
Kita kembali menempatkan diri di dalam sepatu seorang Kopral Muda Norman. Kini, dia sudah beberapa hari menjalani masa penugasannya, dan menjadi lebih kuat setelah laga pertamanya. Kini, tantangan dan kesulitan baru menanti. Tantangan dan kesulitan yang mengharuskannya menegaskan otoritasnya sebagai seorang penyelamat tempur. Apakah ia dapat mendorong dirinya lebih jauh dari sebelumnya?
Sedikit pengingat: peran utama mereka adalah menyelamatkan nyawa. Kita sudah mengetahui tiga pasal tersirat. Membaca kembali kalimat pertama paragraf ini secara tidak langsung mengungkap pasal ke empat: Penyelamat Tempur memiliki kedudukan lebih tinggi dari semua orang, bahkan melebihi perwira. Secara praktik, otoritas mereka mutlak dalam situasi medis dan harus diakui, tidak bisa diganggu gugat dan harus dihormati. Jika ada campur tangan maka akan membahayakan perawatan dan kelangsungan hidup pasien.
Sejak laga pertamanya, dia hampir tidak bisa tidur nyenyak. Tindakan cerobohnya saat itu masih terbayang di pikirannya. Namun, di balik itu semua dia masih bersyukur—kedua temannya selamat dan dia berhasil menyelamatkan sepuluh nyawa. Hanya itu yang penting dan itulah satu-satunya hal yang terus ia ulang di pikirannya agar bisa tidur, meskipun selalu lewat tengah malam.
Perintah untuk memasuki kota akhirnya turun. Tidak ada perlawanan, dan bangunan-bangunan di kota itu banyak yang menjadi puing-puing. Tetapi pertempurannya belum usai, baru bagian selatan kota yang sudah diamankan. Mesin-mesin kendaraan meraung sebentar sebelum akhirnya terdiam, sepatu bot menghantam aspal retak, dan laras senapan menyisir sekeliling.
Regu tembak Charlie kekurangan satu penembak dan mereka belum mendengar kabar dari Alya. Namun, ketidakhadirannya seharusnya tidak jadi masalah—tiga dari empat penembak harusnya masih cukup untuk menjalankan tugas. Sersan Christy tetap memimpin regu—Kopral Muda Cathy sudah bersikap persetan dengan lukanya, dan masih memanggul senapan mesinnya—Chels, masih terus mengawasi mereka berdua—terutama, Cathy.
Suara statis terdengar. Diikuti suara komandan peleton mereka, Letnan Dua Eli.
“Semua Juliet 2, ini Juliet 2 Actual. Ada perkembangan situasi. Semua pemimpin tim, segera berkumpul di kendaraan saya.”
Christy meraih radionya; “Juliet 2-6-Charlie. Diterima.”
Ia langsung bergegas ke bagian belakang konvoi, meninggalkan Cathy dan Chelsea untuk sementara.
Sunyi. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah dentuman baku tembak dari arah utara. Namun, itu bukan alasan mereka untuk mengalihkan pandangan dan berhenti mengawasi sekeliling mereka. Beberapa saat kemudian, Christy kembali ke regu tembaknya, membawa instruksi dari komandan kompi mereka.
“Baik, dengarkan. Kompi Kilo sedang menyisir jalan dan bangunan, mereka butuh bantuan kita. Kabar baiknya—kita tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam bangunan mana pun. Kehadiran penyelamat tempur di dalam regu ini membuat kita tetap siaga.”
Chelsea bertanya; “Apakah akan ada evakuasi korban?”
“Tidak.” Balas Christy, menggeleng, “Jika ada korban luka, kita harus angkut mereka ke dalam mobil dan bawa mereka menyeberangi jembatan tadi. Tidak ada cara lain.”
Lalu—KRAK!
Sebutir peluru melesat di atas kepala mereka.
Insting mereka mengambil alih. Dalam sekejap, setiap laras senapan dalam kompi berbalik ke utara, satu-satunya arah sumber tembakan. Beruntung, hanya peluru nyasar yang memecahkan sebuah jendela. “Oke, ayo maju, kita ketiga di antrean,” perintah Christy tanpa membuang waktu. Mereka bergerak ke arah utara, menyusul kompi saudara mereka. Punggung menempel ke tembok, senapan terangkat mantap.
Blok pertama—aman.
Blok kedua—kontak singkat, tak ada korban.
Blok ketiga—seorang idiot mencoba menembak PPLB (Pengangkut Personel Lapis Baja).
Blok keempat—sama saja.
Lalu mereka tiba di blok kelima.
Ada jeritan nyaring—bukan manusia. Peringatan tunggal untuk mereka.
“Serangan roket!”
Mereka bergegas berlindung, tangan mendekap kepala. Sepersekian detik kemudian—dentuman, bising. Senapan mesin PPLB mengaum, menembak ke arah sumbernya. Lantunan rentetan senapan mengikuti peluru pelacak PPLB hingga mereka berhenti. Roketnya meleset, namun masih berbahaya. Seperti beberapa hari lalu, kuping Chelsea berdengung, tetapi ia masih fokus dan menangkap sesuatu—suara seorang prajurit yang terluka.
“Medis ke depan!” teriak seseorang, “Ada yang tumbang!”
“Ayo, Chels. Ikut aku!” Perintah Christy tanpa ragu.
“Di belakang kalian.” Cathy sudah siap menyusul.
“Tembakan pelindung!” Seru salah seorang pasukan, menutup jalan dengan timah.
Chelsea menerjang ke depan. Tembakan perlindungan meraung di belakangnya. Seorang prajurit lain terlihat menyeret prajurit yang terluka menuju perlindungan. Cathy mengambil posisi, menyudutkan musuh dengan tembakannya. Christy masih berada di antara penembak pendukung dan penyelamat tempurnya. Chelsea berlutut di samping prajurit yang terluka—masih merintih kesakitan. Chelsea langsung bekerja cepat—melepas helm prajurit itu dan meluruskan kepalanya.
“Hei, bro. Siapa namamu?” Tanya Chelsea, sambil memeriksa lukanya.
“Sam. Pratu Morrison.” Jawabnya, dengan rahang mengatup.
Chelsea menatapnya sekilas; “Aku gak peduli pangkatmu, kawan. Sam, bukan?”
Ia meringis; “Iya.”
Chelsea menatapnya dengan penuh keyakinan; “Dengar, Sam. Kamu akan baik-baik saja, Sam. Baik saja.”
Hanya pecahan peluru yang melukai prajurit itu—tidak fatal, tapi tetap berbahaya. Chelsea tetap tenang dan mengenakan sarung tangan karet. Dia cekatan—turniket terikat ketat. Perban ikut terbalut rapat. Satu dosis pereda sakit. Infus disuntik. Langkah-langkah dasar. Kemudian, dia menorehkan huruf “M” di dahi pasiennya.
“Ngomong, Chels. Bagaimana dia?” Christy bertanya, nyaris seperti kebiasaan.
“Dia stabil, Sersan—kita harus bawa dia pergi dari ini.” Balas Chelsea, suaranya mantap.
Christy meraih radionya; “Juliet 2-6 Bravo, ini 2-6 Charlie. Kami butuh tandu di depan. Sekarang.”
Sementara mereka menunggu, Kompi Kilo terus bergerak perlahan menyisir jalan. Cathy akhirnya menurunkan senapan mesinnya dan menjatuhkan diri di sebelah pemimpin regu tembak dan penyelamat tempurnya. Chelsea melepas sarung tangannya lalu mengangkat kantung infus. Detik demi detik berlalu hingga akhirnya, Gendis tiba membawa tandu bersama Raisha di belakangnya.
“Lama banget. Kalian mampir ngopi dulu apa gimana?” sindir Chelsea, masih mengangkat kantung infus.
Gendis membalas cepat; “Kenapa? Pegel?”
Cathy tertawa kecil; “Ngomong mulu.” Sambil mengangguk ke prajurit yang terluka; “Angkat ini orang aja dulu.”
Dengan hati-hati, mereka mengangkat pasien tersebut dan membaringkannya di atas tandu, Chelsea dan Cathy tadinya bercanda tentang berat badan pasien tersebut— dan ternyata mereka benar. Gendis dan Raisha menggeliat ketika mengangkat tandu. “Tuh, kan,” Cathy dan Chelsea saling melirik, sambil menyeringai puas. Mereka kemudian melangkah cepat membawa pasien tersebut ke lini belakang. Satu korban selamat, Kompi Juliet melanjutkan misi, menyatu kembali dengan kompi saudara mereka.
Satu blok—aman.
Satu blok lagi—kontak minim, nihil korban.
Blok ketiga—baku tembak. Dua prajurit tumbang.
Regu tembak Charlie dan Bravo bergegas ke depan. Prosedurnya sama—tinjau, tindak, evakuasi. Kali ini, Gendis ikut turun membantu perawatan medis dan mereka tidak berada di tepi sungai, melainkan di jalanan yang hancur. Dua korban luka stabil—dua penembak tumbang. Jumlah personel Kompi Kilo semakin berkurang, dan Kompi Juliet sudah berusaha membantu semampu mereka.
Rutinitas ini terus berulang hingga Kompi Kilo tiba di sebuah titik kumpul dekat pusat kota. Mobil-mobil Kompi Juliet bergabung beberapa saat kemudian. Untuk saat ini, mereka dapat beristirahat. Waktu istirahat Chelsea dimanfaatkan untuk memeriksa kembali persediaan medisnya—sebelum Christy dan Cathy duduk di sebelahnya.
“Ada kabar tentang Alya, Sersan?” tanya Chelsea tanpa basa-basi.
“Letnan Eli tadi ngasih kabar.” Jawab Christy.
“Lalu?” Cathy menyela.
“Alya bakalan baik-baik aja. Dia sekarang ada di RS lapangan. Entar juga balik lagi.”
Chelsea menghela nafas tapi belum lega.
“Itu kabar bagus.”
Christy tersenyum tipis; “Jangan terlalu dipikirin, cil.”
“Aku kan—“
“Stop. Jangan,” sela Christy cepat; “Kalau kamu masih mikirin itu terus, nanti kamu gak akan bisa dorong diri kamu kayak kemarin.”
Chelsea terdiam, tak punya balasan, hanya mengangguk pelan dan menundukkan kepala.
Christy menepuk bahunya; “Istirahat.”
Lalu berdiri dan pergi.
Chelsea membaringkan badan, helmnya menjadi bantal seadanya. Kesusahan tidur.
Mereka selamat.
Alya dan Cathy.
Mereka selamat.
Mereka selamat.
Mereka—
Seperti bayi yang dikeloni nina bobo, pikiran bahwa kedua temannya selamat menenggelamkannya dalam tidur. Tak ada yang bisa membangunkannya. Kelopak matanya terbuka—berkedip sekali, dua kali. Lalu dia duduk lurus dan mengenakan kembali helmnya. Dia melihat ke atas, cahaya matahari menusuk matanya—silau, namun ia menangkap suatu sosok seseorang yang mendekati dirinya dengan sebuah gelas di tangan.
Suara—ia mengenalnya.
“Selamat pagi, Kanguru.”
Alya. Ternyata, hanya soal waktu sebelum dia kembali.
Chelsea terkesiap, mengambil gelas yang disodorkan Alya; “Pagi. Kamu kabur dari RS?”
Alya tersenyum santai; “Batalion kita gak nyebrang jembatan tiga hari. Cukup waktu buat penyembuhan.”
Alis Chelsea terangkat satu; “Kamu pikir bisa menipu seorang penyelamat tempur?”
Alya terkekeh; “Aku gak kenapa-napa. Aku harus ngawasin kalian bertiga juga, kan.”
“Oh, justru aku yang bakal ngawasin kamu—kamu dan Cathy,” Chelsea mendengus; “Luka itu gak mungkin sembuh tiga hari.”
“Aku gak kenapa-napa, Chels.” Alya bersikeras.
Nada Chelsea menajam; “Oke, tapi kalau kamu pendarahan lagi, evakuasi nanti bukan ke RS. Tapi kamu pulang.”
“Iya, iya, iya. Ngerti, dok.”
Uap air mengepul dari gelas Chelsea, kehangatan di tangannya membantu menenangkan diri di sela-sela pertempuran di kota. Di hadapan mereka, Sersan Christy dan Kopral Muda Cathy terlihat sedang berbicara dengan komandan peleton mereka, Letnan Eli—pengarahan untuk misi hari ini. Tidak lama kemudian, keduanya bergabung kembali dengan Chelsea dan Alya.
“Eh, ada yang tiba-tiba hadir.” Canda Christy, sambil menyenggol bahu Alya.
“Aku kira kamu mangkir.” Ujar Cathy.
Alya menyeringai; “Aku harus ngawasin Kanguru lepas.” Sambil menepuk ringan bahu Chelsea.
“Oh iya, tapi sekarang justru Kanguru itu yang paling ngawasin kamu.” Balas Christy, terkekeh.
“Udah aku kasih tahu, kalo kena lagi, nanti dia pulang ke rumah.” Ucap Chelsea dengan ekspresi datar.
Suasana percakapan berubah seketika saat Christy membuka mulutnya.
“Sayangnya kita gak bisa lama di sini. Kompi Kilo masih butuh kita.”
Chelsea mendesah; “Sama seperti kemarin?”
“Betul.”
Christy melirik arlojinya; “Sepuluh menit. Sarapan, isi ulang persediaan, nanti kumpul lagi.”
Setelah percakapan itu, Chelsea langsung bergegas ke mobil regu mereka. Dia mengambil persediaan medis yang kemarin habis terpakai. Turniket, perban, infus, obat pereda sakit—cukup untuk memastikan seorang prajurit tetap berdiri. Dia sarapan sambil berdiri—bukan karena lapar, tetapi karena harus. Regu Tembak Charlie kembali turun ke jalan. Jalanan yang sama, rutinitas yang sama—mata terbuka lebar, senapan terangkat, punggung menempel tembok.
Pertempurannya telah bergeser ke ujung jalan. Dalam pemandangan yang jarang terlihat, komandan Kompi Kilo, Letnan Markov, ikut turun langsung bersama prajuritnya, berdiri paling depan. Hal yang sama dilakukan juga oleh komandan kompi Chelsea. Setiap detik rutinitas mereka terasa dapat ditebak.
Blok pertama—aman.
Blok kedua—medan terbuka. Terlihat sebuah mal dan mobil-mobil terbakar di lahan parkir.
Helikopter serang kawan meluncur di atas mereka. Satu rudal. Satu ledakan.
Lalu—KRAK!
Suara gemertak itu diikuti oleh tembakan liar namun mengarah ke mereka. Insting tempur mengambil alih—berlindung dulu baru balas tembakan. Sudah menjadi kebiasaan—Cathy melontarkan rentetan pendek, sementara yang lain melepaskan tembakan per butir. Chelsea menahan tembakan, kecuali saat salah seorang rekannya merunduk untuk mengisi ulang. Sesekali ia melirik prajurit lain—termasuk Cathy dan Alya.
Beberapa detik kemudian—sunyi. Baku tembak berakhir secepat dimulai.
“Berhenti menembak! Berhenti menembak!” Markov mengaum dari depan.
Radio Christy berbunyi; “Semua Juliet, ini Juliet 6. Lapor.”
Laporan datang satu per satu hingga giliran Christy; “Juliet 2-6 Charlie. Masih berdiri.”
Alya menghembus nafas panjang; “Aku lupa kerjaan kita kayak begini.”
“Lupa atau kangen?” Cathy terkekeh, masih membidik.
“Lupa.” Alya mendengus.
Chelsea tersenyum tipis; “Absen cuman tiga hari, tapi udah amnesia?”
“Masih linglung gara-gara lukanya kali.” Christy menyelak.
“Yaudah deh. Hampir lupa. Puas kalian?”
Sebelum senda-gurau singkat berlanjut, radio mereka berbunyi; “Semua Juliet, lanjutkan misi.”
Christy membalas; “Diterima.”
Chelsea berdiri—laras senapan mengarah rendah ke depan. Ia mengencangkan tali-tali perlengkapannya sambil berjalan bersama regu tembaknya. Ritme penyisiran sudah menjadi kebiasaan baru—pindai, gerak, berlindung, ulangi. Di blok berikutnya, mereka melewati sebuah kafe yang hancur. Chelsea terhenti—matanya menangkap suatu benda di antara puing-puing.
Sebuah boneka kelinci, robek, terkapar di lantai berdebu.
Kerongkongannya tercekat. Tidak ada ruang di pikirannya untuk hal itu. Ia mengatur kembali tali tas medisnya, lalu melangkah cepat menyusul Christy dan Cathy. Mereka melanjutkan penyisiran, pecahan kaca berderak di bawah sepatu mereka.
Sekilas gerakan terlihat di lantai dua di seberang kafe. Ada sesuatu benda metalik. Chelsea tak sempat menarik nafas—
Kilatan laras.
Bang!
“KONTAK! Arah jam dua! Lantai dua!” teriak Christy.
Seisi jalan meledak. letupan senjata memecah udara. Rentetan peluru menghantam beton dan meniup debu. Chelsea dan regu tembaknya terjun ke balik mobil regu mereka. Balas tembakan. Sama seperti sebelumnya—Cathy melepaskan rentetan singkat, tembakan penekan. Christy dan Alya menyisir sasaran dengan tembakan per butir. Chelsea tetap menahan tembakan kecuali jika salah satu dari mereka berhenti untuk mengisi ulang. Tembakan musuh semakin deras, menggempur perlindungan mereka.
Terlalu dekat. Terlalu akurat. Semakin mengamuk.
“Ada yang lihat penembak lain?” teriak Cathy, sambil mengosongkan nampan senapan mesin dan mengisi ulang.
“Lantai atas, jendela kiri!” balas Alya, juga sambil mengisi ulang. “Ada lagi di balkon, arah jam satu!”
Bidikan Christy mengunci; “Terlihat! Menembak!”
Selagi Cathy dan Alya mengisi ulang, Chelsea naik ke posisi. Senapan terangkat—rentetan per butir, mengikuti arah peluru pelacak Christy. Satu tembakan. Dua tembakan. Setengah isi magasin dimuntahkan. Kembali berlindung, Alya maju begitu peluru senapannya sudah masuk ruangan.
Seperti sudah diisyaratkan, radio Christy berbunyi.
“Juliet 2-6 Charlie, Juliet 6. Ada prajurit Kompi Kilo tumbang di persimpangan depan! Kami butuh medis di sana!”
Christy menoleh.
Alya—magasin terkunci masuk; “Kita dengar.”
“Siap, kalau Chelsea siap.” Ujar Cathy—menarik pengokang.
Tak banyak bicara, Chelsea mengangguk—senapannya terangkat.
Christy membalas; “Juliet 2-6 Charlie. Siap, kami butuh perlindungan.”
Mereka berbalik.
Christy mengangkat tangannya—tiga jari terangkat.
Tiga. Dua. Satu.
Maju!
Belasan senapan kawan memuntahkan amarah serempak ketika mereka melesat—kepala menunduk, melangkah cepat. Musuh tidak asal menyerah, dan mereka tetap membalas dengan tembakan, walaupun tak terarah dan edan. Tetap saja, peluru nyasar masih dapat melukai.
Mereka terus maju—tak gentar hingga mereka melihat persimpangan di depan—dan seorang prajurit tergeletak dengan perlindungan minim—seragamnya bercampur merah tua. Letnan Markov dan Kapten Gracia juga berada di sana. Chelsea bergegas ke prajurit yang tumbang—tangannya menekan luka. Pernafasannya tersengal. Noda merah tua di seragamnya sudah meluas.
“Hei, kawan. Tetap bersamaku.” Ucap Chelsea, sambil mengenakan sarung tangannya. “Siapa namamu?”
“Dimson.” Suaranya gemetar menahan sakit.
Langkah berat bot terdengar di sebelahnya. Letnan Markov.
“Ayolah, Dok. Kita harus bawa dia pergi sekarang!” Perintahnya.
Chelsea mengabaikannya. Stabilkan pasien terlebih dahulu. Turniket. Perban. Pastikan ia tetap siuman.
Gracia berlutut; “Ngomong, kiddo. Dia aman untuk dibawa gak?”
“Gak bisa, Kap. Dia syok. Kalau gerak sekarang, dia gak bakal selamat!”
Markov makin mendekat, semakin ngotot; “Kita harus gerak, sekarang!”
Chelsea mendongak, mendidih; “Terus, mau ngapain? Bapak mau nyeret dia lewat tiga blok sambil ditembakin? Silakan, tapi nanti dia pendarahan berat.” Dia berdiri cepat, menatap Markov—mata ke mata. Lelah. Kesal. Terbakar emosi “Bapak mau bantu saya? Carikan infus, kendaraan atau bapak duduk diam!”
Gracia melerai, nada suaranya rendah; “Tenang, Dok.”
Chelsea tidak merendah; “Kapten, aku menjaga agar ia tetap hidup. Aku yang mutusin kapan dia bisa dibawa. Bukan dia!” telunjuknya mengarah ke Markov, “Aku.”
Tegang. Christy, Cathy dan Alya saling bertatapan—tercengang melihat Chelsea naik darah.
“Baiklah” Ucap Gracia, menghela nafas.
Dia pergi lalu memberi tahu Markov untuk mengatur perimeter.
Chelsea meringkuk lagi, sambil tersenyum paksa. Ia mengencangkan turniket dan balutan perban, pendarahannya harus berhenti—benar-benar berhenti. “Kamu akan baik-baik saja. Lihat aku.” Chelsea mencoba meyakinkannya lagi, sambil menyuntikkan infus sebelum memberi obat pereda sakit. Baku tembak sudah mereda ketika ia selesai dengan pasiennya. Markov memperhatikannya tanpa Chelsea sadari. Kagum dengan keberanian Chelsea. Hanya saja tidak akan ia ungkapkan.
Chelsea menghadap komandan kompinya; “Kapten, kita bisa evakuasi dia sekarang.”
Tanpa membuang waktu; “Juliet 2-6 Bravo, Juliet 6. Apakah kalian bisa bawa mobil kalian ke depan untuk transportasi pasien ke titik kumpul?”
Suara kicauan radio perlahan menghilang dari pendengaran Chelsea sembari mengangkat kantung infus.
Christy duduk di sebelah Chelsea; “Jangan lakukan itu lagi, Chels.”
“Kalau gitu, jangan maksa aku.” Ucap Chelsea, tatapannya datar.
Gracia mendekati Chelsea; “Gendis masih di belakang, tapi lagi ke sini bawa tandu.”
Christy lalu mengajukan diri; “Entar aku bantu Gendis pas dia udah sampe. Gak akan lama.”
Gracia mengangguk; “Bagus, regumu aku ambil alih sementara sampai kamu balik lagi.”
Regu tembak itu bertahan di tempat bersama sang kapten, sementara Kompi Kilo bergerak maju melanjutkan penyisiran, semua senjata terangkat. Pertempuran kecil tadi sudah berhenti dan Chelsea bisa duduk sambil mengangkat kantung infus, menunggu kedatangan Gendis. Lagi. Tapi kali ini, tidak perlu menunggu lama. Gendis datang lebih cepat.
Chelsea bergurau; “Selamat! Rekor personal baru.”
Gracia terkekeh, matanya masih memindai jalanan.
“Diam kau, Chels.” dengus Gendis.
Sama seperti sebelumnya—angkat, lari, berlindung.
Christy ikut mengangkat tandu, memandu evakuasi korban ke lini belakang.
“Ayo, lanjut jalan.” Perintah Gracia.
Regu Tembak Charlie melanjutkan penyisiran tanpa Christy, kini diawasi langsung oleh komandan kompi mereka. Kebiasaan sekunder—pindai, gerak, berlindungi, ulangi. Tiga blok jalan sudah dilewati. Tiba-tiba, ada suara gemerisik dari arah gang sempit. Laras senapan mereka dengan cekatan mengarah ke sumber suara. “Tunggu,” ucap Gracia, suaranya rendah. Sesaat kemudian, muncul dua orang—seorang pria tua dan seorang wanita yang sedang menggenggam erat tangan anaknya yang terisak.
Sedikit lega. Laras senapan menurun, tapi tetap siaga.
“Kalau yang ini aku sudah pasti lupa.” Ucap Alya.
“Kita harus ngapain?” Bisik Cathy.
Gracia memberi isyarat kedua warga sipil itu untuk cepat ke belakang.
“Lewati mereka dan hati-hati.”
Chelsea melirik mereka sebentar, lalu kembali fokus ke depan.
“Apa yang bisa kita lakukan, Kapten?”
Mata Gracia tetap terpaku ke jalan; “Sekarang, kita hanya bisa mengeluarkan mereka dari bahaya.”
Keluar dari bahaya. Atau setidaknya, begitulah yang ia kira. Tiba-tiba ada suara mesin. Gracia seketika berhenti; tangan kirinya terangkat, mengepal—berhenti. Regu Tembak Charlie dan Kompi Kilo membatu di tempat. Bunyi itu semakin dekat—berat, ritmis. Perandaian mereka akhirnya terjawab ketika ada sebuah bentuk besar berbelok di ujung jalan—Ranpur lapis baja musuh. Meriamnya berputar ke arah mereka.
“Ranpur musuh!” Alya berteriak, suaranya pecah.
“BERLINDUNG!!” Gracia menyusul—tetapi musuh lebih dulu menarik pelatuk.
Waktu seakan meregang. Chelsea melihat ke belakang—mencari dua warga sipil tadi. Di saat itu juga, dia melihat Christy yang sudah cepat kembali—dan menjadikan badannya sebagai perisai, melindungi kedua orang itu dan anaknya. Mungkin hampir tidak ada gunanya, tetapi Christy perlahan memandu langkah-langkah panik mereka menuju ke perlindungan yang lebih aman. Tetapi mereka belum sepenuhnya aman.
PPLB Kompi Kilo membalas tembakan, tapi tidak efektif. Zirah ranpur musuh terlalu tebal. Mereka merunduk dan pelan-pelan merangkak mundur. Sebagai usaha terakhir, PPLB Kompi Kilo mengeluarkan tirai asap inframerah untuk menutupi jalan mundur mereka. Regu Tembak Charlie memanfaatkan momentum ini untuk berdiri dan bergerak mundur lebih cepat sampai ke posisi Christy.
Sedingin es, Gracia meraih radionya. “Juliet 2-6 Bravo, Juliet 6—suruh Echo-5-Golf cari arah mengapit dan hancurkan ranpur itu!”
Echo 5 Golf—Raisha.
Chelsea lalu mendengar tangisan—wanita tadi.
“Chels, dia terluka! Cepat ke sini!” seru Christy.
Chelsea bergegas. Pengaman senapannya dinyalakan. Perban siap di tangan. Tangannya bekerja cepat—refleks, terlatih. Tembakan meriam ranpur musuh menggema, tetapi tidak ia hiraukan. PPLB Kompi Kilo masih membalas tembakan—tetapi, Chelsea fokus pada luka yang dialami wanita tadi. Hanya goresan kecil. Dangkal, tak lebih dari luka gesek. Daun saja bisa menyembuhkan luka itu. Sekejap perawatan, dan Chelsea langsung memberi tahu mereka untuk cepat kabur lewat gang kecil.
Dia lalu kembali ke formasi. Dia berlindung—sesaat sebelum—
BOOM! Ledakan. Kedua ranpur berhenti menembak.
Radio Gracia berbunyi; “Juliet 6, Juliet 2-6 Bravo—Echo-5-Golf berhasil menghancurkan ranpur musuh. Ganti.”
“Juliet 2-6 Bravo, Juliet 6—diterima. Kerja bagus.”
Tidak ada lagi kontak senjata setelah itu. Mereka akhirnya mencapai titik berkumpul baru. Walaupun misi mereka belum selesai sepenuhnya. Tempat berkumpul itu memiliki banyak perlindungan dan cukup menyembunyikan keberadaan mereka. Chelsea menyandarkan punggungnya, melepas helmnya. Akhirnya tegukan air pertama dalam beberapa jam terakhir. Matahari terbenam, hari sudah malam. Chelsea berbaring; senapannya masih dalam jangkauan tangannya. Helmnya menjadi bantal lagi.
Masih sama.
Alya dan Cathy.
Mereka selamat.
Mereka selamat.
Mereka—
Mata terpejam. Seperti bayi.
Tiba-tiba ia tersentak bangun oleh suara sepatu bot. Masih gelap. Dia mulai berandai apa yang sedang terjadi. Dia bangun dari tidur dan duduk, helmnya kembali dikenakan. Di kejauhan, Cathy dan Alya berjalan ke perimeter titik kumpul. Penasaran, Chelsea berdiri, mengencangkan tali-tali perlengkapannya. Dia mengikuti mereka sampai terlihat ada sekelompok prajurit berkumpul, perwira-perwira mereka juga ikut berkumpul—Kapten Gracia, Letnan Dua Eli, dan Letnan Satu Gita.
Chelsea belum selangkah lagi bergabung, tapi tangan Christy menghalangi.
“Tidak perlu medis, Dok.”
“Ada apa? Mereka mau ke mana?” Tanya Chelsea, mengerutkan kening.
“Patroli intai doang, Chels.” Christy tetap tenang. “Gak lama, kok.”
Mata Chelsea langsung tertuju pada Cathy dan Alya—khawatir, dan Christy menyadarinya.
“Tenang, Chels. Aku bisa ngawasin mereka.”
“Yakin?” tanya Chelsea.
Christy mengangguk; “Mereka gak akan kenapa-napa.”
Hela nafas; “Yasudah, hati-hati.” lalu satu pertanyaan lagi; “Apa kode dekonfliksinya?”
“Panah Biru, dan sebaliknya.”
Chelsea berdiri di tempat begitu Christy bergabung kembali. Perlahan mereka menghilang dari pandangan.
Seharusnya mereka sudah kembali. Chelsea mondar-mandir—gelisah, khawatir. Lalu ia mendengar suara tembakan. Kedua mata Chelsea cepat mengarah ke sumber suara, terdiam. Tapi suara tembakan itu bisa datang dari siapa saja. Mungkin dari regu patroli tadi, atau mungkin tembakan musuh. Atau unit kawan lain yang bertempur di dalam kota. Suara itu tidak jauh, tetapi tidak juga dekat.
Suara sepatu bot terdengar di belakang Chelsea. Dua pasang. Bukan, tiga.
“Duh, kamu ini masih Jamet Aussie yang sama ya, Chels.” Suara Raisha memecah keheningan.
Chelsea menoleh; “Kok gitu?”
Ella, salah seorang penyelamat tempur, ikut campur; “Soalnya kamu di luar perimeter, Dedek Kanguru.”
Gendis juga datang, tanpa basa-basi. “Dia khawatir, regu patroli keluar tanpa penyelamat tempur.”
Chelsea belum sempat menjawab ketika Raisha mengangkat senapan. Matanya menangkap sesuatu. Ada sosok yang muncul dari bayang-bayang gelap. Yang lain juga bersiaga dan mengangkat senapannya. Telunjuk mereka sudah siap di pelatuk, tetapi Chelsea refleks mengangkat tangan dan menyela, tunggu dulu. Mereka belum tahu apakah itu kawan atau bukan.
Chelsea memanggil. Protokol.
“Panah!”
“Biru!”—suara Alya. Berlari sendirian.
Gendis menyipit, bertanya; “Di mana yang lain?”
“Masih di sana.” Nafasnya terengah, kata-kata berikutnya menghantam keras, “Letnan Eli tertembak! Cepat ambil mobil!”
Raisha langsung melesat, dan sesaat kemudian mereka kembali turun ke jalan. Alya memandu mereka—beruntung tidak ada yang menyergap. Mereka tiba dengan cepat, Kapten Gracia, dan Letnan Gita terlihat sedang menggotong Eli, tidak jauh dari titik kumpul. Cathy dan Christy juga terlihat, arah laras mereka tetap siaga ke sekeliling.
Chelsea yang pertama turun, Gendis mengikuti sambil membawa tandu.
“Serahkan ke aku.”
Gita menggeliat ketika membaringkan Eli ke atas tandu bersama Gendis dan Chelsea.
“Ini dia, Dok.”
Chelsea lalu bertanya; “Kalian beri dia pereda sakit?”
“Sudah.” Jawab Gita.
“Berapa banyak?”
“Aku lupa—“ jawab Gita, meragukan; “dua, mungkin tiga suntikan.”
Chelsea melotot tajam; “Mungkin tiga suntikan?!” Suaranya mengencang, “Asta—KALIAN MAU DIA OVERDOSIS?!”
“Dua suntikan.” Gracia ikut menimpali.
Darahnya mendidih ketika Eli masuk ke mobil; “Bukankah penting menurut kalian kalau AKU harus tahu dosis obat yang dia terima?! Karena gak ada SATUPUN suntikan di bajunya!!”
“Maaf, Dok!” Gracia mencoba menenangkan.
Chelsea membalas keras; “Oh ya, tenang aja. Dia tangguh. Mungkin dia akan selamat.”
Eli perlahan masuk mobil, nyaris tak sadarkan diri.
Gita mencoba beralasan; “Dia kesakitan banget, Dok. Kita gak tahu har—”
“GAK USAH BANYAK ALASAN!!” Chelsea memotong, sudah sangat kesal; “KALIAN INI PERWIRA! SUDAH DEWASA JUGA! SEHARUSNYA TAHU!!”
Chelsea bergegas naik ke mobil bersama regunya, pintunya dibanting. “Ayo jalan! Cepat!”
Mobil mereka melesat, tetapi harus tetap stabil—goyangan sedikit saja bisa memperparah kondisi Eli. Sisa regu patroli ditinggalkan dan mereka kembali ke titik kumpul. Mereka menyempatkan waktu untuk menurunkan Ella ke titik kumpul sebelum kembali menerjang jalanan. Chelsea langsung mempererat balutan perban dan ikatan turniket. Pendarahannya sudah berhenti tetapi tidak akan bertahan lama.
Chelsea mendekat, suaranya tenang. “Letnan, bisa dengar aku?”
Eli mengangguk lemah.
“Oke, ikutin cahayanya.”
Chelsea menyalakan senter, mata Eli mengikuti. Cahaya putih berpendar di pupilnya. Masih bereaksi.
Gerakan tangannya penuh dengan presisi terlatih, selalu. Sarung tangan dikenakan, infus siap dan disuntikkan. Cairan mengalir. Tiga luka tembak—satu di bahu; satu bersarang di plat zirah, kulitnya sedikit tergores; satu lagi luka di pinggang. Tidak fatal, tetapi dia kehabisan waktu. Raisha masih mengebut tetapi masih terkendali.
“Berapa lama lagi?” tanya Chelsea, mendesak.
Raisha menjawab, fokus ke jalan; “Sebentar lagi!”
RS lapangan terlihat di kejauhan, Christy tak berlama di radio.
“Foxtrot 4, Juliet 2-6-Charlie. Kami membawa korban kritis.”
Kicauan radio memudar di kuping Chelsea. Ia berfokus pada Eli, mendengarkan detak jantungnya.
Chelsea sudah bertindak semampunya. Tangannya menggenggam tangan Eli—lebih erat dari sebelumnya. Nafas Eli semakin dangkal, tetapi dia belum menyerah dan Chelsea tidak akan membiarkannya menyerah. Sama seperti laga pertamanya, dia tidak akan kehilangan siapa pun malam ini. Tinggal menyeberangi jembatan. Semenit lagi. Tinggal semenit lagi.
Raisha tancap rem—mereka sudah tiba di RS lapangan. Tim UGD sudah menunggu di luar, tangan-tangan sigap menyambar tandu. Mereka bergegas, dan perlahan memindahkan Eli dari tandu ke brankar. Chelsea menjelaskan semuanya ke tim UGD—dari luka hingga obat yang diterima, setiap detil yang bisa menyelamatkan Eli. Mereka bergegas masuk tetapi diberi tahu untuk tidak ikut, dan mereka menyerahkan Eli ke tangan-tangan yang lebih profesional.
Sekarang, mereka hanya bisa pasrah sambil menunggu. Dan berdoa.
Dia duduk di ujung bangku besi bersama regunya. Sarung tangan dilepas dan ia buang. Chelsea bersandar; tangannya bersilang, kakinya mengetuk lantai dalam ritme gelisah. Setelah berjam-jam, baru sekarang kelelahan itu terasa. Dia sudah melakukan semua yang bisa ia lakukan, tetapi suasana ruangan itu penuh ketidakpastian.
Christy berlutut di depan Chelsea, telapak tangannya menekan lutut sang kopral muda. “Bukannya aku udah bilang jangan lakukan itu lagi?” Tatapan Chelsea naik, beradu dengan mata Christy. “Iya. Tapi mau gak mau harus aku lakuin.” Christy mengangguk samar, entah setuju atau hanya pengertian. Cathy bergeser lebih dekat di samping Chelsea. “Dia kuat, kok,” bisiknya, mencoba meyakinkan temannya. “Dia pasti bisa melawan.” Chelsea hanya mengangguk bisu.
Lalu—pintu UGD terbuka.
Mereka langsung berdiri. Dokter yang keluar tidak berbasa-basi.
“Kerja bagus, Kopral. Dia akan selamat—sayangnya, dia gak akan kembali ke garis depan dalam waktu dekat.”
“Berapa lama?” Cathy bertanya cepat.
“Berminggu-minggu, kalau dia gak bandel selama pemulihan.”
Chelsea menghela panjang; “Terima kasih, Dok.”
Satu tepukan di bahu; “Oke, cil. Ayo kita kembali.”
Regu Tembak Charlie meninggalkan RS lapangan, satu beban terlepas—tetapi tidak sepenuhnya. Mereka menyusuri jalan sampai kembali ke titik kumpul. Sesampainya di sana, mereka melihat para perwira mereka sudah menunggu—Kapten Gracia di antaranya, wajahnya tegang. Ketika mereka turun dari mobil, komandan kompi mereka langsung bertanya.
“Gimana keadaannya?” Nada suaranya terdengar khawatir.
Christy lebih dulu menjawab; “Dia akan baik-baik saja.”
Cathy ikut menjawab; “Kata dokter dia bisa ikut kita lagi, tapi harus nunggu beberapa minggu.”
Gracia mengangguk; “Baiklah. Sekarang kalian istirahat.” Ucapnya akhirnya.
Mereka membubarkan diri, kembali ke tempat tidur masing-masing. Chelsea duduk diam dan bersandar lagi—helmnya dilepas. Tangan-tangannya yang tadinya kokoh kini bergetar halus. Chelsea mengepalkan jemarinya perlahan, tanpa disengaja, ia mengingat kembali perawatan-perawatan sebelumnya.
Di hari pertama ia berlaga.
Prajurit-prajurit yang terluka di tepi sungai.
Cathy setelah itu.
Alya ketika mereka berada di medan terbuka dan dihujani tembakan musuh.
40 jam terakhir.
Prajurit Kompi Kilo—berjuang di antara hujan timah, hingga kesabarannya meluap pada Markov.
Seorang ibu, ayah dan anaknya—terjebak baku tembak yang tidak mereka inginkan.
Dan akhirnya, Eli. Komandan peleton mereka—hampir tidak selamat, sampai ia mengamuk kepada dua perwira kompinya.
Amarah, kelelahan, dan ketakutan melebur.
Suatu keajaiban bahwa ia melewati itu semua. Bayangkan beban yang ia pikul. Sersan Christy ternyata benar—jika Chelsea terus terperangkap dalam rasa bersalah atas kecerobohannya beberapa hari lalu, mungkin dia takkan bisa melampaui batas lagi. Alih-alih terpuruk, ia mendorong dirinya lebih keras dan lebih melampauinya, dia membuktikan bahwa kedudukan perannya melebihi semua orang dalam hal kesehatan fisik rekan-rekan prajuritnya. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Sejauh ini.
“Hey, kiddo.”
Chelsea mengangkat kepala. Kapten Gracia mendekat.
“Kapten.”
Gracia duduk di sebelahnya, helm terlepas. Suaranya tenang.
“Gimana keadaan kamu?”
“Kaku. Keberatan. Capek.”
“Berarti kamu harus istirahat.” Sarannya.
“Sedang kucoba.”
Hening. Satu, dua, tiga detik.
Chelsea menoleh sedikit; “Maaf aku banyak emosi belakangan ini, Kapten.”
“Gak perlu minta maaf,” ucap Gracia; “Kamu memang berhak. Perkataan dan tindakan kamu semuanya benar.”
Chelsea mengangguk kecil. Matanya menatap ke bawah.
Gracia berdiri; “Tidur, istirahat. Kita berlaga lagi besok. Mengerti?”
“Siap, Kapten.” Jawab Chelsea, cakap.
Chelsea berbaring. Helmnya menjadi bantal lagi.
Mereka selamat.
Mereka selamat.
Mereka—
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
