WS Rendra: Burung Merak yang Tetap Bergerak

0
0
Deskripsi

7 November 1935, Willibrordus Surendra Broto Rendra dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.

Photo by. KOMPAS/EDDY HASBI

Dilihat dari nama-nama ini, dapat ditebak keluarga WS Rendra adalah keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa. Sugeng Brotoatmodjo adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di salah satu sekolah Katolik di Solo. Selain itu, ia juga dikenal sebagai pedrama tradisional. Sedangkan Raden Ayu Catharina adalah seorang petari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tumbuh-besar di lingkungan seni dan budaya, maka tidak heran jika kemudian Rendra menjelma sebagai sosok peseni ulung yang telah menghasilkan seabrek karya sastra: puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya.

Rendra yang panggilan kesayangannya Willy, ini sudah berminat menulis puisi sejak duduk di bangku SMP. Karya-karya puisinya sudah dipublikasikan sejak 1950-an di berbagai majalah. Pada masa SMA pun Rendra sudah menulis drama yang berjudul Kaki Palsu lalu melanjutkan kuliah Jurusan Sastra Barat di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pada 1964, Rendra mendapatkan beasiswa untuk belajar drama dari America Academy of Dramatic Art (AADA) dan menjadikan Rendra orang Indonesia pertama yang menempuh Pendidikan drama di sana. Sepulang dari Amerika pada 1968, Rendra mendirikan Bengkel Teater.

Awal Rendra dijuluki “Si Burung Merak” ketika itu, Rendra bersama dengan seorang kawannya yang berasal dari Australia berjalan-jalan ke kebun binatang Gembiraloka Yogyakarta. Di sana, mereka melihat seekor burung merak jantan. “Itu Rendra!” kata sahabat yang orang Australia itu.

“Dia orangnya suka pamer. Seperti burung merak jantan yang suka memamerkan bulu-bulu indahnya,” cerita Edi Haryono, sahabat dekat Rendra yang menemaninya saat jalan-jalan ke Gembiraloka. Dari situ, Rendra mulai dikenal berjulukan “Burung Merak”.

Rendra juga sempat mengajar drama di Fakultas Sastra UGM yang saat itu dibantu oleh Arifin C Noer sebagai asisten. Kala itu beberapa pementasan drama juga diwujudkan Rendra, baik sebagai pemeran maupun penulis naskah, seperti Mahabrata, Bip-Bop (1968), Menunggu Godot (1969), Dunia Azwar (1971), hingga Mastodon dan Burung Kondor (1972) yang menuai kontroversi. Dalam dunia puisi, karya-karya populer Rendra di antaranya kumpulan puisi Balada Orang-orang Tercinta, Blues Untuk Bonnie, Sajak sajak Sepatu Tua, Nyanyian Orang Urakan, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Sajak Sebatang Lisong, dan masih banyak yang lainnya. Kendati demikian, seorang pekritik sastra asal Negeri Kincir Angin, Andries Teeuw, dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern II (1989) menyatakan bahwa Rendra tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu angkatan atau kelompok sastra. Meski demikian, beberapa karya Rendra juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Jerman, Jepang, Belanda, dan Hindi.

Tidak hanya dunia puisi dan teater, Rendra juga pernah bergabung dalam grup musik Kantata Takwa yang diisi oleh sejumlah nama besar dalam dunia musik, seperti Iwan Fals, Setiawan Djodi, Sawung Jabo, Yockie Suryoprayogo, Nanil K, dan Inisisri. Salah satu yang paling diingat dari Kantata Takwa adalah konser mereka yang digelar  di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 23 Juni 1990 yang dipadati oleh ratusan ribu penonton. Menjadikannya salah satu konser terbesar yang pernah dilakukan oleh musisi Indonesia.

Pada masa Order Baru, puisi-puisi Rendra yang berjudul Sajak Sebatang Lisong, mengandung kritik sosial dalam merespons kegundahan rakyat. Dilanjutkan dengan film Yang Muda Yang Bercinta karya Sjumandjaja sempat dilarang tayang hanya karena ada salah satu adegan yang mana Rendra membacakan Sajak Sebatang Lisong. Dua puisi lainnya ternyata juga terdapat dalam film karya Sjumandjaja, Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon dan Sajak Pertemuan Mahasiswa.

Kritikan dalam puisinya itu juga yang mengantarkan Rendra ke dinginnya jeruji besi. Pemerintah Orde Baru saat itu memang dikenal sangat ketat melakukan sensor terhadap produk kesenian yang dianggap tidak sesuai dengan aturan pemerintah. Penangkapan hingga ancaman terhadap para peseni yang dalam tanda kutip berseberangan dari pemerintah menjadi kabar yang sering didengar kala itu. Karena Rendra berpikir bahwa berkesenian bukan hanya sekadar menghibur rakyat, namun lebih jauh dari itu, seni adalah jembatan penyambung lidah rakyat terhadap penguasa.

Pementasan teater Rendra juga kerap tidak mendapatkan izin Kisah PESENI dari pihak keamanan. Catatan Harian Kompas yang terbit pada 18 Oktober 1973 pernah memuat pembatalan pementasan karya Rendra. Seperti ketika ia akan mengadakan pementasan Mastodon dan Burung Kondor di Yogyakarta yang terpaksa dibatalkan. Pihak kepolisian saat itu tidak memberikan izin karena Rendra dan Bengkel Teater mengadakan acara lewat tengah malam dengan kurun waktu lebih dari empat jam. Mastodon dan Burung Kondor sendiri merupakan karya Rendra yang mengangkat tema mengenai konflik segitiga antara pihak militer, mahasiswa, dan peseni yang terdiri dari 21 bagian dengan mengambil lokasi di suatu negara di Amerika Latin yang bernama Mastodon. Pementasan lainnya yang berjudul Oedipus Berpulang juga tidak mendapatkan izin dari kepolisian. Pementasan drama yang diangkat dari karya Sophocles itu gagal dipentaskan karena dianggap naskah pementasannya tidak sesuai dengan terjemahan asli serta pertimbangan lainnya.

Kepada Anton Lake, mahasiswa Fakultas Sastra UGM yang pernah mewawancarainya, Rendra berkata bahwa ia tak henti-hentinya mempertanyakan gejala-gejala yang ada di sekitar untuk direnungkan dan dipertanyakan kembali. “Berulang-ulang dan seterusnya,” ucap Rendra seperti dikutip Bakdi Soemanto lewat tulisannya bertajuk Si Burung Merak yang terhimpun dalam buku Rendra, Ia Tak Pernah Pergi (2009). Si Burung Merak juga pernah menyatakan, peseni bukanlah penghibur yang tidak perlu penghayatan. Rendra, tulis Fridiyanto di buku Kaum Intelektual dalam Catatan Kaki Kekuasaan (2017), menegaskan bahwa setiap karyanya diciptakan melalui relevansi sosial yang merupakan kodrat seorang peseni.

Menciptakan karya, kata Rendra, adalah ibadah. Menciptakan puisi, misalnya, merupakan proses yang mengharuskan manusia untuk peka terhadap panggilan pesona dan lingkungan, alam, manusia, serta hewan atau semua ciptaan Tuhan dan masalah yang mereka hadapi. “Anda pasti ingin terlibat dengan mereka sehingga Anda sampai pada tahap manjing ajer-ajer (saya ada karena Anda ada),” kata Rendra dalam wawancara dengan Suzan Piper dari Inside Indonesia (2007). “Dan yang terakhir adalah menyadari karsaning Hyang Widhi, kehendak Tuhan, atau apa yang Anda sebut dengan istilah sekuler nilai-nilai universal,” lanjut pesastra itu. “Tanpa ketiganya, ruang untuk beribadah tidak akan ada. Seseorang harus terlibat secara kontekstual, pada dasarnya hadir dan disejajarkan dengan nilai-nilai universal. Saat itulah ruang itu terbuka,” bebernya.

Pada 2008, Rendra memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari UGM. Karyakarya Rendra dianggap berpengaruh dalam khazanah sastra di Indonesia. Rendra juga dikenal konsisten dalam berkarya sehingga karena proses itu karya-karya sastra yang besar muncul.

Namun, gelar tersebut tak membuat peseni yang juga menerima banyak penghargaan dari dalam maupun luar negeri ini berniat mengajar di perguruan tinggi. Rendra mengaku bangga dan berterima kasih atas pemberian gelar dari UGM itu, tapi tidak ingin masuk kancah akademis. Lebih kurang setahun setelah menerima gelar dari UGM itu, tepatnya pada 6 Agustus 2009 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Rendra menutup mata untuk selama-lamanya. Si Burung Merak wafat dalam usia 73 tahun.

Berbagai Sumber.

@Rizka Nurlita Andi/ IH

Tulisan ini dimuat di Majalah Digital Semesta Seni hal. 34 #Vol.7 November 2020

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Photos Profile of Lala Bohang
0
0
Lala Bohang was born in Makassar and a graduate in Architecture of Parahyangan University in Bandung. She loves to explore about personal story, routine, and mundane things which often overlooked. Her ability to create a certain style of storytelling through text and drawing led her to publish several best-selling illustrated books, The Book of Forbidden Feelings (2016), The Book of Invisible Questions (2017), and The Book of Imaginary Beliefs (2019). She also published Lula Lyfe (2016) and a playbook, The Book of Questions (2018). The Journey of Belonging (2020) is her first non-fiction book, a collaboration with Indo-Dutch writer and historian Lara Nuberg awarded with Ranald MacDonald Award 2020. Lala also has participated in group exhibitions in Bandung, Jakarta, and Yogyakarta, also in Darmstadt, Sydney, New York, and Singapore. Currently, she lives and works in Jakarta as a writer, visual artist, and curator for Pear Press, a book label in collaboration with Gramedia Pustaka Utama.(lalabohang.id)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan