Pesona Mantan Istri ( Bab 1 - 10)

3
0
Deskripsi

Yusuf sangat yakin bahwa model cantik bernama Darasifa yang sedang viral itu adalah mantan istrinya yang dulu dia ceraikan karena sakit-sakitan dan tidak pandai merawat diri.

Bagaimana perjuangan Yusuf untuk mendapatkan cinta Darasifa? Apakah benar Darasifa adalah mantan istrinya?

 

Bab1. Talak 

"Lidia indahsari, hari ini Aku talak Kau." 

Wanita yang sudah kunikahi selama tiga tahun itu menangis tergugu di hadapanku. Badannya luruh seketika setelah mendengar ucapan talak dariku. Ia terduduk bertumpu lutut persis di hadapan kakiku di lantai kamar kami. Kamar yang berukuran cukup luas yang akhir-akhir ini selalu berantakan, membuatku tak betah berlama-lama di dalamnya. 

"Apa salahku, Mas?" tanyanya terisak seraya memeluk kedua kakiku. Bulir-bulir bening semakin deras membasahi pipi Lidia. 

"Kau tidak salah, Dek. Hanya nasibmu saja yang buruk. Lihatlah tubuhmu yang semakin kurus. Wajahmu yang pucat. Sungguh tidak sedap di pandang." Aku berusaha berbicara lembut agar tak menyakiti hatinya. Selama ini aku telah berusaha menjadi suami yang baik dan tidak kasar. Aku selalu berusaha untuk menjaga perasaannya. 

"Tega sekali kamu, Mas ... hu ... hu ... hu!" Dia tergugu dan tertunduk. Tubuh kurusnya bergetar karena menangis. 

"Justru lebih baik kita berpisah saat ini, Dek. Daripada nanti kau makan hati karena sikapku," sahutku dengan hati-hati, karena aku tak ingin menyakitinya lagi lebih dalam. 

Dulu aku meminta pada kedua orang tuanya dengan baik-baik. Kini aku akan mengembalikannya dengan cara baik-baik pula. 

"Aku sedang berobat, Mas. Bersabarlah, Aku pasti sembuh, Mas." Dia berusaha merayuku. Namun hatiku sudah bulat. Sampai kapanpun aku tak akan mempan dirayu lagi olehnya. 

Aku Yusuf Kurniawan. Umurku masih muda. Karierku yang sedang sukses membutuhkan seorang pendamping yang bisa mensuportku setiap saat. 

Dulu, Lidya adalah wanita yang sangat cantik dan energik. Banyak pria yang ingin mempersutingnya. Beruntungnya aku yang bisa meluluhkan hati wanita hebat itu. 

Lidia selalu melayaniku dengan baik. Selalu menyiapkan segala kebutuhanku dengan cekatan. Sungguh seorang istri idaman. 

Namun beberapa bulan yang lalu, tubuh istriku itu semakin hari semakin kurus, Dia sering demam dan batuk-batuk. Jangankan untuk mengurusku, merawat dirinya saja dia  tak mampu. 

Akupun enggan untuk membawa Lidia ke acara-acara kantor. Sebentar-sebentar ia terbatuk-batuk. Hingga menjadi pusat perhatian dan pembicaraan orang-orang kantor. Tak sedikit orang yang menghindar darinya. Sungguh memalukan. 

"Kau boleh membawa apa saja yang ada di rumah ini. Aku akan antar kau ke rumah orang tuamu,"  ujarku yang masih berbaik hati padanya, sebagai mantan suami yang bertanggung jawab. 

Lidia menatapku nanar di balik sisa air matanya. Kilatan amarah terlihat jelas di netranya. Entah apa yang dia pikirkan. Seharusnya dia sadar akan kekurangannya saat ini. Mana mungkin aku mempertahankan istri tak berguna seperti dia. 

Ah, biarlah. Aku tidak peduli. Mau sedih atau marah sekalipun, kini dia bukan istriku lagi. 

"Ayolah cepat Lidya. Aku ada meeting malam ini. Jangan membuang-buang waktuku." 

Aku tak sabar melihat Lidia yang lamban. Lihatlah! Apapun yang wanita itu kerjakan tidak ada yang beres. Memasukkan pakaiannya saja ke dalam tas sejak tadi belum juga selesai. 

Air mata terus mengalir dari kedua pelupuk matanya. Selalu saja seperti itu. Bagaimana suami mau betah di rumah. Jika setiap saat di sambut dengan air mata. 

Aku mengantar istriku ke rumah orangtuanya yang  masih satu kota denganku. Sebenarnya aku enggan ke sana. Karena bapaknya pasti tidak terima dengan keputusanku ini. Tapi sebagai suami yang sangat bertanggung jawab, maka aku kembalikan Lidia dengan cara baik-baik. 

Sepanjang jalan Lidia hanya diam. Namun air matanya sesekali mengalir membasahi kedua pipinya. Sungguh aku muak melihatnya. 

Bersyukur jalanan tidak macet. Setelah perjalanan selama kurang lebih satu jam, kamipun tiba di depan sebuah rumah sederhana berpagar putih milik orang tua Lidia.  Karena berniat tak ingin berlama-lama nanti di sana, aku sengaja memarkir mobilku di depan pagar saja. 

Perlahan Lidia turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam pagar. Aku mengikutinya dari belakang. 

"Assalamualaikum , Pak, Bu." 

"Waalaikumsalam." 

Terdengar sahutan dari dalam. Tanpa disuruh, Lidia sontak masuk ke dalam rumahnya. 

"Ibu ... Bapak ... Hu ... hu ... hu ..!" 

"Ada apa ini, Nak? Kamu kenapa Lidia?" Ibu mertuaku bingung melihat Lidia yang langsung menghambur ke pelukannya dan menangis tergugu. 

Dasar perempuan cengeng. Tidak lelahkah kau menangis terus, Lidia? Aku sudah muak melihat  tangismu. 

"Yusuf! apa yang kau lakukan pada anakku, hah?"  Bapak mertuaku tampak geram dengan wajah menggelap. 

"Maafkan Aku, Pak. Aku mengembalikan Lidia pada bapak. Mulai hari ini Lidia bukan istri saya lagi."  

Huff ... akhirnya aku bisa mengatakannya. Lega rasanya. 

"Apaaa? Apa salah Lidia padamu?" Wajah pria paruh baya itu semakin memerah dengan mata melotot padaku. 

"Banyak, Pak. Salah satunya, Lidia sudah tidak mengurusku dengan baik," jawabku mantap. Ya, memang itu salah satu alasanku menceraikannya. 

"Tidak mungkin, Lidia sangat patuh dan selalu mengurusmu dengan baik," sahut ibu mertuaku. 

"Ya. Itu dulu sebelum anak Ibu ini sakit." Aku menjawab apa adanya. 

"Jadi karena Lidia sakit kamu menceraikannya? Di mana hati nuranimu, Yusuf? Sungguh tega sekali kamu!" Wajah ibu mertuaku mulai merah padam. 

"Hei, Yusuf! Kalau istri sakit itu ya diobati.
Bukan malah di cerai. Dasar laki-laki nggak bertanggung jawab!" hardik ibu padaku. 

"Sudahlah Pak, Bu. Aku tidak apa-apa. Biarkan Mas Yusuf pergi." Lidia berusaha menenangkan kedua orang tuanya. 

"Baiklah, Pak, Bu. Saya pamit." Aku menyalami kedua mantan mertuaku itu untuk yang terakhir kalinya. Sementara Lidia hanya menatap sinis padaku. Sepertinya mantan istriku itu sangat marah dan tak terima. Apakah dia dendam padaku? 

Biarlah, aku tak peduli. Lagipula aku tak akan pernah menemuinya lagi setelah ini. Untuk surat perceraian kita nanti, biarlah pengacaraku yang mengurusnya. 

Setelah pamit, aku melajukan mobilku ke suatu tempat. Ah, lega rasanya. Aku tidak akan menyakiti Lidia lagi. Berbulan-bulan perasaan bersalah itu selalu muncul. Dan kini saatnya aku bisa menjalani hidupku tanpa beban. 

Aku tiba di depan sebuah rumah minimalis yang aku beli tiga bulan yg lalu tanpa sepengetahuan Lidia. Tak lupa kubawa seikat bunga yang sempat kubeli di perjalanan tadi. Lalu keluarlah seorang wanita cantik yang begitu mempesona. 

Rena, wanita muda dan energik yang aku nikahi secara siri sejak tiga bulan yang lalu. Tubuhnya yang berisi dan seksi serta wajahnya yang selalu bersinar. Membuatku selalu ingin pulang ke rumah ini. 

"Mas, Aku kangen." Rena memelukku manja. Ia terpekik ketika kuberi seikat bunga mawar putih kesukaannya. 

"Aku ada kabar baik untukmu, Sayang." 

"Kabar baik apa, Mas?" 

"Aku telah menceraikan Lidia dan mengembalikannya pada orang tuanya." 

"Benar itu, Mas?" Wajah Rena berbinar. 

Aku tak sabar ingin memiliki wanita ini seutuhnya. Ingin kujadikan wanita ini sebagai istri sahku sekarang. Tidak hanya sah di mata agama, namun juga disahkan oleh negara. 

Kamipun merayakan kebahagiaan ini dengan menghabiskan malam yang indah berdua. Wanita yang selalu membuatku candu untuk selalu bersamanya. 


Bab 2. Sakit Hati 

Pov Lidia 

"Bikin malu saja! Kau lihat tadi, hah? Semua orang memandang jijik padamu!" 

"Aduuh sakit, Mas." Mas Yusuf terus menarik tanganku agar keluar dari ballroom sebuah hotel ternama di kota ini. 

"Menyesal aku mengajakmu ke acara itu. Seluruh teman-temanku menatapku dengan tatapan jijik. Semua gara-gara kamu!" hardiknya dengan tatapan nyalang padaku. 

"Aku minta maaf, Mas. Harusnya aku tidak ikut tadi," lirihku dengan masih menahan sesak di dada. Dinginnya ruangan tadi membuatku terus terbatuk-batuk hingga merasa sesak. 

Air mataku terus mengalir. Hati ini terasa perih bagai teriiris sebilah pisau. Suami yang dulu memujaku, kini seakan enggan berdekatan denganku. 

Hingga tiba di area parkir, Mas Yusuf membentakku tanpa perasaan. Dia mendorong-dorong tubuhku agar segera masuk ke dalam mobil. Dia tak ingin ada teman-teman kantornya melihatku lagi. Sehina itukah aku, hingga dia sangat malu jika aku berada di dekatnya. 

Selama di dalam mobil Ia terus saja mengumpat dan memarahiku. Ya Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang ingin sakit. Tapi kenapa suamiku selalu menganggap bahwa ini adalah kesalahanku. 

Di saat sakit seperti ini  aku berharap sedikit perhatian darinya. Setidaknya untuk menjaga perasaanku. Tapi justru hinaan dan makian yang aku dapat. 

"Kamu lihat para istri teman-temanku. Harusnya kamu pandai menjaga dan merawat tubuh seperti mereka. Tidak seperti sekarang ini. Sudah kurus, pucat lagi. Melihat wajahmu saja aku sudah malas. Apalagi tubuhmu!" 

