Memoar Pendek dari Nablus

0
0
Deskripsi

Kalau kemerdekaan Palestina disebut sebagai utang bangsa, maka utang pribadiku adalah mendidik anakku.

*ilustrasi oleh Anggoro Anggi (instagram: @wincis)

“Ayah!” Ananta, anakku, menghambur kepadaku yang baru pulang. Setiap hari dia memang sesenang ini. “Ayah, Nanta ada PR dari Pak Ardi menulis cerita sebanyak 200 kata tentang ‘Ayahku, Pahlawanku’. Ayah bantu Nanta ya!” Meski aku lelah, tidak mungkin rasanya kegembiraan anak ini ditolak.

Banyak orang yang bilang, lihat anak pulang kerja adalah obat lelah, betul apalagi kalau semua anak seperti anakku.

“Ya… nanti Ayah bantu, sekarang ayah bebersih dulu ya.” Kucium kening Ananta tepat di tengah, di atas mata.

“Asyik! Jadi abis Ayah mandi kan?”

“Belum… abis mandi ayah mau solat dulu…”

“Jadi abis Ayah solat?”

“Belum… abis solat, ayah makan dulu, nyuci piring dulu…”

“Jadi abis Ayah nyuci piring?”

“Ya… abis nyuci piring Ayah istirahat dulu.”

“Oh, abis istirahat? Berapa lama Ayah?”

“Ya… kira-kira 6 jam-lah.”

“Wah lama banget ih!”

“Becanda Ananta… iya, abis ayah solat ya…”

“Iya Ayah!” Ananta kembali ke tengah, disuapi oleh istriku.

Apa yang harus kuceritakan untuk PR Ananta? Apa harus ku ceritakan bahwa sekarang aku bekerja sebagai kepala bagian K3L di sebuah perusahaan swasta? Apa menariknya pekerjaanku? Ini bukan pekerjaan yang kuinginkan sejak dulu. Apa pekerjaan yang membiayai hidup sederhana kami bertiga bertahun-tahun ini bisa bernilai kepahlawanan?

Ananta terlalu kecil untuk memahami betapa sulit hidup dari profesi yang tidak diinginkan. Ia harus berani bermimpi. Kasihan kalau ia tahu ayahnya tidak hidup dari pilihan yang diharapkan. Anakku harus tumbuh jadi anak yang bahagia mengejar mimpinya.

Aku pergi mandi dengan pikiran yang penuh. Air hangat dari dalam cerek tidak membuatku lebih rileks membayangkan apa yang harus kuceritakan untuk Ananta. Aku menggigil membayangkan cerita yang kubagi dengannya. Handuk terasa lebih kering dari biasanya.

“Ayah! Ayo cerita!” Ananta merubungiku selepas solat isya. Sekilas aku menatap istriku. Mata beningnya seakan berbisik, ‘"Tidak apa-apa, kamu tetap Ayah yang hebat." Entah kata-kata itu hanya imajinasi atau memang lama pernikahan membuat kami dapat bicara dengan cara yang lain.

“Iya, Ayah sambil makan ya.” Kini mataku memesan sepiring nasi, sayur lodeh, dan tempe goreng kepada istriku. Ia beranjak menyiapkan. Ananta duduk di sebelahku.

Istriku kembali dengan sepiring nasi beserta lauknya. Tangan kananku menggapai sendok dari wadah di meja. Kepalaku memutar ingatan, perasaanku ku peras untuk menguatkan diri bercerita kepada Ananta, namun gagal. Aku belum sanggup mengorek sisi manapun dari hidupku yang patut kubanggakan sebagai ayah. Ananta menunggu dengan sabar pada suapan pertama. Kedua… ketiga… istriku bangkit memijit sedikit punggungku.

Kulihat senyumnya yang berkata, "Gapapa, kamu udah lebih dari pahlawan buat kami berdua." Sedikit melegakan, tapi tidak mengubah kecanggungan. Dari mana aku cerita? Haruskah kuceritakan bahwa aku anak dari sebuah keluarga menengah di ibu kota yang tidak lebih hebat dari kebanyakan orang? Aku bahkan tidak sesukses ayahku sendiri. Ataukah kuceritakan bahwa semembosankan apapun pekerjaanku, aku harus tetap berangk…

“Ayah! Ayo ceritaa…” Ananta kembali merengek. Aku mengorek-orek tulang ikan patin seolah bongkahan dagingnya sudah habis, padahal masih banyak. Aku hanya mengulur waktu agar keengganan ini sirna.

“Ayah pernah jadi relawan,” Ajaib, di antara semua opsi yang tadi muncul di kepalaku, ratusan-ribuan hal yang terjadi dalam hidupku ini yang keluar. “Ayah pernah jadi relawan kemanusiaan di Palestina.” Hening kembali beberapa detik.

“Terus-terus?”

“Awalnya, Ayah jadi relawan untuk sebuah lembaga kemanusiaan. Nah, ayah dianggap berprestasi, karena berhasil ngumpulin donasi sebesar 1 miliar rupiah.”

“Wow 1 miliar, Ayah? Banyak banget! 1 miliar itu nolnya ada 12 kan, Yah?”

“Iya, Ayah bisa ngumpulin donasi segitu banyak karena dibantu kakek. Kakek kontak temen-temennya sesama pengusaha. Ada yang donasi 10 juta, ada yang 20, 30… wah banyak deh. Orang kaya kalo dipantik gengsinya jadi gampang kepancing, hehehe. Ayah cuma presentasi aja ke rumah temen-temen kakek.”

“Terus?”

“Nah, dari situ Ayah diminta berangkat ke Palestina ikut bersama tim dari lembaga. Semuanya ada 10 orang…” yang Ananta tidak perlu tahu, usaha kami untuk berangkat saat itu sulit sekali. Kami berulangkali diinterogasi oleh pihak imigrasi.  Karena tidak tampak seperti orang berpelesir, kami dicurigai. Sebelum berangkat kami menginap 8 jam di bandara sebelum akhirnya diperbolehkan terbang. Itu pun kami harus beli tiket lagi. Untungnya, pihak imigrasi bersedia memastikan kami bisa berangkat. “Perjalanan kami 11 jam, transit dulu di Turki. Dari Turki ke Amman, nah dari Amman baru sampe di Ramallah, Palestina.”

“Ayah ngapain aja di sana?”

“Wah banyak.. selain menyalurkan bantuan, Ayah ke situs-situs suci umat tiga agama. Yang paling berkesan tentu Masjid Al-Aqsa. Masjid Al-Aqsa dijaga ketat oleh tentara israel."

Aku kembali menyuap nasi dan sayur lodeh, ikan patin menyusul terakhir. Manisnya santan mengingatkanku tentang sosok yang kulihat di masjid Al-Aqsa saat itu. Sambil mengunyah, kuceritakan pada Ananta.

"Yang paling teringat waktu ke Al-Aqsa adalah ketika Ayah melihat seorang jamaah tua yang memberi permen ke siapa saja. Termasuk ke tentara israel yang berjaga di gerbang masjid. Setiap ketemu orang, beliau akan tersenyum dan merogoh sakunya yang penuh. Permen berbagai rasa warna-warni ia tawarkan. Ayah juga dapat dari beliau."

"Ayah, katanya kirim bantuan, cerita dong ayah." Betul juga, tugas esai Ananta menceritakan kepahlawanan seorang ayah, bukan pelesirannya di tanah suci. Ternyata Ananta paham, aktivitas filantropi adalah juga aktivitas kepahlawanan. Sebab tiada cinta kasih pada sesama kecuali membutuhkan pengorbanan.

"Oh iya… Ayah keenakan cerita…" Beberapa suap, nasi ku tandas. Ananta masih antusias mendengarkan. “Ayah beserta tim menyalurkan bantuan di kamp pengungsian Balata. Di sana, Ayah bertemu dengan keluarga-keluarga Palestina yang kehilangan rumahnya karena dirampas oleh israel. Meski begitu, bantuan yang kami bawa seolah-olah tidak berarti di mata mereka, Ananta.”

“Kenapa Ayah? Memangnya  bantuan yang Ayah bawa sedikit?” Setelah mencoret beberapa catatan Ananta kembali menanggapiku.

“Bukan, tapi karena mereka yang terjajah dan tak memiliki tempat tinggal lebih memahami hakikat kehidupan daripada kita. Manusia yang 'katanya' merdeka.” Kalimat yang berat, tapi mungkin Ananta paham. “...tidak sedetikpun, mereka kehilangan semangat hidup. Mereka menyambut kami dengan pakaian terbaik. Pake jas, sepatu, celana pantalon… padahal mereka tinggal di pengungsian yang tidak layak sama sekali.”

Kini nasiku benar-benar tandas. Mata Ananta masih mengikutiku menuju tempat cucian piring. Ia masih ingin mendengar ayahnya bercerita, seberapa besar kepahlawanan yang pernah kuperbuat. Ada banyak memori yang berputar selama Ananta merongrongku. Sayang, ia baru 10 tahun. Mungkin 13 atau lebih, akan kuceritakan semua yang belum bisa kuceritakan padanya saat ini.

Tunggu, mungkin ada satu hal yang bisa kuceritakan padanya. Ini memang bukan tentangku, tapi inspirasi kepahlawanannya pasti bisa dipahami Ananta. “Ananta masih mau denger cerita Ayah ya?”

“Iya, Ayah ceritanya pendek banget. Gitu doang.”

“Hehehe, kan cuma 200 kata. Kalo segitu kayaknya cukup kok…”

“Iya, tapi Ananta masih penasaran, Yah.”

“Ada lagi satu cerita, tapi Ananta harus janji nggak tulis cerita ini di tugasnya ya?”

“Yah… ya udah deh, yang penting masih ada cerita.”

“Waktu di Nablus, ayah banyak ngobrol sama pemuda dan anak-anak Palestina. Ada satu anak muda, usianya cuma lebih tua 7 tahun dari kamu, namanya 'Imad. Dia punya kebiasaan unik setiap pekan sama temen-temennya.”

“Ngapain, Yah?”

“Setiap akhir pekan, mereka akan numpang mobil orang-orang Palestina yang menyebrang dan turun di agak selatan Nablus. Terus ngelemparin petasan dan kembang api ke pemukiman Yitzhar, hehehe. Yitzhar itu pemukiman ilegal Asrael, Nanta.”

“Tapi… kenapa? Kan ga sopan dan ganggu kenyamanan orang-orang, Yah?

“Ya karena… karena pemukiman itu salah satu bentuk penjajahan israel, Ananta. Orang-orang dari seluruh dunia berdatangan untuk jadi warga negara Israel. Ngambilin tanah dan properti orang-orang Palestina seolah-olah ga ada yang punya.”

“Nanta ga boleh nulis ini?”

“Iya, jangan…ga semua orang paham bahwa orang Palestina itu dijajah. Dan israel itu entitas terkejam sepanjang sejarah.”

“Bahkan Bu Sri?”

“Bahkan Bu Sri dan Pak Ramdhon, guru agama Islam kamu.”

“Oke.”

“Kenapa, Nanta ga puas ya, sama ceritanya?”

“Iya, tapi ini sudah cukup sih.” Ananta mengambil minum lalu duduk. “Nanta mau tidur ya, Yah.”

Kukecup kepala Ananta setelah menitip pesan untuk tidak lupa sikat gigi kalau ia selesai menulis tugas 200 kata-nya. Ananta mengangguk. Meski malam ini aku telah menceritakan sedikit kebanggaan yang pernah terjadi dalam hidupku, aku merasa bersalah. Itu pula yang membuatku terlambat masuk ke kamar mendatangi istriku yang sedang bermalas-malasan main medsos. Ia menatap wajahku. Aku melihat matanya. Sepertinya belum sepatah katapun kuucapkan kepadanya sejak pulang tadi.

“Gimana Bang? Udah beres cerita sama Ananta?” Istriku tersenyum.

“Udah… tapi ga tega aku,” kataku sebelum keheningan terlalu lama mengudara.

“Gapapa Bang… aku paham kegamangan kamu. Tapi, meski gimanapun hidup kita nyaman. Kita cukup-cukup aja kok. Makasih ya udah kerja keras setiap hari.”

“Ya sayang... tapi sebetulnya bukan itu...“ alih-alih duduk di kasur di dekatnya, aku malah ke lemari. “Laptop kamu nggak rusak kan? Aku pinjem ya.”

“Nggak, tu di laci paling atas. Buat apa?”

“Nenangin pikiran.” kutemukan tas laptop di laci paling atas. Kuangkat pelan-pelan, jangan sampai pakaian yang sudah dilipat istriku berjatuhan. Tidak seorang istripun di muka bumi yang menyukai hal itu. “Kamu kalo mau tidur duluan aja ya…”

“Oke…”

“Tumben langsung oke?” Ketika berbalik, kulihat istriku membuka lengannya menagih pelukan. Aku memeluknya, ada ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan seluruh kekayaan di dunia. Pelukan itu, hanya milik istriku. Sekuat apapun istriku meyakinkan bahwa pelukan itu untuknya, sesungguhnya amat berarti bagiku juga.

“Jangan malem-malem ya. Kamu janji kemarin mau masakin Ananta nasi goreng buat sarapan. Jangan tidur lagi abis solat subuh karena kemaleman.”

“Oke sayang, insyaAllah nggak lama.”

Maka inilah yang kulakukan. Ku bawa laptop itu ke ruang tengah, kembali ke meja makan. Banyak hutangku pada Ananta tentang pemahaman ini. Pemahaman yang seharusnya kuwariskan padanya sejak bertahun-tahun lalu. Memang agak terlambat, tapi aku tidak ingin Ananta tumbuh jadi remaja yang tidak punya ghirah pembelaan.

Ananta harus jadi anak yang kuat dan berani. Aku memang bukan pahlawan hebat seperti bapak-bapak lain, belum. Tapi aku masih bisa mendidik Ananta untuk menjadi pahlawan yang lebih hebat daripada tokoh pahlawan super di kartun mana pun. Bisa saja namanya tercatat di dalam sejarah bertahun-tahun nanti.

*mengetik di laptop*

Ananta, Ini adalah pesan yang akan kamu baca ketika usiamu 13 tahun. Entah, tidak spesifik alasan ayah memilih usiamu itu. Ayah pikir semua anak akan mulai terbentuk jiwanya sejak usia ini. Maka inilah yang harus kamu baca. Pesan ini berisi cerita lengkap pengalaman ayah.

Pada tanggal 21 Mei 2037, kamu meminta ayah bercerita tentang diri ayah sebagai pahlawan sebagai PR bahasa Indonesia-mu. Ayah tidak mungkin menceritakan semuanya kepadamu, sebab kamu masih terlalu kecil. Karena beberapa keterlambatan ayah mendidikmu, ada hal-hal yang ayah sembunyikan. Ayah khawatir kamu belum siap mendengarnya.

Di samping itu, negeri kita saat ini semakin jauh dari ghirah beragama. Siapa saja yang marah karena simbol agamanya dilecehkan pasti dicap radikal, dibusuki, dirundung, ditangkap. Tidak jarang yang ditangkap kemudian tidak kembali dan hilang.

Ayah berjanji akan mendidikmu lebih serius setelah ini. Ayah harap pada usiamu yang ke-13, kamu tidak kaget lagi mendengar apa yang ayah ceritakan di dalam tulisan ini.

Bulan Juli tahun 2024, ayah berangkat menyalurkan bantuan beserta tim dari Indonesia. Lembaga yang menaungi ayah dan relawan lainnya sudah tidak ada. Pada tahun 2025 pemerintah membubarkan semua lembaga kemanusiaan yang membantu negara-negara Muslim yang tertindas. Semakin jelas mengapa kini kita ada pada kondisi seperti sekarang di negeri kita.

Ayah membawa bantuan untuk program hari raya kepada saudara-saudara Muslim kita di Palestina. Sebagaimana sebelumnya ayah ceritakan, ayah menyalurkan bantuan ke kamp Balata. Ayah merayakan idul fitri beserta mereka di sana.

Layaknya hari raya, semua orang bergembira. Kami beserta mitra penyaluran di sana menginisiasi perlombaan untuk anak-anak. Bagi orang dewasa, kami membuat panggung hiburan. Kami beserta beberapa pendongeng, komedian, dan penerjemah yang siap meramaikan panggung. Pengungsi Palestina di sana pun kami minta menunjukkan talentanya.

Di antara lomba-lomba yang kami selenggarakan, satu lomba yang akan sangat berkaitan dengan cerita ayah. ‘Imad Zubair, seorang anak yang mengidap autisme ingin mengikuti lomba menggambar.

‘Imad adalah anak yang istimewa. Ia selalu menjadi favorit semua orang. Meski seakan acuh dan lebih senang sendirian dalam pengawasan, ia senang sekali menggambar. Gambarannya dipajang di dalam rumah orang tuanya. Ayah sendiri tidak menyangka goresan sebagus itu digambar oleh anak berusia tujuh tahun. Seorang anak dengan autisme pula.

Cuaca Nablus cukup panas saat itu. Rata-rata, siang hari mencapai 32℃. Ayahmu yang biasa mondar-mandir di Jakarta waktu SMA saja sering mengalami pusing. Memang Nablus tidak lembab seperti Indonesia, tapi justru udara kering membuat kita tidak boleh lupa banyak minum ketika sahur. Ayah mengalami sendiri rasanya akhir bulan Ramadan di tanah Arab.

Pada 1 Syawal di tengah kamp, kami mendirikan panggung. Lepas solat id bersama para pengungsi Palestina, kami segera memulai acara. Meski mereka hidup puluhan tahun terusir dari rumah mereka sendiri, senyuman tetap selalu nampak alami. Inilah senyuman penuh keberanian. Senyum yang yakin bahwa suatu hari nanti mereka akan kembali pulang sebagai orang merdeka.

Para pendongeng dan penerjemah telah siap naik ke panggung. Di tanah lapang ini, sekelompok anak berkumpul bersiap mengikuti lomba lari. Di sudut lain, sebagian anak duduk tenang bersiap mengikuti lomba hafalan Al-Qur'an. Sementara ayah kebagian tugas mengabadikan foto anak-anak yang mengikuti lomba menggambar. ‘Imad Zubair diam saja, duduk berdua dengan ibunya, sementara anak lain duduk sendiri.

Di tengah nuansa yang indah ini, dari sebelah barat terdengar keributan. Ketika ayah mendekat, orang-orang dari mitra lembaga menahan. Hanya beberapa patah kata yang sekiranya dapat ayah pahami, “israili”, “quwatu”, “ihtilal”. Israel, tentara, pendudukan. Mau apa mereka di hari raya?

Sebagian tokoh yang bersama kami berdebat menggunakan bahasa Ibrani. Tentara Israel tetap bersikeras menyampaikan maksudnya. Mereka ingin “Pemeriksaan Rutin”. Pemeriksaan Rutin adalah alasan yang kerap digunakan tentara Israel untuk menekan pengungsi Palestina. Tidak jarang, orang-orang Palestina ditangkap dalam operasi ini tanpa alasan yang jelas.

Udara kering tanah Syam menjadi lebih dingin. Operasi yang tiba-tiba membuat tidak seorang pun berpikir untuk melawan laras panjang IMI Galil dengan tangan kosong. Meski ayah sudah sangat ingin mematahkan leher mereka saat itu. Tapi tidak untuk saat ini. Mungkin lain waktu, lain kesempatan, dan bukan dalam misi kemanusiaan seperti ini.

Setelah menebarkan ketegangan, tentara israel meninggalkan kamp dengan membawa sekarung bendera Palestina. Rumah-rumah pengungsian diobrak-abrik. Para pengungsi telah paham dan tidak ambil pusing meski pasti sebagian atau seluruh dari harta mereka dicuri tanpa rasa malu.

Aneh sekali, 4 triliun lebih anggaran Amerika untuk Israel setiap tahun. Namun, tentara penjajah ini tetap saja mencuri uang receh. Ternyata merampas hak hidup tidak cukup, masih butuh merampas kepingan terakhir milik pengungsi Palestina. Mereka yang merampas, mereka pula yang menghinakan diri sendiri. Mereka bahkan lebih buruk dari cacing tanah.

Kegembiraan yang tadinya semarak karena berbagai kegiatan yang kami selenggarakan perlahan surut di dalam hati kami. Ajaibnya, sebagian anak muda di sini malah menari Dabkah untuk menghibur satu sama lain, lebih tepatnya menghibur kami. Kami, yang tadinya berusaha menghibur mereka. Lomba-lomba tetap dilaksanakan, berbagai makanan tetap dihidangkan.

Selepas lomba, 'Imad Zubair kembali memasang gambarnya. Saking senangnya, kali ini gambarnya tidak dipasang di tembok. Melainkan di depan pintu rumahnya. Gambar ‘Imad Zubair bukan gambar yang istimewa, tapi tentang gambar inilah latar belakang cerita ayah.

Tiga malam setelah hari raya idul fitri, kamp didatangi lagi oleh tentara Israel. Rombongan ayah telah pindah ke kamp lain untuk menyalurkan bantuan lainnya. Kejadian ini ayah dengar dari mitra yang menyertai rombongan. ‘Imad Zubair syahid di tangan tentara israel. Kabar itu membuat sisa hari ayah tidak penting lagi. Kepala ayah kosong seperti tidak mampu memproses apapun.

Esoknya ayah menyelinap pergi dari rombongan untuk kembali ke Kamp Balata. Ketika sampai, dengan keterbatasan bahasa Arab, ayah bertanya-tanya kepada warga Kamp siapa pelakunya. Mereka menyebut satu nama. Satu nama tentara israel yaitu Moshe Bennet, kapten kompi IDF yang beroperasi di Nablus. Menurut informasi, dia adalah sosok yang tempo hari kulihat adu mulut dengan warga kamp. Ayah ingat logat dan gurat menjijikan di wajahnya.

Semangka. Ya, itulah yang digambar ‘Imad Zubair di kertas gambarnya. Ayah menemani keluarga yang masih berduka. Kami membaca Al-Quran dan berdoa bersama-sama. Ayah menginap di rumah keluarga Zubair. Dengan segenap tekad dan keterbatasan, ayah minta izin kepada Pak Yahya, ayah ‘Imad untuk membawa pulang gambar semangka milik ‘Imad. Namun, Pak Yahya tidak mengizinkan.

“Tidzkaar”, kata Pak Yahya. ayah paham, itulah kenang-kenangan terakhir ‘Imad untuk keluarganya. Karena gambar itu nyawanya dihabisi menghadap Allah SWT. Ada bekas sedikit sobek dan kusut pada kertas gambar milik ‘Imad.

Dengan uang yang terbatas, ayah memutuskan untuk berdiam diri di dalam kamp sementara. Menurut keterangan warga kamp, kompi Moshe mungkin akan datang lagi. Ayah mencari tahu apa sebab ‘Imad kecil ditembak dari jarak sedekat dua meter.

Dengan banyak menggunakan isyarat, ayah tahu bahwa mereka ingin merampas gambar ‘Imad, sedang ‘Imad tidak mau. Bertahun setelahnya ayah baru paham bahwa Israel sangat membenci lukisan/gambar semangka karena identik dengan warna-warna bendera Palestina1. Tidak heran, operasi mereka pada hari raya sebelumnya sekadar menyita bendera. Tidak lebih. Belagak jago, tapi sekadar bendera saja takut setengah mati.

Hari kedua, ayah mendapat ide untuk mengundang para tentara Israel kembali datang ke Kamp. Dengan meminjam buff milik Marzuq, ayah yakin tidak dikenali sebagai orang Indonesia. Rencananya, pos mereka akan ayah lempari petasan.

Sementara itu ada puluhan telepon tidak terangkat di hape ayah dan sebuah pesan dikirim kemarin dari tim. Besok malam kami harus kembali ke Ramallah untuk pulang ke tanah air. Ramallah adalah kota pusat pemerintahan Palestina. Lewat Ramallah kami bisa masuk ke kota-kota lain di Tepi Barat. Sungguh sebuah ironi bagi bangsa Palestina, sebab hingga kini mereka tidak bisa menjalankan pemerintahan dari Ibu Kota Al-Quds karena masih terjajah.

Ingat nama tentang 'Imad yang ayah ceritakan suka melempar petasan? Ayah bohong. Waktu cerita kepadamu, ayah teringat 'Imad yang syahid akibat moncong senapan israel. Sosok sebenarnya pelempar petasan adalah Marzuq Hamdi. Marzuq anak yang cerdas. Ia beserta teman-temannya punya cara khusus agar tidak pernah tertangkap tentara Israel yang naik pitam. Usianya tidak jauh dari ayah waktu itu, 17 tahun. Anak muda ini juga bisa berbahasa Inggris.

“Marzuq, saya butuh bantuan kalian.” Marzuq beserta kawan-kawannya sedang duduk-duduk di kamar yang disulap menjadi markas di dalam kamp. “Saya mau beri Moshe pelajaran.”

“Tapi kau paham konsekuensinya? Kami tidak mau ada yang jadi korban. Baik dari warga kamp ini, maupun kamu.” Marzuq menunjuk wajah ayah. Betul, ayah tidak boleh sembrono. “Andunisi, untuk menghajar Moshe tidak cukup menyerang posnya saja.”

“Jadi… apa?” Pertanyaan ayah membuat Marzuq saling melihat dengan temannya satu sama lain, seperti sedang memastikan sesuatu.

“Kau urus saja Moshe Andunisi. Kami urus yang lainnya,” Ayah lega mendengar kalimat itu, “Tapi ingat, kalau kau tertangkap, kami tidak terlibat.”

Setelah menyusun rencana dengan Marzuq dan kawan-kawannya, ayah siap. Hari itu juga, kami mengatur strategi. Akan ada tiga kembang api yang ditembakkan ke pos penjagaan terdekat. Satu dari arah barat, dua dari arah timur. Fungsinya untuk memecah perhatian personel yang berjaga. Ada risiko Marzuq, Ahad (teman Marzuq dalam operasi ini), bahkan ayah tertangkap.

Satu-satunya cara adalah ayah yang harus terlihat berlari menjauh setelah kembang api ditembakkan. Target kami bukan personel, bukan pula fisik pos penjagaan. Target kami adalah mobil patroli Moshe. Konon kapten kompi sangat menyayangi mobil patrolinya.

Jadi, ketika kembang api pertama dari arah barat ditembakkan, ayah bersiap. Satu lagi dari timur dan terakhir ayah sendiri yang akan menembakkannya. Ayah berlari di jalan biasa sejauh 20 meter sebelum masuk ke semak-semak seperti Marzuq dan Ahmad. Pelarian ayah harus terlihat, tapi juga berhasil. Ayah tidak boleh tertangkap.

Ada api kecil tersulut di jok mobil Moshe. Para personel yang menjaga segera memadamkan. Personel lain menembakkan senapannya ke udara, menggertak. Ini berarti operasi kami berhasil.

Moshe dan seluruh personel kompinya kembali datang ke kamp. Marzuq dan kawan-kawan berpencar untuk mengurangi risiko tertangkap. Masih menggunakan buff, Ayah bersembunyi di balik pintu salah satu rumah pengungsian.

Maka ketika seorang personel mendobrak masuk rumah pengungsian mengomel dalam bahasa Ibrani, pukulan ayah masuk di tengkuknya. Ia terjatuh. Beberapa pukulan dan kuncian di leher cukup untuk membuat tentara zionis ini pingsan. Ini yang ayah belum ceritakan selama ini kepadamu, Ananta. Ayah pemilik sabuk hitam melati 4 perguruan Tapak Suci.

Lepas melucuti dan meminjam seragam tentara zionis yang ayah taklukan, ayah keluar dan ikut mendobrak rumah pengungsian lain. Ayah menyesal harus memukul seorang bapak di rumah sebelah demi menyempurnakan akting ayah sebagai tentara zionis.

Ayah berhasil ikut ke dalam mobil ketika kompi ini lagi-lagi hanya membawa beberapa bendera Palestina dan jarahan di rumah pengungsian. Tidak ada yang curiga dengan ayah. Tidak hingga beberapa personel seperti membicarakan ayah dalam bahasa Ibrani. Mobil berhenti, ayah diminta membuka buff. Pasti mereka curiga seragam tentara ini terlihat kedodoran.

Sebelum berhasil betul-betul membuka buff, para personel kompi memegangi ayah. Seorang di antara mereka mengabari Moshe yang ada di mobil depan. Moshe berbalik mendatangi ayah, bicara menggunakan bahasa Ibrani yang ayah tidak mengerti.

“Bertarunglah denganku tangan kosong!” Kata ayah dalam bahasa Inggris ke Moshe yang sebelumnya menghajar wajah ayah dengan pegangan IMI Galil.

“Oke, kenapa tidak?” Moshe melepas beberapa atribut seragamnya, dititipkan ke personel lain. Sambil menggulung lengannya, ia bertanya, “Kau bukan orang arab, bukan orang Iran, atau Turki. Apa urusanmu dengan kami?”

“Cukup omong kosongnya Tuan! Bagaimana kalau kita bertaruh?” Ayah mulai memasang kuda-kuda jurus harimau setelah dilepas oleh personel tentara zionis lainnya.

“Orang Asia yang berani. Apa tawaranmu?”

“Transportasi ke Ramallah.”

“Ha ha ha. Baik, tidak sulit. Kau boleh ambil mobilku untuk ke sana. Ini kuncinya di dalam saku bajuku. Ambil sendiri olehmu. Sekarang tawaranku: serahkan lokasi anak-anak pelempar petasan itu.”

“Deal!”

“Deal!”

Meski sudah pada level pendekar di perguruan Tapak Suci, melawan kapten kompi bukan perkara mudah. Entah sudah berapa kali ayah mengincar kakinya tapi gagal. Ada rasa memar di wajah, dada kiri, bahu kanan. Ayah tidak peduli. Pertarungan ini untuk membayar nyawa ‘Imad Zubair. Pun ayah berutang pada Marzuq dan kawan-kawan, mereka tidak boleh tertangkap.

Puluhan— bahkan ratusan personel tentara Zionis lain sambil minum-minum anggur bersantai mengitari arena tanding kami. Mereka mulai mengolok-olok ayah ketika banyak tinju Moshe yang masuk. Ludah dan terjangan mereka sesekali mampir. Tidak apa-apa, tidak ambil pusing.

Akhirnya dalam sepersekian detik, Moshe tidak awas. Ayah berhasil melesakkan pukulan ke rahang kirinya. Kamu tahu Ananta, Tapak Suci tidak mengajari tenaga dalam dengan bantuan jin. Tenaga dalam dalam ajaran Tapak Suci dipelajari sebagai bagian dari olah tubuh dan ketekunan seorang pendekar. Pun ayah tidak begitu yakin apa benar pukulan terakhir itu ayah berhasil melesakkan tenaga dalam di tinju ayah untuk menambah efek. Yang jelas, Moshe terlihat kewalahan setelah itu.

Sesungguhnya ayah tidak ingat betul kami bertukar berapa pukulan lagi. Tapi setelah pukulan lain di kepala Moshe, ayah memiting lehernya tanpa ampun. Ia berteriak kesakitan tapi ayah tidak peduli. Seluruh anggota kompi yang tadinya bersorak mendukung kapten mereka kini diam. Moshe Bennet membayar nyawa ‘Imad dengan nyawanya di tangan ayah.

Segera ayah merogoh kantong di dada Moshe untuk kunci mobilnya. Ayah sadar ayah tidak tahu jalan, dan para personel ini segera mengincar ayah dengan peluru. Itulah gunanya ayah segera berlari menghajar para personel yang menghalangi jalan menuju mobil Moshe. Ayah mengambil kunci mobil beserta kartu anggota IDF-nya.

Para personel yang tadinya santai melepas senapannya kini kalang kabut mencari IMI Galil mereka masing-masing. Pukulan demi pukulan ayah lancarkan demi membuka jalan menuju mobil milik Moshe. Hanya beberapa meter ayah berkendara, letupan senapan mulai terdengar. Berkat pertolongan Allah ayah berhasil lolos dari para tentara zionis yang mengamuk.

Beberapa saat mengendara, firasat ayah benar. Dalam perjalanan, ayah diberhentikan personel IDF yang berpatroli di dekat Kafr Qaddum untuk menunjukkan tanda pengenal. Ayah bilang, “Moshe minta diantarkan mobilnya ke Ramallah, ada patroli di sana malam ini.” dalam bahasa Inggris. Meski petugas tahu yang mengendarai mobil bukan orang yahudi, mereka membolehkan ayah lewat karena kartu anggota IDF milik Moshe. Alhamdulillah, sepertinya kabar kematian Moshe belum sampai ke seluruh personel IDF.

Ayah sampai di Ramallah sore setelah berkendara hampir dua jam. Karena tidak tahu arah, ayah malah hampir menuju ke Jenin, lalu berputar kembali menuju Ramallah. Sebelum bertemu dengan rombongan tim dan solat jamak di hotel, ayah memarkir mobil Moshe di sebuah kedai es krim. Ayah pernah membaca bahwa tentara Zionis senang makan es krim. Tentara Zionis memang bengis, tapi sesungguhnya mereka berjiwa kanak-kanak dan pengecut. Ayah yakin, tidak akan ada yang heran mobil Moshe diparkir di sini.

Dari kedai es krim ayah jalan kaki ke hotel. Ketua rombongan tim membentak ayah habis-habisan. Ayah tidak peduli, dan mereka tidak akan pernah tahu apa yang telah terjadi. Pun ayah yakin para personel kompi tentara zionis di Nablus tidak berminat membuka informasi ke publik, kecuali bocor.  Memangnya mereka mau menulis apa di koran Haaretz? “Kapten Kompi Tewas dalam Pertarungan Bebas Melawan Seorang Teroris Asia Tidak Dikenal" Pft, berita macam apa itu. Pasti bukan berita yang membanggakan Zionisme.

Ayah ingin kamu tahu cerita ini, Nak. Ayah harap kamu dianugerahi keimanan. Jika kita dianugerahi keimanan, kita tidak akan punya rasa takut kepada makhluk. Tidak pada moncong IMI Galil, tidak pada Iron Dome, bahkan pada sosok seperti Moshe Bennet. Kezaliman harus dibungkam oleh kesombongannya sendiri. Mereka harus mencicipi apa yang mereka usahakan pada warga Palestina dan selalu gagal: rasa takut mati.

Meski begitu, jika ada satu hal lagi yang ayah pertanyakan dalam kejadian itu adalah ayah menumbangkan Moshe bukan karena Allah. Apakah ayah menumbangkan Moshe semata-mata karena ayah ingin membalaskan syahid-nya anak pengidap autis yang berbakat ‘Imad Zubair? Ayah khawatir apa yang ayah perbuat kelak memberatkan catatan dosa ayah di sisi Allah.

Kesadaran ini ayah capai setelah bertahun-tahun lewat, wajah Moshe yang tercekat dalam pitingan ayah membayang setiap malam. Bukan, bukan berarti ayah menyesal mengalahkannya. Ayah hanya takut apa yang ayah lakukan sekadar nafsu dan amarah, bukan karena jihad di jalan Allah.

Untuk itu kupesankan kepadamu Ananta anakku, jadilah berani dan murnikan niatmu. Keberanian akan membawamu kepada hal-hal yang tak terduga sebelumnya, sedangkan kemurnian menjagamu dari hidup yang penuh kebimbangan. Kita memang tidak hidup di dunia yang baik-baik saja, Ananta, tapi kita bisa berbuat baik. Kita bisa konsisten dalam kebaikan selama kita berani dan niat kita murni. Cari dan latih kedua hal itu di hatimu.

 

***

Kumatikan laptop istriku. Pukul 00:42, sudah terlalu larut. Besok aku harus masuk kerja lagi. Semoga hingga waktunya nanti, Ananta bisa memahami maksud dan harapanku dalam tulisan ini. Ananta anak yang cerdas. Sayang, ia hidup di zaman yang menyulitkan untuk jadi seorang pejuang. Ada utang kita yang belum terbayarkan kepada bangsa Palestina hingga kini: utang kemerdekaan.

Sebagaimana pesan para ustadz dan guruku waktu muda dulu: kalau tidak di zaman kita, didiklah generasi setelah kita agar dapat terwujud kemerdekaan Palestina pada zaman mereka. Kalau kemerdekaan Palestina disebut sebagai utang bangsa, maka utang pribadiku adalah mendidik anakku. Semoga Ananta tumbuh menjadi anak yang berani dan berjiwa murni.

Kulihat istriku telah berkemul selimut. Meski mulutnya menganga, kecantikannya tidak berkurang. Kubisikkan sebaris kalimat di telinganya sebelum tidur, “Makasih ya sayang sudah lebih banyak mendidik Ananta selama ini.” Ia menggeliat setengah sadar memelukku. Setelah menyetel alarm, aku mematikan paket data di smartphone. Aku harus segera tidur supaya besok bisa masak nasi goreng untuk Ananta.

__

Catatan:

1 Pada tahun 1980, Seniman Palestina Sulaiman Mansour dilarang menyelenggarakan pameran lukisannya oleh polisi israel karena lukisan-lukisannya mengandung semangat perlawanan dan dinilai “politis”. Pada saat itu, bendera Palestina sama sekali dilarang untuk dikibarkan.

Pelarangan itu berdampak pada penggunaan warna cat dalam lukisan Sulaiman. Ia dilarang menggunakan warna merah, putih, hijau, dan hitam. Polisi israel mengancam akan menyita lukisan-lukisannya jika Sulaiman bersikeras. “Bahkan jika Anda melukis semangka akan kami sita juga!” Jelas kalimat polisi israel saat itu. Sejak saat itu semangka jadi simbol perlawanan Palestina di kalangan seniman Palestina.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rumah Ini Bersetan
0
0
Seorang praktisi ruqyah membantu rumah keluarga kecil yang diganggu oleh setan menyadari gangguan yang mereka alami lebih dari sekadar gangguan setan biasa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan