu jauh dari gedung apartemen. Setelah itu, aku bersama Laras dan keponakannya menyantap makanan bersama.
14. Bertemu Perempuan Yang Cantik
Saat kegiatan sarapan, aku menceritakan semua tanpa ada yang terlewat satu pun. Ekspresi Laras pun terkejut saat mendengar penuturan ku. Setelah sarapan usal dia bergegas pergi bekerja dan sambil mengantar keponakannya itu. Sedangkan aku, hanya duduk dengan menulis setiap hari. Menghabiskan waktu yang seperti itu-itu saja, hingga tiba di hari aku bertemu seorang perempuan cantik yang tengah berdin di depan pintu masuk apartemen. Aku baru saja dari pasar membeli kebutuhan bulanan dan dapur.
"Ada yang bisa dibantu mba?" tanyaku dengan bersikap ramah.
"Ah, saya ingin ke apartemen teman, tapi saya tidak bisa menghubunginya." Dia menjawab dengan suara lemah lembut dan senyum lebat yang kikuk.
"Ah, biasanya ada pak satpam. Sepertinya beliau sedang istirahat, kalau begitu mau aku bantu. Ayo," ucapku mengantarkannya hingga di depan pintu apartemen seseorang yang ku kenal. Saat hendak pergi, perempuan itu mem inta untuk ditemani olehku. Entah apa alasannya dan kenapa.
Wajah memelasnya membuatku segan untuk menolak dan ku putuskan mene mani dia hingga 10 menit berlalu, tetapi tidak ada jawaban apa pun.
"Ini sudah 10 menit, mungkin dia tidak ada di rumah. Aku ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Saat aku melihat wajah perempuan itu, dia tampak sangat sedih.
"Padahal, hari ini dia libur kerja. Tapi, dia selalu seperti ini. Aku tidak tahu, apa salahku, tapi dia terus menghindar. Bahkan, dia selalu menolak bertemu denganku. Kami akan menikah 6 bulan lagi, aku tahu, dia sudah menolak beribu kali perjodohan ini. Tapi, apa dia harus berperilaku sampai seperti ini?" Dia mengatakannya dengan air mata yang telah mengalir. Dengan rasa kasihan yang datang, kulakukan panggilan telepon seluler ke Bimo dan dia mengangkatnya cepat.
"Cepat buka pintunya!" Aku berkata dengan terus menekan bel dan menampakkan wajah serius di kamera pintu. Detik berikutnya, pintu apartemen terbuka dan Bimo mengubah ekspresi wajah senang menjadi kesal.
"Dia menunggu bermenit-menit untuk bertemu denganmu, apa kamu tidak kasihan? Membuat anak orang berdiri dan menunggu, masuklah. Aku pergi dulu," ucapku bergegas pergi dan pulang. Saat aku sampai di apartemen, Laras mulai mengoceh dengan cepat dan memarahiku hanya karena terlalu lama pergi.
Aku mulai memasak dengan mendengarkan segala ocehan Laras yang tidak ada hentinya, dia bahkan mulai men geluarkan kata-kata sindiran hingga 1 jam kemudian. Aku telah selesai memasak dan kami mulai makan siang bersama.
"Kamu tahu Laras, tadi aku berteru dengan siapa?" Aku membuka pem bicaraan dengan bertanya
"Siapa? Si Sean atau si tukang selingkuh?" tanya Laras balik
"Bukan keduanya, kamu akan terkejut jika mendengarnya. Aku bertemu dengan seorang perempuan cantik yang merupakan calon istri dari Bimo." Saat Laras mendengar penuturan ku, dia tersedak karena terkejut dan meminum air dengan cepat.
"Apa? Kamu tidak lagi bercanda kan?" Aku menggeleng yang menjadi jawaban bahwa diri ini sama sekali tidak bercanda atau berbohong.
"Wah, ini hebat. Ada apa dengan hidupmu? Bertemu dengan teman kecil yang merupakan cinta pertamamu, bertemu dengan para pertama, dan sekarang bertemu dengan calon istri Bimo, hidupmu seperti penuh drama." Laras berkata dengan heran dan takjub secara bersamaan.
"Hidup manusia memang penuh drama dan memiliki kisah masing masing," balasku kemudian.
"Seperti apa dia?" tanya Laras lagi
"Dia tinggi, wajahnya oval tapi sedikit bulat dia cantik dengan rambu pan jangnya, dan lemah lembut, sepertinya dia orang yang baik dan terlihat seperti karakter utama yang sering ditemui di cerita romance. Dia cocok menjadi Tokoh utama," ucapku, menjelaskan den gan takjub.
"Jangan menilai orang dari penampilan dan visualnya, kita tidak tahu dia seperti apa. Mungkin saja dia bukan tokoh utama, bisa saja kamu tokoh utamanya." Aku yang mendengar ucapan Laras berhenti menyuapkan makanan.
"Itu tidak mungkin. Apa ada tokoh utama yang merupakan cinta pertama?" tanyaku yang mencoba menyanggah perkataan Laras.
"Aku bertemu dengan beberapa orang yang akhirnya bersatu dengan cinta pertamanya. Itu mungkin saja, kan bukan kamu yang menulis garis hidup manusia." Laras berkata dengan begitu bangga.
"Dari mana kamu mendapatkan kata-kata itu?" tanyaku yang penasaran. Soalnya, dia bukan tipe orang yang puitis den pintar merangkai kata-kata.
"Dari novel yang ku baca," jawab Laras dengan senyum lebar dan bangga. Setelahnya, kami memainkan permainan batu, kertas dan gunting untuk menentukan siapa yang akan membersihkan cucian piring kotor.
Aku sangat senang saat Laras harus membersihkan cucian piring, aku dan Bella-keponakan Laras duduk santal menyantap buah pir. Saat tengah mengunyah dan menonton Laras yang men cuci dengan kesal. Ponselku berbunyi nyaring, tertera nama Bimo di layar. Dia mengirim pesan permintaan maaf karena telah merepotkanku. Bimo juga mengajakku makan malam dan ku iyakan dengan cepat. Setelah selesai menyantap buah, ku masuk ke kamar dan kembali berkutat dengan laptop. Melanjutkan tulisanku.
15. Bertemu Dengan Ayahnya
Malam pun tiba, tepatnya pukul 19:00 WIB Aku telah mengenakan pakaian seperti biasa, celana jeans panjang biru gelap dan hoodie biru muda. Setelah berpakaian rapi, aku menunggu dengan duduk di sofa dan bermain pansel. Suara ketukan pintu membuatku tersadar dan mematikan ponsel cepat.
Saat ku lihat di layar, senyum lebar terlukis di wajah. Tanpa berbasa basi, kami bergegas pergi ke sebuah cafe milik Heri. Rasa ingin menolak tetapi tidak dapat melakukannya. Kami diam untuk beberapa detik, hingga dia mulai membuka obrolan mengenai perempuan kemarin.
"Dia namanya Amanda Wulandari kami djodohkan Aku sudah menolak beribu kali, tapi saudara ibuku terus memaksa dengan alasan itu adalah keinginan ayah." Dia berhenti sejenak sebelum meneruskan ceritanya.
"Aku sudah menceritakan alasan kenapa tidak menepati janji. Mereka, ayah dan ibu angkatku lah yang menyelamatkanku. Dulunya, mereka adalah seorang dokter. Mereka menyelamatkan aku saat tengah melakukan bantuan di negara itu, ibu meninggal dunia 5 tahun lalu dan ayah tengah sakit." Bimo bercerita dengan wajah sedih. Setelah mendengarkannya, aku jadi bingung untuk menimpalinya seperti apa.
"Semoga Ayahmu cepat sembuh," ucapku akhirnya. Mata ini bertatapan dengan Bimo, saat itu, aku mencoba untuk membaca apa yang tengah dipikirkannya, tetapi nihil. Aku tidak dapat membaca raut wajah dan pikirannya.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa ada yang salah?" tanyaku dengan penasaran.
"Tidak, aku kira kamu akan marah. Tentang perempuan itu," ucap Bimo kemudian.
"Kenapa harus marah? Apa karena kamu tidak memberitahuku? Kamu berhak untuk memberitahu ataupun tidak," ucapku yang baru sadar atas perkataan ini Harusnya aku tidak berkata seperti itu, tetapi saat dilihat, Bimo mensasang senyum lebar.
"Aku kira kamu akan marah," ucap Bimo.
"Aku tidak marah karena kita tidak memiliki hubungan khusus, kecuali kamu itu pacarku. Aku pasti akan marah," balasku dengan cepat. Dalam seketika, aku merasa suasana berubah dan lagi-lagi, sepertinya perkataanku akan menyakiti Bimo.
"Kamu benar, kita tidak memiliko hubungan apa pun. Bahkan, dulu dan sekarang, aku tidak mengatakannya dengan serius. Jadi, tentu saja wajar bagimu untuk menganggap tidak ada hubungan apa pun. Lebih tepatnya, tidak mengatakannya dengan langsung, jelas, dan serius. Kamu itu bukan tipe yang suka basa-basi." Aku yang mendengar penuturan Bimo, hanya diam dan tidak menimpalinya.
"Rencananya, hari ini aku ingin mengajakmu untuk bertemu Ayahku juga. Apa kamu mau?" tanya Bimo kemudian.
"Aku mau-mau saja sih, tapi, jam malamnya sampai pukul berapa?" Aku menerima ajakan Bimo dan setelah acara makan malam usai, kami bergegas ke rumah sakit tempat ayahnya di rawat yang ternyata tidak begitu jauh dari cale milik Heri.
Sekarang, kami telah berada di salah satu kamar rumah sakit berlebel VVIP. Kami duduk di samping Ayah Bimo yang terbaring tidak berdaya, alat bantu napas terpasang rapi, Bimo mulai memperkenalkan diriku dan menceritakan per jalanan panjang dirinya untuk mencoba menemui ku Aku tersipu malu dan menangis saat Bimo berkata, "Aku hanya ingin menikah dengan perempuan di sampingku. Bimo mengatakannya dengan senyum lebar, mata kami saling bertemu dan dia menatapku hangat. Aku membalas senyumannya dengan wajah yang panas ini.
Wajahmu merah sekali, tapi aku suka saat wajahmu seperti itu. Saat mendergar perkataan Bimo, aku menundukkan kepala karena tasa malu yang datang tanpa sepatah kata pun dan saat itu, aku melihat tangan Ayah Bimo bergerak.
"Tangan ayahmu," bergerak ucapku.
Setelahnya, dokter dan perawat datang. Mereka tengah berbicara dengan Bimo di ruang kerja dokter. sedangkan aku duduk menunggu di kamar ini. Saat aku membalas pesan singkat, pintu kamar terbuka, tetapi itu bukan Bimo melainkan Sean yang datang bersama anaknya. Aku segera berdiri dan sedikit menjauh dan tempat tidur pasien.
"Bimo sedang berbicara dengan dokter," ucapku, saat Sean duduk di kursi bersama anaknya yang dipangku.
"Duduklah, tidak perlu bersikap kaku seperti itu." Sean berkata dengan menepuk-nepuk kursi. Aku sedikit man jauhkan kursi dan duduk dalam diam, mendengarkan Sean bercengkrama dengan anaknya.
Tidak lama kemudian, Bimo kembali dan pergi keluar dengan Sean untuk membicarakan sesuatu. Sedangkan aku, diminta untuk tetap bersama dengan anaknya Sean yang tengah memainkan robot.
"Oh, ya. Siapa namamu? Aku Lila Kamala, panggil saja Lila atau kalau mau panggil Kak Lila." Aku menga jaknya untuk berkenalan, tetapi dia hanya diam dan tidak menjawab sama sekali. Beberapa pikiran muncul di otak, antara anak laki-laki ini memang enggan berbicara dengan orang asing atau karena takut. Dengan memutar otak, ku putuskan untuk membahas soal robot Transformers yang di mainkan oleh anak itu.
"Berapa banyak robot Transformers yang kamu punya Aku punya 5 buah, ada Optimus Prime Bumblebee, Jazz Megatron dan Ratchet," ucapku yang mencoba untuk membuat anak ini membuka suaranya.
"Aku punya lebih dari itu, ada yang besar juga. Seberapa besar punyamu?" Saat aku mendengar penuturan anak ini rasanya ingin ku cubit keras-keras
Aku menjawabnya dengan sangat jujur dan kemudian, kami saling memamerkan foto dan koleksi robot Transformers Entah kenapa, hati ini kesal saat melihat anak itu begitu, seakan semua yang telah ku beli tidak artinya bagi dia. Kekesalan ini tidak hilang sampai Bimo menghentikan kendaraan di tempat parkir.
"Sudahlah, dia hanya anak kecil." Tanpa berkata apa pun, aku keluar dengan amarah yang berada dipuncak. Meninggalkan Bimo, bahkan aku tak menimpali ucapannya. Saat sampai di kamar, aku tidur dengan penuh emosi.
Chapter 16 Siapa Yang Penghalang?
Beberapa minggu setelahnya, belum ada berubahan yang sangat penting. Keadaan Ayah Bimo masih sama seperti sebelumnya, hubunganku dengan Bimo semakin baik dan erat. Dia bahkan memberikan kalung yang merupakan pemberian dari ibunya.
Namun, perempuan bernama Amanda merasa terusik karena ku. Bahkan dia sempat memberikan beberapa kata patah yang memintaku untuk menjauh dari Bimo. Tidak hanya sampai di sana, dia juga membawa bibi Bimo dan sekarang tengah duduk di depanku dengan memberikan sebuah amplop cokelat yang cukup besar.
"Pergilah yang jauh, jangan mengganggu hubungan antara Bimo dan Amanda." Aku hanya diam saat mendengar ucapan bibi Bimo.
"Aku tidak butuh itu, aku dapat menghasilkan uang sendiri. Dan setahuku, hanya Amanda yang menganggap hubungan ini. Bukankah Bimo menolak dengan keras perjodohan itu," ucapku dengan mencoba tuk tetap tenang.
"Kamu itu orang baru yang masuk ke dalam lingkaran ini, tentu kamu belum mengetahui banyak hal. Amanda adalah sosok yang sangat penting untuk Bimo. Di saat masa-masa sulit, dia berada di sampingnya, merawat dengan segenap hati. Bahkan Bimo hampir melupakanmu, tapi entah darimana dia bisa mengingatmu lagi." Aku terdiam untuk beberapa waktu dan masih mendengarkan apa yang dikatakan bibi Bimo.
"Mereka bahkan sudah mengikat hubungan, tapi kamu merusaknya. Dikarenakan kamu yang selalu mendatanginya melalui mimpi, dia memutuskan untuk mencarimu. Cinta pertamanya." Ku lihat wajah wanita itu yang tengah kesal, berbeda dengan Amanda. Dia hanya diam dan tidak berkata apa-apa.
"Aku tidak tahu, kepentingan apa yang ada di antara hubungan antara dia dan Bimo. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Cinta pertama tidak akan berjalan lancar, itu yang sangat banyak terjadi kepada banyak orang." Aku mengatakannya dengan menyembunyikan semua emosi ini.
"Apa kamu benar-benar akan menjauhi Bimo?" tanya Amanda.
"Aku tidak bilang akan menjauh. Waktulah yang akan menjawabnya, maaf, aku masih banyak hal yang harus dikerjakan." Setelah mengatakan hal itu, aku pergi dan bergegas pergi ke terminal bus untuk menuju Bogor.
Setelah perjalanan yang panjang, aku telah berada di sebuah cafe di sekitaran puncak Bogor. Awan semu yang berterbangan mulai memudar dan berubah menjadi sedikit cerah. Pepohonan yang terkena derasnya hujan terlihat sangat senang. Udara sekitar café terasa begitu segar tanpa polusi.
Aku duduk dengan ditemai secangkir teh panas yang telah kosong beberapa kali. Menunggu adalah sebuah kegiatan yang sangat membosankan, tetapi aku tetap melakukannya.
Duduk seorang diri sejak pukul sebelas siang, hingga jarum jam telah menunjuk angka tiga. Sudah lama aku terduduk tanpa melakukan apa pun, bahkan lapar pun tetap tertahan. Sejenak aku berpikir beberapa hal, hingga satu keputusan telah diambil. Aku segera pergi setelah membayar tagihan minuman teh hangat.
Sepanjang perjalanan menaiki bus dari Bogor ke Jarakta, aku hanya duduk diam di kursi ke-tiga dari depan. Membutuhkan waktu kurang lebih dua jam, kini bus telah terparkir rapi di Terminal Kampung Rambutan. Saat baru melangkah keluar dari bus, terdengar dering ponsel dari tas selempang hitam yang ku kenakan.
Saat mata ini melihat nama laki-laki yang membuatku menunggu lama. Aku angkat telepon dengan wajah malas. Terdengar jelas, laki-laki di seberang sana meminta maaf karena tidak dapat hadir.
“Setidaknya, kamu mengirim pesan. Jadi, aku tidak perlu menunggu. Bahkan kamu tidak membalas pesanku.” Setelah mengatakan beberapa kata, aku mematikan ponsel dan pergi meninggalkan terminal tersebut.
Marah dan kesal, itulah yang kini tengah aku rasakan. Mungkin karena harapan yang terlalu tinggi, seharusnya aku tetap mengubur semua itu dan jangan pernah dikeluarkan. Akan tetapi, hati ini selalu berharap.
Sekarang aku berada di apartemen dan sudah mendapati anak Sean yang tengah bermain dengan begitu riangnya. Aku duduk di sofa dengan memandangi kedua perempuan yang asyik bermain penuh tawa.
"Ada apa dengan ekspresi wajahmu itu?" tanya Laras.
"Aku hanya lelah, kenapa Sean menitipkan dia di sini?" tanyaku.
"Ah, itu. Ayahnya tengah kritis dan juga, ada kejadian lain. Amanda mencoba untuk bunuh diri karena Bimo terus menolak perjodohan," jawab Laras. Setelah mendengar dua berita buruk itu, aku pergi ke kamar tanpa sepatah katapun.
Aku duduk di depan laptop yang telah dinyalakan dengan jari-jari di atas keyboard, mengetik setiap kata menjadi susunan kalimat. Dan ku akhiri cerita ini. Setelahnya, aku tertidur dengan paksaan.
Chapter 17 Sebuah Kesalahan Yang Tidak Dapat Disalahkan
Esok harinya, aku duduk dengan memakan buah-buahan yang segar. Menatap lekat layar laptop dan dengan yakin ku jual semua aset saham tanpa menyisakan satu pun. Laras yang baru saja duduk di samping ku hanya melihat dan terkejut saat mengetahui bahwa aku menjual semua saham.
"Kenapa kamu menjualnya?" tanya Laras.
"Aku mau jualan dan berhenti jadi kreator," jawabku dengan tetap fokus menatap layar laptop.
"Kamu yakin? Beberapa kali aku dengar kata-kata itu, tapi akhirnya tidak jadi berhenti." Dia kembali bertanya untuk meyakinkanku akan keputusan yang ku ambil.
"Kali ini aku serius. Aku mau jadi pedagang aja, aku juga sudah menyelesaikan semua cerita yang ku buat. Aku butuh kesibukan lain," jawabku dengan memakan apel.
"Kenapa kamu membutuhkan kesibukan lain? Lalu, bagaimana dengan biaya apartemen? Kalau jadi pedagang, penghasilannya tidak menentu bukan? Belum tentu dapat untung," ucap Laras dengan begitu banyak pertanyaan.
"Aku butuh kesibukan yang tidak membuatku memikirkan hal lain," ucapku dengan menghela napas kasar.
"Kalau begitu, tidak perlu menjual semua aset saham mu bukan. Kamu hanya perlu melakukan kesibukan lain," timpal Laras yang terlihat kesal itu.
"Kamu benar." Aku menaruh kepala ke meja, menyembunyikannya dengan dalam.
"Ceritalah kalau ada masalah." Aku yang mendengar ucapan Laras hanya diam dan tidak menjawab, hingga kemudian Sean datang menjemput anaknya. Ketika Sean telah pergi, ku minta Laras untuk duduk dan mendengarkan semua cerita tentang hari kemarin. Dia bereaksi seperti biasa, terkejut dan penuh kekesalan.
"Kamu itu bukan penghalang, jadi, jangan terlalu dipikirkan." Aku membalas perkataan Laras cepat.
"Yang aku pikirkan bukan tentang itunya, tapi, seberapa banyak mereka akan berbohong dan menyembunyikannya. Aku sudah bersiap diri untuk mendengar dan menghadapinya," ucapku menutup laptop dan mengangkat telepon dari Heri yang memintaku untuk datang, membantunya dalam beberapa pekerjaan.
Setelahnya, aku bergegas pergi ke cafe dan bekerja seharian. Akan tetapi, aku tidak langsung pulang. Melainkan duduk di lantai atap dengan secangkir kopi hitam kemasaan tanpa gula. Aku tidak menikmatinya sendiri, Heri menemaniku dan seakan siap kapanpun.
"Sebenarnya, ada yang ingin aku tanyakan. Sepertinya akan sangat banyak pertanyaan untukmu," ucapku yang membuka percakapan ini.
"Tanyakanlah," balas Heri.
"Waktu itu, kamu pernah bilang, 'Aku tidak bisa membuatmu berhenti, dan jika kamu terluka lagi, datanglah padaku. Aku selalu ada untukmu.' kamu mengatakannya seakan tahu banyak tentang Bimo dan apa yang akan terjadi kepadaku. Seberapa banyak dan lama kalian akan berbohong dan bersembunyi?" tanyaku.
"Kamu benar, aku tahu banyak. Aku juga tahu seperti apa Bimo dan Amanda. Jujur, aku bertemu mereka bertahun-tahun yang lalu." Aku tidak bisa berkata ketika mendengar jawaban Heri.
"Ah, apa kamu tidak ingin memberitahukan karena takut aku terluka? Atau karena dia mearangmu untuk melakukannya?" tanyaku yang berusaha setenang mungkin dan menyembunyikan semua emosi ini.
"Dia tidak melarang ku, itu keputusan yang ku ambil. Kamu benar, aku takut kamu akan terluka. Tapi, setelah semua ini. Aku sadar, semua ini salahku. Jikalau aku memberitahumu semua fakta ini, mungkin kamu akan menolak keras dia. Aku minta maaf," ucap Heri yang menyesalinya.
"Tidak perlu meminta maaf, semua sudah terjadi. Ada satu hal lagi, Bibi Bimo dan Amanda mendatangiku. Ada satu lagi yang ingin aku tahu antara Bimo dan Amanda. Mereka, apa pernah menjalin hubungan? Dan apa yang terjadi di antara mereka?" tanyaku dengan rasa ingin tahu ini.
"Bukannya aku tidak mau memberitahu, tapi alangkah baiknya. Kamu menanyakannya langsung ke Bimo, jika aku yang menjawab, takutnya nanti akan ada bumbu-bumbu di dalamnya." Aku mengangguk paham mendengar jawaban Heri.
Setelah pertanyaan terakhir itu, kami diam dan menikmati malam tanpa bintang. Ketika itu pula, terdengar dering ponsel. Ku ambil ponsel, tetapi sama sekali tidak menyala. Heri yang menyadarinya membuka ponsel dan mengangkat telepon dari seseorang. Setelahnya Heri kembali, mengajakku untuk menjenguk Ayah Bimo dan Amanda. Sekaligus dia juga akan menjemput ibunya yang telah sejak sore di sana.
Chapter 18 Akhirnya Memilih Untuk Tidak Bersandar
Sesampainya di rumah sakit, aku selalu mengekor Heri hingga telah sampai di ruang kamar inap Ayah Bimo. Di sana juga ada Sean, paman, dan bibinya. Dikarenakan perasaanku yang tidak nyaman, aku keluar untuk mencari udara segar. Duduk di bangku lobi rumah sakit, tetapi aku tidak sengaja melihat Bimo yang membawa sebuket bunga.
Melihatnya membuatku terpikir untuk bertanya ke Sean di kamar berapa Amanda dirawat. Setelah mendapatkan informasi itu, aku bergegas menuju lantai tujuh. Ketika sampai di depan ruang inapnya, aku melihat melalui celah kaca di pintu. Bimo berada di dalam sana dan bercengkrama ria dengan Amanda. Aku urungkan niat untuk membuka pintu dan tetap berdiri, bersandarkan dinding.
Dengan jelas aku dapat mendengar percakapan di antara mereka. Ketika ku dengar Bimo akan keluar sebentar untuk meroko, aku pergi menuju taman di lantai tersebut. Saat itu, aku melihat orang-orang yang tengah berkerumun.
Beberapa orang meminta perempuan berpakaian pasien untuk turun, dia berdiri di pinggir bangunan dan sepertinya berniat bunuh diri. Akan tetapi, dari mereka semua dan para perawat ataupun dokter, tidak ada yang dapat membuatnya turun. Sang perempuan hanya semakin menangis histeris dan mengutarakan isi hatinya, beserta alasan kenapa ingin mengakhiri hidup.
Dengan menghiraukan perkataan orang-orang yang menyuruhku untuk tidak mendekati perempuan itu. Aku tetap melakukannya, berjalan semakin dekat dan sekarang hanya berjarak tiga meter.
"Turunlah! Kamu akan menyesal setelah melakukannya," ucapku memintanya untuk turun, tetapi dia tidak mau untuk turun.
"Kamu siapa? Kamu tahu apa tentang perasaanku? Karena aku penyakitan seperti ini, dia pergi meninggalkanku dan memiliki pacar baru. Lebih baik aku mati saja, percuma hidup." Dia berkata dengan keras di sela-sela menangisnya.
"Aku tahu perasaanmu, aku juga seringkali memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup. Tapi, aku selalu mengurungkan niat itu. Aku lelah dengan hidup ini, seakan, aku hidup untuk tidak bahagia. Tapi, aku tetap hidup untuk menunggu kematian ku." Aku berhenti sejenak, menghela napas pelan.
"Bunuh diri hanya karena kamu dicampakkannya, itu tindakan bodoh. Bahkan, alasan apa pun, tidak membenarkan bunuh diri. Bukankah kamu harus menunjukkan kepadanya. Tanpanya, kamu bisa hidup bahagia, mendapatkan seseorang yang layak. Lebih layak dari dia," ucapku begitu panjang dan tanpa sadar air mataku turun. Ku lihat perempuan itu mengeraskan suara tangisannya. Tanpa berpikir lagi, aku menarik tangannya dan saat itu ku peluk dia dengan erat.
Setelah dia merasa tenang, semua orang berhamburan pergi dan hanya tersisa kami yang tengah duduk di bangku kayu. Dia menghapus sisa-sisa air mata dan mencoba untuk membuang semua beban, sehingga dia cukup lebih tenang dari sebelumnya.
"Terimakasih banyak karena sudah menyadarkan ku, jika tidak ada Mbak. Mungkin aku sudah terjun," ucapnya dengan senyum kecil.
"Sama-sama," balasku.
Setelahnya, aku pulang tanpa pamit atau mengirimi Heri pesan. Akan tetapi, ketika di tengah perjalanan. Aku memutuskan menelpon Heri dan memberitahunya untuk bertemu di sebuah Bar yang merupakan tempat langganan Laras. Mengurungkan niatku yang tadinya akan pulang.
Beberapa menit berlalu, aku sudah menghabiskan dua gelas jus anggur. Bahkan aku sama sekali tidak mengantuk meski sekarang jam telah menunjukkan pukul 23:55 WIB. Tidak lama Heri datang dan duduk di samping kiriku.
"Apa kamu minum alkohol?" tanya Heri.
"Tidak, ini jus anggur. Nanti aku kena marah Laras," balasku sambil minum jus anggur.
"Ada apa? Bahkan kamu tidak mengirim pesan ataupun berpamitan," tanya Heri yang meminum air putihnya.
"Aku menguping pembicaraan Bimo dan Amanda, di ruang inapnya. Dulu mereka saling menjalin hubungan, bahkan, sampai sekarang pun Bimo masih memiliki perasaan kepadanya. Lalu, aku ini apa? Sepertinya benar, bahwa aku penghalang untuk mereka." Aku diam sejenak, menatap wajahku di pantulan jus anggur itu yang tidak terlihat sama sekali.
"Beberapa hari yang lalu, kamu pasti ingat. Aku tidak akan bersandar kepada siapapun sebelum mengakhirinya dengan Bimo. Dan sampai aku melupakannya," ucapku meneguk habis jus anggur, lalu ku pesan anggur merah yang benar-benar memiliki kadar alkohol.
Namun, Heri mencegahnya dan membayar semua minuman yang ku pesan. Dia menarikku pergi dari Bar, mengantar pulang tanpa sepatah katapun. Aku menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri dan memejamkan mata dengan erat.
Chapter 19 Pengakuan Sean
Suara keras alarm membangunkan ku. Ketika ku lihat ponsel, jam telah menunjukkan pukul 06:00 WIB. Aku terbengong saat menyadari terbangun di kamarku dan ingatan tadi malam datang. Aku sepertinya tertidur di mobil Heri dan dia mengantarku.
Dengan cepat ku ambil ponsel dan mengirimkan pesan terimakasih kepada Heri. Setelahnya, aku keluar kamar dan mendapati Laras yang tengah duduk di sofa dengan memberikan tatapan tajam untukku. Aku menghampiri Laras, duduk tepat di sampingnya dan akan mengambil roti.
"Tadi malam, dari mana kamu? Kenapa pulang dalam keadaan tidur?" tanya Laras.
"Ah, aku pergi dengan Heri dan ketiduran di mobil." Aku mengunyah pelan roti selai cokelat sambil menjawab pertanyaan Laras.
"Kamu yakin pergi dengan Heri?" tanya Laras lagi dan aku menjawabnya dengan menggangguk.
"Bukannya aku tidak percaya, tapi, tadi malam yang mengantarkanmu pulang itu Bimo bukan Heri. Jika memang kamu pergi dengan Heri, ada sekenario lain. Kemungkinan, Bimo bertemu kalian di jalan atau di depan Apartemen. Lalu, Bimo memaksa Heri untuk memberikanmu padanya." Ketika aku dengar perkataan Laras, itu cukup masuk akal, tetapi terlalu drama sekali.
"Bukankah itu terlalu drama, mana mungkin." Aku membalas perkataan Laras dengan mencoba untuk tidak percaya.
"Apa kamu tidak percaya dengan teman sendiri? Aku menyaksikannya sendiri, bahkan Bimo mengecup keningmu dan mengatakan, 'Selamat tidur, mimpilah yang indah' wah, itu seperti yang ada di drama-drama." Aku menghela napas panjang saat mendengarnya.
"Masalahnya, aku mengirim pesan ke Heri dan berterimakasih kepadanya. Ternyata aku salah mengira," ucapku memasukan potongan terakhir roti selai cokelat itu.
"Wah, apa Heri sudah menjawab pesannya?" tanya Laras dan aku cepat membuka ponsel untuk mengecek. Ternyata, Heri sudah membalasnya. Ketika aku baca, dia berkata jujur bahwa bukan dirinya yang mengantarku ke kamar.
"Benar, itu bukan Heri. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Aku bertanya kepada diri sendiri dan Laras.
"Kamu harus berterimakasih kepada Bimo, berikan dia makan siang buatanmu. Bukankah dia belum pernah merasakan rasa masakanmu," ucap Laras memberikan saran padaku.
Aku berpikir beberapa menit dan akhirnya ku lakukan saran dari Laras, membuatkan makan siang untuknya. Sekarang aku tengah berada di lantai 4 tempat kerja Bimo yang dimana merupakan tempat terbuka, dikhususkan untuk para karyawan. Tadinya aku hendak pulang setelah mengantar makanan dan berterimakasih, tetapi Bimo mencegahku untuk pergi. Dia juga yang membuka percakapan pertama.
"Terimakasih karena telah menjenguk ayahku tadi malam," ucap Bimo sambil mengunyah makanan.
"Sama-sama," balasku singkat.
"Tadi malam, di lantai tujuh. Aksimu hebat, tapi apa benar kamu sering berpikir untuk mengakhiri hidup?" tanya Bimo.
"Ya itu dulu, sekarang sudah tidak." Aku menjawabnya tanpa melihat ke arah Bimo.
"Katakan itu dengan menatapku," ucap Bimo dengan suara seriusnya.
Aku yang mendengar ucapan Bimo terdiam beberapa detik hingga ku ikuti permintaannya. Mengatakannya lagi dengan menatap sepasang mata Bimo, hanya beberapa detik, aku telah memalingkan wajah ke arah lain. Kami hanya saling diam untuk beberapa menit hingga Bimo telah menghabiskan makanannya.
"Ini pertama kalinya aku memakan masakanmu dan ini enak, maukah kamu memasakanku lagi?" tanya Bimo.
"Aku tidak tahu, aku juga punya kesibukan. Aku memasak untukmu karena Laras menyarankannya," jawabku cepat sambil membereskan tempat makanannya. Mendengar jawabanku, Bimo tidak lagi mengeluarkan suara dan aku bergegas pergi.
Setelah sampai di apartemen dan membersihkan semua tempat makan, ku putuskan untuk pergi ke Festival Kuliner Nusantara yang tiadakan tidak begitu jauh dari tempat tinggal ku. Sesampainya di sana, ku habiskan waktu seharian sendiri.
Mencoba setiap makanan yang membuatku tertarik dan ketika pulang, aku bertemu dengan Sean di depan Apartemen. Dia tengah berdiri dan terlihat seperti orang yang tengah menunggu. Ketika ku tanya dia sedang apa? Ternyata, dia menungguku untuk membicarakan sesuatu dan kami duduk di taman.
"Kemarin, saat kamu keluar dari ruang inap Ayahku. Aku mengikutimu dan kamu berdiri di depan ruang inap Amanda. Kenapa kamu tidak masuk?" tanya Sean yang mungkin dia penasaran.
"Aku tidak enak untuk mengganggu mereka," jawabku pelan.
"Kenapa harus tidak enak? Kamu ke sana untuk menjenguk bukan? Apa kamu mendengar sesuatu?" Sean kembali bertanya.
"Kamu benar, karena aku menguping pembicaraan mereka. Jadi, jika aku masuk akan merasa tidak enak." Aku menjawab dengan sedikit kebohongan.
"Tidak perlu berbohong, aku tahu betul kebiasaannya saat tengah berbohong. Apa yang mereka bicarakan? Apa itu membuatmu menjadi bimbang?" Mendengar penuturan Sean membuatku berhenti memainkan ibu jari dan telunjuk. Aku menghela napas dalam-dalam sebelum kembali membalas ucapan Sean.
"Sepertinya, aku bimbang lagi. Menurutmu aku harus bertanya langsung padanya atau menunggu dia yang mengatakannya?" tanyaku dengan wajah sedih ini.
"Menurutku, tanyakan saja langsung. Agar kamu tidak terluka lagi dikemudian hari," ucap Sean, tentunya itu juga yang aku inginkan. Akan tetapi, aku harus mengumpulkan banyak keberanian untuk mengatakannya.
"Aku sudah mengenalmu cukup lama, jujur, aku masih memiliki perasaan padamu. Tapi, melihat kamu yang telah kembali ke perasaan sebelumnya. Membuatku mencoba untuk membuang semuanya." Sean berhenti sejenak, kemudian dia melanjutkan kembali ungkapan kejujurannya.
"Ada satu hal lagi. Pertemuanku dulu denganmu, itu bukan ketidaksengajaan, tapi itu memang sengaja. Aku membantu Bimo untuk mencari keberadaan mu di mana dan saat itu, aku malah jatuh hati. Pada akhirnya, kita pacaran. Dia tidak tahu fakta ini dan aku tidak ingin dia tahu. Aku takut dia akan terluka." Aku sedikit terkejut ketika mendengarnya. Setelah pembicaraan kami usai, aku bergegas pulang dan istirahat.
Chapter 20 Akhir Yang Ditentukan Oleh Diri Sendiri
Hari telah berganti, sekarang aku tengah berada di sebuah cafe bersama Bimo. Dia mengatakan ada yang ingin dikatakan kepadaku, beberapa menit kami tidak saling bicara. Aku pun tidak tahu harus memulainya dari mana, dia bertanya tentang aku dan Sean. Aku cukup terkejut saat Bimo berkata bahwa dia mendengar obrolanku dengan Sean di taman.
"Kenapa tidak memberitahu kalau kamu dan Sean pernah berpacaran? Kamu bisa memberitahuku," tanya Bimo dengan suara seriusnya. Sebelum menjawab pertanyaannya, aku menghela napas panjang.
"Menurutmu, jika kamu ada diposisi ku, apa kamu akan memberitahukannya? Itu mungkin akan membuat suasana menjadi canggung, aku tidak ada perasaan lagi padanya. Lalu, bagaimana denganmu dan Amanda?" Aku melepaskan semua dan tidak akan menahan kata-kata lagi. Bimo terdiam cukup lama hingga aku kembali membuka suara.
"Aku mengetahui semua itu dari orang lain. Kamu bilang, kamu mendengar obrolan ku dengan Sean. Seharusnya, kamu sudah tahu. Dan seharusnya aku yang bertanya tentang perasaanmu kepada Amanda. Di rumah sakit, apa kamu masih memiliki perasaan padanya?" tanya dengan penuh kekesalan.
"Kenapa diam? Kamu harus menjawabnya, agar aku tahu, apa aku harus berhenti atau lanjut. Awalnya pun aku ragu, perasaanku ini kepadamu. Apa hanya kasihan atau perasaan suka yang dulu kembali, dan aku tahu, perasaanku kepadamu tidak pernah hilang. Dan perasaanku pada Sean, sejak awal aku tidak memilikinya." Aku berhenti sejenak untuk menetralkan emosi agar tidak menggebu-gebu.
"Saat itu memang aku mencoba untuk membuka hati, aku berharap dapat melupakan tentangmu dan perasaan ini. Tapi apa, aku membuatnya menjadi bahan pelampiasan dan pelarian, seakan-akan aku sudah melupakanmu. Aku tahu, kalau aku ini jahat." Aku kembali berhenti berbicara, melihat Bimo yang tengah menatapku. Aku menunduk lagi dan mulai berbicara.
"Seharusnya, sejak awal kita tidak perlu membuat janji seperti itu dan seharusnya, kamu mengakhirinya. Jadi, kita tidak berakhir seperti ini." Ketika mengatakan itu, aku tidak dapat lagi menahan diri. Air mata ini keluar dengan sendiri, padahal aku sudah berusaha untuk tidak menangis.
"Kamu mungkin menyesal, tapi aku tidak menyesal sama sekali. Sejak awal hingga sekarang, aku hanya memberikan hati ini untukmu. Maaf, karena melibatkanmu ke dalam masalahku." Aku yang mendengar perkataannya, menghapus air mata ini.
Perkataan Bimo menjawab semuanya, bahwa dia tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Amanda. Kemungkinan itu hanya untuk membuat Amanda mengurungkan niatnya, tetapi aku tetap kesal dan marah. Dia melakukan itu seakan tidak ada cara lain menghadapi Amanda.
Setelah pembicaraan yang penuh emosi itu, kami berpisah melalui jalan berbeda. Ku putuskan untuk tidak pulang, tetapi pergi menghilangkan perasaan yang bercampur ini dengan mengunjungi game center dan tempat karaoke. Menghabiskan waktu seharian seorang diri hingga malam telah tiba. Aku pulang ketika jam telah menunjukkan pukul 24:00 WIB dengan membawa kantong plastik berisi es krim.
Sesampainya di apartemen, aku tidak bergegas untuk istirahat. Aku duduk di sofa, memakan semua es krim itu dengan menonton drama di laptop. Ketika semua es krim telah habis, aku mendengar teriakan Laras dan dia duduk di sampingku. Memahariku seperti biasa, tetapi dia berhenti ketika aku sama sekali tidak menimpalinya.
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Laras.
Tanpa menunggu aba-aba, aku kembali menangis dengan keras dan setelah tenang, ku ceritakan semua tanpa ada yang tertinggal.
"Lalu, sekarang kamu mau bagaimana? Tidak ada kata putus, sepertinya, dia benar-benar serius. Berikan dia waktu untuk menyelesaikannya, itupun jika kamu masih kuat untuk menunggu. Hanya kamu yang dapat memutuskannya," ucap Laras.
"Aku juga tidak tahu," ucapku dengan suara pelan.
"Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Ini sudah malam." Setelah itu, aku pergi untuk istirahat.
Ketika pagi menyapa, aku masih saja merenungkan diri dengan ditemani secangkir kopi. Setelah itu, aku sibuk dengan menonton film, drama, anime, dan bermain game. Menunggu kemungkinan dia akan menghubungiku, tetapi Bimo sama sekali tidak terjadi dan sejak hari itu, kami tidak pernah bertemu. Dia tidak lagi tinggal di apartemen, komunikasi kami berakhir di hari itu. Meski demikian, hati ini masih memiliki keinginan untuk menunggu.
Aku mengirimi Sean dan Heri pesan hanya untuk menanyakannya kabar Bimo. Mereka mengatakan hal yang sama, 'Kamu tidak perlu khawatir, dia tengah menyelesaikan masalahnya. Jika sudah terselesaikan, aku yakin dia akan mendatangimu.' Dengan harapan yang selalu ada di hati, ku putuskan untuk menunggunya lagi hingga dia datang.
~~~~¤ If It's You ¤~~~~
Epilog
Beberapa bulan berlalu, tepat di hari ulang tahunku. Laras mengajakku untuk mendatangi sebuah galeri lukisan yang memiliki banyak karya pacarnya. Ketika tengah melihat-lihat, adegan itu terulang kembali. Hari dimana pertama kali aku dan Bimo bertemu.
Aku sangat-sangat terkejut, senang, dan terharu, aku membalas senyuman lebar Bimo yang ditujukan untukku.
"Hai, apa kabar?" tanya Bimo dengan masih tersenyum lebar.
Setelah pertemuan kembali itu, kami membangun hubungan dari awal. Mengikat janji untuk tidak memutuskan talinya. Dua tahun kemudian, kami akhirnya menikah satu tahun yang lalu dan telah dikaruniai anak laki-laki. Dan disinilah kami, sebuah galeri yang menjadi pertemuan pertama kalinya. Melihatnya bersama dengan anak kami, aku sangat bahagia karena kisahku berakhir bahagia.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