Mas Yusuf melirikku dengan sudut matanya seakan aku adalah kotoran yang sangat menjijikkan. Nada suaranya yang masih terdengar emosi membuat hatiku semakin nyeri. 

"Ya Allah, Mas. Kamu kan tau bahwa aku sedang sakit. Aku mohon bersabarlah. Nanti kalau sembuh, aku pasti bisa seperti mereka lagi," jawabku dengan tangis yang tak tertahankan. Tubuhku gemetar menahan emosi. Satu tanganku menekan dada ini yang semakin terasa sesak dan nyeri. 

"Kapan? setahun lagi? selama itu aku akan terus dipermalukan olehmu!" teriaknya seraya menunjuk wajahku dengan kasar. 

"Astagfirullahaladzim ... Istighfar, Mas. Tolong jangan berbicara seperti. Tidak sekalipun aku berniat mempermalukanmu. Tolonglah sedikit saja mengerti." Aku berusaha untuk sabar walau rasanya sudah tak sanggup berada di dekat suamiku ini. 

"Siaaal!" teriaknya kesal seraya memukul setir mobil. 

Mas Yusuf membuang nafas kasar dan kemudian diam. Matanya masih memancarkan kemarahan. Aku tak berani mengajaknya berbicara lagi. Hingga kamipun sampai di rumah. 

Mas Yusuf turun dari mobil lebih dulu tanpa menghiraukanku. Tubuhku yang semakin lemas berusaha untuk turun dari mobil sendiri. Secara perlahan aku masuk ke dalam rumah. 

Saat malam tiba suamiku itu sama sekali tidak menyapa. Di tengah malam aku terjaga karena demam tinggi, ia sama sekali tidak peduli. Jangankan untuk membantu mengambilkan obat. Rintihan dan tangisku saja tidak di hiraukannya. Entah sampai pukul berapa aku menangis menahan rasa sakit. Hingga tanpa sadar aku pun tertidur. 

---------


"Lidia, mana bajuku?" teriak Mas Yusuf saat pagi tiba. Ternyata dia baru saja selesai mandi karena hendak berangkat kerja.


"Ada di lemari, Mas. Maaf aku belum ambilkan. Badanku rasanya masih demam," sahutku gemetar karena badanku menggigil. Hampir setiap pagi aku seperti ini. Namun kadang aku tetap memaksakan diri untuk mempersiapkan semua kebutuhan Mas Yusuf. Entah kenapa belakangan ini untuk bangun saja aku rasanya tidak kuat. 

"Halah alasan aja. Bilang aja malas. Sedikit-sedikit sakit. Nggak ada gunanya kamu!" Hardik Mas Yusuf dengan tatapan nyalangnya. 

"Ya Allah, Mas teganya kamu ...," sahutku seraya berusaha bangun dari tempat tidur. 

"Dasar istri nggak becus! Ngurus diri sendiri aja kamu nggak bisa, apalagi mengurusku," ketusnya sambil mengacak-acak lemari yang tadi rapi kini jadi berantakan lagi. 

"Ya Allah, Mas." Aku memandang sedih lemari yang sudah susah payah aku rapikan, kini isinya berhamburan di lantai. 

"Aku benar-benar sedang sakit, Mas. Dokter bilang aku bisa sembuh. Asalkan berobat rawat jalan selama setahun." jelasku untuk yang kesekian kalinya. 

Perlahan aku mencoba menghampiriinya. 

"Aku tidak peduli. Yang aku mau, kamu bisa mengurusku seperti dulu lagi!" ketusnya. Kemudian berlalu meninggalkanku. Mas Yusuf memakai pakaiannya di ruang kerjanya. Belakangan ini jika di rumah, suamiku itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja dari pada di kamar bersamaku. Kami tak lagi bermesraan maupun bercengkrama seperti dulu. Mungkin sudah tak ada lagi cinta untukku. 

Laki-laki yang tiga tahun lalu pernah berjanji di depan orang tuaku untuk selalu menjagaku, kini telah berubah. 

Beberapa bulan belakangan ini,  Mas Yusuf justru melanggar janjinya. Dia tak lagi menjagaku dengan baik. Dia tak lagi menjaga hatinya untukku. Bahkan dia selalu berdusta dan menyakiti hati serta perasaanku. 

Hampir tiap hari Mas Yusuf pulang malam. Dan setiap bulan selalu ada jadwal keluar kota. Tidak seperti biasanya. 

Diam-diam aku selidiki, ternyata suamiku itu memiliki wanita lain bernama Rena. Entah di mana dia mengenalnya. Rena memang jauh lebih seksi dan memikat. 

Tapi aku pura-pura tidak tau. Aku ingin laki-laki itu berterus terang. Biarlah dia mendua, asalkan ia tetap mencintaiku. Namun ternyata hatiku tak kuasa menahan beban perasaan. Hingga semakin hari kesehatanku menurun. Dokter bilang Aku harus tertib rawat jalan selama setahun. 

Aku menjadi lemah dan mudah lelah. Namun tetap berusaha melayani suamiku. Tapi apa daya aku tak seperti dulu lagi  

"Dasar penyakitan, bikin susah aku saja!" 

"Bagaimana kamu mau becus mengurusku? Urus dirimu sendiri saja kamu nggak bisa. Dasar lamban!" 

Hampir setiap hari aku mendapat celaan dan makian yang  sama darinya. Semakin sesak dadaku rasanya. 

Jangankan untuk memberi nafkah bathin, menyentuhku saja Ia seolah jijik padaku. 

"Penampilanmu sungguh memalukan, Lidia. Sebaiknya kau tak usah ikut-ikut lagi kemanapun aku pergi!" ucapnya membuat hati ini terasa di remas . 

Padahal dulu, laki-laki itu begitu memujaku. Begitu menyanjungku. Aku selalu di perlakukan bak ratu olehnya. 

Namun kini, ketika aku sakit Ia tidak peduli sama sekali. 

Hingga pagi itu, ketika dengan tiba-tiba ia menalakku dengan alasan yang tidak masuk akal. Dengan alasan bahwa aku sakit dan tidak bisa mengurusnya lagi. 

Aku tau, Mas. bahwa itu hanya  alasanmu saja. Agar kamu bisa selalu bersama dengan perempuan itu. Perempuan gila harta yang sudah mengambil hampir semua hakku.  

Aku terima semua keputusanmu. Akupun sudah tak sudi untuk mengemis cinta padamu lagi. Biarlah aku kaupulangkan ke rumah orang tuaku. Mereka sangat menyayangiku. Dan tak akan pernah rela anak yang di besarkannya dengan penuh kasih sayang, disakiti jiwa dan hatinya olehmu.  

Aku yakin pasti akan sembuh. Aku pasti akan kembali seperti dulu lagi. Lihat saja nanti, Mas. Karma akan menghampirimu dan pelakor murahan itu.

Bab 3. Wajahnya Mirip Dia 

"Astaga!! ... Kenapa aku bisa kesiangan seperti ini?" Tiba-tiba aku terkejut saat terjaga, karena dari balik kaca jendelaku terlihat sudah terang di luar sana. 

"Rena ... Rena bangun!" Kutepuk-tepuk lembut pipi istriku yang masih terlelap. 

Kenapa susah sekali dia dibangunkan. Selalu begitu istriku ini setiap pagi. Padahal sudah lebih dari setahun aku menikahinya. Namun tak pernah ada perubahan. 

Melihat jam dinding yg menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku bergegas meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Kupercepat mandiku dan langsung menuju lemari. 

Tak mau berlama-lama akupun lanjut mencari-cari pakaian kerjaku. Kenapa tidak ada di lemari? Ya ampun Renaa! Belum satupun pakaian kerjaku di setrika olehnya. 

"Rena ... !" Istriku tersentak mendengar teriakanku. 

"Apa sih, Mas? Ngagetin aja," ketusnya seraya menggeliatkan tubuhnya.

"Tolong setrikakan pakaianku. Aku sudah terlambat!" 

"Aah, Aku ngantuk, Mas. Kamu aja yang setrika sendiri ya! Itu tuh di sana baju-bajunya," sahutnya santai dan tak merasa bersalah, seraya menunjuk keranjang yang berisi penuh pakaian di sudut kamar. Tak sedikitpun dia bangkit dari kasur. 

Aku segera menghampiri keranjang itu dan mengacak-acak isinya. Semua baju kerjaku masih kusut dan berantakan. Betapa kesalnya hatiku. Namun entah kenapa sampai saat ini aku tak pernah bisa marah padanya. Rena selalu bisa mencari-cari alasan setiap aku protes dengan sikapnya ini. 

Namun, kasian juga istriku itu. Ia sepertinya kelelahan melayaniku semalaman. Biarlah kali ini aku menyetrika pakaianku sendiri.  Ah, bukan kali ini, tapi hampir tiap hari. Berkali-kali aku menghempas napas kasar. 

Rena sudah lama meminta Asisten rumah tangga padaku. Tapi kita belum berhasil mendapatkannya. Selalu saja dia merasa tidak cocok. Wanitaku ini maunya asisten rumah tangga yang cekatan tapi sudah tua, agar aku tidak tergoda katanya. Ada-ada saja. 

"Maas, nanti makan siang pulang nggak?" tanya Rena setelah aku rapi berpakaian. 

"Kenapa? pasti minta di bawakan makanan ya?" tanyaku seraya mencolek hidungnya. 

Ia mengangguk dan tersenyum manja. 

"Ya nanti aku pesankan online." Rena bersorak gembira  dan kembali merebahkan tubuhnya yang semakin lebar itu. 

"Aku berangkat, Ya."  Aku kecup keningnya dan beranjak keluar menuju mobil. Mengingat hari yang sudah  makin siang, aku melajukan mobil menuju kantor dengan kecepatan tinggi. 

Entah mengapa aku bisa bertahan hidup dengan wanita seperti Rena hingga lebih dari setahun. Rena wanita manja dan senang bergelimang harta. Aku terpaksa berkerja keras siang dan malam demi memenuhi kebutuhan wanita itu. 

Ya, Mau tidak mau Aku harus bisa menjalankan hidup dengan Rena walau sebenarnya aku lelah. Namun, pengorbananku untuk bisa bersama dengan Rena adalah sangat besar. Atas permintaannya, Aku sampai harus melepaskan Lidia, Mantan istriku dulu. 

Lidia seorang wanita sederhana dan selalu mengurusku dengan baik. Mantan istriku itu tak pernah sekalipun mengeluh  ataupun meminta macam-macam. Jangankan perhiasan, sepotong baju saja ia tak pernah minta. Dia selalu menerima berapapun yang aku beri. 

Karena terlena akan kecantikan Rena, dengan kejamnya aku menceraikannya di saat dirinya sedang terpuruk karena sakit. 
Ah, Lidia ... di manakah kamu kini? 

Setelah melewati perjalanan panjang yang cukup melelahkan karena macet, akhirnya aku tiba di area gedung perkantoran tempat aku bekerja. Dengan setengah berlari aku pun bergegas masuk ke dalam gedung berlantai lima itu. 

"Suf, buruan di tunggu Bos di ruang meeting!" Aku tersentak ketika baru saja sampai di kantor. 

"Memangnya ada meeting hari ini?" tanyaku cemas  

"Iyaa, mendadak tadi pagi. Buruan sana!" Rudi mendorong badanku agar segera menuju ke ruang meeting. 

Dengan langkah lebar aku bergegas naik ke lantai atas tempat ruang meeting berada. 

Tok tok tok 

"Masuk!" 

"Terlambat lagi, Yusuf?" Pak Sami menatap tajam padaku persis ketika pintu kubuka. 

"Ma-maaf, Pak," sahutku tertunduk. Semua mata tertuju padaku. 

"Kenapa? Kesiangan lagi, hah? Laki-laki botak setengah baya itu melotot. Dadanya kembang kempis menahan amarah. 

"Setahun belakangan ini kedisipilinanmu begitu buruk, Yusuf. Kalau begini terus, bisa rugi perusahaan," lanjutnya dengan setengah berteriak. 

"Maaf, Pak." ujarku tertunduk. 

"Mulai besok Anda bertanggung jawab di  bagian operasional lapangan." 

"Baik, Pak," sahutku. Lalu menuju salah satu kursi yang masih kosong. 

Bagian lapangan sebenarnya menyenangkan. Karena akan berhubungan langsung dengan para model-model cantik dan terkenal. Aku yang selama ini berada di belakang meja, hanya mendengar saja celotehan menyenangkan para teman-teman yang bertugas di lapangan 

"Produk baru kita kali ini akan memakai model artis wanita muslimah yang sedang naik daun. Karena tahun ini target omzet yang harus kita capai adalah 100M." Jelas Pak Sami. 

"Perusahaan tertarik dengan model cantik berhijab bernama Darasifa. Model terkenal itu sangat tepat untuk membawakan produk kecantikan kita. Tapi kita selalu kesulitan untuk mendapatkan kontraknya." 

"Saudara Yusuf, kamu bertanggung jawab untuk hal ini. Bagaimanapun caranya anda harus bisa mendapatkan Darasifa sebagai brand ambassador produk perusahaan kita." 

"Sa-saya, Pak?" sontak aku terkejut saat namaku di sebut. 

"Iya betul Anda Saudara Yusuf. Jabatan anda akan naik jika  ini berhasil. Tapi kalau gagal, siap-siap anda akan kehilangan pekerjaan ini selamanya," Pak Sami menatapku seraya tersenyum menyeringai seolah meremehkan. 

"Saya mohon untuk kerjasama yang baik dari semua team demi tercapainya target tersebut. Tentunya nanti akan ada apresiasi dari perusahaan berbentuk bonus, jika bisa melebihi target. Sekian meeting hari ini." 

Setelah laki-laki botak itu keluar, aku segera menghampiri Rudi yang hendak keluar juga dari ruang meeting ini. Kamipun melangkah bersama ke ruanganku. 

"Rud, aku nggak tau model yang namanya Darasifa itu seperti apa orangnya. Kasih liat fotonya, dong." 

"Hahahaha ... makanya gaul, Bro! Jangan bini aja di kekepin di rumah. Masa model terkenal yang lagi viral-viralnya itu kamu nggak tau , sih? Rudi terbahak-bahak meledekku. 

"Cantik banget memang ya, Rud?" 

"Bukan cantik lagi, Bro. Ini luar biasa cuantik buuaaanggett. Adeeeemmm banget hati kalau lihat wajahnya. Mana orangnya katanya baik dan lembut." 

"Beneran, nih? mana fotonya cariin dong!" 

"Yaelah, tinggal buka ponsel canggih tuh yang di kantong. Ketik deh namanya, muncul fotonya. Masa gitu aja manager nggak paham, sih? Hahahaha ..." 

Aku langsung tepuk jidat menyadari kebodohanku. Mungkin karena tidak sarapan aku jadi telat mikir begini. 

Segera aku buka ponselku. Membuka aplikasi yang di maksud Rudi tadi. Lalu kuketik nama model itu, Darasifa. Tak lama muncullah foto-foto seorang wanita berhijab dengan berbagai model pakaian muslimah. 

Hei, tunggu sebentar. Aku kok seperti sangat familiar dengan wajah wanita ini. Mirip siapa ya? Rasanya nggak asing untukku. 

Astaga! wajah ini mirip sekali dengan dia. Apa mungkin Dia ...?

Bab 4. Merindukannya 

Dengan rasa penasaran yang meronta-ronta, aku terus membuka satu-persatu foto-foto Darasifa. Kuperhatikan wajahnya baik-baik. Memang model muslimah itu jauh lebih cantik. Namun kenapa mereka sangat mirip sekali? 

Matanya ... ya mata bulat namun terkesan sendu dan tenang itu sangat tidak asing bagiku. Senyum itu. Senyum yang menenangkan setiap orang jika memandangnya. 

Arrgh ...! Tidak mungkin itu Lidia. Mana mungkin Lidia menjadi model. Wanita itu sangat sederhana. Difoto saja dia sangat pemalu. 

Apa mungkin mereka kembar? Tapi dulu selama aku menjadi suaminya, Lidia bilang bahwa dia adalah anak satu-satunya. 

Drett ... Drett 

Aku terlonjak  karena tiba-tiba ponselku bergetar. Tertera nama Rena di sana.
Ah, Ya ampuuun.  Pasti wanita itu berteriak minta diantarkan makanan. Dasar manja! 

"Hallo, Maaaas. Mana makanannyaaa  ...?Aku sudah lapar, nih!" 

Tuh, kan betul dugaanku. Entah bagaimana caranya menasehati istriku itu. Semua apa yang dia minta harus segera di layani.

"Maaaas ! Kok diam ?" 

"Iy-iyaa sayang. Sabar dulu ya. Sebentar lagi aku pesankan. Aku baru saja selesai meeting," sahutku. Lalu segera memesankan makanan kesukaannya secara online. 

Setelah memastikan bahwa Rena telah menerima makanannya. Aku kembali fokus pada Darasifa. Artis cantik itu terus manggangu pikiranku. 

"Rud, tolong bantu aku untuk mendapatkan Darasifa sebagai model produk kita. Kali ini perusahaan memberikan tanggung jawab itu padaku." Aku menghenyakkan tubuhku pada kursi di hadapan Rudi, asistenku. 

"Oke bos. nanti aku cari informasi kontak manajernya." 

"Aku tunggu secepatnya. Cari tau juga jadwal pemotretannya. Aku mau ketemu langsung,"ujarku seraya menyalakan laptop. 

"Cieeee, awas ntar naksir!" goda Rudi terkikik. 

"Menurut informasi, tidak mudah untuk melakukan kontrak kerjasama dengan artis muslimah itu. Aku penasaran. Apa maunya wanita cantik itu sebenarnya." 

"Wah aku enggak ikut-ikutan kalau Mbak Rena sampai cemburu ya." Lagi-lagi Rudi menggodaku.

Pekerjaanku selesai hingga pukul delapan malam.  Aku bersiap untuk pulang. Kubuka  beberapa pesan dari istriku  yang baru sempat kubaca. Lagi-lagi ia meminta dibawakan makanan untuk makan malamnya. 

Apa saja yang di kerjakan istriku itu di siang hari jika makan saja harus mengandalkanku? 

Lama-lama kesabaranku bisa habis. Cukup sudah selama ini aku memanjakannya. Apapun yang ia minta selalu aku turuti. 

Aku berhenti di sebuah rumah makan padang ternama di kota ini. Atas permintaan Rena melalui pesannya di ponselku. 

(Maaaas, nanti pulangnya beliin nasi padang di restoran yang mewah itu yaaaaa. Ingat! aku pakai ayam bakar dua) 

Pantas saja tubuhmu makin besar, Rena. Makanmu saja lebih banyak dariku. 

Selama perjalanan aku berpikir bagaimana cara untuk merubah istriku ini. Setiap aku minta untuk masak, selalu banyak alasan yang dia utarakan. 

Kadang aku rindu masakan rumah. Rindu sambutan hangat dengan hidangan nikmat masakan istriku di meja makan. 

Lidia, Sepertinya aku merindukan wanita itu. Kenapa setelah berpisah baru aku rasakan begitu sempurnanya wanita itu sebagai seorang istri. 

Aarrgghh.....! Kembali merutuki kebodohanku di masa silam. Membuang  berlian seperti Lidia. 

"Sudah pulang, Mas? mana pesanannku?" 

Selalu seperti itu Rena menyambutku. Tidak ada air minum untukku di meja. Tidak ada air hangat untuk aku mandi. 
Yang dia pikirkan hanya perutnya saja. 

"Rena, mana baju-bajuku?" tanyaku masih melihat lemari yang kosong. 

"Sebagian belum aku setrika, sebagian lagi masih di keranjang cucian," sahutnya. 

Aku membuang nafas kasar. 

"Kenapa tidak kamu cuci dan setrika semua bajuku?" tanyaku menahan emosi. 

"Ribet banget sih, Mas. Besok pagi Mas antar aja ke laundry sekalian jalan kerja ya. Lalu ambil lagi besoknya sepulang kerja. Gampangkan?" sahutnya tenang seraya menonton televisi. 

"Renaaa ...!!" Kamu pikir aku asisten rumah tanggamu ,hah? Seenaknya saja kamu menyuruhku untuk jemput antar cucian ke laundry. Kenapa tidak kamu saja yang jalan??" 

Rena tersentak mendengar bentakanku. 

"Kamu tau enggak? Aku sudah lelah seharian kerja. Sedangkan kamu ngapain aja di rumah??" Akhirnya keluar juga uneg-unegku selama ini. 

Rena terngamga mendengar ucapanku. Pasti ia tak menyangka aku akan membentaknya dengan kata-kata itu. 

Perlahan ia bangkit dan melangkah mendekatiku. 

"Kamu lupa dengan janjimu dulu, Mas?Sebelum menikahiku kamu janji akan membahagiakanku. Kamu akan menjadikan aku ratu di rumah ini." Rena berkata tenang namun penuh penekanan,  seraya bertolak pinggang di hadapanku. 

Ya, dulu aku memang berjanji demikian. Saat itu aku sedang tergila-gila padanya. Apapun yang ia minta pasti aku berikan. Termasuk untuk menceraikan Lidia. 

"Besok aku akan mempekerjakan asisten rumah tangga dari sebuah yayasan dekat kantorku. Kamu tidak boleh protes. Jika keberatan, Kamu harus mau mengerjakan semua pekerjaan rumah ini," tegasku dan kemudian berlalu dengan pakaian yang masih kusut. 

Aku tidak lagi mendengar protes dari Rena. Semoga saja itu artinya dia setuju denganku. 

Akupun menghubungi ketua yayasan yang kudatangi tadi siang. Mereka akan mengirim asisten rumah tangga untukku besok pagi-pagi sekali. 

Malam kian larut. Rena mendekatiku yang kini sedang duduk bersandar di atas ranjangku. 

"Maas, ini cantik enggak?" Rena memperlihatkan sebuah foto di ponselnya. 

"Darasifa ...??" Aku membelalak melihat foto Darasifa yang diperlihatkan Rena padaku. 

"Maaaaas ..!! maksudnya yang cantik bukan modelnya. Tapi kalung yang dia pakai. Aku mau, Maaas," rengeknya seperti bocah yang minta jajan pada ibunya. 

Rena memang belum pernah bertemu dengan Lidia  Jadi dia tidak akan tau kalau Darasifa itu sangat mirip dengan mantan istriku. 

"Maaaas, gimana kalungnyaaa? Jadi beli ya, Ya ?" Rena membuyarkan lamunanku 

"Iya." Aku mengangguk. Entah kenapa aku selalu tidak bisa menolak setiap permintaannya. 

"Oke besok kamu boleh pesan!" sahutku dengan berat hati. 

--------- 

Tok tok tok 

"Assalamualaikum, Pak." 

Aku tersentak melihat seorang wanita berhijab lebar dengan kacamata agak tebal dan  berwarna samar. 

"Waalaikumsalam. Cari siapa, Mbak?" 

"Apa benar ini rumah Bapak Yusuf? Saya dari yayasan Sejahtera Keluarga. 

Astaga! suaranya lembut sekali. Kenapa terasa sangat nyaman mendengarnya. 

"Pak??" 

"Oh, eh, iyaaa . Betul. saya Yusuf. Silahkan masuk mbak." Aduh, kenapa aku jadi grogi begini? 

"Seperti yang di informasikan oleh yayasan kepada Bapak, Saya bekerja hanya sampai pukul sepuluh pagi. Dan setiap jam enam pagi saya sudah tiba di sini." Jelas wanita itu. 

"Maaf, namanya siapa, Mbak?" 

"Saya Widia, Pak." 

Aku sontak ternganga. Kenapa mirip lagi? Namanya nyaris sama dengan Lidia. Ah, ini semua pasti hanya kebetulan saja. 

"Mari Widia, saya antar ke belakang." 

"Maaf, istri Bapak ke mana?" tanyanya heran. 

"Istri saya masih tidur. Oh ya. Kamu bisa tolong buatkan saya kopi? semua  ada di dapur. Kamu cari saja sendiri!" 

Widia mengangguk dan berlalu ke dapur. 

Tak lama kemudian Wanita itu membawakaku segelas kopi. Segera aku menghirup kopi panas itu dengan menggunakan sendok yang ia sediakan. Tidak seperti Rena yang selalu lupa membawakan sendok dan kopinya tidak pernah pas di lidahku. 

Astaga! Kenapa kopi ini rasanya sungguh nikmat sekali. Lagi-lagi kopi ini persis seperti buatan dia. Ada apakah denganku? Kenapa semua yang aku temui selalu membuatku teringat padanya? Apakah aku terlalu merindukannya??

Bab 5. Bertemu Darasifa 

"Siapa kamu? Kenapa ada di rumahku?" Dari balik pintu kamar aku melihat Rena yang baru saja terbangun, dengan gusar menghampiri Widia yang sedang menghidangkan sarapan di meja makan. 

Widia membalikkan badannya, "Saya Asisten rumah tangga di sini. Ada masalah?" sahutnya santai. 

Rena melotot pada Widia. Namun wanita berhijab itu tetap bersikap tenang dan terus mengerjakan tugasnya. 


"Maaaas.!" 

"Ada apa, Rena?"  Pagi-pagi istriku itu sudah berisik. Biasanya tidak pernah peduli dan tetap meringkuk di tempat tidur 

Aku  yang melanjutkan berpakaian di dalam kamar menjawab teriakan Rena. Untunglah Widia datang pagi ini. Semua yang aku butuhkan dengan cekatan ia siapkan. Termasuk pakaian kerjaku yang sudah rapi di setrika. Paduan warnanya pun sangat pas. Sesuai seleraku. 

Aku senyum-senyum sendiri. Membayangkan memiliki istri seperti Widia. Astaga! Apa yang aku pikirkan ini ?

"Kenapa Kamu senyum-senyum sendiri kayak gitu, mas?" 

Aku terlonjak melihat Rena sudah ada di belakangku. Mata istriku itu terus mengawasiku. 

"Aku kan sudah bilang. Kalau ambil asisten rumah tangga itu jangan yang masih muda. Pokoknya aku enggak mau tau. Usir perempuan itu dari sini!" 

Rena melotot seraya bertolak pinggang di depanku. 

"Oke. Tapi dengan syarat, kamu sebagai istri harus mau mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk mengurus segala keperluanku," tegasku tak kalah  keras. Mulai sekarang aku harus tegas pada istriku ini. 

Rena terdiam. Matanya memandangku dengan wajah kesal. Sepertinya dia tak akan sanggup dengan syarat yang aku berikan. 

"Huh!" Dia menghempaskan napas dengan kasar. Kemudian berlalu meninggalkanku sendiri di kamar. 

Hari ini aku lebih bersemangat. karena nanti siang akan mendatangi lokasi pemotretan artis-artis cantik. Dan di sana ada Darasifa. Aku harus tampil sempurna hari ini. Semoga wanita cantik itu sudi berkenalan denganku. 

Hidangan di meja begitu menggugah selera. Tak sabar rasanya ingin mencicipi olahan tangan Widia. Ah, kenapa aku begitu suka mengulang-ngulang namanya. 

"Silahkan, Pak!" Widia menyendokkan nasi dan lauk pauk di piringku.
Lalu menuangkan segelas jus buah ke dalam gelasku. 

Seharusnya  Rena yang melakukan ini semua..Tapi entah kemana istriku itu. 

Astaga!  Masakan ini. Aku rindu masakan rumahan seperti ini. Kenapa rasanya nikmat sekali. 

"Widia, kamu masak banyak?" 

"Iya, Pak." 

""Kalau begitu, tolong masukkan ke dalam kotak bekalku ya. Mulai hari ini aku ingin tiap hari membawa bekal dari rumah." 

"Baik, Pak.' 

"Oh, ya. Kenapa jam kerjamu hanya sampai pukul 10 pagi saja. 

"Oh itu. Kalau siang saya kuliah, Pak." Jawabnya seraya membereskan piring-piring bekas makanku. 

"Hei kamu, kalau kerja ya kerja aja. Enggak usah cari perhatian sama suamiku!" Tiba - tiba Rena muncul masih dengan pakaian dan rambut yang acak-acakan. Muak aku melihatnya. 

Untunglah Widia tidak terlalu memperdulikan perkataan Rena. 

"Rena, sebaiknya kamu mandi sana!" ketusku. Lalu aku bersiap-siap melangkah keluar hendak berangkat ke kantor . 

Rena memandang kesal padaku. Lalu dengan menghentak-hentakkan kaki ia kembali melangkah masuk ke kamarnya. 

"Widia, tolong ambilkan tas kerja di ruang kerja saya!" 

"Baik, Pak." Dengan sigap Widia melakukan yang aku pinta. 

"Ini, Pak. Sekalian kotak bekalnya." 
Aku meraih tas dan kotak bekalku dari tangan Widia. Jemari tangannya yang putih sedikit tersingkap nampak begitu halus dan lembut. Aroma tubuhnya begitu menenangkan. Kenapa aku begitu nyaman berada di dekat wanita ini. 

Tak lama kemudian akupun melajukan mobilku menuju kantor.  

Lalu lintas pagi ini lancar. Beruntung bisa berangkat lebih pagi. Kali ini aku pastikan tidak akan terlambat. Tidak ada lagi drama pagi di rumah maupun di kantor. Semua akan baik-baik saja selama Widia bekerja di rumahku. 
.
"Tumben pagi." Rudi menyapaku di lobby saat kami berpapasan. 

"Iya, Dong," sahutku bangga. 

"Wah, kayaknya ganti bini nih. Hahaha ...!!
Lagi-lagi asistenku itu menggodaku. Hanya dia yang mengetahui kehidupan rumah tanggaku. 

"Rud, jangan lupa setelah makan siang kita ke lokasi," ujarku mengingatkan. Entah mengapa sepertinya aku sangat tidak sabar ingin bertemu model cantik itu. 

"Siap, Bos. Managernya bilang kita harus curi-curi waktu di sela-sela pemotretannya. Karena jadwal Darasifa hari ini padat," jelas Rudi. 

"Apa kita ke sana lain waktu saja, mungkin bisa hari ....," lanjut asistenku. 

"Eh, jangan dong. Pokoknya hari ini kita harus bisa menemuinya," selaku. 

"Cieeee, semangat banget, Bos.!" 

Aku senyum-senyum sendiri membayangkan Darasifa yang begitu cantik. Kembali kubuka ponselku dan mencari foto-foto terbaru di akun media sosialnya. Aku yang selama ini tidak pernah tertarik dengan sosial media, kali ini justru rasanya selalu tak sabar menunggu postingan-postingan baru dari  wanita cantik itu. 

Salah satu foto Darasifa yang diperlihatkan Rena semalam. Kalung itu pasti sudah di pesan oleh istriku itu. Dasar wanita gila harta, pemalas dan boros. Lama-lama aku tidak tahan hidup berlama-lama  dengannya. 

Lihat saja Rena, kalau aku berhasil mendapatkan Darasifa, kamu akan ternganga dan tergugu di hadapanku. Hahahahaha .... 

Jam makan siang yang kutunggu-tunggu, membuatku tak sabar membuka kotak bekalku. 

"Suf, yuk ke kantin!" ajak Rudi dan beberapa karyawan yang satu ruangan denganku. 

"Aku bawa bekal, Bro. Makan di sini aja," sahutku bangga seraya membuka kotak bekal yang mengeluarkan aroma yang begitu menggugah selera. 

"Wah, wah beneran sudah ganti bini kayaknya, nih. Atau Mbak Rena sedang khilaf? Hahahaha ..." Rudi terus saja menggodaku seraya tertawa terbahak-bahak. 

"Sudah, sudah sana pada pergi! 

"Rud, jangan lama-lama. Satu jam lagi kita berangkat ke lokasi!" Sekali lagi aku mengingatkan asistenku yang heboh itu. 

Dengan semangat aku melahap masakan Widia hingga habis tak bersisa. 

[Maaas, kalungnya limited edition. Aku enggak kebagian. Tolong cariin! Pokoknya aku harus punya itu] 

[Maaas, gimanaaa??? udah dapet belum kalungnya?] 

Setelah makan, aku membuka beberapa pesan dan panggilan dari Rena yang aku abaikan sejak tadi. Bikin pusing saja wanita itu. Mana sempat aku cari-cari kalung kayak gitu. 

Setelah jam makan siang, aku dan Rudi berangkat menuju lokasi pemotretan. Di perjalanan tak henti-hentinya Rudi menggodaku. Hingga kami sampai di lokasi yang terletak di sebuah taman di perbatasan kota. 

Rudi langsung mencari manager Darasifa untuk membicarakan kontrak dan janji pertemuan yang akan kami lakukan nanti. Sedangkan aku terus mencari keberadaan wanita cantik itu. Dimanakan dia? sudah hampir satu jam aku di sini. Tapi tidak terlihat keberadaannya. 

Rasanya aku hampir putus asa. Lebih baik kembali ke mobil dan menunggu Rudi di sana. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju mobilku. Namun Tiba-tiba seseorang menabrakku. 

"Ups maaf tidak sengaja, permisi ..." 

Astaga! Suara itu ... Kenapa rasanya aku sangat familiar dengan suara itu. 


Bab 6. Kecewa 

Suara itu ... Suara itu kenapa tidak asing di telingaku? Sontak aku membalikkan badan. 

Menatap punggung dua wanita berhijab yang menabrakku tadi. Entah kenapa aku jadi sangat penasaran. Perlahan kuikuti mereka dari jarak yang agak jauh. 

Mereka menuju arah lokasi pemotretan. Sesampai di lokasi, seorang laki-laki menghampiri mereka. 

"Darasifa, setelah ini giliranmu!!" 

Apa?? Darasifa? 

Ternyata salah satu dari wanita itu adalah model cantik yang aku tunggu-tunggu sejak tadi. Bodohnya aku!! Kenapa tidak langsung kuhampiri saja mereka tadi. 

Aku berhenti di dekat sebuah kursi taman yang berada sekitar sepuluh meter dari tempat Darasifa berpose. Dari tempat ini, aku sangat leluasa memandang wajah model cantik itu. 

"Bos, sudah jadi ketemu artis itu?" tanya Rudi seraya menunjuk Darasifa. Entah sejak kapan asistenku itu duduk di sampingku. Karena terlalu konsentrasi memperhatikan artis cantik itu, sampai aku tak sadar akan kedatangan Rudi. 

"Belum!" sahutku. 

"Bagaimana dengan managernya? Apa kamu berhasil membuat jadwal pertemuan dengannya nanti?" lanjutku. 

"Berhasil doong," sahut Rudi bangga. 

"Kapan dan di mana?" Tanyaku lagi tanpa sedikitpun pandanganku beralih dari model wanita yang lagi viral itu. 

"Sabtu depan Darasifa ada pemotretan di hotel Grandcitra. Kita bisa menemuinya setelah pemotretan selesai." 

Aku terus memandangi model muslimah itu dari jauh. Tak kuhiraukan ocehan-ocehan Rudi berikutnya. Hingga petangpun menyapa. 

"Bos, pulang yuk. Laper nih!" ajak Rudi yang sudah mulai jenuh. Sesekali asistenku itu memegang perutnya. 

"Makan sana! Aku masih mau di sini." Sungguh aku tak ingin melewatkan moment yang menyenangkan ini. Memandang wajah teduh dan damai milik Darasifa walau dari kejauhan. 

"Ya Ampuun. Kita sudah tiga jam duduk di  sini. Sudah waktunya pulang kali." Rudi mulai terlihat kesal. 

"Sebentar lagi. Itu lihat! Sepertinya sudah mau selesai." Aku berusaha membujuk Rudi  Para kru terlihat mulai mengarahkan model berikutnya yang akan berpose setelah Darasifa. 

"Aku akan berkenalan dengan wanita itu," ujarku penuh percaya diri. 

"Jangan ketinggian mimpinya, Bos. Paling-paling kita cuma bisa dekat dengan managernya nanti." Rudi tertawa mengejekku. 

"Jangan meremehkanku, Rud! Mantan-mantanku dulu artis-artis terkenal," ucapku asal. 

"Serius? Kok dapatnya malah .... ups!" Rudi tidak meneruskan kalimatnya dan langsung menutup mulutnya ketika mataku melotot. 

Aku berdiri, bersiap untuk mendekati Darasifa. Tapi kenapa lututku bergetar? Apa karena kelamaan duduk? Atau karena  grogi? 

Dengan memantapkan hati, aku melangkah menuju tempat Darasifa berdiri. Saat hampir sampai, Wanita itu sedang berbicara dengan seseorang. 

Tiba-tiba keraguan itu hadir. Bagaimana jika dia marah? Atau tidak suka di dekati?Bagaimana jika aku diabaikan? Bagaimana kalau ... tidak! Aku harus yakin. Orang-orang bilang Darasifa adalah wanita yang ramah dan lembut.  Oh, Tuhan. Andaikan dia bisa aku miliki. 

"Kenapa Anda memandang saya seperti itu?" 

"Apaa?" Astaga bodoh sekali aku. Tanpa sadar aku sudah berada pesis di depan model cantik itu. Sungguh memalukan. Pasti wanita itu mentertawakanku dalam hati. 

Darasifa menatapku heran dan  nampak  sedikit kesal. 

"Ma-maaf. Kenalkan saya Yusuf." Dengan sangat percaya diri aku mengulurkan tangan pada wanita itu. Namun sialnya, dia memalingkan wajahnya tanpa menyambut uluran tanganku untuk bersalaman. Kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku. 

Dadaku tiba-tiba sesak menahan rasa kecewa. 

"Saya dari perusahaan kosmetik Esco beauty. Bisa bicara sebentar ?" Aku terus berusaha mengikuti langkah kakinya yang terus berjalan tanpa menghiraukanku. 

"Darasifa ... bisa bertemu sebentar? Please ..!" 

Dia tetap tak menghiraukanku

Sial! Langkah kakinya justru semakin cepat. 

"Maaf! Saya capek. Anda silahkan menghubungi manager saya!" tegasnya. Kemudian dengan langkah cepat, artis cantik itu berlalu meninggalkanku. 

Astaga! Aku ternganga melihat kepergiannya. Sia-sia sudah usahaku hari ini. Dengan langkah gontai aku kembali ke kursi taman. Terduduk dengan perasaan tak menentu. Sungguh hati ini sangat kecewa. Sikap Darasifa tidak seperti yang aku harapkan. Kenapa dia tidak ramah padaku? Apa jangan-jangan dia itu memang benar ... akh! Tidak mungkin. 

"Sudahlah, Suf. Kita masih punya kesempatan. Sabtu depan kamu pasti bisa mendekatinya. Ayo pulang!" Rudi berusaha menghiburku. 

Ya benar. Sabtu depan adalah waktu yang tidak lama lagi. Aku harus mempersiapkan segala sesuatu untuk bisa mendekatinya. Lihat Darasifa!  Aku tidak hanya mendekatimu untuk perusahaan. Tapi aku harus mendapatkan hatimu. 

Rudi geleng-geleng kepala melihatku senyum-senyum sendiri. Kemudian Ia menarik tanganku. 

"Ayo pulang! " 

Aku dan Rudi pulang dengan mobil masing-masing. Hari mulai gelap. Tubuh terasa begitu lelah. Mungkin karena aku belum terbiasa bekerja di lapangan. 

Setelah melewati satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di rumah. 

Tok tok tok 

"Assalamualaikum." 

Seperti biasa Rena tidak pernah menyambutku. Dia terlihat asik menonton televisi saat aku pulang. 

Aku melewatinya dan langsung menuju kamar. Muak aku melihat tingkah lakunya yang tak pernah mau berubah. 

"Maaaas!" Seperti biasa dia akan berteriak manja jika ada maunya. 

"Mas! Kalungnya sudah dapat belum?" . 

Benar dugaanku. Pasti ada maunya 

"Aku capek! Ambilkan minum!" perintahku. 

"Itu di meja, Mas. Tinggal tuang aja. Sudah di siapin," sahutnya tanpa sedikitpun beranjak dari sofa. 

Dasar wanita malas! Dengan perasaan kesal kutinggalkan istriku itu dan segera membersihkan diri.  

Setelah merasa  segar, aku kembali ke meja makan, berharap masakan Widia tadi pagi masih ada. Namun ternyata sudah tak bersisa sedikitpun. Pantas saja hari ini Rena tidak ribut minta dibelikan makanan. 

Untunglah aku dan Rudi makan dulu di restoran terdekat, sebelum perjalanan pulang dari lokasi pemotretan. Asistenku itu terus berteriak karena lapar. 

Ah, kenapa aku tidak sabar menunggu besok pagi? Sepertinya aku terlalu merindukan perhatian dari seorang istri. Dan ... Aku merasa mendapatkannya dari Widia.  Astaga! Apa yang aku pikirkan? 

Emosiku tersulut saat melihat begitu banyak barang-barang belanjaan di dalam lemari. Segera aku cek mutasi mobile banking rekening yang di pakai Rena. 

Mataku membelalak ketika melihat pengeluaran hari ini. Begitu mudahnya Rena menghambur-hamburkan uang. Aku buka satu persatu bungkusan-bungkusan itu. Sebagian besar isinya perhiasan dan pakaian. Ya Ampun Renaaaa! 

"Apa-apaan ini, Mas? Kenapa belanjaanku kamu acak-acak, haa??" teriaknya. 

"Kamu yang apa-apaan, Rena. Istri pemalas! Bisanya hanya menghambur-hamburkan uang!" sengitku.

Rena tersentak mendengar ucapanku. Mungkin ia tak menyangka aku akan  semarah ini. Wajahnya mulai memerah menahan tangis. Tubuhnya gemetar. 

"Kamu berubah, Mas ..." lirihnya. Kemudian berlalu ke kamar dan menangis  menelungkup di atas tempat tidur. 

Dasar cengeng. Bisanya cuma nangis dan buang-buang uang saja! Bisa bangkrut aku gara-gara istri boros seperti Rena. 

Lihat saja, Rena. Kamu tak akan berhenti menangis setelah Aku mendapatkan Darasifa. Kamu akan ternganga dan tak percaya saat Darasifa menjadi kekasihku nanti. 


Bab 7. Wajah Widia mengejutkan


"Assalamualaikum, Pak." 

"Waalaikumsalam, Widia." Akhirnya wanita yang aku tunggu-tunggu datang juga. Wanita berhijab lebar itu nampak sangat anggun dengan hijab dan gamis berwarna nude. Aroma parfumnya yang lembut langsung tercium saat wanita itu masuk ke rumahku. Setelah mengangguk sopan padaku, Widya langsung melangkah menuju dapur. 

Sejak beberapa hari Widia kerja di sini, semua keperluanku selalu beres teratasi. Tak ada lagi baju kusut saat hendak ke kantor. Aku pun hampir tak pernah sarapan di luar lagi. 

Justru saat ini Rena yang semakin bermalas-malasan. Setiap hari istriku itu selalu saja bangun siang. Kemudian pergi berbelanja barang-barang yang sama sekali tidak penting. Dia hanya pandai menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna. 

"Widia, saya sarapan agak siang. Pagi ini nggak ke kantor. Saya langsung ke lapangan," ujarku seraya mengikutinya ke dapur. 

"Baik, Pak. Mau saya buatkan kopi?" 

"Boleh. Tolong antar ke ruang kerja!" sahutku yang kemudian berjalan menuju ruang kerja. 

Widia mengangguk. Kemudian langsung membuatkan kopi yang aku minta. Entah kenapa kopi buatannya selalu enak dan pas rasanya. 

Pintu ruang kerja yang berada di dekat  ruang tengah sengaja aku buka. Rasanya senang melihat wanita berkacamata itu mondar-mandir di rumahku. Andaikan Ia selalu ada setiap aku butuhkan. 

"Ini kopinya, Pak." 

"Makasih, Widia," sahutku dengan memberikan sebuah senyuman manis padanya. 

Wanita itu tampak tersipu malu. Pasti hatinya berbunga-bunga melihat senyum dari pria tampan ini. 

Tidak ada salahnya jika aku memiliki istri lebih dari satu. Bahkan tiga sekalipun. Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkan jika Widia yang selalu memenuhi kebutuhanku dan melayaniku dengan baik. Juga Darasifa, model cantik terkenal dan sedang viral itu. Siapapun pasti ingin memilikinya. 

Rasanya hidupku sempurna memiliki dua istri seperti Widia dan Darasifa. Lagi-lagi aku senyum-senyum sendiri mengingat hal itu. Betapa indahnya hari-hariku jika didampingi dua wanita itu. 

Lalu Rena? Wanita tidak berguna itu lebih baik aku campakkan saja ke jalanan. Wanita yang selalu menyusahkan dan keras kepala. Penampilannya semakin hari, semakin tidak sedap di pandang mata. Lihat saja, tubuhnya semakin lebar. Lemak di mana-mana. Semakin lama aku semakin muak pada istriku itu. 

Pukul sembilan pagi. Aku harus bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sarapan yang menggugah selera membuatku selalu menantikan setiap masakan Widia. 

Sarapan kali ini, nasi goreng padang, dengan lauk dendeng balado khas padang. Aku memang sangat menyukai masakan padang. Aroma rempahnya sungguh menantang. Rasanya yang selalu membuat lidahku candu. Apalagi saat ini yang memasak adalah Widia. Apapun yang dia masak selalu terasa pas di lidahku. 

Sepiring nasi goreng tandas tak bersisa. Membuatku lebih bersemangat untuk bekerja hari ini. Aku bersiap-siap berangkat ke kantor. Tak lupa bekal yang disiapkan Widia kumasukkan ke dalam tas. Walaupun siang berada di lapangan, rasanya masakan Widia tetap menjadi pilihan pertamaku dari pada menu di restoran. Aku bisa makan di mobil nanti. 

Sebelum berangkat, kutengok Rena yang masih mendengkur di tempat tidur. Biarlah mulai besok kartu debit aku ambil. Biar tau rasa istriku itu.. 

Widia tergesa-gesa keluar dari rumahku. 

"Maaf Pak, Saya pamit duluan. Hari ini ada quis di kampus." Widia nampak terburu-buru meninggalkanku yang sudah berada di dalam mobil. 

"Widia!! Widia ...!" panggilku 

"Ya, Pak." Langkah cepatnya terhenti, kemudiian menoleh padaku. 

"Ayo kamu ikut Aku aja. Kebetulan kita satu arah." 

Widiia terlihat ragu dan nampak berpikir. 

"Percayalah, kamu tidak akan terlambat jika ikut denganku," ucapku mencoba untuk meyakinkan gadis itu. 

Akhirnya ia  mengangguk. 

Yes! 

Kali ini aku berhasil untuk semobil berdua saja dengannya. 

Widia masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahku. Perlahan aku mulai melajukan mobil menuju kampus yang disebutkan gadis itu. 

"Kamu sudah semester berapa?" Aku mencoba memulai percakapan saat di perjalanan. Agar suasana lebih santai dan tidak kaku. 

"Semester enam, Pak," jawabnya malu-malu. 

Jantung wanita ini pastilah berdebar hebat karena satu mobil dengan pria tampan dan tajir. Dia pasti akan bangga jika kuantar sampai ke kampusnya. 

"Ambil jurusan apa?" 

"Management bisnis." 

"Wah hebat kamu. Kenapa kamu mau bekerja sebagai asisten rumah tangga?" 

"Saya butuh uang untuk  biaya kuliah,Pak." 

Tiba-tiba Widia membuka kacamatanya karena merasa ada sesuatu yang menganggu wajahnya. 

Seketika aku terkesiap melihat wajah itu. Kenapa sangat mirip? Jantungku berdegup kencang begitu melihat wajah Widia dari dekat. 

"Tolong jangan pakai dulu." Aku mencegah Widiia untuk memakai kembali kacamatanya. 

Kali ini Widia yang terkejut dengan sikapku. 

"Kenapa kamu sembunyikan?" 

"M-maksud bapak?" tanyanya gugup. 

Aku memutuskan untuk menepikan mobil. Lalu kembali menatap wajah indah itu. 

"Kenapa kau sembunyikan kecantikanmu dengan kacamata ini?" tanyaku penasaran. 

"Karena saya hanya akan memberikannya untuk suami saya kelak," jawabnya seraya menunduk malu. 

"Bagaimana jika aku ingin melihat wajahmu ini setiap hari?" tanyaku penuh harap. Aku menunggu jawabannya dengan debaran yang tak biasa. 

"Bisa, Pak. Tapi nikahi saya dulu," jawabnya tegas dengan wajah masih tertunduk. 

"A-apaa? Menikah?" 

Aku terlonjak mendengar ucapannya. Benarkah Widia minta aku nikahi? 

Wanita di sebelahku ini kembali memakai kacamata tebalnya itu. Wajahnya memang agak tertutup karena ukuran kacamata yang cukup besar. Siapa yang mengira di balik kacamata itu ada wajah yang begitu indah dan cantik. 

Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa mereka begitu mirip dengannya? 

"Pak, maaf. Saya sudah terlambat." 

"Astaga! Maaf saya hampir lupa. Tenang Widia, sebentar lagi kita sampai di kampusmu." Aku segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Hingga hanya beberapa menit saja kami tiba di salah satu kampus negeri favorite di kota ini. 

"Hebat kamu Widya, bisa kuliah di sini. Kamu pasti sangat pintar," pujiku, sudah pasti wajahnya semerah tomat saat ini. Sayangnya aku tidak bisa melihat jelas. Karena tertutup kacamata. 

"Makasih atas tumpangannya, Pak. Saya masuk dulu." 

Ah, Widiaaa ... suaramu membekukan hatiku. 

"Iya. Saya senang kok nganter kamu," sahutku menggodanya. 

Tanpa berkata-kata lagi, gadis tinggi semampai itu turun dari mobil dan melangkah memasuki gerbang kampus. 

Dengan pakaian muslimahnya. Semakin tampak anggun dan menawan. Aku memandanginya hingga tubuhnya hilang di balik gerbang kampus. 

Hmm ... Widia. Kenapa aku begitu nyaman di dekatnya. Seperti seseorang yang tidak asing bagiku. Aroma parfumnya yang masih tertinggal di dalam mobil, membuatku enggan meninggalkan tempat ini. 

Drrrt .... drrrt ... 

Tiba-tiba ponselku bergetar. 

"Bos udah sampai mana? Di tunggu klien nih!" Suara Rudi dari sebrang sana. 

Astaga!! Hampir lupa. Segera kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

Bab 8. Hari yang Sial 

Rudi terus menghubungiku. Sepertinya klienku kali ini tidak sabaran. Gawat kalau sampai mereka tidak jadi melakukan kontrak kerjasama  dengan perusahaan. Bisa-bisa aku di maki-maki oleh si Botak. 

"Bos buruan, ini orangnya udah marah-marah. Lagian kemana dulu, sih?" Untuk ke sekian kalinya Rudi menghubungiku. 

"Macet, Rud. Ini sebentar lagi nyampe," sahutku. 

Aku menutup ponselku dan menambah kecepatan mobil. Kuabaikan ponselku yang terus berbunyi. Bagaimana aku bisa   lekas sampai, kalau sebentar-sebentar ditelpon. 

Saat baru tiba di lokasi, kuangkat ponselku yang masih saja berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menghubungiku, segera kujawab. 

"Maaaas, kok kartu debitnya nggak bisa di pakai siih? Aku malu nih sudah sampai kasir!" 

Astaga! Ternyata Rena. Rasakan! Kartunya memang sudah aku blokir tadi pagi. 

"Aku lagi sibuk, Rena. Kembalikan saja barang-barang itu!" sahutku dengan penekanan. 

"Nggak mau! Pokoknya Mas Yusuf harus menyusulku ke sini sekarang juga!" Tiba-tiba panggilan di tutup dan muncul denah lokasi tempat Rena sekarang berada. 

Sial! Selalu saja seperti itu. Semua kemauannya harus segera diturutin. 

Aku berhenti di sebuah hotel yang dikatakan Rudi untuk pertemuan dengan klien. Setelah memarkir mobil di area depan hotel, aku bergegas turun menuju restoran cukup mewah yang berada di samping hotel. 

Dengan langkah cepat aku masuk ke dalam restoran itu. Saat tiba di dalam, aku menatap heran menemukan Rudi hanya sendirian duduk di kursi yang telah di pesan. 

"Loh mana kliennya?  Kamu ngerjain aku ya? Udah ngebut sampai hampir mati tadi. Hufff ...." umpatku kesal. 

"Gagal Bos!! Telat!!" ketus Rudi dengan wajah dongkol. 

"Kenapa gagal?  

"Pak Yusuf sih terlambat. Pulang deh dia." Rudi kelihatan sewot . 

"Sombong banget sih itu klien nggak mau nunggu sebentar aja," gerutuku. 

"Ngomong-ngomong memang kliennya dari perusahaan mana Rud?" tanyaku penasaran, seraya duduk di salah satu kursi kosong di hadapan Rudi. 

"Managernya Darasifa." 

"Apaa???" Sontak aku terlonjak mendengar jawaban Rudi. 

"Kenapa kamu nggak bilang dari tadi pagi sih? Aduh mati aku di maki-maki Bos botak," protesku seraya menepuk jidat. Terbayang wajah seram Pak Sami yang sedang melotot memarahiku. 

"Hei, bukannya hari ini jadwal ketemu klien dari perusahaan iklan?" tanyaku lagi. 

"Iyaa betul. Tapi perusahaan iklan aku alihkan ke sore. Karena manager Darasifa tiba-tiba hubungi aku jam sembilan tadi untuk membicarakan prosedur kerjasama," jelas Rudi panjang kali lebar. 

"Kenapa kamu nggak bilang dari pagi Rudiiiii???"  Duh gemes aku. 

"Makanya, Bos. Kalau ditelpon diangkat, kalau dikirim pesan dibaca doong! Aku sudah ngabarin sejak jam sembilan tadi." Rudi memandangku serius. Serius dia marah padaku. 

Astaga!! Jam segitu aku kan lagi asik menggoda Widia di dalam mobil. Sampai ponselpun  terabaikan. Sial betul aku hari ini. 

"Ya sudah. Kamu bikin jadwal baru dengan managernya Darasifa. Sabtu besok tetap jadikan?" tanyaku tak sabar. 

"Tadi sih orangnya marah-marah. Tapi nanti aku coba deh." Asistenku itu masih terlihat kesal. Ah biarlah. Bodo amat. 

Tiba-tiba aku ingat Rena. Sepertinya aman. Dia tidak lagi menghubungiku.. Semoga saja istriku itu tidak jadi belanja. Buang-buang uang saja. 

Aku dan Rudi memutuskan untuk kembali ke kantor dengan mobil masing-masing. 

Saatnya makan siang, dengan semangat asmara yang menggelora, kubuka bekal yang di siapkan oleh Widia. Wah, ayam kampung cabe hijau. Sangat menggugah selera. Tanpa banyak waktu, hidangan di kotak itu habis, menyisakan tulang belulang saja. 

Bahagianya aku jika setiap hari seperti ini. Lebih hemat dan tidak perlu keluar bermacet-macetan mencari restoran atau berdesak-desakan di kantin kantor. 

Sambil menunggu waktu istirahat berakhir,  aku buka akun media sosialku. Mencari status terbaru dari artis muslimah cantik itu. Namun tidak muncul diberandaku. 

Tiba-tiba sesuatu menganggu mataku. Foto seorang wanita sedang berpose membawa beberapa paperbag ditangannya. 

Paperbag itu bertuliskan merek-merek ternama yang harganya membuat naiknya asam lambung para suami. 

Rena, begitu banyak barang-barang yang di belinya. Tapi, bukankah kartu debitnya sudah aku blokir? Lalu belanjaan itu ...??
Aah, biarlah itu urusan dia. 

Menjelang malam pekerjaanku selesai dan bersiap pulang. Hari-hariku sudah tidak seperti dulu lagi. Yang selalu semangat jika waktu pulang tiba dan merindukan Rena. 

Kini rasanya ingin sesuatu yang baru dan berwarna. Rena sangat membosankan. Hanya  bisa menyenangkan dirinya sendiri. Sedangkan aku lebih banyak di abaikan. 

Seperti biasa, Rena sedang tiduran menonton televisi di ruang tengah saat aku sampai di rumah. Tanpa sambutan hangat dan segelas air minum yang aku harapkan setiap pulang kantor. 

Mataku tertuju pada tumpukan belanjaan yang berada diatas  sofa. 

"Kamu belanja segitu banyak, uang dari mana?" tanyaku seraya melepas dasi dan sepatu. 

"Ya uang kamulah ..." 

"Bukankah kartu debitnya terblokir?" 

"iyaa. Kamu lupa, Mas? Kamu pernah memberiku kartu kredit dengan limit  seratus juta?" 

"Apaa??? Kamu pakai kartu kredit itu?" teriakku. 

Astaga!!. Kenapa aku sampai lupa kalau pernah memberinya kartu kredit. 

"Nggak usah kaget gitu dong, Mas. Bayarnya kan bulan depan. Santai dong!" sahutnya tanpa rasa bersalah. 

"Renaaa, Aku kan sudah ingatkan kalau kartu kredit itu hanya untuk keperluan mendesak. Kenapa dipakai untuk barang-barang nggak penting itu?" teriakku yang sudah mulai emosi. 

"Nggak usah teriak-teriak, Mas! Tadi itu sangat mendesak. Aku malu dilihat orang banyak di sana. Kamu juga aku tunggu-tunggu nggak datang-datang. Barang-barang belanjaanku sudah di scan semua di kasir. Untungnya aku ingat masih ada kartu kreditmu," jelasnya tenang,  tanpa bangkit dan minta maaf padaku 

Dadaku  sesak menahan emosi. Betapa kesalnya aku pada wanita ini. 

"Berapa jumlah yang kamu pakai dengan kartu kredit itu?" tanyaku geram. 

"Tenang aja, Mas. Nggak banyak, kok. Cuma delapan puluh juta.." 

"Apaaa?? Renaaa, bisa bangkrut Aku gara-gara kamu ...!" pekikku panik, sambil mengacak-acak rambutku sendirii. 

"Ya Ampun, Mas. itu nggak aku habisin,kok. Tenang aja. Masih ada dua puluh juta lagi kok," jawabnya santai. 

"Kembalikan kartu itu, cepaat ..!! 

"Loh kok di kembalikan? Nanti aku belanja pakai apa, dong??" 

"Tidak ada lagi belanja-belanja apapun. Kamu mau bikin aku miskin, haa??" 

"Kalau aku tidak mau? Kamu mau apa?" ketusnya seraya berdiri bertolak pinggang, seakan menantangku. Semakin muak rasanya aku melihatnya. 

Plaak !! 

"Istri kurang ajar!" 

"Aawww ...!! Mas Yusuf tegaaa ! huhuhu....!" 

Rena lari ke kamar dengan memegang pipinya yang baru saja kutampar. 

Dasar cengeng. Bisanya nangis dan menyusahkan! 

Lebih baik aku tidur di sofa ini saja. Sambil menanti pagi dan bertemu Widia. Seandainya aku bisa memimpikanmu malam ini, Widia.


Bab 9. Kalung Widia 

POV  Rena 

Saat aku terbangun, Mas Yusuf tidak ada di sampingku. Mungkin suamiku itu tidur di luar. Masih marahkah dia? Biarlah, nanti juga dia menyesal telah memarahiku semalam. Mas Yusuf sangat mencintaiku. Jadi mana mungkin dia marah beneran sama aku. Liat aja, sebentar lagi pasti dia akan minta maaf padaku. 

Aku beranjak dari ranjang, lalu memandang ke cermin. Pipiku masih merah. Teganya kau, Mas. Aku tak menyangka Mas Yusuf telah menamparku. Selama ini laki-laki itu selalu menuruti apapun yang aku inginkan. Termasuk menceraikan istrinya yang sakit-sakitan dan buruk rupa itu. 

Dulu dengan mudahnya laki-laki itu memberikan segalanya untukku. Aku diperlakukan bagai putri raja olehnya. Dia nyaris jarang pulang ke rumah, karena muak dengan istrinya yang penyakitan itu. 

Hingga tanpa sepengetahuan Lidia, aku di belikan sebuah rumah minimalis oleh Mas Yusuf. Walaupun tidak sebesar rumah yang di tempati Lidia, namun laki-laki itu hampir tiap hari menginap di tempatku. 

Setelah mereka bercerai, Aku meminta  rumah yang ditempati mantan istrinya  menjadi milikku seutuhnya. Mas Yusuf pun mengabulkan permintaanku. Dia menjadikan aku ratu di istananya. Apapun yang aku lakukan dia tak pernah protes. 

Tapi kenapa akhir-akhir ini Mas Yusuf berubah. Hobbiku  berbelanjapun  sekarang di batasi. Padalah sejak awal dia selalu membebaskanku untuk belanja apa saja yang aku mau. Termasuk perhiasan dan tas dengan merek ternama yang harganya sampai puluhan juta. 

Suamiku itu sekarang selalu saja minta dilayani. Menyuruhku ini dan itu. Padahal dulu sudah kukatakan bahwa aku disini ingin jadi ratu bukan babu. 

Apalagi sejak asisten rumah tangga itu bekerja di sini. Mas Yusuf  semakin menjadi-jadi. Dia selalu memuji-muji pembantu itu di depanku. Dia bilang Aku harus bisa seperti perempuan kampung itu, mengurus semua kebutuhannya. Padahal Mas Yusuf  biasanya tidak pernah keberatan mengerjakan apapun sendiri. 

Aku tidak terima suamiku membanding-bandingkan aku dengan wanita kampungan itu. Lihat saja penampilannya. Kacamata kebesaran, baju kelonggaran, sama  sekali tidak menarik. Jelas-jelas tidak ada apa-apanya dibanding diriku yang cantik mempesona ini. 

Perlahan aku beranjak keluar kamar. Sepertinya masih sangat pagi. Wanita kampungan itu sudah berada di dapur rupanya. Aroma masakannya tercium membuat perutku meronta-ronta minta diisi. Pantas saja aku sangat lapar. Semalam langsung tertidur setelah bertengkar dengan Mas Yusuf dan melupakan makan malam. 

Saat baru keluar dari kamar, nampak Mas Yusuf sedang asik dengan gawainya di sofa. Tiba-tiba pembantu itu menghampiri nya dengan membawa secangkir minuman untuk Mas Yusuf. 

"ini kopinya, Pak." Widya meletakkan secangkir kopi di atas meja tepat di hadapan Mas Yusuf. 

"Makasih, Widia." 

Hei, ngapain Mas yusuf senyum-senyum sama perempuan udik itu? Kurang ajar, wanita itu membalas senyum suamiku dengan malu-malu. 

Jelas saja perempuan jelek itu jadi salah tingkah. Siapa yang nggak bangga di senyumin pria tampan seperti suamiku. Ini nggak bisa dibiarin. Sebaiknya  kuhampiri saja mereka. 

Dengan langkah lebar aku yang tadi berdiri di depan pintu kamar, segera berjalan menuju ruang tengah. 

"Hei perempuan kampung, jangan coba-coba menggoda suamiku! Sadar diri dong. Wajah kayak gitu mau godain suami orang!
Suamiku bisa muntah jika sering-sering liat muka kamu yang buruk itu, ngerti??" 

"Astagfirullahaladzim ..." sahut Widia terkejut. Dia menatapku tak suka. Berani sekali dia. Aku pun melotot  padanya seraya berkacak pinggang. 

"Rena!! Jaga bicaramu. Kamu pikir sekarang kamu lebih cantik dari Widia??
Lihat saja tampangmu yang acak-acakan dan belum mandi," sela Mas Yusuf yang langsung berdiri di hadapanku. Tatapan tajamnya menusuk manik mataku. 

"Maaass, kenapa kamu malah belain pembantu ini, sih?" tanyaku melotot tak terima. 

"Karena kamu jadi istri sama sekali nggak berguna. mengurus dirimu sendiri saja kamu nggak becus, apalagi mengurusku," 

Apa dia bilang? Aku nggak becus? 

"Halah, Mas. Itu alasan kamu aja biar bisa dekat-dekat dengan wanita jelek ini kan? Mas Yusuuf ..., sadar Mas. Sudah jelas-jelas jauh lebih cantik aku dari pada dia. Kamu pasti di pelet sama perempuan kampung itu." Aku mencoba meyakinkan suamiku agar tidak tergoda oleh wanita itu. 

"Maaf, saya permisi ke belakang dulu, Pak, Bu ...," ujar Widia dan berlalu menuju kamar belakang. 

Akhirnya dia pergi juga. Mana berani dia sama nyonya rumah di sini. Pembantu itu memang harus di kerasin,  kalau tidak dia akan kurang ajar padaku. 

Setelah sarapan, Mas Yusuf bersiap-siap ke kantor. Dia masih saja mendiamkanku. Sepertinya suamiku itu masih marah. Tidak biasanya dia seperti ini. Jika marahpun paling-paling hanya sebentar.. 

Ini pasti gara-gara si Widia itu. Aku yakin dia pakai guna-guna untuk menarik perhatian suamiku. Bisa saja dia memasukkan sesuatu ke dalam minuman Mas Yusuf. Aku harus menyelidikinya nanti. Biarlah Mas Yusuf pergi dulu. 

Setelah kupastikan Mas Yusuf berangkat ke kantor, perlahan aku melangkah ke belakang. Saat ini perempuan itu pasti sedang menyetrika pakaian di kamar belakang. 

Loh, kemana dia? Kamarnya kosong. 
Aku terkejut melihat hijab dan kacamata  Widia ada di atas meja setrika. Kenapa dia membuka hijabnya? Apa yang sedang ia lakukan? 

Dengan penasaran, perlahan aku angkat hijab dan kacamata itu. Dan ... Aku terlonjak melihat sebuah kalung di bawahnya. 

Kalung ini .... Astaga! Benar, Kalung ini persis seperti yang dipakai artis terkenal Darasifa. 

Kenapa dia bisa memiliki kalung itu? Bukankah harganya sangat mahal? Bukankah kalung itu limited edition? 

"Maaf, ada apa dengan kalung saya?" 

Aku terlonjak mendengar suara Widia yang tiba-tiba sudah ada di belakangku.
Astaga!! Wajahnya ... rambutnya ... 
Sial! Kenapa wanita ini cantik sekali? 

"Hei, ngapain kamu buka-buka hijab di sini? Mau menggoda suamiku?" 

"Saya habis berwudhu, mau salat dhuha. Dan  saya tahu Pak Yusuf sudah berangkat ke kantor. Jadi nggak mungkin saya bisa menggodanya," sahut wanita itu tegas . 

"Kurang ajar kamu. Yang sopan bicara dengan majikan!" geramku seraya menatap tajam padanya. 

"Dari mana kamu dapat kalung itu? Itu kalung mahal. Pasti kamu mencurinya,"
bentakku lagi. 

"Jangan asal menuduh kalau tidak ada bukti! Maaf saya mau salat. Bisa keluar sebentar?" 

"Dasar pembantu kurang ajar, mentang-mentang di bela suami saya, ngelunjak kamu ya!" 

Dengan kesal kutinggalkan perempuan itu.
Kalau aku tidak butuh, sudah aku pecat dia. 

Aku masih penasaran dengan kalung itu. Apa mungkin Mas Yusuf yang membelikan untuknya? Kalau benar demikian, luar biasa sekali guna-guna yang di pakai untuk merebut Mas Yusuf dariku. Aku saja sebagai istrinya tidak dibelikan. 

Kurang ajar kamu Widia ..!!!


Bab 10. Nyaris Bangkrut 

Suasana hatiku jadi kacau pagi ini gara-gara Rena. Tidak biasanya ia bangun pagi-pagi seperti tadi. Apalagi semalam dia habis aku marahi. Biasanya dia tidak akan keluar kamar dan tidur seharian. 

Padahal pagi ini aku ingin kembali mengantar Widia ke kampusnya. Ingin memastikan apakah kata-katanya kemarin serius? Wanita itu makin hari makin terlihat cantik. Sayangnya dia tidak mau membuka kacamatanya. 

Widia, Aku yakin di balik hijabmu itu tersembunyi kecantikan yang luar biasa. Seandainya saja kamu sudah halal untukku. Betapa bahagianya hidup ini. Ada istri yang cantik sholehah dan bisa mengurusku dengan baik. 

"Pak Yusuf, dipanggil Bos Sami!" ujar Pak Sarkim salah satu karyawan di sini, membuyarkan lamunanku. 

"Iya Pak. Saya segera ke sana." 

Mati aku. Pasti si Bos botak itu mau menanyakan perkembangan kerjasama dengan artis model Darasifa. Apa yang harus Aku katakan nanti. Sebaiknya aku tanyakan dulu pada Rudi. 

Sepertinya Rudi belum datang. Sebaiknya aku hubungi saja ponselnya. 

"Hallo, Rud. Bagaimana rencana pertemuan kita dengan Darasifa besok? Sudah deal dengan managernya?" 

"Nggak di respon, Bos!" 

"Waduh! Bagaimana ini? Habis deh kita sama Pak Sami." 

"Aku masih terus hubungi managernya bos," sahut Rudi dari seberang sana. 

"Pokoknya besok kita tetap ke lokasi pemotretannya di hotel grandcitra!" tegasku. 

"Baik, Bos. Sudah di agendakan," 

Setelah menutup panggilan ponsel ke Rudi,  dengan pasrah aku melangkah menuju ruang Pak Sami yang berada di lantai dasar. Semoga saja si Botak itu sedang bahagia hari ini dan tidak marah-marah. 

Aku berhenti di depan ruang Pak Sami. Untuk sesaat aku terpaku. Memikirkan apa yang hendak aku katakan nanti.  Setelah menarik napas panjang, kuberanikan dirii untuk mengetuk pintu ruangannya. 

Tok tok tok ... 

"Masuk ..!! terdengar suara menggelegar dari dalam. Begitulah Bosku yang satu ini. Apapun situasinya, ia selalu bicara dengan suara keras.  

"Selamat pagi, Bapak panggil saya?" 

"Betul. Silakan duduk!" 

Aku manjatuhkan bobotku diatas kursi yang berada tepat dihadapan pria berbadan gempal itu. 

"Kenapa belum ada laporan perkembangan kerjasama dengan artis model iklan itu?" tanyanya setengah menunduk,  namun matanya menatap tajam dari balik kacamata yang sengaja diturunkan ke hidung. 

Dasar Bos kurang gaul, dia pikir wajah seperti itu mengerikan. Justru saat ini aku sangat ingin tertawa melihatnya. 

"Belum, Pak. Namanya juga artis papan atas. Tidak mudah untuk mendapatkannya. Tapi bapak tenang saja. Saya sudah bertemu langsung dengan klien. Bukan hanya dengan managernya saja, bahkan dengan Darasifa artis cantik itu," jelasku  panjang lebar. 

Sepertinya Pak Sami percaya padaku. Dia mengangguk-angguk sambil tersenyum
Ah, syukurlah. Kena kamu Pak Sami. Aku tertawa dalam hati. 

"Hebat kamu, Yusuf. Tidak salah saya mempercayakan tugas ini padamu," sahutnya bangga. 

"Baiklah. Saya tunggu kabar berikutnya. Pastikan wanita itu tanda tangan kontrak bulan ini. Kalau tidak, Kamu saya pecat ...!! 

Aku terlonjak  mendengar ancaman dari Pak Sami. Gawat kalau sampai aku di pecat. Bagaimana nanti aku membayar cicilan mobil Rena dan tagihan kartu kredit yang membengkak? 

"Tenang saja, Pak Sami. Saya pasti bisa mendapatkan Darasifa untuk iklan produk kita," jawabku meyakinkan atasanku itu. Sementara kepalaku mulai memutar otak untuk mencari cara untuk mendapatkan kontrak kerja dengan artis cantik itu. 

Setelah pamit, Aku segera keluar dari ruangan itu. Dan segera menemui Rudi demi menyusun rencana besok. 

Setelah berdiskusi panjang lebar dengan Rudi. Akhirnya kita memutuskan untuk mendatangi hotel grandcitra lebih awal. Mungkin dari menjelang siang aku sudah tiba di sana. Anggap saja libur akhir pekan bersama Darasifa. Ya Tuhan, rasanya sudah nggak sabar ingin bertemu wanita itu. 

Hari ini tidak ada jadwal ke lapangan. Sambil menunggu waktu pulang, mencoba  membuka akun sosial mediaku.
Seperti biasa, berharap status terbaru Darasifa  di berandaku. 

Namun bukan Darasifa yang kutemukan. Lagi-lagi foto Rena dengan berbagai barang mewah yang di pakainya. Apa saja yang di beli istriku itu dengan nilai delapan puluh juta dalam sehari? 

Astaga!! mataku membelalak melihat Rena berpose dengan memperlihatkan sebuah tas kecil di tangannya. Foto itu muncul dengan caption 'Akhirnya tas seharga dua puluh juta ini jadi milikku' 

Aku terduduk lemas. Begitu mudahnya Rena menghambur-hamburkan uang. Bagaimana nanti aku membayar tagihan kartu kredit itu. Belum lagi cicillan mobil dan barang-barang lainnya. Mau pecah rasanya kepalaku. Rena benar-benar mau bikin aku bangkrut. Tidakkah dia tau susahnya diri ini bekerja setiap hari demi mendapatkan uang untuknya? 

Aku mendengkus kesal. 

Nanti malam aku harus berhasil mendapatkan kartu kredit itu dari Rena. Semoga saja sisa limit yang dua puluh juta lagi belum ia belanjakan. 

Hari ini aku pulang lebih cepat dari biasanya. Sampai dirumah, kulihat Rena sedang asik memotret barang-barang mewah miliknya. 

"Sudah pulang, Mas? Aku ambilkan minum ya." Rena langsung beranjak ke belakang. 

Eh, kok tumben. 

Tak lama kemudian istriku itu datang membawa segelas air putih untukku. 

"Diminum, Mas!" 

Aku mengangguk dan meminum air itu hingga habis. 

"Mas, kapan mau cariin aku kalung itu?" 

Apaa?? Pantas saja barusan dia mengambilkan aku minum. Ternyata ada maunya. Dasar wanita gila harta. 

"Aku capek. Besok saja bicara tentang kalung. Sekarang kembalikan kartu kredit itu!" ketusku seraya menadahkan satu tanganku di hadapannya. 

"Oh oke." Rena lalu mengambilnya di dalam tas dan memberikan kartu itu padaku. Hmm ....itu adalah tas seharga dua puluh juta yang dia posting hari ini. 

Tunggu sebentar, kenapa dia tidak keberatan sama sekalli saat aku minta kartu itu? Apa ... jangan-jangan sudah di belanjakannya lagi? 

Deg
Tas itu ... Bukankah harga tas itu sesuai dengan sisa limit dari kartu kredit itu ?? 

"Rena, katakan padaku. Berapa limit yang ada dalam kartu ini?" tanyaku menahan geram melihat gayanya seperti selebritis. 

"Habis, Mas. Aku sudah lama sangat menginginkan tas ini. Kebetulan harganya sesuai dengan sisa limit yang ada di kartu itu. Ya sudah aku beli saja," jawabnya tanpa rasa bersalah. 

"Renaaaa ...!! Kamu pikir uang dari mana untuk membayar tagihan kartu kredit itu nanti, haa??" teriakku geram. Kali ini aku benar-benar menyerah dan tak habis pikir pada kelakuan istriku itu 

"Ya mana aku tau? Itu bukan urusanku, Mas!" sahutnya tanpa beban seraya meninggalkanku begitu saja. 

Habislah aku. Seratus juta sudah hutangku bertambah hari ini. Bagaimana caraku untuk membayar tagihan segitu banyaknya? Bagaimana jika aku benar-benar dipecat oleh Pak Sami. Dapat uang dari mana lagi aku nanti? 

Daripada pecah kepalaku, lebih baik aku tidur. Mempersiapkan diri untuk besok bertemu si cantik Darasifa. 

bersambung




















.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pesona Mantan istri (Bab 21 - 30)
1
0
Yusuf sangat yakin bahwa model cantik bernama Darasifa yang sedang viral itu adalah mantan istrinya yang dulu dia ceraikan karena sakit-sakitan dan tidak pandai merawat diri.Bagaimana perjuangan Yusuf untuk mendapatkan cinta Darasifa? Apakah benar Darasifa adalah mantan istrinya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan