18- Bab 01: Terlampau Patah Hati

14
18
Deskripsi

"Terlalu banyak nuntut? Nuntut apa? Aku orangnya terlanjur sans untuk dia yang jarang on WA. Gak pernah marah apalagi mencak-mencak kayak cicak," ucap Jingga membalas suara misterius itu. Otak dua pentiumnya mendadak bloon dan tidak bisa berpikir. Dia justru menanggapi si suara misterius bak orang yang sedang curhat

"Atau mungkin karena penampilan kau yang kurang menarik makanya dia milih buat pergi," ujar si suara misterius coba membantu Jingga.

"Gak mungkin karena selama ini Bang Aldi nerima aku...

Jeritan kodok yang merebak di sepanjang parit seolah-olah menjadi pengiring rintihan sendu sesosok makhluk. Air mata itu berhamburan keluar. Tangisannya juga terdengar pilu. Sesekali geraman rendah pun ikut dia suarakan. Kebetulan cuaca sedang mendung-mendungnya kali ini. Embusan angin pun ribut berlalu lalang.

Di suasana beginilah biasanya sesosok kunti berlindung di bawah pohon. Sontak menyenandungkan tangisnya seraya menganggu orang-orang yang kebetulan lewat. Otomatis hawa di sekeliling pun berubah 180 derajat lebih menyeramkan dibanding kuburan.

Dan itu terjadi saat seorang pemuda hendak menuntaskan air seninya. Dia mendadak ngacir kala mendengar tangisan tersebut. Cepat-cepat menarik ristleting celana yang sudah terbuka setengah lekas beranjak pergi sebelum dikejutkan oleh makhluk berbaju putih yang gemar mengusili manusia.

Terpaksa benda panjang di antara lipatan pahanya terjepit nelangsa, akan tetapi kejadian memalukan ini si pemuda abaikan demi secepatnya kabur dari sana. Tentu kesehatan jantungnyalah lebih diutamakan.

Namun, dia salah. Bukan sesosok kuntilah yang tengah menangis di siang bolong begini, melainkan remaja patah hati yang telah dua puluh menit lebih berjongkok sembari memeluk erat lututnya. Menangisi nasib percintaan yang terlanjur kandas.

Jingga yang mendengar sebuah langkah kaki jelas saja mengedarkan pandangan. Dia mau memastikan siapa yang datang dan menyaksikannya menangis di sini.

Jujur, kondisinya sangat memalukan hingga hamparan awan gelap yang menggantung di atas sana berkonspirasi mengejek kenestapaannya, tapi yang namanya patah hati tentu disertai rasa sakit kan? Mana mungkin dihadiahi lotre senilai ratusan juta.

Cewek itu sendiri ogah sebenarnya menunjukkan titik kelemahannya ke orang lain. Dia takut dinilai cengeng hanya karena masalah sepele bernama cinta. Namun, patah ini tidak dapat dia bendung. Dunianya serasa mau runtuh sesaat setelah sang mantan memutuskan hubungan mereka.

Jingga menyeka lelehan ingus yang keluar. Sudah dua kali dia mengucek-ngucek mata yang terasa memanas akibat lama menangis.

"Aku gak tahu lagi harus gimana ... Ini sakit. Sakit banget. Lebih sakit 
daripada dibohongi calon gebetan."

"Aku gak mau putus ... Aku masih mau pacaran sama dia, nikah, terus punya anak." Jingga menelungkupkan kepalanya, bertumpu di atas lipatan tangan yang memeluk erat lutut.

Kali ini tubuh ramping sedikit semok itulah yang berguncang hebat. Semakin sesak meski telah dua puluh menit menangisi sang mantan, Aldi.

"Sebenarnya aku salah apa sama dia, ya Allah? Selama ini aku selalu ngusahain yang terbaik, gak pernah bikin dia kecewa sekali pun," seru Jingga tidak usai-usainya menangis.

"Terus aku kurang apa lagi? Semuanya udah kukasih. Gak cuma waktu tapi perhatian!" Jingga menegadah ke langit, seakan-akan meminta jawaban ke semesta atas pertanyaaan putus asanya.

"Kau mungkin terlalu banyak nuntut kali."

Jingga tercekat mendengar rangkaian kalimat barusan. Lelehan air matanya terpending sejenak. Dia masih meresapi kata-kata tersebut. Mungkinkah ini jawaban dari semesta untuknya.

"Terlalu banyak nuntut? Nuntut apa? Aku orangnya terlanjur sans untuk dia yang jarang on WA. Gak pernah marah apalagi mencak-mencak kayak cicak," ucap Jingga membalas suara misterius itu. Otak dua pentiumnya mendadak bloon dan tidak bisa berpikir. Dia justru menanggapi si suara misterius bak orang yang sedang curhat

"Atau mungkin karena penampilan kau yang kurang menarik makanya dia milih buat pergi," ujar si suara misterius coba membantu Jingga.

"Gak mungkin karena selama ini Bang Aldi nerima aku apa adanya."

Jingga seratus persen percaya diri akan jawabannya bahkan Aldi sendiri pernah mengatakan hal tersebut. Dia menerima sang kekasih apa adanya. Tidak pernah mandang fisik seperti kebanyakan cowok brengsek di dunia gaib.

"Bisa jadi karena kau kurang seksi. Mungkin dia lebih tertarik sama perempuan bahenol yang kalau goyang beuh mantapnya dua kali lipat." Asumsi ketiga yang Jingga balas dengan gelengan kepala. Si suara misterius pun mulai kesal.

"Kurang seksi apalagi aku? Bahkan, bibirku aja sehot Dewi Persik."

Jingga memonyong-monyongkan bibirnya, menunjukkan kalau dia memang se-hot itu. Ditambah bentuk bibir penuhnya yang menggoda. Jelas Aldi menerima Jingga karena setengah alasan tersebut.

"Jangan-jangan kau pernah main serong lagi makanya dia gak percaya."

"Jangankan selingkuh, aku terlanjur cinta mati sama dia. Gak akan pernah mau terpisah kayak botol sama tutupnya."

Ya, salam! Jawaban seorang budak cinta dari sekte mana itu? Cinta mati katanya? Doi hidup, dia yang mati maksudnya? Halah, makan itu cinta! Satu biji rambutan pun melayang ke kepala Jingga. Kesadarannya mulai timbul ke permukaan.

Adik Nando itu mengaduh sakit. Kepala sebesar bakso beranaknya tiba-tiba berdenyut nyeri. Akal sehatnya yang sudah memulih lantas membuat gadis itu melirik ke bawah. Biji rambutan? Jadi, sedari awal dia dikerjai?

Mata Jingga berkilat marah. Arah tatapannya merotasi kemana-mana mencari si tersangka yang berani-beraninya menimpuk kepala anak gadis Pak Salman ini. "Siapa yang ngelempar biji rambutan ... Gak tahu sakit apa!"

"Aku yang lempar!"

"Kau siapa?"

"Aku Dewa Amer, si Dewa Kematian. Pasangannya Dewi Amor. Anak dari Dewa Zeus," sahut si suara misterius yang masih tidak Jingga mengerti.
Namun, cewek ini baru sadar setelah wajah titisan dakjal Aslam Amerta melintas ke kepalanya.

Bola mata Jingga pun melirik ke atas. Di pohon rambutan itu Amer si rambut landak nampak anteng ngejogrok di salah satu dahan rambutan. Wajahnya yang sok cool makin membuat Jingga muak.

"Amer bodoh turun kau!" titah Jingga murka.

Ranting yang berserakan di bawah lekas cewek itu ambil secepat kilat. Sedikit berjinjit, dia mencoba memukul-mukulkannya ke badan Amer, memaksa cowok bengal ini untuk turun.

Jingga betul-betul dendam. Dia ingin memberi Amer pelajaran. Pelajaran 
berharga yang mungkin tidak bisa dilupakan cowok itu.

"Maleesss ... Ke sinilah kalau berani! Manjat sana! Butuh dibantu gak?" Amer malah tertawa menyaksikan ketololan gadis ini. Jingga yang kian bergeming tentu menyambung kembali gelak tawa Amer.

"Kau mau tahu kurangmu apa sampai diputusi? Ya, karena kau itu kekananakkan, terlalu manja, gak bisa diajak kemana-mana sampai bikin dia ilfeel. Lagian, siapa juga yang mau pacaran sama bocil kan? Jelas dia nyari yang lebih dewasalah."

"Makanya kalau bucin gak usah keterlaluan. Kan jatuhnya kek orang bodoh. Udah ditinggal masih aja ditangisi. Begoknya double kuadrat!"

"Diam muncungmu, Amer! Jomlo kayak kau mana akan ngerti. Dasar jomlo berkarat gak tau malu," cetus Jingga balik menistakan cowok berambut landak tersebut.

Amer membulatkan mata. Oh, udah berani ikut-ikutan ternyata!

"Halah, jomblo kok teriak jomblo. Makan nih kulit rambutan." Kulit rambutan yang masih menghijau agak kekuning-kuningan Amer lemparkan ke arah Jingga. Andai, sedikit saja cewek patah hati ini tidak mengelak mungkin wajahnya semakin cantik karena dibubuhi blush on alami.

Jingga mencibir kata-kata Amer.  Tenggorokkanya yang masih sakit enggan membuat dia mau berdebat apalagi berdebat dengan orang paling freak nan tidak penting semuka bumi. Tentu Amer si rambut landak tidak akan paham. Toh, status jomblo di antara mereka seratus persen berbeda.

Status jomlo Amer itu menahun, ibaratnya sudah berkarat dan menghitam seumpama seng yang tidak layak dipandang sementara status jomlo Jingga fresh from to oven. Masih hangat dan harumnya semerbak nastar yang baru keluar dari oven.

"Lagipula, buat apa kau tangisi si Aldi Taher itu. Jadi cowok aja plin-plan mutusi anak gadis orang kok kayak ngelepehin biji rambutan."

Wah, keterlaluan sekali mulut kompor seorang Aslam Ikhsan Amerta ini.

"Jadi, maksudmu aku dilepehin kayak biji rambutan? Dapat asumsi dari mana kau? Asal ngejeplak aja. Cowok kok mulutnya gak bisa difilter!" tuntut Jingga mengkonfrontasi sederet kalimat sok tahu Amer.

"Ya, gak perlu sampai baca wikipedia terus bolak-balik ngebuka jurnal internasional sih buat tahu kelakuan gak beradap mantanmu. Pas baru pacaran aja mulutnya manis banget kayak permen yupi, setelah bosan dilepeh kek permen karet. Kau pun mau-mau aja jatuh cinta sama dia. Macam orang kena pelet," tutur Amer singkat, padat dan jelas.

Jingga mendengus sebal. Arah tatapannya melengos entah kemana. Pokoknya dia malas pakai banget mendengar ujaran kebencian yang Amer lontarkan untuk Aldi.

"Suka-sukakulah. Sewot kali kau jadi orang."

Amer mencebik. Persentanlah dengan kebodohan Jingga yang tololnya minta ampun, yang terpenting dia sudah mengingatkan. Sekarang cowok kelahiran 2006 itu asyik cosplay jadi monyet di atas sana sembari mengigit rambutan telan yang asamnya mengalahkan ketek abang-abang di pasar.

Daging rambutan yang enggan lepas dari bijinya itu sertamerta Amer campakkan ke sembarang arah.

"Pasti kau ke sini belum izin siapa-siapa kan? Paling kau bilangnya ke kedai depan komplek eh taunya ngelayap sampai Seminai."

"Gak usah kepo! Rempong banget jadi cowok kek wartawan ngebet nyari berita."

"Ditanya baik-baik malah ngegas."

"Terus kau sendiri ngapain di sini? Pangkalan Kerinci itu luas ya!  Sama-sama pendatang baru aja sok kali nanya-nanya."

"Ini rumah Pak Ngah-ku. Kau yang perlu dipertanyakan kehadirannya. Melayap jauh-jauh kayak burung hantu kehabisan makanan. Kuadukan kau ke Bang Nando baru tahu rasa."

"Ah, terserahlah! Aku mau pulang! Susah ngomong sama cowok yang gak ngerti perasaan cewek patah hati."

Amer menungkikkan alisnya. Merasa heran dengan cewek patah hati yang barusan dia ganggu. Patah hati kok bilang-bilang, siapa yang peduli kan?

****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya 18- Bab 02: Teka-Teki Tak Bersilang
7
8
Nyatanya mempertanyakan keputusan Aldi serta memecahkan rahasi di balik jadiannya Niluh dan sang pacar jauh lebih sulit dibanding memecahkan teka-teki silang - Jingga Laksania
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan