
Persahabatan Ken dan Sarah yang berubah menjadi rasa saling cinta tanpa mereka sadari. Akankah mereka bersatu?
Pelabuhan Hati
Musim semi mengalirkan udara hangat. Sinar matahari yang menerobos celah dedaunan membentuk siluet memanjang di sepanjang koridor yang menghubungkan gedung utama dan area parkir. Sebenarnya Sarah ingin menepi, duduk di salah satu kursi taman, membiarkan matahari pagi menghangatkan tubuhnya untuk beberapa saat. Sayangnya ada janji yang harus ia tunaikan hari ini selain karena ada Ken yang menjejari langkahnya. Ia tidak akan bisa santai jika Ken ada di dekatnya. Ken tidak bisa menutup mulutnya dari membicarakan tentang pekerjaan, diagnoasa, asumsi, lalu ia pun akan hanyut dalam pembicaraan yang berujung diskusi itu.
Suatu kali ia pernah meminta Ken tidak membicarakan hal yang berhubungan dengan pekerjaan, agar mereka benar-benar santai. Duduk menikmati pemandangan bunga-bunga sakura yang bermekaran ditemani penganan kecil. Tapi ternyata itu membuat suasana menjadi kaku. Ken hanya duduk terdiam seperti melamun, pandangannya menerawang sesekali menatapnya seperti akan mengatakan sesuatu tapi dia urungkan.
“Ken, berhentilah memikirkan pekerjaan.”
“Kenapa kamu berpikir aku sedang memikirkan pekerjaan.” tanyanya keheranan. “Aku memikirkan hal lain.”
“Oh, maaf.”
“Tidak apa-apa,” katanya lalu menatapku dengan intens sehingga membuatku salah tingkah. Sejak itu aku memilih sendiri jika ingin bersantai. Pergi nonton sendiri, karena selera tontonan kami berbeda, Ken suka film action, ia suka drama dan romance.
Tiga tahun berteman dengan Ken, ia jadi bisa menduga-duga beberapa kemungkinan kenapa orang Jepang banyak yang memutuskan tidak menikah selain biaya hidup yang mahal. Mungkin Ken termasuk lelaki Jepang yang memutuskan melajang karena setahunya Ken tidak memiliki pacar tapi pernah menyewa jasa penyedia perempuan yang bisa dijadikan pacar atau teman dekat.
“Bagaimana rasanya?” tanyanya waktu itu sambil tertawa. Ken hanya mengangkat bahu. Sejak itu aku berusaha tidak kepo, tidak berbicara hal-hal yang sifatnya pribadi walaupun hubungan mereka cukup dekat sebagai teman. Jika Ken memutuskan tidak menikah, yang terbayang di benaknya adalah rasa sepi yang dialami ayahnya. Ayah Ken menyukai dan disukai anak-anak. Setiap berpas-pasan dengan anak-anak, ayah Ken akan menyapa dengan ramah dan mata berbinar-binar.
“Ayolah, Sarah san, biarkan aku mengantarmu. Kau tampak lelah, wajahmu pucat,” tawaran Ken membuyarkan lamunanku.
“Tidak perlu. Aku baik-baik saja, ok.”
“Kau yakin?,” Ken menghentikan langkah tepat dihadapannya, dengan penuh selidik menatap wajahnya.
“Hentikan Ken, kau selalu membuat aku merasa jadi perempuan cengeng.”
Pemuda bermata sipit dengan kulit sawo matang itu mengangkat bahu sambil tertawa. “Ya, ya kamu perempuan tangguh,” ujar Ken.
“Berhenti mengolok-ngolok aku, Ken.”
“Aku tidak mengolok-ngolokmu. Aku hampir tidak pernah melihat matamu berkaca-kaca sejak dua tahun terakhir ini.”
Sarah berpaling menatap Ken lalu tertawa. Kepindahannya ke Tokyo untuk kuliah spesialis tiga tahun lalu telah membuat banyak perubahan. Lebih tepatnya, ritme kehidupan Tokyo dan jauh dari sanak saudara yang menempanya berubah dari perempuan yang mudah menitikan air mata untuk hal-hal sepele terutama hal menyangkut urusan hati menjadi tegar. Tahun pertama kedatangannya ke sini adalah tahun terberat. Rindu kampung halaman, merasa sendiri, stress dengan penjelasan profesor yang harus ia pahami sementara kemampuan bahasa Jepangnya masih terbatas. Ia pernah di titik hampir menyerah. Menyerah dan memutuskan mencari beasiswa di negara yang menggunakan pengantarnya bahasa Inggris atau kembali ke tanah air namun Ken menyelamatkannya. Dia hadir bukan karena pandai menghibur atau memberi kata-kata motivasi. Dia hadir membantu men translate kuliah profesor dalam bahasa Jepang ke dalam bahasa Inggris, di tahun pertama masa kuliahnya. Teman diskusi dan tempatnya bertanya.
“Aku ada beberapa keperluan hari ini, jadi tidak langsung pulang, membeli gloseri, mampir ke bank, dan ada janji bertemu dengan teman lama.”
Ken mengangguk-ngangguk. Sekilas melihat garis wajah Ken, orang akan menduga dia berasal dari Thailand atau Filipina, karena memiliki mata sipit tapi berkulit coklat namun jika diperhatikan lebih dekat, ada garis wajah khas yang membedakannya dari kedua negara itu. Bentuk wajahnya oval, tulang hidungnya tidak tinggi tapi juga tidak pendek, rambutnya hitam tebal lurus berbelah pinggir, ada garis keteguhan di wajahnya. Keteguhan dan keberanian khas lelaki Sumatra Utara, seperti Ayah dan kedua abangnya.
Gen itu diwarisi Ken dari Ayahnya yang berdarah tanah minang, sedangkan matanya yang sipit diwariskan ibunya yang berasal dari Hokkaido, sebuah pulau di utara Jepang.
Nama tengah Ken makin menegaskan darah minangnya, Kenzo Afrizal, nama yang membuatnya tertawa saat pertama kali membaca di daftar dokter yang mengambil spesialis yang sama dengan dirinya. Saat itu ia melonjak kegirangan karena mengira ada teman yang sama-sama berasal dari Indonesia. Saat itu ia membayangkan Afrizal, begitu ia akan memanggilnya, akan menjadi teman senasib seperantauan.
Ternyata dugaannya salah. Ken lahir dan besar di Tokyo dan hampir tak bisa berbahasa Indonesia kecuali beberapa kata. Tapi dugaan lainnya benar, Ken menjadi teman pertama yang dikenalnya di universitas. Ken yang cukup sabar membantunya memperlancar bahasa Jepang. Kedekatan dirinya dan Ken tidak lepas dari keterhubungan dengan tanah minang. Saat tahu dirinya dari Indonesia Ken menanyainya macam-macam tentang Indonesia. Lalu Ken mengundang ke rumahnya karena permintaan ayahnya. Bertemu ayah Ken seperti bertemu kawan lama, sesekali obrolan kami diceletuki bahasa padang. Bertemu ayah Ken seperti menemukan ‘tempat pulang di Jepang’. Ayah Ken mengingatkan pada Ayahnya yang sudah berpulang sejak dia duduk di bangku sma.
“Ok, see you tomorrow, “ pamit Sarah saat keduanya tiba dipersimpangan. Sarah mengambil jalan ke kiri menuju statsiun. Sedangkan Ken menuju parkiran mobil.
Tak heran jika wajahnya pucat, karena semalam ia bertugas di IGD yang menuntutnya melek sepanjang malam. Tapi yang membuatnya begitu merasa letih hari ini adalah sebuah janji yang harus ia tunaikan sore ini. Janji bertemu dengan seseorang yang sudah tidak bertemu selama tiga tahun, selama itu pula ia tidak pernah mendengar kabarnya namun seseorang itu masih lekat dalam ingatan dan hatinya, Bisma.
Kenangan masa lalu melompat-lompat di benak Sarah. Kenangan yang membuat dadanya terasa sesak karena penyesalan, rasa bersalah, sakit hati dan rindu yang bergumal jadi satu.
Lima tahun ia menjalin hubungan dengan Bisma, yang tak lain teman kuliah salah satu abangnya. Hubungan yang tak lama lagi akan diresmikan dengan sebuah pernikahan. Saat Bisma mendapat tugas dari perusahaanya untuk bekerja di kantor pusat di Jerman selama satu tahun, dan ia internship di sebuah rumah sakit di Yogya, ia berteman dekat dengan rekan sesama internship. Kedekatan karena merasa senasib seperjuangan, tak lebih. Tapi entah bagaimana Bisma menuduhnya berselingkuh karena seseorang mengirimkan foto saat dia dan temannya itu tengah berjalan berduaan sambil saling melempar senyum.
“Pengkhianatan tetaplah mengkhianatan walaupun hanya satu hari,” kata Bisma saat itu dengan wajah tegang menahan marah lalu melepaskan cincin pertunangannya.
Pilihannya mengambil beasiswa ke Universitas Tokyo adalah karena ingin menghindar dari masa lalu. Menghindar dari rasa bersalah setiap kali melihat kekecewaan di wajah Ibu. Bagaimana kabar Bisma saat ini, apakah sudah menikah? Pertanyaan yang kerap menghampirinya tapi ia tahan untuk tidak mencari informasi karena membayangkan mendengar kabar Bisma menikah saja sudah membuat dadanya sesak. Cinta kadang memang membutakan logika, bagaimana ia masih bisa mencintai Bisma padahal dia sudah menyakiti, dengan menuduhnya selingkuh.
***
Sarah meraih cangkir berisi kopi hangat di depannya. Sungguh perasaannya tidak nyaman, canggung dan kikuk. Tak ada getar-getar kerinduan yang selama ini ia bayangkan jika Bisma menemui dan meminta maaf. Rasanya hanya seperti bertemu dengan seorang musuh dan kini harus terlihat tidak pernah ada masalah di masa lalu.
“Kapan kamu pulang, Sa?” tanya Bisma setelah mereka saling basa-basi bertukar kabar.
“Tidak dalam waktu dekat.” Sejak tidak ada Ibu, ia seperti merasa tidak lagi memiliki rumah. Tak ada yang ditemui di Jakarta. Kalau kedua abangnyatinggal di Jakarta mungkin ia akan pulang. Kedua abanganya sudah menikah, yang pertama tinggal di Surabaya, yang kedua di Pekanbaru. Rumah keluarga di Jakarta, kini hanya ditinggali Bi Nah asisten rumah tangga keluarganya sejak ia kecil.
Ingatan tentang Ibu selalu membuat hati Sarah pedih. Dua tahun sudah berlalu dan perasaan bersalah itu belum hilang. Ia selalu merasa kematian Ibu akibat serangan jantung adalah karena ulahnya. Ulah yang membuat keluarga malu. Akh, andai waktu bisa dibalik, tidak akan ia melakukan kesalahan bodoh itu.
“Maaf aku menuduhmu yang bukan-bukan waktu itu. Aku benar-benar emosi saat itu,” Bisma memecah keheningan.
“Sudahlah kita tidak usah membahas masa lalu.” Tuduhan Bisma memang membuatnya sakit hati tapi tidak lantas menghapus harapannya pada suatu hari Bisma menyadari kekeliruannya dan datang menemui.
“Aku justru ingin membahasnya.”
Sarah menggerutkan kening keheranan.
“Aku ingin kita kembali seperti dulu,” sambung Bisma seperti tak melihat kekagetan Sarah. “Aku ingin kau kembali mengenakannya ini.” Bisma menyodorkan sebentuk cincin dari logam mulia bermata merah.“Tak ada yang bisa menggantikanmu.”
Sarah tertegun menatap cincin itu. Jika tidak ada yang menggantikannya kenapa harus selama ini menemuinya?Tak ada rasa bahagia yang membuncah seperti yang sempat ia bayangkan dua tahun lalu jika Bisma menyusulnya sampai ke Tokyo untuk mengembalikan cincin itu. Waktukah yang membuat rindu itu menguap berlahan hingga akhirnya tak bersisa. Sarah tak menepis ketika tangan Bisma meraih tangannya dengan harapan ia menemukan rasa rindu itu kembali di sana. Tapi nyatanya tidak, hatinya tetap kebas. “Pulanglah dan kita menikah. Aku mencintaimu, Sa.” Bisma menatapnya penuh harap.
Sarah membentangkan ingatannya pada masa di mana Bisma selalu jadi tempatnya membicarakan banyak hal, tempatnya merajuk dan meminta perhatian lebih. Tapi getar-getar cinta dan rindu yang ia harapkan hadir, tidak ada.
***
Pulang! Kata itu kerap bergema di telinga Sarah semenjak Bisma datang menemuinya. Bisma merentangkan ingatannya tentang Jakarta, rumah, kampus, rendang buatan uni Farah, kedua keponakannya Aisya dan Bagas. Ya, keinginannya pulangnya bukan lagi karena Bisma tapi sebentuk rindu akan keluarga dan kehangatan tanah air yang kerap ia singkirkan.
Sarah menjangkau kalender, mencari tanggal dan bulan yang belum bisa pastikan kapan ia pulang tapi merasa harus pulang tahun ini, menjenguk tanah kelahirannya sekaligus mencari kepastian perasaannya terhadap Bisma. Jika sampai Jakarta, kerinduan pada Bisma seperti yang ia rasakan dulu muncul, mungkin ia akan mengiakan ajakan menikah Bisma. Bagaimana pun ajakan Bisma untuk pulang mengingatkannya pada Ibu.”Pulanglah jika apa yang dikejar sudah kamu dapatkan.”
Suara bel mengagetkan Sarah. Bergegas ia menghampiri pintu lalu membuka celah bulat sebesar koin di tengah daun pintu, mencari tahu siapa yang datang. Ketika dilihatnya Ken, ia membuka pintu lebar-lebar. Tanpa menunggu dipersilahkan Ken masuk dan duduk di sofa lalu melepaskan tas dan jaketnya.
“Ada apa? Tapi jangan cerita jika ini soal operasi yang baru kau lakukan. Sebentar, aku buatkan kau teh hangat.” Tiga tahun pertemanan dengan Ken membuat Sarah hapal dengan beberapa kebiasaan Ken. Biasanya setelah melakukan operasi yang menghabiskan lebih dari 3 jam, wajah Ken terlihat tegang. Bukan karena operasinya gagal, mungkin sisa ketegangan saat melakukan operasi atau efek lelah. Kemarin Ken cerita kalau hari ini ada pasien yang harus dioperasi.
“Tak perlu,” Ken menjangkau lengan Sarah, menahan langkahnya. Sarah duduk di samping Ken.
“Bukan berita buruk kan?” tanya Sarah hati-hati.
“Pengajuanku untuk mengambil sub spesialis di Harvard diterima.”
Suatu perasaan yang tidak bisa diterjemahkan tiba-tiba menghantam Sarah. Terasa kehampaan menyusup relung hatinya berkelindan dengan rasa bahagia karena impian Ken terwujud. Ken akan ke Amerika. Apa rasanya tanpa kehadiran Ken di sini. Kalau bukan karena persahabatannya dengan Ken, rasanya tak mungkin memutuskan bekerja di sini setelah kuliahnya rampung. Berkumpul dengan keluarga Ken, terutama ayahnya selalu membuatnya merasa menemukan tempat pulang. Kerinduan pada sosok ayah yang telah berpulang saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama, seperti terobati.
“Kau hebat, Ken. Aku sudah menduganya.” Sarah menepuk-nepuk tangan Ken.
“Mau kan kau menyusulku, Sarah san, aku akan mencarikan beasiswa untukmu.”
Sarah tertawa,”Pikiranku belum berubah, Ken. Aku belum berniat sekolah lagi. Aku capek. Aku ingin santai, jalan-jalan menjelajahi negara ini sebelum aku harus pulang.”
“Pulang? Kau akan pulang ke Indonesia?” tanya Ken keheranan.
“Tentu saja tapi belum tahu kapan.”
Ken menghela nafas.“Sarah san ikutlah denganku. Ya, kau tidak perlu sekolah kalau tidak mau.”
Sarah tertawa.”Aku janji akan menemuimu sekali dua kali selama kau di sana, sekalian aku berlibur. Hey, kita harus merayakan ini, aku akan pesan makanan.”
“Sarah san,” Ken menarik lengan Sarah sehingga Sarah kembali terduduk, pandangan keduanya bertemu.”Menikahlah denganku.”
Tatapan Ken yang intens tiba-tiba membuat sekujur Sarah berdesir, tubuhnya berubah kaku, jantungnya berdegub lebih kencang. Belum sempat Sarah mengatasi keterkejutan reaksi tubuhnya sendiri Ken berkata,” Pulanglah padaku Sarah san Mungkin terdengar konyol jika aku katakan aku tidak bisa hidup jauh darimu.”
Tak ada hal lain yang diinginkan Sarah selain menyandarkan kepalanya di dada Ken untuk menuntaskan getar kerinduan yang tiba-tiba memenuhi hatinya.
“Aku mencintamu Sarah san,” bisik Ken lembut saat merengkuh bahu Sarah.
(selesai)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
