
Sejak hari itu, bapak tak pulang. Entah kemana perginya aku tak tau. Yang ku tau hanyalah, ia akan pulang suatu saat nanti, membawa sekardus indomie seperti dulu lagi.
Kurasa mataku masih sedikit sembab, setelah berjam-jam lamanya aku menangis tanpa henti di dalam kamar. Karena belum genap tiga hari ini, ibu meninggalkan kami semua. Aku, rumah ini, nenek, paman, bibi, tetangga sekitar atau siapapun yang merasa kehilangan ditinggal olehnya. Aku hanya bisa meratapi semua hal yang telah terjadi, setelah kehilangan bapak, kemudian kakek dan sekarang ibu. Walau sebenarnya bapak mungkin belum meninggal, tapi semenjak bapak tak pulang hari itu. Aku tak pernah mengetahui keberadaannya hingga sekarang ini. Mungkin jika bapak sedang berada didekatku, aku tak akan merasakan kesedihan yang teramat mendalam karena kehilangan ibu. Namun sayangnya, aku justru malah kehilangannya lebih dulu.
Samar kudengar, pintu kamarku telah diketuk beberapa kali. Tapi aku berusaha menghiraukannya. Aku tau nenek sedang cemas menungguku di balik pintu kamar, karena aku belum makan sama sekali sejak kemarin. Rasanya tubuhku sudah dipenuhi dengan perasaan duka, hingga aku tak merasa lapar ataupun haus lagi. Dengan rambut yang masih acak-acakan dan baju sisa pemakaman kemarin sore. Aku masih terbaring lemas di atas kasurku yang tua. Aku tidak bisa berhenti membayangkan tentang bagaimana hari-hari yang akan ku lewati tanpa ibu. Bagiku ibu adalah segalanya, seseorang yang tak akan pernah tergantikan dan mungkin tak akan pernah ada penggantinya di dunia ini.
Sekali lagi, kudengar pintuku diketuk beberapa kali. Aku mencoba beranjak untuk membukanya. Dan benar saja, nenek sedang berdiri di depan pintu membawa semangkuk mie rebus lengkap dengan telur mata sapi. Aku tau jika itu adalah indomie soto ayam. Makanan favoriteku bersama ibu, dan tanpa kusadari. Kedua bola mataku telah meneteskan banyak air mata yang mengalir deras di pipi. "Ini dimakan dulu" pinta nenek kepadaku. Kami berdua kemudian duduk di tepi ranjang. Dan tanpa kuminta, nenek mulai menyuapiku. Satu sendok indomie rebus soto ayam telah masuk ke dalam mulutku. Rasanya masih sama seperti dulu, seperti buatan ibu. Hanya saja, ibu telah tiada. Dan untungnya indomie ini sedikit mengobatinya.
Sembari menyuapiku nenek membuka sebuah obrolan. "Terkadang kita memang tidak bisa memilih jalan hidup yang akan kita jalani, tapi selalu percayalah jika apa yang menjadi jalan kita adalah yang terbaik nak" ucapnya. Aku hanya berpikir nenek bisa berkata seperti itu adalah karena nenek orang dewasa. Orang dewasa pandai memainkan peran, mereka bisa memilih kapan harus bersedih dan kapan harus terlihat bahagia. Mungkin di depanku nenek bisa berkata demikian, tapi bisa saja. Di depan bu lek, pak lek, atau ketika berada sendirian di dalam kamar. Nenek menangis sejadi-jadinya.
Meski aku terlihat mengabaikan perkataan nenek, nenek tetap melanjutkan pembicaraannya. "Kamu sudah tau? kalau kebiasaanmu dan ibumu makan indomie itu berasal dari bapakmu dulu". Aku menggeleng kecil, pandangan yang semulanya ku fokuskan ke arah tembok. Kini kupalingkan menatap wajah nenek. Aku mulai tertarik dengan obrolan yang sedang nenek bicarakan. Karena seingatku, nenek baru kali ini menyinggung soal bapak. "Sekarang kamu tau kan, alasan bapakmu dulu selalu membawa satu kardus indomie setiap pulang dari perantauan?". "Ada satu titipan terakhir dari ibukmu buat kamu, nanti akan nenek serahin ke kamu. Tapi sebelumnya bersihin badan kamu dulu." pinta nenek mengakhiri obrolannya dan bergegas keluar dari kamarku.
Aku sedikit penasaran dengan ucapan nenek, apa yang dititipkan ibu kepada nenek untukku. Mengapa ibu tak langsung saja menyerahkannya kepadaku. Seingatku sebelum terkena serangan jantung. Ibu hanya berpesan agar aku menjaga diri dengan baik, itu saja. Mungkin saja barang peninggalan keluarga atau apalah itu. Kepalaku terus saja berkecamuk memikirkannya. Membuatku ingin segera cepat-cepat mengakhiri mandiku. Begitu aku selesai mandi, aku bergegas menemui nenek. Tapi setelah kucari di seluruh sudut rumah, aku tak menemukan nenek. Kemudian aku menuju rumah bulek yang letaknya persis berada di samping rumah yang kutinggali ini. Berharap nenek ada disana. Namun setelah aku bertanya kepada bu lek, bu lek mengatakan jika nenek sedang pergi ke rumah Pak Haji Aryo. Untuk memberitahukan bahwa besok kami akan mengadakan peringatan tiga hari untuk ibu. Aku kembali teringat akan bapak, jika saja bapak berada disini. Mungkin ia akan mendekapku kuat-kuat, membuatku lebih tabah menghadapi apa yang kualami sekarang ini.
Suara kayuhan sepeda yang berdencit karena tak pernah diberi oli, terdengar samar dari kejauhan semakin mendekat. Aku hafal sekali jika itu adalah sepeda nenek, peninggalan dari kakekku. Tanpa menunggu lagi, aku bersiap ke luar rumah untuk menyambut nenek. "Nah kalau sudah mandi kan kelihatan cantik" ucap nenek kepadaku. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pujian nenek. Nenek lantas berjalan menuju kamarnya, kemudian aku berjalan membuntutinya. Seperti anak kecil yang sedang merengek meminta uang kepada ibunya. Dari dalam lemari, nenek mengeluarkan sebuah kotak berwarna coklat tua dengan sebuah pita yang menghiasinya. Aku bertanya kepada nenek apakah kotak ini yang dititipkan ibu kepada nenek untukku. Nenek tak menjawab, lalu kemudian aku membukanya. Sebuah foto tua milik bapak dan ibu, kemudian sebuah buku diary kecil tempat ibu menulis dulu. Aku masih mengingat dengan jelas, dulu sekali ibu biasa menulis di buku ini. Tapi sayangnya aku belum bisa membaca sewaktu itu. Dan sekarang ini aku ingin membacanya, aku ingin . Namun ketika kubuka buku itu, isinya kosong. Tidak ada apa-apa disana, hanya terdapat sebuah bekas sobekan kertas yang begitu banyak. Aku bertanya-tanya apa maksudnya semua ini. Sebelum aku menanyakannya kepada nenek, nenek telah lebih dulu memberiku sebuah kertas dengan catatan tangan ibu. Kemudian aku segera membaca isinya.
Untuk Sekar Rahayu, anakku.
Ibu minta maaf karena mungkin akan pergi terlalu cepat, tidak bisa menemanimu hingga kamu tumbuh dewasa nanti. Maaf juga telah menjadi ibu yang buruk untuk kamu. Karena keegoisan ibu, kamu menjadi kehilangan kasih sayang dari bapakmu. Sudah saatnya kamu tau semuanya nak.
Di balik foto itu, ada alamat rumah bapakmu. Kamu bisa menemui bapakmu disana. Dan sekali lagi, ibu hanya bisa minta maaf ke kamu.
Rini Rahayu.
Belum sempat aku membaca alamat di balik foto itu, aku melihat nenek telah berlinang air mata. Nenek mengatakan aku tak perlu menemui bapak, katanya aku hanya akan bersedih jika menemuinya. Aku mengerti maksud nenek melarangku. Mungkin saja nenek takut akan kehilanganku. Aku berusaha meraih tubuh nenek untuk memeluknya. Mataku juga ikut berkaca-kaca. Malam itu aku diam-diam berencana untuk bertemu dengan bapak tanpa sepengetahuan nenek. Sehari setelah tiga hari peringatan mendiang ibu. Aku pergi menyusuri kota naik bus, ku bilang pada nenek jika aku akan pergi ke rumah temanku. Berbekal alamat yang tertulis di balik foto tua ini, aku berniat menemui bapak. "Warmindo Asri" begitulah kiranya yang tertulis, mungkin bapak bekerja disini gumanku dalam hati. Setelah turun dari bus, aku mendapat petunjuk dari kernet bus. Bahwa letaknya tak begitu jauh dari halte tempatku turun. Baru saja aku berjalan melewati gang, dan benar saja seperti kata kernet bus tadi jika tempatnya cukup dekat. Aku segera menghampiri warung mie ini.
Ketika kakiku melangkah ke dalam warung ini, aku melihat seorang laki-laki paruh baya berdiri di meja kasir. Mata kami saling bertemu, bertatapan satu sama lain. Dan lagi-lagi aku meneteskan air mata. Mimpi apa aku tadi malam, setelah hampir 12 tahun lamanya aku tak pernah bertemu dengan bapak. Entah laki-laki itu mengenaliku sebagai anaknya atau tidak. Aku berjalan menuju kasir, memesan semangkuk indomie rebus rasa soto, rasa favoriteku bersama ibu. Tidak ada respon apa-apa dari bapak, mungkin ia benar-benar tak mengenaliku. Aku memakluminya, ada begitu banyak perubahan yang terjadi dalam diriku. Namun rasa bahagia yang tak terkira tetap menjalar diseluruh tubuhku. Beberapa menit berlalu, pesananku tiba. Begitu beruntungnya aku, karena bapak yang datang membawakannya kemejaku.
Aku berniat menyapa namanya, berharap bapak segera mengenaliku. "Makasih Pak Rendra" ucapku sembari tersenyum. Terlihat raut wajahnya yang bingung dan penuh tanya. "Maaf, apakah sebelumnya kita saling mengenal? Seingat saya, saya baru pertama kali melihat mbak di warung saya ini" ucap bapak dengan ramah. Ucapan bapak baru saja membuatku tau, jika ternyata bapak adalah pemilik warung ini. Tak heran, jika kebiasaanku dan ibu suka makan mie berasal dari bapak. Tanpa berpikir lagi, aku langsung mengulurkan tanganku. "Sekar Rayahu" begitulah aku memperkenalkan diri. Ku lihat tubuh bapak sedikit tergoncang. Wajahnya tertegun memandangku seakan tak percaya. Begitupun denganku, selama 12 tahun ini aku baru bisa melihat wajah bapak hari ini. Di warung ini, yang letaknya amat jauh dari rumahku. Mengapa ibu, nenek, bu lek dan pak lek atau siapapun yang mengetahui keberadaan bapak disini tak memberitahuku. Mengapa selama 12 tahun ini, bapak tak pernah menemuiku. Apakah bapak membenciku? atau apakah ibu sengaja memisahkanku dengan bapak?. Kepalaku pusing tak karuan dan sepasang mataku terasa perih. Mungkin karena sudah berkali-kali menangis. Aku telah kehabisan air mataku. "Apa benar kamu adalah Sekar?" bapak bertanya dengan memasang muka yang masih tidak percaya. Aku berdiam mematung, mulutku terasa begitu sulit untuk digerakan.
Tanpa aba-aba bapak mendekap tubuhku erat-erat. Matanya berlinang air mata, beberapa jatuh dipundakku. Aku bisa merasakan kesedihannya. Tapi lagi-lagi, aku seperti sudah mati rasa. "Dimana bapak saat pemakaman ibu?" sebuah pertanyaan tiba-tiba keluar dari mulutku. Aku menunggu, dan tetap tidak ada jawaban. "Kemana saja bapak selama ini?" tanyaku lagi. "Kamu beranjak dewasa begitu cepat" ucap bapak menjawab perkataan yang baru saja ku ajukan. "Saya tumbuh semestinya, hanya saja bapak yang tidak berada di samping saya" jawabku. "Dimana bapak saat pemakaman ibu? saya bisa mengerti jika perasaan antar seseorang bisa memudar. Tapi saya tidak pernah mendengar jika rasa kasih sayang antar anak dan orang tua bisa sirna. Seharusnya, bapak berada disana. Menguatkan saya"cercaku tanpa henti. Selama 12 tahun ini, aku menyimpan begitu banyak pertanyaan untuk ku ajukan kepada bapak. Tapi setelah bertemu dengannya, aku seperti orang yang kehilangan ingatan. "Selama ini bapak tidak pernah menjadi bapak yang baik untuk kamu nak". Sepenggal kalimat yang tidak pernah ingin kudengar dari mulut bapak. "Seandainya kamu tau, bukan bapak yang akan memelukmu di pemakaman ibu. Tapi kamu yang akan memeluk bapak, mendekap bapak dengan erat karena tak sanggup kehilangan orang yang paling bapak cintai" ucap bapak. "Selama dua belas tahun ini, bapak selalu menunggu waktu yang tepat. Tetapi bapak rasa, kamu justru lebih berani untuk mengambil keputusan daripada terus menunggu"lanjutnya. "Dan selama dua belas tahun ini juga,
ada begitu banyak hal yang tidak dapat diceritakan nak". Belum usai bapak berbicara, seorang anak kecil datang menghampiri kami, aku baru teringat jika kami sedang berada di warung bapak. Tapi sekelilingku sepertinya acuh, mereka tak memperhatikan kami ataupun tangisan bapak. "Bapak kenapa menangis?" ucap anak itu. Aku tak tau darimana datangnya anak ini, tapi ucapannya baru saja membuatku tau siapa dia. "Sekar, ini adekmu. Anton, ini kakakmu yang sudah bapak ceritakan sedang berkelana jauh". Anak itu lantas memelukku. Bagai kolam kering yang sedang diisi air, kedua bola mataku seperti kebanjiran air mata. Kepalaku semakin berdenyut-denyut, seperti akan meledak begitu saja. Tapi aku mulai paham akan ucapan nenek yang melarangku menemui bapak. Sejujurnya, aku tidak begitu kaget. Karena bayangan-bayangan seperti ini kerap muncul dikepalaku. Hanya saja aku tak mengira jika hal ini akan benar-benar terjadi dalam kehidupanku. "Halo Anton, kamu umur berapa sekarang ini?" ucapku sambil tersenyum kepadanya. "Aku lima kak" jawabnya dengan wajah yang begitu polos.
Aku menghela nafas yang begitu panjang, meraba-raba kepingan cerita yang mulai tersusun dalam pikiranku. Kurasa beberapa yang belum terpasang, masih tertinggal di rumah bersama nenek. Atau bahkan sudah terkubur bersama ibu. Aku tidak mungkin memaksa bapak untuk menceritakan semuanya sekarang ini. Aku lebih memilih untuk memakan indomie bersama Anton dan bapak. Kami menghabiskan waktu bersama, bercanda satu sama lain. Meski kami baru saja bertemu setelah sejak lama berpisah, tapi kami cepat merasa akrab. Mungkin karena kami adalah keluarga. Tatkala yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Aku tidak mungkin bisa merelakan semuanya, rasa pilu yang masih membekas di dada, atau kasih sayang bapak yang tidak ku dapat selama dua belas tahun ini. Sesekali masih menuntut untuk dilunasi, tapi itu hanya sebatas perasaan yang kusimpan saja. Aku sudah sangat bersyukur hari ini dapat bertemu dengan bapak. Setelah kepergian ibu, Tuhan menggantinya dengan pertemuanku dengan bapak.
