Terlanjur Talak Tiga (Bab 1-10 free)

1
0
Deskripsi

Steve tak menyangka untuk mendapatkan warisan dari ayahnya, dia harus kembali pada Elena yang terlanjur telah ditalak tiga  olehnya beberapa bulan yang lalu. Untuk itu, tanpa sepengetahuan Elena, Steve terpaksa mencarikan muhalil agar dapat bersatu lagi dengan Elena, yang penampilannya kini semakin memukau.

Apakah Steve berhasil menjalankan rencananya? Ada rahasia apa hingga Elena yang dulu dianggap kampungan kini berubah menjadi cantik dan elegan?

Bab 1


"Sial! Kalau bukan karena warisan  Aku tidak akan sudi rujuk lagi dengan perempuan kampungan itu." Kulemparkan kertas wasiat itu ke atas meja. 

"Sabar Pak Steve, warisan dari Ayah anda Pak Surya, jumlahnya tidak main-main. Apa salahnya anda cari saja mantan istri anda itu. Dengan harta milyaran yang nanti anda miliki bisa digunakan untuk merubah mantan istri anda agar tidak kampungan lagi."  Pak Subandi, pengacara Ayah menepuk punggungku dengan ringan. 

"ķnHalah! Mau dirubah seperti apapun dia tetaplah kampungan, Pak.Nggak akan pantas untuk ñan yang lalu, ayah meninggalkan wasiat yang tak masuk akal. Entah kenapa Ayah mengharuskan aku menjadi suami Elena sebagai syarat untuk menerima semua harta warisan itu. Apa sih istimewanya Elena? 

Ayah memang tidak pernah tahu bahwa suatu saat aku akan menceraikan Elena, dan sebulan setelah beliau meninggal akhirnya aku resmi bercerai dengannya, wanita kampung yang Ayah jodohkan untukku setahun yang lalu.  

Lalu kemana akan kucari Elena sekarang? Sejak kuusir dari rumah setelah kata talak kuucapkan, aku tak pernah peduli lagi padanya. 

"Baiklah, Pak Steve. Saya mau kembali ke kantor. Segera hubungi saya setelah Anda rujuk kembali dengan nona Elena. Permisi!" 

Aku mengangguk. Kemudian mengantar pengacara itu sampai ke teras rumahku. 

Setelah kepergian Pak Subandi, aku kembali membaca salinan surat wasiat dari Ayah.
Sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran Ayah. Aku yang tampan dan mapan ini, bisa-bisanya dulu Ayah jodohkan dengan wanita yang berasal dari kampung. Kalau tidak karena mengharapkan harta warisan, aku tidak akan sudi menikah dengan wanita yang bernana Elena itu. Jika aku membantah kemauan Ayah. Pasti beliau mencoretku sebagai ahli waris. 

Atas desakan kekasihku-Raisa, sebulan setelah Ayah meninggal, aku menceraikan Elena. Rasanya lega sekali terbebas dari wanita lugu dan polos itu. Wanita bodoh yang sangat mudah aku kelabui. 

Namun kenyataan yang tak terduga aku dengar dari pengacara Ayah. Bahwa seluruh harta dan perusahaan ayah akan diwariskan padaku, selama Elena masih menjadi istriku. Terpaksa aku harus kembali rujuk. Apa yang akan terjadi berikutnya biarlah bagaimana nanti saja. Yang penting perusahaan dan semua harta Ayah harus jadi milikku dulu. Rasanya sudah tidak sabar ingin membahagiakan Raisa. Gadis cantik berpenampilan modis dan seksi yang selalu membuatku rindu. 

Kini aku harus mencari Elena sampai ketemu. Entah di mana dia sekarang. Aku akan membayar  sejumlah orang untuk mencari keberadaan wanita itu. Aku tak peduli harus keluar uang banyak. Asalkan Elena ditemukan dan kembali menjadi istriku. 

Namun dimana Elena sekarang? Apa mungkin dia pulang ke kampungnya? Tapi, dimana kampungnya? Bodohnya aku yang tak pernah tau di mana kampung si Elena itu. 

Aku menbuka semua foto yang ada di galeri ponselku. Namun tidak kutemukan foto Elena satupun. 

Bagaimana ini ? 

Ah, mungkin dikamarnya. Gegas aku melangkah ke kamar yang dulu ditempati Elena. Ya, kami memang dulu tidur terpisah. Aku selalu merasa risih jika harus tidur sekamar dengannya. 

Perlahan kubuka pintu kamar yang sudah beberapa bulan tidak berpenghuni. Walau demikian para pelayan tetap rutin membersihkannya setiap hari. 

Mungkin ada salah satu fotonya di lemari. Gegas kubuka lemari pintu tiga berwarna putih itu. Aku terkesiap karena semua pakaian Elena masih lengkap berada di dalamnya. 

Kotak berisi perhiasan hadiah dari Ayah pun masih ada. Di dalamnya juga ada dompet beserta uang dan kartu debit yang pernah aku berikan. 

Astaga! Kenapa aku baru tahu sekarang Elena pergi tanpa membawa apapun dari rumah ini? Lalu bagaimana dia melanjutkan hidupnya di luar sana? Bagaimana nasibnya saat ini? 

Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa khawatir pada mantan istriku itu. Sesaat aku terduduk di atas ranjang berukuran Kingsize. Bayangan wajah lugu Elena berputar-putar di kepalaku. Terbayang olehku saat dia menangis setelah kuucapkan kata talak untuknya. 

Kembali teringat dengan tujuan awalku. Mataku tertuju pada sebuah foto di atas nakas. Foto Aku dan Elena ketika menikah dulu. 

Tanpa sadar sebuah senyum terbit di bibirku. Entahlah. Mungkin karena aku telah menemukan foto ini untuk memudahkan orang-orangku mencari keberadaan Elena. Setelah aku foto gambar wajah Elena dengan ponselku, segera kusebarkan pada semua orang-orang kepercayaanku. 

"Kalian harus cari Elena sampai dapat! Aku hanya memberi waktu dua hari!" 

"Baik Tuan Steve!" sahut Rangga salah satu orang yang kusuruh mencari Elena, dari seberang sana. 
.
.
.
.
Setelah dua hari. 

"Selamat siang, Tuan Steve. Saya telah menemukan mantan istri Tuan. Ini foto yang saya dapat dari anak buah saya." Rangga menyodorkan ponselnya padaku. 

Seketika mataku membelalak saat melihat foto seorang wanita cantik dengan pakaian kantoran yang formil dan elegan. Di foto itu ,wanita dengan rambut bergelombang sedang melangkah mendekati sebuah mobil mewah. 

"S-siapa  dia?" tanyaku gemetar. Wanita itu sangat mirip dengan Elena. 

"Dia Elena. Mantan istri Tuan." 

"Apaaa??"  

Aku terlonjak mendengar penjelasan Rangga. Apa benar wanita itu Elena? Lalu kenapa penampilanya kali ini sangat berbeda?


Bab 2


Aku masih tak percaya dengan foto itu. Apa benar itu Elena? Atau itu adalah kembarannya? Tapi mereka sangat mirip. Tak ada beda sama sekali. 

"Dari mana kalian mendapatkan foto ini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari wajah cantik yang ada di foto. 

"Kami memotretnya di sebuah pusat perkantoran di  Mega kuningan Jakarta selatan, Tuan." 

"Pusat perkantoran?"Aku mengerutkan kening. 

"Untuk apa Elena ada di sana?" tanyaku lagi. 

Sungguh aku bingung. 

Rangga hanya menggeleng sambil mengangkat kedua bahunya. 

"Bawa aku ke sana sekarang!" sontak aku berdiri, lalu meraih jas yang berada di sandaran kursi. 

"Sekarang, Tuan?" tanya Rangga yang nampak bingung. 

"Tahun depan!!" bentakku kesal. 

Aku melangkah keluar dari ruanganku, lalu memasuki lift untuk menuju lobby utama gedung kantor ini yang berada di lantai dasar. 

Rangga mengikutiku dari belakang. 

Sebuah mobil kijang inova milikku telah menunggu di depan lobby. Pak Asep, supir pribadiku membukakan pintu untukku. 

"Kita langsung saja ke Mega Kuningan. Lebih cepat, Pak!" 

"Baik Tuan." 

Pak Asep melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.  Rangga duduk di depan bersebelahan dengan Pak asep. Sementara aku duduk di belakang dengan foto wanita itu masih berada di genggamanku. 

Sepanjang jalan aku teringat kembali saat Elena masih menjadi istriku. Wanita itu cukup sabar menghadapiku. Entah terbuat dari apa hati mantan istriku itu. Dia hanya diam dan tenang setiap kali aku mencelanya. 