Bapak menawarkanku untuk menginap di rumahnya. Namun aku menolaknya, aku takut nenek akan merasa cemas dan khawatir jika aku tidak pulang ke rumah. Lalu kemudian bapak menawarkan untuk mengantarkanku pulang sampai ke rumah. Dan kali ini aku tak akan menolaknya. Kurasa, sejak kepergian bapak dari rumah. Bapak tak pernah berubah, sekardus indomie sebagai oleh-oleh mengantarkanku pulang tak ketinggalan dibawa olehnya.
Kami menunggu bus di halte tempatku turun tadi. Aku melirik ke arah jam tanganku, kulihat jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tapi bus belum juga kunjung datang. Tidak terasa satu jam berlalu, kami lewatkan untuk menunggu bus sembari bercengkrama dan berbincang tentang banyak hal. Tentang pekerjaan bapak, warmindo itu, ibu tiriku, bahkan ayah menawarkanku untuk tinggal bersamanya. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan nenek berada di rumah sendirian. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga dan merawat nenek.
Pukul lima sore lebih, kami baru naik ke bus menuju rumah. Aku menyenderkan kepalaku pada pundak bapak. Seperti seorang anak kecil yang sedang bermanja dengan orang tuanya.
Aku hanya bisa berharap, aku terjebak di setengah hari ini. Saat-saat yang mungkin tak akan pernah terulang untuk kedua kalinya. Saat terakhir kali bapak pulang membawa sekardus indomie. Tetapi selanjutnya bapak pergi, bapak tak pulang. Hingga dua belas tahun ini, aku menemuinya sedang menjaga warmindonya. Di pinggiran kota yang begitu jauh dari rumahku.
Di dalam lemari tua milik nenek, ada begitu banyak lembaran kertas yang telah disobek olek nenek. Lembaran itu berisi tentang kisah Rini dan Rendra.
Bapak.
Hari itu Rini memintaku untuk menceraikannya, tapi aku tidak bisa dan tak akan pernah mau untuk melakukannya. Aku tau, apa yang sudah ku lakukan itu salah. Aku sudah beristri tapi malah menjalin hubungan dengan Rini. Bahkan kini kami telah menikah dan di karuniani seorang anak perempuan bernama Sekar. Kami mengakhiri hari itu dengan pertengkaran hebat. Aku tidak tau apa maunya, tapi mungkin dengan memintaku menceraikannya. Ia dapat menebus dosanya kepada Ratna, istri pertamaku. Bahkan ibu dan bapak Rini turut mendukung keputusan itu. Aku tak bisa melakukan apa-apa lagi, mungkin ini yang terbaik untukku, Rini dan Ratna. Tapi terlalu menyakitkan untuk Sekar. Setelah kejadian itu, aku hanya bisa pergi diam-diam menemui Sekar, melihatnya tumbuh dewasa tanpaku. Bahkan aku lebih tenang jika Sekar menganggapku telah tiada. Daripada dia harus menelan pil pahit bahwa aku bukanlah Bapak yang baik untuknya. Bahkan saat Rini meninggal, aku hanya bisa menangis dari kejauhan. Melihat anak itu masih berdiri tegar. Ia terlalu banyak merasakan kesedihan dan kehilangan. Maaf untuk Sekar, kami berdua bukan orang tua yang baik untukmu. Karena ego kami berdua, kami mengorbankanmu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