Elena memang tak pernah terlihat menarik di mataku. Setiap hari di rumah hanya memakai dress sederhana dengan rambut  digelung cepol tanpa riasan apa-apa. Dia banyak mengurung diri di kamarnya. 

Walau begitu, Ayahku sangat sayang padanya. Ayah akan memarahiku jika aku terlalu acuh pada Elena. 

Kadang aku berpikir, kenapa bukan Ayah saja yang menikah dengan wanita itu. Ayah juga sudah lama menduda. 

Ayah tidak pernah suka aku dekat dengan Raisa. Beliau bilang Raisa bukan wanita baik-baik. Sungguh lucu. Ayah  bisa bilang seperti itu tanpa mau mengenal Raisa lebih dekat. 

"Kita sudah sampai, Tuan." 

"Tunggu. Aku harus memastikan dulu kalau wanita itu memang benar Elena." 

Rangga meminta supir untuk menepikan mobil. 

"Kenapa kita nggak masuk saja ke gedung itu dan cari nama Bu Elena? Saya yakin dia bekerja di gedung itu, Tuan. " 

"Halah, aku kok nggak yakin kalau itu Elena. Mana mungkin penampilannya bisa berubah secepat ini?" ujarku gusar seraya mengacak-acak rambut. 

"Lagian Elena itu biasa tinggal di kampung. Mana mungkin dia ngerti kerja di kantoran kayak gini? Ini pasti ada yang tidak beres," gumamku lagi. 

"Baiklah. Jadi selanjutnya kita bagaimana, Tuan?" 

"Tunggu saja di sini. Aku penasaran dengan wanita yang ada di foto ini. Kenapa sangat mirip dengan Elena?" 

Aku kembali memandangi foto wanita dengan rambut bergelombang itu. Hidungnya tampak lebih mancung, matanya pun sangat indah. Pakaiannya juga sangat elegan  Pasti harganya juga mahal. Mana mungkin Elena punya uang untuk membeli baju sebagus itu? Sedangkan dia tak membawa uang sepersen pun saat pergi dari rumahku. 

Gerakan cara berjalannya terlihat sangat anggun di foto ini. Persis seperti model-modell ternama. 

Ah, mustahil kalau ini memang Elena. 

Penampilan wanita di foto itu sungguh berbeda 180 derajat dengan Elena yang aku kenal. 

"Tuan, itu Dia. Wanita itu baru saja keluar dari gedung ini!" Aku  menoleh pada arah telunjuk Rangga. 

Aku ternganga ketika melihat wanita yang begitu mirip dengan Elena. Langkahnya begitu anggun. Senyumnya sangat mempesona. 

Bagai terhipnotis, perlahan aku keluar dari mobil dan melangkah pelan dengan pandangan sedikitpun tak lepas dari wajah oval dengan mata bulat dan rambut panjang bergelombang bak bidadari itu. 

Jarak langkahku dengannya semakin dekat 
Jantungku berdetak semakin cepat. Dadaku makin berpacu ketika mata kami saling bertemu.
Napasku memburu saat kami saling membunuh jarak. 

"Stop!" 

Langkahku terhenti saat tiga orang pria berseragam jas hitam dengan tubuh tinggi besar menghalangi langkahku. 

"Siapa Anda?" tanya salah satu dari mereka. 

"Saya Steven. Ingin bicara denga nona ini," jawabku seraya melirik pada wanita yang saat ini tubuhnya terhalang oleh tiga pria di depannya. 

"Maaf, Tuan. Nona Iva sedang tidak ada waktu." 

"S-siapa? I-iva? Namanya Iva?" tanyaku gugup. 

"Maaf permisi!" Tiga pria dan wanita bernama Iva itu berjalan melewatiku. 

Tatapanku tak lepas pada wanita itu  

"Iva?" gumamku sekali lagi. Mataku terus memandang punggung ramping itu. 

Astaga! Tiba-tiba dia menoleh dan tersenyum. 

Dadaku kembali berdebar saat melihat senyum itu. Betapa indahnya. 

Ya,Tuhan. Ada apa denganku ? 

"Iva ... Iva ...." Lagi lagi aku menggumamkan nama itu. Kenapa rasanya tidak asing. 

Ya  ampun. Iva ... Ivana Elena. Ya, itu nama panjang Elena. 

Astaga! Jadi ... wanita itu benar Elena??


Bab 3


Aku kembali terduduk di dalam.mobil.. 

"Iva ... Ivana Elena." berkali-kali aku bergumam menyebut nama itu. Tatapanku kosong. 

Aku harus senang atau sedihkah saat ini? 

Elena menjadi cantik. Tidak. Tapi sangat cantik. 
Namun dia bukan istriku lagi. Andai saja dulu dia berpenampilan seperti tadi. Tentu aku tidak akan pernah menceraikannya. 

Apa yang harus aku lakukan sekarang? 

"Tuan Steve, kita kemana sekarang?" Rangga membuyarkan lamunanku. 

"Pulang!" jawabku singkat. 

Mobilpun melaju menuju rumahku yang berada di Cibubur. Perjalanan masih belum macet. Dalam waktu tiga puluh menit aku sampai di rumah.
Saat masuk ke dalam rumah, kakiku melangkah kembali masuk ke dalam kamar Elena. Entah kenapa tiba-tiba saja ada rasa rindu yang menyelusup di dalam hati ini. Senyumnya tadi, begitu mempesona. Rasanya seluruh syaraf yang ada ditubuhku menegang dan bergetar. 

Astaga! Tiba-tiba saja wanita itu membuatku gila dalam sekejap. Tanpa sadar beberapa pakaiannya telah berada dalam pelukanku dan kuciumi bertubi-tubi. 

Aku harus mendapatkannya kembali. 

Ya, harus! 

Nanti aku akan kembali lagi ke tempat tadi dan langsung menemuinya. Aku yakin Elena masih mencintaiku. Aku sangat yakin selama ini Elena tidak pernah membenciku. Buktinya, tadi dia mau tersenyum padaku. 

Tanpa kusadari aku pun tersenyum sendiri. Membayangkan hari-hari yang indah bersama wanita itu nanti, setelah kami menikah lagi tentunya. 

Sebaiknya aku mengubungi pengacaraku. 

"Hallo, Irawan. Bisa datang ke rumah? Ada yang akan saya bicarakan." 

"Oke baiklah, Aku tunggu!" 

Semoga saja Irawan bisa membantuku.  Hanya dia yang bisa aku ajak bicara saat ini. Irawan bukan hanya sekedar pengacaraku. Tapi dia juga teman untuk tempatku bercerita. 

Beberapa kali panggilan dari Raisa pada ponsel kuabaikan. Sebaiknya mulai saat ini lebih baik aku menjaga jarak dari kekasihku itu. Ada hal lebih penting yang harus kuurus. 
.
.


"Ada apa kamu memanggilku, Steve?" 
"Irawan,  masuklah dulu! Ada hal penting yang akan kubicarakan padamu." 

Aku membawa pengacaraku itu ke ruang kerja. Kemudian aku menceritakan semuanya dengan singkat. 

"Apaa? Rujuk? Mana bisa?" Irawan nampak terkejut setelah mendengar penjelasanku. 

"Loh, kenapa nggak bisa?" tanyaku bingung. 

"Kamu tidak ingat, Steve? Kamu telah menalak Elena tiga kali." 

"Jadii, maksud kamu ...." jantungku berdebar karena gelisah. Berusaha menepis kekhawatiran yang mulai terlintas di otakku. 

"Ya. Benar. Kamu sudah tidak bisa rujuk lagi dengan Elena, asalkan ...." Irawan mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Tatapannya tajam padaku. 

"Asalkan apa, Wan? Katakan!" tanyaku tak sabar. 

Irawan menarik napas panjang. Pria jangkung berkacamata itu diam sejenak. Sementara tatapannya masih terus menatapku. 

"Kamu bisa saja kembali rujuk dengannya. Asalkan melalui seorang Muhalil." 

Aku mengerutjan keningku. 

"Muhalil? Siapa itu muhalil?" tanyaku bingung. 

"Laki-laki yang menikali Elena. Kamu akan bisa menikah lagi dengan mantan istrimu itu setelah Elena bercerai nanti." 

"Astaga! Kenapa serumit ini." Aku mengacak-acak rambutku frustasi. 

"Lalu siapa yang akan aku jadikam muhalil?" 

"Entahlah." Irawan hanya menggelengkan kepalanya..
"Kamu harus segera melakukan sesuatu, Steve. Demi mendapatkan harta dan perusahaan ayahmu!" lanjut Irawan lagi. 

"Hei, apa benar itu, Sayang? Kamu akan mendapatkan harta dan perusahaan ayahmu?" 

Aku tersentak melihat Raisa tiba-tiba telah berada di ambang pintu ruang kerjaku. Wanita tinggi semampai dengan body bak model itu tersenyum padaku. 

"Sejak kapan kamu berdiri di situ?" tanyaku cemas. Jangan sampai wanita cantik berambut pendek itu mengetahui rencanaku untuk rujuk kembali pada Elena. Bisa gagal rencanaku nanti. 

"Aku baru saja datang. Pelayanmu bilang, kamu ada di sini." Raisa melangkah pelan mendekatiku. 

"Eee ..., kalau begitu saya permisi pulang, Steve!" Irawan tiba-tiba pamit. Kemudian beranjak keluar dari ruangan kerjaku. 

"Ada apa Raisa? Kalau kamu mau ajak Aku pergi, maaf, Aku sedang capek." 

Entah kenapa rasanya aku tak bersemangat bertemu Raisa hari ini. Padahal Raisa nampak sangat cantik dan seksi dengan stelan rok pendeknya. 

Sementara senyum Elena terus berputar-putar di kepalaku. Rasa rindu ini seakan tak tertahankan.
Pikiranku terus menerus tertuju pada mantan istriku itu. 

Aku harus segera mencari seseorang  untuk menjadi muhalil. 

"Berarti sebentar lagi perusahaan ayahmu akan berpindah tangan padamu? Benar begitu, Steve?" Wajah Raisa nampak berbinar penuh semangat. 

Aku tak menanggapi pertanyaan-pertanyaannya. 

Raisa kesal karena aku abaikan. Akhirnya wanita itu pulang. 

Hingga malam aku terus berpikir agar dapat kembali rujuk dengan Elena. Apakah dia mau jika menikah dengan laki-laki lain  dan kemudian bercerai lagi? 

Entah kenapa aku jadi ragu. 

Namun hanya ini jalan satu-satunya untuk.bisa bersatu lagi dengan Elena. Aku akan melakukannya tanpa sepengetahuan Elena. 

Tapi kira-kira siapa laki-laki yang akan menjadi muhalil itu? 

Aku terus berpikir. 

Tiba-tiba aku ingat dengan seseorang. 

Alvaro ...! 

Ya, Alvaro memiliki hutang yang tidak sedikit padaku. Satu ide menarik langsung muncul di otakku.r7


Bab 4



"Ayolah, Steve. Tolong beri aku waktu lagi!" 

Aku menatap tajam pada pria gondrong di hadapanku. Alvaro, temanku sejak masih remaja, bebeapa waktu lalu meminjam uang bernilai ratusan juta padaku, demi menyelamatkan perusahaannya. 

"Itu uang perusahaan. Jadi Aku minta kamu mengembalikan uang itu secepatnya!" 

"Kita sudah lama berteman, Steve. Aku pasti bayar. Kamu percaya padaku, kan?" 

"Tidak bisa. Kamu harus segera melunasi hutangmu. Kalau tidak, kamu harus ... melakukan sesuatu untukku." 

"Apa yang harus aku lakukan?" 

Aku menghela napas panjang. Mempersiapkan kata-kata untuk bicara padanya. 

"Nikahi Elena ...!" 

"Apaaa? Elena mantan istrimu yang kamu bilang kampungan itu?" Alvaro nyaris berteriak saking kagetnya. 

Aku mengangguk. 

"Hanya itu yang bisa kamu lakukan jika ingin hutang-hutangmu lunas!' tegasku seraya menatapnya serius 

" Tunggu, tunggu ...! Sumpah ini aku nggak ngerti maksud kamu apa. Bisa kamu jelaskan padaku?" 

Alvaro memang jauh lebih tampan dariku. Hobinya olahraga dan beladiri menghasilkan tubuh yang atletis, idaman para wanita. Aku yakin Elena akan tertarik padanya. Ini akan memudahkan aku untuk mendekatkan Elena pada temanku ini, kemudian Elena akan kembali padaku secepatnya. 

"Aku minta kamu nikahi Elena dalam waktu tiga bulan saja, kemudian ceraikan dia!" 

"What?? Astaga Steve. Kamu pikir Elena itu mainan? Selugu apapun dia, tapi dia itu manusia. Dia punya perasaan." Alvaro menatapku heran tak percaya. 

Apa yang dikatakan temanku ini benar. Tapi aku tidak mau jika nanti Elena terjebak perasaan yang dalam pada Alvaro. Bisa-bisa rencanaku gagal. 

"Baiklah, tidak lewat dari enam bulan, kamu harus menceraikannya!"tegasku lagi 

"Bagaimana jika Elena tidak mau aku ceraikan?" 

"Kamu harus segera membayar hutang-hutangmu, atau aku tidak segan-segan membawanya ke ranah hukum!," ancamku dengan raut wajah serius. 

Alvaro nampak frustasi. 

"Aku pikirkan dulu, Steve," lirihnya. Wajahnya terlihat sangat terbebani. Aku yakin, jika dia melihat penampilan Elena yang sekarang,  akan berubah pikiran. 

"Terserah. Aku tidak memaksa. Aku hanya memberimu pilihan. Sekarang tergantung kamu. Hutangmu mau lunas apa nggak." 

Alvaro tertunduk. Dia tampak berpikir keras karena permintaanku barusan. 

Kemudian pria berjas abu muda itu menghempas napas kasar. 

"Baiklah, Steve. Aku akan turuti permintaanmu. Di mana aku bisa menemui Elena?" 

Senyum terbit di bibirku. Sejak awal aku yakin Alvaro akan menyerah. Aku tahu pasti kondisi keuangan perusahaanya yang semakin kacau saat ini. Dia tak mungkin bisa membayar hutangnya dalam jangka waktu dekat. 

Sebenarnya aku sangat membutuhkan uang itu. Namun biarlah aku ikhlaskan, asalkan Elena kembali bersamaku. Uang nanti bisa dicari. Tapi perasaanku terhadap Elena saat ini lebih penting.
Aku bisa gila karena wanita itu. 

"Aku akan kirim alamat perusahaan tempat Elena bekerja. Dekati Dia! Jangan sampai Dia tahu tentang rencana kita ini!" 

"Elena bekerja di perusahaan? Di bagian apa? Cleaning service? Office girl?" tanya Alvaro seakan meremehkan mantan istriku itu. 

"Kamu akan tahu nanti." sahutku ketus. Entah, aku merasa tak suka Alvaro terlalu merendahkan Elena. 

Biar saja nanti dia akan lihat sendiri penampilan Elena yang  sekarang..
.
.


"Rida, tolong cek semua persiapan untuk pertemuan dengan para calon klien kita pagi ini!" 

"Baik, Pak. Persiapan sudah siap semua." 

"Bagus. Tolong nanti kamu atur tempat duduk para tamu kita..Pastikan Nona Iva berada tak jauh dariku!" 

"B-baik, Pak!" 

Pagi ini aku mengundang beberapa perusahaan ke kantorku untuk mengajak mereka kerjasama..
Aku tercengang saat sekretarisku mengatakan bahwa perwakilan dari PT.Four Company bernama Iva Elena. 

Bagai seorang abege yang sedang jatuh cinta, hari ini aku berusaha berpenampilan sempurna  dengan pakaian terbaikku. Berkali-kali aku berkeringat karena gugup. Padahal pendingin di ruanganku sangat dingjn. 

Sejak aku tahu akan  bertemu dengan Elena,  jantung ini terus berdetak dengan cepat. Setiap saat pikiranku dipenuhi oleh wanita itu. 

Aku kembali duduk di kursi kebesaranku. Mataku tertuju pada sebuah kertas yang aku terima dari Pak Subandi beberapa hari yang lalu. 
Astaga! Aku bahkan hampir melupakan isi surat wasiat ini. Saat ini yang terpenting bagiku adalah Elena akan jadi milikku kembali. 

Elena ... Elena .... 

"Permisi, Pak. Para tamu sudah tiba. Termasuk Nona Iva. Mereka sudah menunggu Bapak di ruang meeting."  Ucapan Rida membuatku semakin berdebar. Aku akan bertemu dengan Elena. 

"Baik, Rida. Saya akan segera ke sana." 

Sepeninggal Rida, aku kembali memperbaiki penampilanku. Menyisir rambutku, dan berusaha menenangkan jantungku yang semakin berpacu.
Tak lupa menyemprotkan  sedikit pewangi dan penyegar mulut, agar lebih percaya diri. 

Menarik napas dalam-dalam. Lalu membuangnya perlahan. Setelahnya, melangkah pasti menuju ruang meeting yang berada di deretan pertama lantai ini. 

Rida telah menungguku di depan pintu. 

"Silakan masuk, Pak Steven!" 

Aku mengangguk. 

"Bapak Ibu, perkenalkan CEO PT Angkasa Group, Bapak Harri Steven."  Salah satu manajer memperkenalkan diriku saat aku memasuki ruangan. 

Para tamu berdiri menyambutku. Aku tersenyum seraya mengangguk sopan pada mereka satu persatu. Hingga pandanganku terhenti pada seorang wanita yang beberapa hari ini telah mengaduk-aduk hatiku. 

Iva Elena ....

Bab 5

Sepanjang acara pertemuan dengan para relasi perusahaan, aku berusaha untuk tetap bersikap profesional. Walau susah payah menahan debaran-debaran yang terus muncul. Apalagi  saat giliran Elena berbicara, seakan seluruh syaraf-syarafku lumpuh. Wanita itu sungguh berbeda. Cara bicaranya sangat elegan dan berwibawa. Tutur bahasanya sangat profesional ,sangat jelas terlihat dia memiliki wawasan yang cukup luas. 

Aku berusaha menahan pandangan yang selalu saja ingin tertuju pada wajah cantik itu. Kalau di lihat-lihat, riasan Elena terbilang masih natural. Bukan riasan yang tebal. Jadi, wanita itu memang cantiknya alami. Bodohnya aku yang baru sekarang menyadari hal ini. 

Berkali-kali aku mencuri pandang pada netranya yang bulat. Dagunya yang menggantung indah bergerak-gerak saat dia berbicara. Senyumnya seakan membuat jantungku berhenti berdetak. 

"Pak Steven ...  Pak Steve ...!"
"Oh ...eh, Iy-iyaaa. Kenapa?" 

Astaga! Sial! Betapa malunya aku. Ternyata Aku tak mendengar Rida memanggilku berkali-kali. Wajah Elena seakan menghipnotisku. 

"Meeting sudah selesai, Pak..Apa sudah bisa ditutup?" tanya Rida. 

"Oh, ya. Silahkan. Saya mengucapkan terima kasih atas kedatangan Bapak dan Ibu Semua. Sebagai awal dari kerjasama kita, Saya akan mengundang Bapak dan Ibu untuk makan malam di sebuah restoran. Untuk tempat dan waktunya akan diinfo oleh sekretaris saya nanti." 

Setelah salah seorang managerku menutup pertemuan, satu persatu perwakilan dari perusahaan keluar dari ruang meeting. 

Perlahan aku menghampiri  Elena yang masih sibuk merapikan berkas-berkasnya. 

Rida dan para manager sudah tak ada di ruangan ini. Hanya ada aku dan Elena serta seorang pria bertubuh tinggi tegap, mungkin asistennya. 

Elena memberikan berkas-berkasnya pada pria itu. 

"Elena ..., apa kabar?" suaraku nyaris bergetar karena gugup. 

Ya, Tuhan. Dia tersenyum. 

"Hai, Steve! I am fine. Bagaimana denganmu?" 

Hatiku mencelos. 

Elena tak lagi memanggilku 'Mas Harri', satu-satunya wanita di dunia ini yang memanggilku seperti itu. Gaya bicaranya padaku sungguh jauh berbeda. 

Entah kenapa aku justru rindu pada Elena yang dulu. Lugu, polos, penurut dan lembut. 

"Bisa ngobrol sebentar?" 

"Boleh." Elena memberi kode pada asistennya agar meninggalkan kami berdua. 

Setelah pria tinggi besar itu pergi, aku mengambil posisi duduk di samping Elena. Dengan sedikit agak miring, kami bisa duduk saling berhadapan. 

Napasku memburu. Keringat dingin mulai mengalir di keningku. Kenapa aku jadi sangat gugup? Apa karena aku pernah berbuat salah padanya? Entahlah. 

Seorang Harri Steven tidak pernah gugup di depan wanita. Tapi kenapa kali ini aku seakan tak tahu akan bicara apa. Tangan dan kakiku gemetar. 

Tidak! Ini terlalu berlebihan. Tuhan pasti sedang menghukumku karena pernah jahat pada Elena. 

Aku mulai berusaha menguasai diri. Berkali-kali menghela napas panjang. 

"Mau ngobrol apa, Steve?" Suara lembut Elena menyadarkanku. 

"Eee .... Elena, kamu ... kamu berbeda," lirihku. Tatapan mataku padanya tak kunjung berpindah dari wajah oval itu. 

Lagi-lagi dia tersenyum. Rasanya sangat sejuk. Hati ini seakan disirami oleh salju di padang pasir. 

"Aku tak pernah berbeda, Mas Harri. Hanya saja kamu tak pernah mau mengenal diriku lebih dalam," ujarnya lembut, namun penuh penekanan. 

Eh, tadi dia panggil aku apa? Mas Harri? 

"M-maafkan Aku, Aku menyesal ....!" Kali ini kuberanikan diri untuk menatap lekat netra indahnya. 

Dia terkekeh.  Apa Elena mentertawaiku? Entah kenapa aku merasa dia tidak benar-benar tertawa. 

"Sudahlah, Steve. Aku sudah melupakan semuanya. Buang-buang waktu aja mikirin hal kayak gitu." 

Elena mulai mencangklong tas di lengannya.  Kemudian dia berdiri. 

"Tunggu sebentar, Elena. Aku masih ingin bicara!" Aku pun ikut berdiri. Berusaha untuk menahannya agar tidak pergi. 

"Apa lagi yang mau dibicarakan? Urusan pekerjaan sudah selesai, bukan?"Nada bicaranya mulai terdengar ketus 

"Ini ... tentang kita, Elena," sahutku memberanikan diri. 

"Apa? Tentang kita?" Elena menatapku tajam. Rasa bersalah di hati ini semakin membuncah.
"Maaf, Steve. Kita sudah berakhir. End ..!" 

Wajah Elena tampak gusar. Mungkin dia teringat ketika aku mengusirnya dulu. Tanpa bicara lagi wanita itu pergi meninggalkanku di ruangan ini.
Aku hanya bisa diam menatap punggung ramping yang indah milik mantan istriku itu. 

Aku terduduk. 

Kenapa rasanya sangat sakit ditinggalkan seperti ini. Apa ini yang dirasakan Elena ketika aku mengusirnya dulu? 

Aku mengacak-acak rambutku yang pendek dengan frustasi. Saat ini aku merasa menjadi laki-laki terbodoh di dunia ini. 

"Siang, Pak. Mau makan siang di luar atau di ruang pribadi Bapak?" Tiba-tiba Rida menghampiriku. Rasanya aku sudah tak selera untuk makan siang. 

"Nanti saja.  

Bagaimana persiapan makan malam dengan para relasi kita?" 

"Kita sudah reservasi tempat sebuah restauran jepang di wilayah sudirman besok malam, Pak." 

"Baiklah. Undang Alvaro. Pastikan Alvaro dan Iva Elena datang besok malam!" 

"Baik, Pak!" 

"Oke. Kembalilah ke ruanganmu. Saya masih mau disini." Rida mengikuti perintahku dan melangkah keluar dari ruang meeting. 

Rencanaku harus sudah mulai berjalan. Besok Elena dan alvaro harus bertemu. Aku akan memperkenalkan mereka. 

Namun sebelumnya aku harus memastikan dulu bahwa Alvaro tidak boleh jatuh cinta pada Elena. Dia juga tidak boleh membuat Elena sampai jatuh cinta padanya. 

Hmm ... Elena, kamu akan segera menjadi milikku lagi..

 

Bab 6

Rasanya  sudah tak sabar bertemu lagi dengan Elenaku. Pasti saat acara makan malam nanti dia hadir dengan sangat memukau. Menurut Rida, Elena datang hanya sendirian. Kebetulan sekali. Aku akan memperkenalkan dia dengan Alvaro. Mereka harus secepatnya menikah. Agar aku pun bisa segera bersatu kembali dengan Elena. 

"Mobil sudah siap, Pak." Seorang pelayan memberitahuku dari balik pintu kamar ini. 

Sekali lagi aku melihat penampilanku di depan kaca. Seharusnya malam Ini Alvaro yang menjadi perhatian Elena. Tapi entah kenapa aku ingin tampak sempurna di depan mantan istriku itu. 

Dulu, stelan jas navy ini sering menjadi pilihan Elena setiap menyiapkan pakaianku untuk acara makan malam diluar. Padahal satu kali pun dia tak pernah kuajak. Tiba-tiba hati ini terasa sangat nyeri jika mengingat hal itu. 

Setelah memastikan penampilanku sempurna, dengan langkah pasti aku keluar dari kamar.
Namun aku terlonjak saat melihat seseorang yang tidak kuharapkan kedatangannya malam ini. 

"Hai, Sayang. Sudah siap?"
.
Ternyata Raisa telah berada di ruang tengah dengan gaun malamnya yang seksi. Darimana wanita itu tau aku akan pergi ke acara makan malam? 

"Loh, kamu disini?" 

"Iya, Steve. Kamu pasti sangat sibuk sampai lupa memberitahuku untuk.acara makan malam ini. Untung saja Rida mengatakannya padaku sore tadi." 

Sial! Kenapa Rida harus bilang pada Raisa? Bisa gagal rencanaku nanti. 

"Kenapa diam? Ayo  berangkat! Pak Asep sudah menunggu kita di depan." 

Tanpa menunggu jawabanku, Raisa menggandengku dan membawaku menuju teras. Pak Asep ternyata telah menyalakan mesin mobil. 

"Raisa, malam ini adalah acada makan malam dengan relasi perusahaanku. Aku minta kamu tidak banyak bicara dan jangan bikin ulah!" tegasku saat mobil sudah meluncur menuju jalan jendral sudirman. 

"Hei, ada apa denganmu? Apa selama ini aku pernah bikin ulah dengan relasi perusahaanmu, Steve?" 

Aah ..., Raisa benar. Apa apa denganku ini? Kenapa aku sampai berkata seperti tadi pada Raisa? Apa karena nanti ada Elena di sana? Raisa pasti akan terkejut saat bertemu Elena nanti. 

"M-maaf. Maksudku ..., maksudku ..., ah sudahlah. Mungkin tadi aku salah bicara. Maaf, ya!" 

Raisa terheran melihat kegugupanku. Wanita yang telah dua tahun menjadi kekasihku itu pernah memaki-maki Elena. Waktu itu, Elena melarang Raisa untuk menemuiku di rumah. Saat itu aku memang sedang tidur. Untunglah Elena berhasil mengusir Raisa. Jika tidak, mungkin Ayah tidak akan memaafkanku. Ketika itu Ayah masih hidup dan sedang bermalam dirumahku. 

Raisa pasti akan terkejut melihat penampilan Elena malam ini. 

Mobil memasuki area parkir sebuah restauran jepang ternama yang berada di jalan jendral sudirman, di tengah kota Jakarta. Rida dan beberapa manager menyambutku di depan pintu ruangan yang sudah direservasi. Nampaknya para undangan sudah banyak yang hadir. Acara malam ini memang tidak terlalu formal. Hanya  sekedar makan malam dan ramah tamah sesama rekan bisnis. 

Saat pintu terbuka, beberapa meja bundar telah terisi oleh para tamu. Bahkan ada yang mengajak pasangannya. Sontak mereka semua berdiri menyambutku. 

Mataku tertuju pada pasangan yang berada di sisi kana  ruangan. Hatiku memanas melihat Elena dan Alvaro duduk berhadapan dalam satu meja. Mereka terlihat mulai akrab.. 

"Selamat malam, Pak Steve. Pengusaha muda yang sukses dan cerdas." 

"Apa kabar, Pak Steven? Sungguh makan malam yang luar biasa. Saya suka." 

Aku menyalami mereka dengan mendatangi meja mereka satu persatu. Ini adalah kebiasaan almarhum ayahku yang selalu menghormati dan memperlakukan para relasinya dengan baik.. 

Sementara Raisa terus mengikutiku. Aku memutuskan untuk duduk satu meja dengan Alvaro dan elena. Namun aku khawatir Raisa akan mengacaukan rencanaku. 

Bagaimana ini? Apa aku menghindar saja? 

"Steve, itu Alvaro. Ayo kita ke sana!" Tiba-tiba Raisa telah lebih dulu menghampiri Alvaro dan Elena. 

Huff ...! Semoga saja Raisa tidak menyadari bahwa wanita yang bersama Alvaro adalah mantan istriku. Ya, Raisa pernah bertemu dengan Elena dulu hanya satu kali. 

"Hai, Al! Wah, wah, ternyata kamu sudah punya pasangan sekarang?" 

Alvaro terkekeh mendengar sapaan Raisa. Matanya terus memandang Elena yang tersipu. 

Sial! Kenapa Elena tampak salah tingkah di depan Alvaro? Tidak! Jangan sampai Elena terjebak perasaan khusus pada temanku itu. 

Syukurlah Raisa sejak tadi tak menyadari siapa Elena sebenarnya. 

Sepanjang  acara makan malam,  seperti dengan sengaja, Raisa memperlihatkan sikap mesranya padaku. Namun hatiku terus memanas melihat keakraban Alvaro dan Elena. 

Dadaku bergemuruh saat mendapati mereka yang saling mencuri pandang. 

Awas jika kamu melanggar janji, Alvaro! 

Makan malam telah selesai. Sebelum pulang, melalui pesan di ponsel aku mengajak Alvaro berbicara empat mata di sebuah ruangan di dekat toilet. 

"Gilaaa, Steve! Elena cantik banget. Sungguh jauh berbeda dari apa yang pernah kamu ceritakan padaku dulu. Makasih, kamu memintaku untuk menikahinya. Elena luar biasa cantik. Bisa-bisa aku jatuh cinta pada pandangan pertana." 

"Hei, sudah kubilang. Kalian jangan sampai terjebak dalam perasaan!" geramku pada Alvaro. 

"Aku tunggu surat ceraimu secepatnya, kalau tidak, segera bayar hutang-hutangmu atau kita selesaikan dipengadilan. Permisi ...!" 

Aku membalikkan badan dan mulai melangkah meninggalkan temanku itu. 

"Dasar Steve gila! Belum juga nikah, sudah diminta surat cerai. Dasar sinting!" 

Tak kuhiraukan umpatan Alvaro di belakangku. Aku terus melangkah keluar dari restauran ini. Sebaiknya aku dan Raisa pulang lebih dulu, dari pada kembali manahan rasa cemburu melihat Alvaro berdekatan dengan Elena. 

"Steve, rasanya aku kenal wanita yang bernama Iva Elena tadi." 

Astaga, Raisa ...!!

.
Bab 7

"Steve, rasanya aku kenal wanita yang bernama Iva Elena tadi." 

Astaga, Raisa ...!! Gawat kalau sampai Raisa tau. 

"Ya siapa yang nggak kenal Iva Elena. Satu-satunya pengusaha wanita yang  sukses dan sedang naik daun," sahutku pura-pura terkekeh. Walau keringat dinginku mulai mengalir di pelipis karena cemas. 

"Tapi wajahnya sangat familiar. Sepertinya aku pernah bertemu dia sebelumnya, Steve." 

"Sudah, sudah lupakan saja. Lebih baik kamu  bersenang-senang. Barangkalli kamu ingin berbelanja?" 

"Ya ampuun, Steeve. So sweet banget sih kamu. Tauu aja aku lagi kepingin sesuatu." 

Wajah Raisa berubah ceria dan berbinar. Dasar perempuan boros. 

"Mana, sini!" Raisa menadahkan tangannya di depanku. 

"Apaa?" tanyaku pura-pura tak mengerti. 

"Loooh, katanya tadi aku disuruh senang-senang. Mana kartu debitmu?" tanya Raisa tak sabar. 

Kalau saja bukan untuk mengalihkan perhatiannya. Nggak mungkin aku memberikan kartu debitku lagi padanya. Cuma ini jalan satu-satunya yang bisa membuat perempuan ini lupa segalanya. Yaitu shopping sampai puas. 

"Ini pakalilah untuk belanja.Tapi jangan gunakan lebih dari lima juta. Ngerti?' 

Raisa mengangguk senang. 

"Pak Asep, kita ke toko perhiasan di blok-m ya. Semoga saja belum tutup." 

"Baik, Non." 
Raisa sudah asik dengan ponselnya. Sepertinya dia mulai mencari koleksi perhiasan terbaru dari toko langganannya. 

Kenapa baru sekarang aku menyadari Raisa sangat boros? Apa mungkin rasa cintaku yang dulu begitu besar padanya, kini sudah mulai menghilang? 

Aku menghempas napas kasar. Entah kenapa tiba-tiba rasa sesal itu muncul. Andai saja waktu bisa diulang kembali. Aku tak akan menyakiti Elena. 

Aku dan Elena sejak awal belum saling mengenal. Tapi kenapa  Elena mau dijodohkan denganku? 

Wanita itu tidak pernah marah atau pun protes setiap aku bersikap tidak baik padanya. Bahkan aku nyaris selalu mengabaikannya.. 

Kenapa dia selalu menerima semua sikap burukku? Hingga tanpa kusadari aku telah menalaknya tiga kali. 

"Steve, ini bagus, nggak?" Raisa memperlihat sebuah foto kalung darihjùýģgygýtþtþ⁵⁴⁴⁴ ponselnya. 

"Ya." 

"Aku mau ini. Tapi harganya tujuh juta. Boleh ya, nambah dua juta lagi. Please ...!" 

"Terserah!" sahutku malas. 

"Terimakasih, Sayang!" Raisa nampak sangat senang sekali. Namun sayangnya aku sedang tak ingin peduli dengannya. 

Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, aku mengantar Raisa pulang..
.
.
.
.
"Sarapannya sudah siap, Tuan!" Aku mengangguk saat pelayan menghampiriku di ruang kerja. Kemudian beranjak menuju ruang makan. 

"Selamat pagi, Tuan. Apa hari ini Tuan jadi ziarah ke makam Pak Surya?" tiba-tiba Pak Asep menghampiriku. 

"Jadi, Pak. Tapi karena hari ini hari sabtu, bapak boleh libur. Biar saya bawa mobil sendiri." 

"Baik, Tuan. Kalau begitu saya pamit pulang." 

"Silakan, Pak Asep." 

Hari ini tepat tanggal kelahiran Ayah. Sudah lama aku tidak mengunjungi makam Ayah. 

Setelah dua lembar roti dan segelas teh hangat kuhabiskan, Aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap pergi. 

Mobil kulajukan menuju pemakaman di tanah kusir, Bintaro. Entah kenapa Ayah sejak jauh-jauh hari berpesan pada pengacaranya , untuk dimakamkan di sana jika beliau meninggal nanti. Padahal lokasinya cukup jauh dari temoat tinggalku dan rumah Ayah di cibubur. 

Bersyukur jalanan masih sepi. Pemakaman pun terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa orang yang sedang berziarah dan membersihkan makam. Setelah membeli seikat bunga dan air mawar, aku melangkah menuju makam Ayah. 

Langkahku terhenti saat dari kejauhan melihat seorang wanita berselendang hitam sedang berjongkok di depan makam Ayah. Karena jarakku masih sekitar sepuluh meter, wajah wanita itu tidak bisa kulihat jelas. 

Perlahan kudekati wanita yang memakai baju dan celana panjang juga berwana hitam itu. 

"Selamat ulang tahun, Ayah Surya. Elena minta maaf, tidak bisa memenuhi permintaan Ayah Surya. Entah kenapa rasa kecewa ini masih begitu menyakitkan. Ternyata seperti ini rasanya ketika cinta hanya bertepuk sebelah tangan." 

Astaga ...! Elena. Ternyata wanita itu Elena. Dia tahu tanggal kelahiran Ayah. Begitu dekatnya mereka dulu. 

Lalu siapa yang dimaksud Elena dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan? 

Apakah ... apakah ...Tidak. Tidak mungkin Elena mencintaiku. Setelah apa yang aku lakukan padanya. Aku telah menyakiti hatinya. Aku bukan pria yang baik. 

Kembali aku melangkah lebih dekat. Beruntung banyk pohon-pohon kamboja yang tinggi, hingga Elena tak bisa melhatku. 

Setelah meletakkan bunga dan menyirami makan ayah dengan air mawar, Elena berdoa. Kemudian wanita itu berdiri dan kembali berjalan. 

Langkah mantan istriku itu terhenti pada sebuah makam yang tak jauh dari.makan Ayah. 

Namun aku tak bisa mendengar apa yang dia katakan. Makam siapa itu? Kenapa Elena menangis tergugu di sana? 

Apa aku dekati saja dia? 

Aku tak tega melihatnya tergugu seperti itu. Sebaiknya aku dekati saja dia . 

"Elena ...!" 

"Mas Harri??" sontak Elena berdiri. 

Dengan gelagapan wanita itu berusaha menghapus air matanya. 

"Kamu nggak apa-apa?" 

Dia menggeleng seraya berusaha tersenyum. 

"Ini ... makam siapa? Kenapa kamu nangis?" 

Elena terdiam. 

 

Bab 8


"Ini Makam siapa?" 

Elena tak menjawab. Untuk membunuh rasa penasaranku, perlahan aku bergeser untuk melihat nama yang ada di batu nisan. 

"Bram Tamawijaya. Wafat Januari tahun  2011." 

Aku berjongkok di depan makam yang sama persis  bentuknya dengan makam Ayahku. 

Bram Tamawijaya. Sepertinya aku tidak asing dengan nama itu. Berarti dia telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. 

"Elena, kenapa kamu nggak jawab?" 

"Steve, bukankah makam ayahmu yang itu?" Aku tau Elena mengalihkan pembicaraan. 

Aku kembali berdiri. Kemudian melangkah menuju makam Ayah. 

"Maaf, Aku duluan!" 

"Tunggu ...! Maaf, tunggu sebentar!" sontak aku meraih lengan Elena untuk menahannya pergi. 

Ada desiran hangat ketika tangan kami bersentuhan. Sejenak kami terdiam. Mencoba menikmati kehangatan yang belum pernah kurasakan. 

Dulu, jangankan untuk bersentuhan. Berdekatan dengannya saja aku enggan. Namun, setelah Elena sudah bukan istriku lagi, getaran itu justru selalu muncul setiap kami sedang berdekatan. 

Tiba-tiba saja Elena menepis tanganku. 

Sontak hati ini pun terasa nyeri. Begitu bencikah dia padaku? 

Aku berdoa di depan makam Ayah. Menyiraminya dengan air mawar dan menaburkan kelopak-kelopak bunga. Syukurlah Elena masih ada di belakangku saat aku telah selesai. 

"Terima kasih mau menungguku, Elena!" ujarku dengan lembut. 

Elena nampak.mengerutkan keningnya. Seakan tak percaya dengan sikapku. Ya, selama ini aku memang tak pernah lembut padanya. Rasa menyesal ini terasa begitu menghantuiku. 

"Aku nggak bisa lama. Supirku telah menunggu." ketusnya. 

"Ikutlah denganku. Nanti aku antar pulang. Mau, ya?" pintaku seakan memohon padanya. 

Elena tampak berpikir. 

"Ayolah Elena. Bukankah ini hari sabtu? Tentunya kamu libur, kan?" 

"Bicara di sini saja. Aku nggak punya banyak waktu." Sikapnya masih saja dingin. 

Aku menghempas napas. 

"Baiklah." 

Aku menatap lekat mantan istriku itu. Hari ini tampilannya cukup santai. Namun tetap terlihat cantik. Tubuhnya yang proposional sangat pas dengan pakaian yang dia kenakan hari ini.. 

Elena membuang pandangannya saat mata kami bertemu. 

"Mau bicara apa?" ketusnya lagi tanpa.menoleh. 

"Hmm ..., boleh aku tau, itu makam siapa? kenapa kamu tadi nangis di sana? Siapa Bram Tamawijaya? 

Sontak Elena menatapku tajam. 

"Dia papaku," lirihnya hingga membuatku terlonjak. 

'Papa?" 

"Maaf, Aku harus pergi. Permisi!" 

"Elena, Elena ...!" Mantan istriku itu tak menghiraukan panggilanku. Dia terus berjalan dengan cepat menuju pintu keluar makam ini. 

Aku terus mengikuti. 

Sebuah mobil alphard keluaran terbaru telah menunggunya. Seorang pria berpakaian rapi membungkuk lalu membukakan pintu untuk Elena. Tak lama kemudian mobil alphard berwarna putih itu meluncur membawa Elena pergi. 

Siapa Elena sebenarnya? Kenapa saat bersamaku dia seakan menyembunyikan identitas aslinya? 

Ternyata selama ini bukan dia yang bodoh hingga mudah aku kelabui. Akan tetapi, justru aku yang selama ini sudah tertipu oleh penampilan lugunya. 

Aku harus mencari tau siapa sebenarnya Iva Elena. Sebaiknya aku meminta Rangga untuk menyelidikinya. 

Aku pun memutuskan untuk pergi meninggalkan makam. Sebelum menyalakan mesin mobil, aku menghubungi Rangga lewat ponselku. 

"Rangga, segera cari tahu semua tentang seseorang bernama Bram Tamawiyaya." 

"Baik Tuan." 

Setelah menutup panggillan, aku mulai melajukan mobilku menuju rumah. 
.
.
.
Seharian ini aku hanya di rumah saja. Panggilan berkali-kali dari Raisa kembali kuabaikan. Semakin hari aku merasa makin tak nyaman jika sedang bersama wanita itu. Tapi rasanya tak tega jika aku memutuskan hubungan secara sepihak. 
Namun sejak bertemu kembali dengan Elena, pikiranku selalu dipenuhi oleh mantan istriku itu.Hingga tanpa kusadari, sudah hampir tiga jam aku berada di kamar ini. Kamar yang dulu Elena tempati. 

Kurebahkan tubuhku diatas ranjang, sambil  memeluk foto pernikahanku bersama Elena. Rasa rindu yang membuncah membuatku tak bisa berhenti untuk terus memikirkannya. 

."Tuan, ada Mas Rangga datang." 

Aku langsung bangkit ketika seorang pelayan menyebut nama Rangga. Pasti ada  kabar penting tentang Elena. Gegas aku keluar dari kamar Elena. 

"Bilang pada Rangga, segera ke ruang kerjaku!" 

"Baik, Tuan." 

Dengan langkah cepat aku menuju ruang kerjaku yang berada di lantai atas. Rasanya sudah tak sabar mendengar informasi tentang Elena.                                  

Namun ponselku terus berbunyi. Panggilan dari Raisa terus menggangguku. 

"Ada apa Raisa?" akhirnya terpaksa kuangkat. 

"Kenapa sejak tadi panggilanku nggak kamu angkat, Steve?" terdengar suara Raisa sangat gusar dari sebrang sana.
.
"Aku sibuk." 

"Halaah! Alasan. Beberapa hari ini kamu terus menghindar dariku.. Apa kamu sudah ada perempuan lain Steve?" terdengar serak suara Raisa. Seperti menahan tangis. 

Aku terdiam. Rasanya memang tak adil jika aku bersikap acuh pada Raisa. Namun perasaanku tak bisa dibohongi. Cintaku telah beralih pada Elena. Wanita yang belakangan ini  selalu memenuhi hati dan pikiranku. 

"Kenapa diam, Steve? Apa itu artinya benar bahwa ada wanita lain?" Isak tangis Raisa mulai terdengar. 

Aku menghela napas panjang. 

"Maafkan Aku, Raisa ...!" 

Kekasihku itu tergugu di sebrang sana. Sungguh aku tak tega mendengarnya. 

"Apa salahku, Steve?" tanyanya di sela tangisnya. 

"Raisa. Tenanglah dulu. Nanti kita bicarakan baik-baik. Tunggu aku. Malam ini kita bicara, oke?" 

Raisa mulai tenang, lalu menutup panggilannya. 

ternyata Rangga sudah menungguku di ruang kerja. 

"Tuan Steve ..." 

"Bagaimana, apa informasi ini sangat penting hingga kamu menyampaikannya langsung padaku?" 

"Betul, Tuan. Informasi tentang Nona Iva Elena ini pasti membuat Tuan terkejut." 

"Kalau begitu. Cepat katakan, Rangga!" 

Jantungku semakin berdebar menunggu informasi yang akan dikatakan oleh Rangga. 

"Bram Tamawijaya itu adalah ..."


Bab 9


Pov Alvaro 

Aku tersenyum membaca balasan pesan dari Elena. Ternyata wanita itu menyenangkan jika diajak bicara. Supel dan tidak kaku.  Tidak seperti yang pernah dikatakan Steve dulu. Temanku itu dulu sering mengeluh punya istri kampungan dan sulit diajak bicara. 

"Orang kampung kayak Elena itu tau apa soal bisnis. Percuma bicara sama dia. Nggak akan ngerti."  Itu yang sering diucapkan Steve tentang istrinya dulu. 

Dia bilang, selama menikah dengan Elena, dia terus tersiksa. Elena terlalu lugu dan kampungan. Mereka jarang sekali berkomunikasi. Steve pun tidak pernah membawa Elena kemana-mana. 

Namun kenyataa yang aku temui sangat jauh berbeda. Elena memiliki wawasan yang cukup.luas. Bicara tentang apapun, wanita itu  selalu bisa mengimbangi lawan bicaranya. 

Satu yang menjadi pertanyaan di kepalaku. Sungguh tak habis pikir dengan rencana gila yang diciptakan Steve. Apa sebenci itukah dia dengan mantan istrinya iru? Sampai -sampai dia memintaku  menikahi Elena, lalu menceraikannya setelah tiga bulan. 

Namun bisakah aku menolak pesona wanita cantik itu? 

Harri Steven, Sampai saat aku tidak pernah tau maksud dan tujuanmu untuk rencana gila ini. Rencana tak masuk akal. Apa dia pikir sebuah pernikahan adalah permainan? 

Dasar Steve sinting! 

"Permisi, Pak. Ini laporan keuangan perusahaan yang bapak minta." 

Aku menerima berkas dari Selia, sekretarisku. 

"Bagaimana bulan ini? Apa ada peningkatan pemasukan?" 

"Maaf, Pak. justru ada penurunan dari bulan lalu." 

Aku menghempas napas kasar seraya mengacak-acak rambutku. 

"Sepertinya aku harus mencari investor untuk perusahaan kita," lirihku. 

"Betul, Pak. Jika tidak, perusahaan kita akan gulung tikar," sahut Selia seraya duduk di depanku. 

Lagi-lagi aku menghela napas kasar saat membuka berkas-berkas di depanku satu persatu. 

"Entah kemana lagi aku akan mencari investor. Hutang perusahaan semakin menumpuk. Apalagi dengan Steve." 

"Kenapa nggak Bapak ikuti aja kemauan Pak Steve itu?  Lagipula pengusaha wanita yang bernama Iva Elena itu seorang yang sukses.  Kita bisa  minta Iva Elena menjadi investor tunggal di perusahaan ini." 

Astaga! Ternyata Selia punya ide yang cemerlang. Tapi sebaiknya aku tampung saja dulu. Entah kenapa, aku tak sampai hati untuk memainkan perasaan wanita cantik dan lembut  seperti Elena. 

"Aku akan pikirkan." 

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh seorang security yang masuk ke ruanganku dengan napas memburu. 

"Maaf Pak Alvaro. Ada pak Steve datang hendak menemui Bapak. Saya sudah memintanya untuk menunggu di luar. Tapi ... beliau memaksa masuk." 

Aku tersentak melihat Steve yang sudah berkacak pinggang di ambang pintu. Wajahnya nampak kesal. 

"Ya sudah tidak apa-apa. Kembalilah ke tempatmu!" 

Security itu menuruti perintahku. 

"Masuklah, Steve!" 

Steve melangkah  masuk seraya menatap tajam padaku. 

"Berani kamu menahanku masuk ke kantormu yang mau bangkrut ini, heh? Ingat, Alvaro!  Uangku sudah banyak terpakai untuk menyelamatkan perusahaanmu ini!" ujar Steve geram. 

Sombong sekali dia. Lihat saja nanti kalau aku sudah menikah dengan Elena. Dia akan tunduk padaku. Kita lihat sana nanti. 

"Ya, aku minta maaf, Steve. Silakan duduk!" 

"Hmm ....Saya permisi dulu Pak Steve!" Selia pamit keluar ruangan..Namun aku melihat sikap.aneh  sekretarisku itu pada Steve. Apa Selia berusaha menggoda Steve? Ah, biar saja. 

"Ada apa Steve? " Aku menjatuhkan tubuhku si atas kursi kebesaranku. 

"Coba kamu lihat ini!" 

Steve meletakkan dengan kasar beberapa berkas di mejaku. 

Aku membuka berkas itu yang aku duga adalah rekapan hutang-hutangku. 

"Ya Steve. ini adalah berkas surat-surat hutangku. Aku sudah tahu. Tapi aku belum bisa membayarnya dalam waktu dekat. Pamasukan perusahaanku bulan ini menurun. 

Aku bicara hati-hati. Wajah Steve nampak sedang tidak baik-baik saja.  Jangan sampai dia semakin emosi. Bisa hancur aku. 

"Aku sudah bilang  Semua akan beres. Asalkan kamu mau mengikuti rencanaku!" 

"Rencana menikahi Liana? Tenang, Steve. Semua perlu proses. Aku akan menikahi wanita itu. Tapi tidak mungkin secepat ini." 

Aku mulai gusar ketika Steve terus memandangku dengan tajam. Dia sungguh tidak main-main saat ini. 

"Halaaah, kelamaan! Aku tidak peduli apapun caramu. Pokoknya Aku minta malam ini juga kamu harus melamar Elena. Titik!' 

"Apaa? Malam ini? Apa Aku nggak salah dengar? Hayolah, Steve. Bagaimana kalau Elena menolakku?" tanyaku panik. 

Steve mendekatkan wajahnya padaku seraya melotot. 

"Itu urusanmu! Jika gagal, berarti kamu harus segera membayar semua hutangmu padaku." 

Kemudian Steve berdiri, lalu pergi begitu saja dari ruanganku.. 

Aku hanya melongo melihat tubuh tinggi tegap Steve menghilang dari ruanganku. Terdengar kembali suara selia dan beberapa karyawan wanita yang menyapa Steve dengan nada menggoda.  Steve memang pria idaman semua wanita. Tampan dan mapan. Paket komplit. Tapi sayangnya kelebihannya itu membuatnya menjadi sombong. Padahal.kekayaannya tidak ada apa-apanya dibandiing Elena. 

Tak lama kemudian Selia kembali masuk ke ruanganku. 

"Bagaimana , Pak? Apa Pak Steve tadi marah-marah?" 

"Dia memintaku untuk segera melamar Elena." 

"Sebaiknya Bapak ikuti saja kemauan Pak Steve. Ini demi perusahaan kita, Pak!" 

Aku menghempas napas kasar. Bukannya aku tak mau melamar Elena. Tapi ini terlalu cepat. 

"Selia, tolong siapkan segala sesuatunya. Aku akan melamar Elena nanti malam!' 


Bab 10

Pov Alvaro 

"Syukurlah Elena mau memenuhi undanganku malam ini. Sebaiknya aku tidak usah pulang ke rumah. Karena aku minta Selia reservasi restoran disekitar pondok indah saja. Elena pernah mengatakan bahwa dia tinggal di perumahan elite itu. Kebetulan kantorku juga tidak jauh dari restoran itu. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk ke sana. 

"Pak, ini pakaiannnya sudah saya siapkan."  Selia tiba-tiba saja masuk ke ruang pribadiku. 

"Letakkan saja di meja. Lain kali ketuk pintu dulu!"ujarku yang sedang merebahkan diri di sofa panjang.  Selia memang kebiasaan keluar masuk ruanganku tanpa mengetuk pintu. 

Ruang pribadi ini memang berada di sisi dalam ruang kerjaku. Di dalamnya terdapat sofa panjang yang biasa kugunakan untuk tidur sebentar guna melepas penat, ada juga televisi layar datar , lemari pendingin, dua buah meja dan kamar mandi. Di tempat inilah aku lebih sering menghabiskan waktu jika tak pulang ke rumah. Mungkin jika aku sudah menikah dengan Elena nanti, aku akan pulang setiap hari ke rumah.. 

Ah, kenapa aku jadi sangat rindu pada wanita cantik itu. Dibalik sikap tegas dan wibawanya, Elena adalah seorang wanita yang manja. Rasanya tak sabar ingin menjadikan dia sebagai istriku. 

Pukul tujuh malam aku telah siap untuk berangkat. Sejak tadi jantung ini terus saja berdetak cepat. Sepertinya aku mulai jatuh cinta padanya. 

Elena menolak kujemput. Dia bilang akan diantar supir. Aku pun tak mau memaksa. Tidak ingin merusak moment yang telah dirancang sangat indah ini. 

Aku sengaja datang lebih awal. Tak lama lagi aku akan tiba di reatoran itu. 

Astaga! Bukankah itu mobil Steve? Mataku melebar saat melihat mobil yang kukenal dari kaca spion. 

Sial! Steve  ternyata mengikutiku.. 

Aku segera memarkir mobilku di area parkir restoran. Ternyata Steve masih ada di belakangku. Dia pun memarkir mobil  agak jauh dariku. 

Apa maksudnya ini? 

Sebaiknya kuhubungi saja ponselnya. 

"Hallo,  steve. Ngapain Kamu ngikutin aku?" 

Terdengar suara tawa dari sebrang.sana. 

"Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu menepati janji," sahut Steve . 

"Tenang Steve Aku tidak akan malanggar janjiku. Kalau kamu tidak percaya, tunggu saja. Elena sebentar lagi datang," sahutku kesal. 

"Ingat Alvaro! Tidak pakai perasaan!" 

"Kalau masalah itu, Aku nggak yakin. Wanita cantik seperti Elena akan sangat mudah membuat pria normal jatuh cinta padanya. Kecuali ... pria itu nggak normal," ungkapku. 

"Dasar brengs*k!" 

Aku menahan tawa mendengar umpatan Steve.  Pasti saat ini wajahnya sudah merah padam. 

Aku menutup panggilan dari Steve. Kemudian perlahan keluar dari mobil. Dengan langkah pasti aku masuk ke dalam restoran. Aku tau Steve masih mengikutiku. 

Setelah beberapa menit duduk menunggu, tampak Elena dengan gaun malamnya yang berwarna hitam. Wanita itu selalu memakai pakaian yang sopan. Tiap.lelaki yang melihatnya semakin terpesona karena Elena selalu bisa menjaga dirinya. 

Aku berdiri menyambutnya. 

"Malam Elena ..." 

"Malam Al,  aduh maaf. Kamu lama ya nunggunya?" jawabnya dengan nada sedikit manja. 

"Nggak apa-apa. Seumur hidupku pun, aku rela menunggumu, Elena." 

Elena terkikik mendengar gombalanku. 

Pelayan restoran mengantar makanan yang sudah aku pesan sejak tadi. Pastinya makanan yang disukai oleh Elena. Selia telah berhasil mencari tau apa saja yang disukai pemilik  PT Four Company itu. 

"Al, ini semua makanan kesukaanku, loh. Kamu tau dari mana?" Elena menatapku tak percaya. 

"Memang bukan hal yang mudah untuk mencari tahu tentang dirimu. Tapi apapun akan aku lakukan demi membahagiakanmu." 

Elena tersipu. Pipinya memerah. Dia langsung tertunduk saat netra kami bertemu. 

Kami makan sambil berbincang ringan. Sesekali aku menggodanya. Elena sepertinya sudah mulai menyukaiku. Kami semakin merasa akrab.. 

Steve masih mengawasiku. Sebuah pesan darinya tak kubalas. 

[Jangan buang-buang waktu. Lekas lamar dia sekarang!] 

Elena, hati ini memang sudah terpaut olehnya. Aku memang sangat ingin menikahinya. Tapi bukan untuk aku ceraikan. Aku tak akan sanggup jika harus melepasnya nanti. 

Masalahku dengan Steve biarlah nanti aku pikirkan lagi. Yang terpenting saat ini. Elena menjadi milikku. 

"Elena ..." 

"Ya ...." 

"Aku ...  minta maaf jika ini terlalu cepat. Tapi, aku sudah pikirkan semuanya." 

Elena mengerutkan dahinya. Dia pasti bingung dnegan apa yang sedang aku bicarakan. 

"Maksud kamu apa?" 

Aku mengeluarkan sesuatu dari balik jasku. 

Mata Elena melebar ketika aku membuka kotak cincin yang bahan beludru berwarna marun. 

Perlahan kubuka kotak itu. Sepasang cicin yang indah terlihat di dalamnya. Dengan jantung yang terus berpacu akhirnya aku memberanikan diri untuk bicara. 

"Elena, maukah kamu menikah denganku?" 

Mataku terus menatapnya lekat. 

Elena terkejut. Matanya membelalak. Satu tangannya sontak menutup mulutnya yang ternganga. 

"Elena ...,maaf jika ini terlalu cepat. Tapi, ini tulus dari hatiku. Bersamamu aku merasa hidup ini berbeda. Kamu membangkitkan semangatku. Kamu sangat istimewa di mataku." 

"Al, kamu ... serius?' 

"Aku tidak pernah main-main untuk hal ini. Apalagi imenyangkut masa depanku." 

Dadaku semakin berdebar. Tanganku mulai gemetar. Elena masih membisu. 

"Bagaimana, Elena? Apa kamu bersedia?" 

Elena terdiam cukup.lama. Dia nampak berpikir. 
Pasti banyak pertimbangan yang dia pikirkan saat ini. 

"Hmm ... Jika kamu tidak bisa jawab sekarang. tidak apa-apa ..." 

"Oh, tidak. Aku ... akan jawab sekarang," sanggahnya, membuat jantungku semakin melompat-lompat. 

Apa yang akan dia katakan? 

Elena pasti menolakku.  Dia pasti merasa tidak pantas bersanding denganku. Dia pasti ingin memiliki suami yang jauh lebih sukses dan mapan darinya. 

"Aku ... bersedia." 


Note :  Untuk baca Bab berikutnya, bisa dengan menggunakan kakoin atau metode pembayaran lainnya. Silakan melakukan pembelian kakoin atau pembayaran cara lain melalui website. Karyakarsa.com,  untuk mendapatkan harga kakoin yang lebih murah.










 



























 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Terlanjur Talak Tiga ( Bab 11-20 )
0
1
Steve tak menyangka untuk mendapatkan warisan dari ayahnya, dia harus kembali pada Elena yang terlanjur telah ditalak tiga  olehnya beberapa bulan yang lalu. Untuk itu, tanpa sepengetahuan Elena, Steve terpaksa mencarikan muhalil agar dapat bersatu lagi dengan Elena, yang penampilannya kini semakin memukau.Apakah Steve berhasil menjalankan rencananya? Ada rahasia apa hingga Elena yang dulu dianggap kampungan kini berubah menjadi cantik dan elegan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan