
Karena difitnah oleh para iparnya, Salma yang seorang janda, diusir oleh mertuanya, agar tak mendapat pembagian warisan almarhum suaminya.
Namun karena ketulusan dan kebaikan hati Salma, wanita cantik beranak satu itu justru dipersunting oleh pria tampan yang kaya raya.
Bagaimana tanggapan para ipar dan mertuanya saat melihat Salma berubah makin cantik dan kaya raya?
Bab 1. Terusir
"Eh ... eh ..., mau ngapain kamu?" Tiba-tiba Kak Norma menghadangku untuk berjalan ke ruang tamu.
"Mau antar minuman untuk tamu-tamu ibu, Kak."
"Halaah! Bilang aja kamu mau nguping sekalian cari muka. Iya, kan?" sanggah Kak Lina-kakak iparku.
"Cari muka terus kamu sama ibu, ya!" lanjutnya lagi dengan wajah sinis.
"Kamu mau curi-curi informasi warisan dari notaris yang sedang berbincang dengan Ibu itu, kan?" Kak Norma melotot seraya berkacak pinggang di depanku.
Entah kenapa kedua kakak iparku itu selalu saja curiga padaku. Apalagi sejak meninggalnya Bang Irsan, suamiku. Mereka tidak pernah suka jika Ibbu mertuaku lebih perhatian padaku.
"Ini ibu yang menyuruhku membuat minum untuk para tamunya , Kak."
"Sudah-sudah sini biar aku aja yang antar ke depan!" Kak Norma langsung mengambil alih nampan yang berisi tiga gelas teh di tanganku.
"Hei Salma! Asal kamu tau ya, kamu tidak akan mendapat warisan sedikitpun. Jadi jangan pernah mimpi bisa hidup enak setelah ibu membagikan warisan seharga milyaran in!" bisik Kak Lina dengan senyum kemenangan.
Aku terhenyak mendengar ucapan Kak Lina. Begitu serakahnya dia. Padahal Kak Lina dan Kak Norma juga menantu sepertiku. Hanya saja suami mereka masih hidup.
Sejak Bang Irsan pergi untuk selama-lamanya delapan bulan yang lalu, meninggalkan aku yang sedang hamil tua. Aku tetap tinggal di rumah besar ini bersama ibu mertua dan ipar-iparku. Ibu melarangku pergi karena aku tidak punya keluarga lain di kota ini. Kedua orang tuaku pun sudah sejak lama tiada.
"Ngapain lagi kamu di sini? Sana ke dapur! Kita udah pada lapar."Bentakan Kak Norma membuyarkan lamunanku..
Aku berlari mendengar tangisan anakku dari kamar belakang. Sejak sebulan yang lalu, Ibu memintaku untuk pindah ke kamar belakang persis di sebelah dapur. Karena Kak Norma dan suaminya-Bang Safwan memutuskan untuk pindah ke rumah ini.
"Anak Bunda sudah bangun ..." Sontak Raihan terdiam ketika aku menggendongnya. Anak ini menunjuk-nunjuk keluar kamar. Mungkin dia merasakan tidak nyaman berada di kamar yang sempit dan pengap ini. Kamar ini memang dulunya adalah gudang. Dan sekarang menjadi kamarku.
Sambil menggendong Raihan dengan kain panjang yang kuikat kencang, Aku meracik bahan makanan yang sudah aku beli sejak subuh tadi.
Ketika hendak menyalakan kompor, Aku ingin menitipkan Raihan pada salah satu iparku. Anakku ini sudah mulai aktif. Apapun yang berada didekatnya, hendak diraihnya.
Aku ragu ketika ingin menghampiri mereka yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya ada hal penting yang mereka bicarakan dengan tamu Ibu tadi yang konon katanya adalah seorang notaris.
"Ada apa, Salma?" Aku terlonjak ternyata Bang Adam, kakak tertua suamiku itu tiba-tiba sudah berada di belakangku.
"T-tidak apa-apa, Bang. Tadinya saya mau menitipkan Raihan. Tapi sepertinya di ruang tamu semua sedang serius," sahutku.
"Sudah sini sama Ayah Adam aja, yuk!" Laki-laki itu langsung meraih Raihan dari gendonganku.. Raihan pun tampak kegirangan saat akan di gendong pamannya.
Bang Adam, walau pendiam tapi sangat perhatian pada Raihan. Padahal dia sendiri hingga kini belum menikah.
"Terima kasih, Bang!"
Gegas aku kembali ke dapur dan menyelesaikan tugasku memasak. Selagi Raihan tidak rewel.
Bakwan goreng, oseng cumi jamur, sambal dadakan dan tumis kangkung sudah siap. Aku kembali ke ruang tamu untuk mengintip apakah Raihan rewel. Namun ternyata bocah kecil itu masih tenang berada di pangkuan Bang Adam sambil memakan biskuit. Aku terkikik dalam hati melihat kaos Bang Adam menjadi kotor terkena noda biskuit dari mulut Raihan.
"Ngapain kamu senyum-senyum di situ, haa? Pake ngintip-ngintip segala. Nguping terus kamu!" Lagi-lagi Kak Norma yang sudah berada di belakangku merasa curiga.
Aku menggeleng.
"Aku hanya melihat Raihan aja, Kak. Takutnya rewel." sahutku.
"Awas kamu macam-macam ya! Masih bagus kamu nggak diusir dari rumah ini, dan kami masih memberikan tumpangan untuk tetap tinggal di sini," bentaknya pelan.
Aku hanya bisa membuang napas kasar mendengar ucapannya.
Perlahan aku kembali ke dapur hendak mencuci perlengkapan memasak yang kotor.
Jadi selama ini mereka menganggap aku menumpang di sini. Seandainya orang tuaku masih ada. Sudah pasti aku akan pulang ke rumah mereka saja.
Jika benar setelah rumah besar ini di jual, aku tidak mendapat hak warisan Bang irsan, Bagaimana kelanjutan hidupku nanti?
"Aaa ...!" Tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam kamar ibu.
Gegas mencuci tanganku yang bersabun, kemudian berlari ke kamar ibu yang berada di dekat ruang tamu.
Ternyata di sana sudah ada Kak Norma dan Kak Lina yang memijit kaki ibu.
"Ibu kenapa? Ibu jatuh?" tanyaku panik.
Ibu merintih kesakitan seraya memegang kaki kirinya.
"Ini dia orangnya, Bu. Dasar ceroboh! Atau kamu sengaja ya tumpahin minyak di pintu kamar ibu? Lihat, nih! kaki ibu langsung bengkak," sentak Kak Lina.
"Minyak? minyak apa, Kak? Mana mungkin aku melakukan itu pada Ibu?"sahutku menahan tangis.
Sungguh sakit sekali rasanya dituduh melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kita lakukan.
"Tadi aku pergokin kamu ngintip-ngintip kita di ruang tamu. Pasti kamu habis melakukan sesuatu yang mencurigakan. Ayo, ngaku aja kamu!" tuduh Kak Norma lagi.
"Astaghfirullah ..., Kak. Tadi aku kan sudah bilang. Bahwa aku hanya memastikan Raihan tidak rewel." Lolos sudah air mataku.
.
"Sudah! Diam kamu salma! Ibu kecewa sama kamu. Sekarang juga pergi kamu dari sini!"
Sungguh aku tak percaya. Ibu yang selama ini begitu baik padaku, dan sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri, kini memintaku pergi dari rumah ini.
"Kamu tuli, ya? Buruan beresin baju-baju kamu dan cepat pergi dari sini!" Aku terlonjak ketika Bang Safwan juga membentakku.
"Hei, ada apa ini?" tiba-tiba Bang Adam menghampiri.
"Biarkan dia pergi, Bang Adam. Dia hampir saja membunuh ibumu ini," sahut Kak Lina.
Aku segera ke kamarku dan memasukkan pakaianku dan Raihan ke dalam tas besar yang biasa Bang irsan pakai setiap bertugas keluar kota.
Kemudian kembali ke kamar ibu dan meraih Raihan dari gendongan Bang Adam.
"Jangan kamu bawa cucuku!" pinta ibu dengan suara bergetar.
"Raihan masih minum ASI, Bu. Aku tidak mungkin meninggalkannya."
Raihan merengek ketika aku menggendongnya dengan kain panjang dan melangkah keluar. Sepertinya anak ini ikut merasakan kesedihanku.
Senyum puas dari ipar-iparku sempat terlihat ketika aku hendak meninggalkan rumah ini. Hanya Bang Adam yang nampak bingung. Namun laki-laki itu hanya diam menatap kepergianku dan Raihan.
Kemana aku harus pergi?
Bab 2. Kakek Tua
Bab 2. Kakek Tua
Aku berjalan menyusuri jalan tanpa tujuan. Derai air mata menemani langkahku. Aku tak peduli orang menatap heran ataupun iba padaku. Saat ini aku hanya mengikuti kemana kaki ini hendak membawaku. Entah bagaimana nasib anakku nanti. Saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga saja aku segera mendapat pekerjaan untuk melanjutkan hidup.
Aku tidak punya siapa-siapa di kota ini. Sejak kedua orang tuaku meninggal, aku hanya hidup sebatang kara. Beruntung aku bertemu dengan Bang Irsan. Laki-laki yang begitu baik dan menyayangiku. Hingga Bang Irsan menjadikan aku sebagai istrinya. Namun semua itu tak bertahan lama. Belum genap setahun kami menikah, Bang Irsan pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sejak saat itu aku tinggal bersama ibu mertua dan ipar-iparku. Selama tinggal di sana, aku sadar diri tidak bisa membantu mencari nafkah. Semua biaya hidupku dan Raihan ditanggung oleh keluarga Ibu Mertua. Oleh sebab itu, aku tidak pernah membantah setiap apapun yang mereka suruh.
Bunda dulu pernah mengatakan bahwa ada sepupunya yang masih hidup. Namun hingga kini aku belum menemukan alamat tempat tinggalnya. Entah dimana mereka tinggal.
Tiba-tiba langkahku terhenti karena mendengar sesuatu.
"Tolong.., tolong Saya ...!"
Astaga! Tiba -tiba aku mendengar suara rintihan seseorang. Sepertinya dari gerobak yang berada tak jauh dariku.
Segera kupercepat langkahku. Aku terperanjat menemukan kakek-kakek tua sedang merintih kesakitan terbaring di dalam gerobak berisi buku-buku bekas dan botol air mineral bekas. Pakaian kakek itu robek, sepertinya baru saja tersangkut oleh sesuatu yang tajam. Sepertinya dia sangat lemas.
"Ya Allah ...! Bapak kenapa?" Jantungku berdegup kencang melihat kondisinya yang menyedihkan.
"Tolong saya, Nak!" lirihnya dengan suara yang sangat lemah.
Aku melihat sekelilingku sangat sepi. Namun bapak tua ini harus segera aku bawa ke puskesmas. Kebetulan puskesmas sudah tidak jauh dari sini.
Bismillah ... Beruntung Raihan sedang tertidur di gendonganku. Aku mengikat kain panjang penggendong Raihan lebih erat. Lalu meletakkan tas besarku di dalam gerobak, persis disamping kaki kakek tua itu.
Dengan sekuat tenaga aku mendorong gerobak itu melewati jalanan yang sepi. Sesekali ada yang lewat menatapku dengan heran. Entah kenapa orang-orang itu hanya melihat saja. Tak satupun dari mereka yang bertanya ataupun peduli dengan apa yang sedang aku lakukan ini. Andai saja ada yang membantu, tentu kakek ini akan lebih cepat tiba di puskesmas dan segera mendapat pertolongan.
Peluh menetes dari wajahku. Hingga hijab dan bajuku basah kuyup. Napasku memburu karena mendorong gerobak itu setengah berlari. semoga saja belum terlambat.
"Bertahan ya, Pak! Kita akan segera tiba di Puskesmas!" Mencoba untuk memberi semangat pada Bapak tua itu.
Aku merasa lega saat melihat gerbang puskesmas sudah di depan mata. Kupercepat langkahku hingga menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar.
"Dokter ..., suster ...,tolong !" Aku berteriak sekencang mungkin agar para petugas itu menghampiri.
"Ada apa, Mbak?" Salah seorang security tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Tolong kakek ini, Pak. Sepertinya sedang kesakitan."
"Astaghfirullahaladzim ...!" Security itu terkejut mellihat ada seorang kakek-kakek di dalam gerobak.
Dua orang security berusaha mengangkat kakek itu dari dalam gerobak dan membaringkannya di atas brankar. Seorang petugas puskesmas keluar dan ikut mendorong brankar kakek tua itu ke dalam ruang UGD
Aku duduk kelelahan di ruang tunggu pasien di depan poliklinik, seraya memangku Raihan yang sudah terjaga.
Aku kebingungan ketika Raihan menangis minta ASI.
"Maaf, Suster. Ada ruang untuk menyusui?"
"Ada, Bu. Silakan masuk saja ke ruang itu!"
Gegas aku melangkah menuju ruang tertutup yang ada di deretan ujung.
Raihan sangat kehausan. Bayi lucu dan montok ini meminum ASI cukup lama hingga tertidur kembali.
Setelah hampir satu jam, aku keluar dari ruang menyusui. Kemudian kembali ke ruang pemerikaan.
Aku bertanya pada salah satu perawat.
"Suster, mana kakek-kakek yang tadi bersama saya? "
"Sudah pulang, Mbak."
"Pulang? Bukankah tadi beliau masih sakit?"
"Tadi ada anaknya yang menjemput ke sini."
Aku mengangguk mendengar penjelasan suster itu. Syukurlah kakek tua itu sudah bersama anaknya sekarang. Setidaknya beliau sudah ada yang mengurus
Tiba-tiba aku teringat dengan tas besarku yang berada di dalam gerobak sang kakek.
Saat aku keluar, gerobak itu masih ada dan tasku masih ada di dalamnya.
"Pak, gerobak kakek tadi kenapa tidak dibawa pulang?" tanyaku pada security yang berjaga di depan puskesmas.
"Orang si kakek pulang naik mobil bagus, Mbak. Itu gerobaknya buat Mbak sajalah!"
Apaa? Mobil bagus?
Ah, sudahlah. Yang penting si kakek sudah selamat.
Aku melihat kembali gerobak yang masih cukup bagus itu. Tiba-tiba aku ada ide. Segera aku lihat isinya. Masih sambil menggendong Raihan aku bersihkan dan rapikan gerobak itu. Kemudian menidurkan Raihan didalamnya dengan alas kain panjang.
"Pak, Saya boleh bermalam di depan puskesmas ini ? Satu malam saja , Pak. Biar nanti saya dan anak saya tidur di dalam gerobak ini."
"Kalau satu malam saja boleh, Mbak. Tapi jangan di sini. Di teras belakang saja.
Betapa senangnya aku mendengar jawaban bapak security itu.
"Kalau numpang ke kamar mandi boleh, Pak?"
"Silakan, Mbak. Kamar mandi yang di luar itu bisa untuk umum."
"Alhamdulilah. Terima kasih, Pak!"
Tak henti-hentinya aku bersyukur atas kemudahan yang Allah berikan.
Raihan pasti lapar. Sebentar lagi dia akan bangun dan minta makan. Kebetulan tadi aku lihat ada tukang bubur di depan gerbang puskesmas ini.
Gegas aku berlari menuju gerbang dan berteriak pada tukang bubur yang berada di seberang jalan.
"Buburnya satu porsi di bungkus, Pak!"
Kemudian aku kembali berlari ke gerobak, menengok Raihan yang ternyata masih tertidur pulas. Anak itu sudah mulai aktif. Aku tidak mau ambil resiko jika meninggalkannya walau hanya sebentar.
Tak lama bubur diantar oleh si tukang bubur, benar saja Raihan terjaga. Aku menyuapinya. Anak itu makan dengan lahap.
.
.
.
Raihan guling-guling dengan riang di dalam gerobak. Mungkin udara malam yang sejuk membuatnya nyaman. Krim anti nyamuk sudah aku oleskan pada tubuhku juga Raihan. Bagaimanapun juga malam ini kami tidur di luar. Pasti akan banyak nyamuk nanti malam.
Sambil berpikir apa yang akan aku lakukan besok, aku membuka tas besarku untuk mencari selimut untuk Raihan. Tiba-tiba mataku tertuju pada kantong samping tas ini yang nampak begitu tebal. Padahal aku sama sekali tidak mengisi apapun di situ.
Perlahan aku buka resleting tas itu. Nampak menyembul sebuah amplop coklat. Aku mulai mengeluarkan amplop yang berukuran cukup besar itu.
Apa kira-kira isi amplop itu ?
Bab 3. Amplop Misterius
Perlahan aku membuka bagian atas amplop yang merekat. Aku ternganga,, lalu membekap mulutku sendiri agar tidak berteriak. Mataku membulat saat melihat sejumlah uang kertas berwarna merah yang sudah diikat-ikat menyembul keluar dari dalam amplop itu.
Astaghfirullahaladzim! Uang siapa ini? Selembar kertas terselip pada tepi amplop. Gegas aku membuka kertas yang sepertinya ada tulisan seseorang di dalamnya.
[Terima kasih sudah menolong Bapak Saya. Sebagai ucapan terima kasih, gunakanlah uang di dalam amplop ini sebaik-baiknya. Jika anda membutuhkan sesuatu, datanglah ke kantorku. Alamatnya ada di amplop ini. Yuda ]
Ya Allah, ternyata uang ini dari anak kakek yang aku tolong tadi. Alhamdulilah. Lagi-lagi aku tak henti-hentinya bersyukur. Lebih baik uang ini aku gunakan untuk modal usaha. Mungkin akan aku gunakan untuk berdagang di sekitar sini.
Aku meletakkan uang itu kembali ke dalam tas. Besok pagi aku akan mencari kontrakan dekat-dekat sini. Kebetulam harga kontrakan disini tidak terlalu mahal. Aku akan menyewa kontrakan satu kamar. Setidaknya cukup untuk aku berdua dengan Raihan.
Sebenarnya ini masih wilayah sekitar rumah ibu mertua. Tapi aku tidak tahu lagi akan pergi ke mana lagi. Biarlah untuk sementara aku tinggal di sekitar puskesmas ini. Warga yang tinggal di sekitar sini cukup ramai. Sangat pas jika aku berdagang di sini. Namun hal ini masih aku pikirkan. Sebaiknya malam ini aku tidur. Semoga besok Allah memberi petunjuk padaku.
.
.
.
Pagi-pagi sekali Raihan sudah bangun. Setelah membersihkan diri, aku dan Raihan kembali berada di teras belakang sambil menunggu siang. Satu persatu karyawan puskesmas mulai berdatangan hendak menjalankan tugasnya.
"Loh, Mbak Salma pagi-pagi sudah ada di sini? Siapa yang sakit?" Seorang petugas puskesmas yang kebetulan tetanggaku terheran melihat aku berada di teras belakang sambil menggendong Raihan.
"Eh, ...t-tidak ada yang sakit, Pak Cahya.
S-saya numpang menginap di sini semalam."
"Apa? Menginap?" Pria paru baya itu terheran melihatku
Aku mengangguk.
"Apa Mbak Salma di usir dari rumah?" tanyanya lagi seraya matanya menelisik pada tas besar yang sekarang berada di atas kursi teras ini.
Aku mengangguk lemah. Kembali terasa sesak di dada ketika ibu mengusirku kemarin. Memang akhir-akhir ini, sejak ibu berencana akan menjual rumah dan semua tanah warisan almarhum ayah, Ibu sering membentakku. Bahkan beberapa kali memarahiku. Padahal sebelumnya Ibu begitu baik dan perhatian sekali.
Mungkin ibu sedang banyak pikiran. Karena terus didesak oleh anak-anaknya untuk segera menjual tanah warisan Ayah.
"Aku udah nggak sabar mau naik mobil mewah, Bang."
"Pokoknya aku mau jalan-jalan keliling Indonesia. Kuliner di setiap kota."
"Aku mau shoping-shoping tiap hari."
Banyak sekali keinginan dari ipar-iparku itu.
"Trus sekarang Mbak Salma sama Raihan tinggal di mana?" pertanyaan Pak Cahya membuyarkan lamunanku.
"Belum tahu, Pak. Rencana mau cari kontrakan di dekat-dekat sini saja."
Pak Cahya terdiam sejenak. Pria paru baya itu nampak berpikir.
"Kalau Mbak Salma mau, bisa berdagang di sekitar puskesmas ini. Karyawan sini agak kesulitan mencari makan untuk sarapan dan makan siang. Karena warung nasi jauh dari sini. Juga tidak mungkin meninggalkan pasien yang masih mengantri."
"MasyaAllah, mau ...! Saya mau, Pak!" Bagai mendapat durian runtuh, aku terpekik karena bahagia
"Ya sudah. Jika Mbak Salma sudah siap,kabari saya!"
"Baik, Pak Cahya. Terimakasih!"
Begitu banyak kemudahan yang aku dapatkan, Ya Allah. Tak henti-hentinya aku bersyukur dalam hati.
"Kalau begitu, Saya mau lanjut kerja dulu." pamit Pak Cahya seraya beranjak meninggalkanku.
Aku berjalan menuju halaman depan puskesmas sambil menggendong Raihan. Pasien yang ingin berobat mulai berdatangan. Pandanganku beralih pada seorang wanita paru baya di depan puskesmas. Perlahan aku pun mendekatinya.
"Sini saya bantu, Bu!" Aku meraih sapu dari wanita itu yang ternyata adalah salah seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu halaman puakesmas.
"Jangan, Nak! Nanti merepotkan," tolak ibu itu.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah biasa."
"Terima kasih, Nak. Kalau gitu Ibu sapu belakang ya.."
"Siap, Bu."
Sejak Raihan bayi, Aku memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan sambil menggendong. Semua pekerjaan tetap bisa aku selesaikan dengan baik. Seperti sekarang ini. Raihan tetap tenang dalam gendonganku walaupun aku sedang menyapu.
"Salma! Apa-apaan kamu, ha? Bikin malu keluarga saja!"
Aku terlonjak mendengar suara Kak Norma yang aku kenali, tiba-tiba sudah ada di belakangku.
"Kenapa, Kak? Memangnya Kak Norma peduli?" tanyaku tetap berusaha tenang.
"Hei, dasar jadi orang nggak pinter-pinter! Kalau di usir tuh pergi yang jauh sekalian. Ini malah masih di sini jadi tukang sapu. Bikin malu, tahu nggak!"
Aku tidak mempedulikan Kak Norma yang terus mengomeliku habis-habisan. Sudah biasa. Nanti juga kalau capek, dia diam sendiri. Sementara orang-orang sekitar mulai mendekat dan memperhatikan kami
"Salma, Kamu dengar nggak, sih?" Kak Norma memanggilku setengah berteriak
"Ada apa, ribut-ribut?" Tiba-tiba Pak Cahya menghampiri kami.
"Eh .....Pak Cahya .... Mohon maaf, Pak. Ini saya lagi ngomelin si Salma. Bikin malu keluarga aja. Semua orang di kampung ini tahu kalau keluarga kami terpandang. Malah jadi tukang sapu!"
Pak Cahya dan orang-orang yang menonton kami geleng-geleng kepala mendengar ucapan kakak iparku itu.
"Oh begitu? Kalau tidak mau malu, saudara sendiri jangan ditelantarkan, dong. Apalagi Raihan itu anak yatim. Keluarga kalian bisa berdosa besar menyia-nyiakan mereka berdua."
Jleb!
Ucapan Pak Cahya membuat kakak iparku itu gelagapan.
Aku melihat wajah Kak Norma yang merah padam memandangku. Aku pura-pura tidak lihat saja. Sementara Pak Cahya sudah berlalu dari hadapan kami.
.
.
.
Bersyukur aku dapat mengontrak tak jauh dari puskesmas.
Hari ini aku mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk beragang besok. Jadi sore ini aku berbelanja beberapa bahan makanan di warung Teh Ika. Seperti biasa aku berbelanja sambil menggendong Raihan. Warung Teh Ika kebetulan tidak jauh dari rumah kontrakan tempat tinggalku.
"Teh, belanjaannya tolong di totalin semua, lalu tolong diantar ke kontrakan Pak Haji Hasan!" pintaku pada pemilik warung ini.
Warung Teh Ika memang sangat lengkap. Semua bahan masakan, sembako serta perabot untuk memasak aku beli di sini. Untuk sayuran dan bahan lauk pauk bisa aku beli besok setelah sholat subuh.
Bersyukur Pak Cahya sudah memesan paket makan siang setiap hari untuk beberapa karyawan puskesmas.
"Jadi berapa semua, Teh?"
"Totalnya enam ratus tiga puluh ribu, Mbak Salma."
"Apaaa? Uang dari mana kamu belanja begitu banyal, haa ...?"
Spontan aku menoleh pada suara yang sangat aku kenal.
Bab 4.
"Apaaa? Uang dari mana kamu belanja begitu banyak, haa ...?"
Spontan aku menoleh pada suara yang sangat aku kenal. Kak Norma dan Kak Lina telah berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang.
"Kamu pasti mencuri uang Ibu, ya?" Lagi-lagi kedua iparku yang nggak ada akhlaq ini memfitnahku seenaknya.
Sontak para pengunjung warung Teh Ika menoleh padaku.
"Kalian nggak punya kerjaan selain memfitnah aku terus?" ujarku tenang sambil dengan sengaja membuka dompetku yang penuh dengan lembaran uang seratusan ribu. Meraihnya beberapa lembar dan memberikannya pada Teh Ika.
Sempat aku melirik pada kedua iparku yang masih ternganga melihat isi dompetku. Mereka saling colek dan berbisik. Aku tersenyum puas melihat ekspresi wajah mereka.
"Ini uangnya. Saya tunggu barang-barangnya ya Teh!" ujarku seraya menutup dompetku kembali.
Tanpa menoleh lagi pada kedua kakak iparku , Aku dan Raihan beranjak meninggalkan warung Teh Ika.
"Sombong sekali kamu, Salma! Baru punya uang segitu aja udah nggak mau nengok! Tunggu aja nanti kalau kita dapat warisan, kamu bakal mohon-mohon sama kami!"
"Kamu tidak akan mendapatkan sedikitpun harta warisan dari Ibu. Jadi kamu janngan pernah berharap!"
Terdengar teriakan Kak Norma di belakangku, di susul bisikan-bisikan mereka. Entah kenapa mereka senang sekali mempermalukan dirinya sendiri.
Aku terus melangkah tanpa menoleh dan peduli pada ucapan mereka.
.
.
.
Kamar kontrakan yang terdiri dua ruangan ini cukup untuk aku dan Raihan. Semua perlengkapan memasak sudah aku pasang dan susun dengan rapi. Sebaiknya malam ini aku tidir lebih cepat Untungnya kontrakan ini tidak jauh dari puskesmas dimana tempat aku berjualan besok.
Beruntung tukang sayur langgananku mau mengantarkan pesanan belanjaanku besok sebelum subuh. Karena biasanya selama aku tinggal di rumah ibu, si abang tukang sayur itu setiap pagi juga mengantarkan pesanan belanjaan Ibu mertuaku.
Pukul enam pagi aku mulai memasak. Raihan masih terlelap. Sesekali anak itu terjaga dan tidur lagi setelah kuberi ASI. Mulai ari meotong sayuran dan ikan, meracik bumbu, menggoreng,menanak nasi dan lainnya aku kerjakan sendiri dengan cepat. Dalam hal memasak, sejak remaja memang aku hobi memciptakan menu-menu baru. Semoga saja para pembeli suka dengan masakanku.b
Pukul sepuluh pagi semua sudah siap. Satu persatu makanan yang sudah masak aku masukkan ke dalam gerobak dan aku susun dengab rapi agar tidak tumpah saat membawanya nanti. Seperti biasa Raihan aku gendong dengan kain panjang yang diikat kencang. Anak ini sangat mengerti dengan kesulitanku. Raihan sama sekali tidak rewel. Kini saatnya aku membawa gerobak ke halaman depan puskespas tempat aku berjualan.
Bismillah ..., Sepertinya aku mulai terbiasa mendorong gerobak ini sendiri sambil menggendong Raihan.bertemj
jj kurang lebih satu meter dipinjamkan Pak Cahya jķñ.. Beliau dan istrinya memang sangat baik.
Semua masakan sudah aku susun. Pesanan catering makan siang karyawan puskesmas juga sudah aku antar. Raihan terkadang rewel, namun sebentar kemudian tenang kembali.
Banyak pasien yang membeli daganganku sambil menunggu nomor antriannya dipanggil.
"Mbak Salma, mau nasi ramesnya tiga bungkus ya."
"Aku mau juga Mbak tiga bungkus."
"Saya makan disini dua piring, Mbak Salma."
Semakin siang puskesmas ramai oleh pasien. Dagangankupun semakin ramai. Pembeli yang rata-rata adalah warga kampung sni, sudah mengenal baik denganku.
"Salma ..."
"Bang Adam?"
Aku terperanjat saat tiba-tiba Bang Adam berada diantara pembeli.
Tiba-tiba Raihan mendadak rewel setelah melihat pamannya. Sepertinya dia ingin minta gendong dengan Bang Adam.
"Hai Raihan! Yuk sini sama Ayah Adam!" Laki-laki itu meraih Raihan dari gendonganku. Bocah itu nampak kegirangan.
Aku masih terus melayani pembeli yang tak henti-hentinya datang. Sementara Raihan masih tenang digendong oleh Bang Adam.
Setelah pembeli mulai sepi, Aku menyendokkan sepiring nasi serta lauk pauk kesukaan Bang iparku itu. Walau laki-laki itu sangat pendiam, aku sangat tau makanan apa yag disukai olehnya.
"Makan dulu, Bang. Sini Raihan sama Bunda lagi." Aku meraih Raihan kembali.
"Masakan kamu memang tiada duanya, Salma. Sejak kamu pergi, masakan dirumah sering bersisa banyak dan terbuang. Kami mendadak tidak nafsu makan karena rasanya yang kurang pas."
Hei, tumben sekali Abang iparku ini berbicara banyak.
"Banga Adam bisa aja. Kalau mau makan ke sini aja, Bang!"
"Boleh?"
"Boleh dong! Asal jangan lupa bayar! Hahaha ...becanda, Bang."
Kami tertawa bersama. Raihanpun ikut tertawa. Padahal bocah itu pastilah belum mengerti.
Tiba-tiba ada sebuah mobil mercy berwarna hitam berhenti di seberang puskesmas. Tak lama kemudian keluarlah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan memakai jas berwarna abu silver, celana jeans dan sepatu sport.
Laki-laki itu langsung menjadi pusat perhatian warga sekitar. Bukan hanya karena mobil mewahnya, namun juga karena wajahnya sangat tampan seperti artis-artis di televisi.
Ternyata pria tampan itu tidak sendiri. Tapi ditemani oleh beberapa orang yang sepertinya karyawannya.
"Itu loh orang yang katanya mau beli tanah-tanah warga di sini.
"Iya, ternyata orang kaya . Pantas saja mau beli tanah dalam jumlah banyak.
Tedengar obrolan-obrolan dari para pasien yang sedang menunggu nomor antrian.
"Nasi ramesnya, Tuan. Cuma sepuluh ribu perbungkus."
Aku memberanikan diri menawarkan nasi bingkus pada pria itu.
Namun dia tak menyahut. Matanya memandang masakanku. Kemudian menatapku. Astaga! Kenapa jantungku terasa mau copot ditatap oleh pria itu?
"Saya mau semuanya! Bungkus, lalu tolong bagikan ke para pekerja proyek diujung jalan ini!"
"S-semua , Tuan?"
"Ya!"
Pria itu meletakkan lima lembar uang seratusan ribu. Kemudian berlalu menuju mobilnya .
Bagaimana ini. Aku belum sempat menghitungnya harganya.
"Tuan ... tuan ..., ini terlalu banyak!"
Namun laki-laki itu sama sekali tidak menghiraukanku.
.
Bab 5.Pesanan Tuan Tampan
Pria itu meletakkan lima lembar uang seratusan ribu. Kemudian berlalu menuju mobilnya . Bagaimana ini. Aku belum sempat menghitungnya harganya.
"Tuan ... tuan ..., ini terlalu banyak!"
Namun laki-laki itu sama sekali tidak menghiraukanku.
"Tuan ... Tuan ...!"
Namun pria tampan itu sudah masuk ke dalam mobilnya. Lebih baik kembaliannya nanti aku antar ke proyek saja.
Gegas aku buatkan pesanannya, selagi Raihan masih di gendong Bang Adam.
Setelah semuanya selesai, Aku segera membereskan perlengkapan daganganku dan memasukkannya ke dalam gerobak.
Setelah semua rapi, Aku meraih Raihan yang sudah tertidur di pangkuan Bang Adam.
"Loh, bukannya kamu mau antar pesanan Bos proyek tadi? "tanya kakak iparku itu.
"Iya, Bang. Raihan aku bawa aja."
"Biarlah Raihan sama aku dulu. Sana kamu antar pesanannya!"
"Jangan Bang! nanti ngerepotin. Proyeknya jauh. Nanti kelamaan aku ninggalin Raihan."
"Repot apa, udah sana jalan!"
"Ya udah deh kalau maksa. Aku jalan dulu ya, Bang."
Bang Adam mengangguk masih tanpa senyum. Kenapa laki-laki baik itu susah sekali untuk senyum. Namun Raihan selalu merasa nyaman setiap bersamanya.
Aku berjalan kaki membawa dua puluh bungkus nasi rames Tak lupa beserta kembalian tuan tampan tadi.
Letak proyek itu cukup jauh di ujung jalan ini. Proyek yang katanya sedang membangun sebuah perkantoran itu memiliki para pekerja bangunan puluhan orang, yang berasal dari luar kota.
Aku memasuki kawasan proyek yang ramai dan bising. Saat aku masuk, hampir semua mata tertuju padaku.
"Permisi ..., saya mau antar nasi bungkus pesanan Tuan … eh, Tuan yang pake mobil itu," ujarku seraya menunjuk mobil mewah yang terparkir di depan kantor kecil di bagian depan proyek.
"Eh, si Neng, cantik-cantik kok jualan nasi?"
"Hai Cantik, jadi pacar abang aja ya!"
"Wah cantik banget, Neng. Kayak artis sinetron."
“Kenalan, dong! Namanya siapa, Neng?”
Para pekerja itu bergantian menggodaku. Aku jadi risih karena menjadi pusat perhatian di sini. Bagaimana tidak, tempat seluas ini isinya laki-laki semua. Sekalinya ada perempuan masuk, mereka seperti melihat mata air di tengah-tengah gurun pasir.
"Pesanan nasi bungkus ya? Mana sini!" Seorang laki-laki berpakaian lebih rapi dari pada yang lain, memanggilku.
Aku menghampiri laki-laki itu yang mungkin adalah mandor proyek ini.
"Ini, Pak!" ujarku seraya menyerahkan dua kantong plastik besar nasi bungkus.
"Sudah dibayar belum?"
"Sudah, Pak mandor," ujarku pada laki-laki yang didadanya tertera nama Mandor Haris
"Baiklah ...!"
"Pak Mandor, sebentar!" sanggahku ketika laki-laki itu hendak berbalik badan.
"Saya mau bertemu dengan yang punya mobil itu," pintaku seraya menunjuk mobil mercy hitam yang terparkir di depan kantor proyek.
"Mbak ini mau ketemu Tuan Yuda?" tanyanya lagi dengan wajah tak percaya. Nama pria itu ternyata Yuda .
Aku mengangguk.
Pak Mandor itu terlihat ragu. Sesekali melirik ke kantor proyek yang terletak beberapa langkah dari tempatku berdiri, sesekali memandangku tak percaya.
Kemudian laki-laki itu masuk ke dalam kantor proyek, dan tak lama kemudian keluar kembali menemuiku.
"Maaf Mbak, Tuan Yuda tanya ada keperluan apa?"
Astaga! Sombong sekali. Tidak bisakah dia keluar sebentar?
"Aku hanya ingin mengembalikan uangnya!"
"Kalau itu, kata Tuan ambil saja kembaliannya!"
"Apaa? ini terlalu banyak, Pak!" sahutku seraya mengeluarkan uang itu dari dompetku, kemudian memberikannya pak mandor itu.
“Ini Saya kembalikan saja. Titip ya, Pak! Saya permisi!" ujarku seraya berbalik badan.
"Tunggu!" Aku tersentak ketika mendengar suara berat dari seseorang.
"Ada apa?" tanya pria yang bernama Yuda itu.
"Nggak jadi, Tuan. Saya permisi!" Dasar pria sombong. Aku gegas melangkah keluar proyek, kembali ke tempat aku berjualan.
"Mbak ..., Mbak ...!"
Terdengar suara mandor itu terus memanggilku. Dengan berat hati aku berhenti dan menoleh kembali ke belakang.
"Ada apa, Pak mandor?"
"Tuan Yuda mau bicara, Mbak!"
Aku melirik pada pria yang kini berdiri tepat di depan kantor itu seraya bertolak pinggang memandangku.
Hmm … dasar orang kaya sombong! Untung tampan.
Aku melangkah menghampiri pria tinggi tegap berkulit sawo matang itu. Mata tegasnya menatapku tajam.
"Tuan panggil Saya?"
"Mulai besok antar lima puluh bungkus makan siang ke proyek ini. Ingat! Setiap hari!" Ucapannya membuat mataku melebar tak percaya.
"Apa? lima puluh? B-baik, Tuan. Terima kasih!" sahutku gugup. Tak menyangka mendapat pesanan dengan jumlah yang begitu banyak.
"Haris, Berikan uangnya!"
Sontak Mandor itu lari ke dalam, lalu kembali menghampiriku memberikan sejumlah uang dalam amplop.
Ya Tuhan. Terimakasih atas rezekimu.
"Terima kasih Tuan!" Aku kembali menoleh pada laki-laki bernama Yuda itu. Tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Spontan kami saling membuang muka saat mata kami bertemu.
Aku kembali berjalan menuju pintu keluar proyek ini. Tak kuhiraukan para pekerja itu kembali menggoda dan memanggil-manggilku. Aku meringis, mengingat mulai besok setiap hari akan masuk ke proyek ini untuk mengantar nasi sebanyak lima puluh bungkus.
Raihan sudah terjaga ketika aku tiba di depan puskesmas. "Anak Bunda sudah bangun. Yuk sini sama Bunda!"
Bang Adam memberikan Raihan padaku.
"Raihan haus, Bunda ..." ujar Bang Adam membuatku menahan senyum. Sikap Abang Iparku ini banyak berubah sejak aku keluar dari rumah ibu.
"Terima kasih, ya, Bang." Aku duduk di depan Bang Adam sambil memangku Raihan.
Anak itu mulai agak rewel. Aku berusaha menenangkannya. Memang biasanya setiap bangun tidur Raihan minta minum ASI.
"Kembalilah ke rumah! Kasian Raihan." ujarnya seraya mengusap-usap kepala anakku.
Sontak mataku mengembun menatap Raihan. Sebenarnya aku juga tidak tega jika Raihan harus mengalami hal ini. Raihan masih sangat kecil. Seharusnya aku lebih perhatian pada perkembangan dan pertumbuhannya. Dengan aku berjualan seperti ini, perhatianku tentu akan sedikit berkurang.
"Aku sudah difitnah dan diusir, Bang. Tidak mungkin aku kembali lagi ke rumah itu," sahutku dengan suara bergetar menahan tangis.
Masih terasa sakitnya hati ini ketika mereka memfitnahku. Yang membuatku sangat sedih, ketika ibu mertua yang begitu aku hormati dan aku sayangi seperti ibu kandungku sendiri, mempercayai fitnah dari kakak-kakak iparku itu.
Bang Adam menghela napas kasar.
"Kamu tidak usah khawatir. Aku akan berusaha bicara dengan Ibu agar mereka bisa menerimamu kembali di rumah." Pria tinggi berkacamata itu berusaha meyakinkanku.
"Tidak perlu, Bang. Aku tidak akan kembali ke rumah itu. Biarlah aku akan berusaha mandiri hidup bersama Raihan."
Bang Adam menghela napas kasar. Sepertinya dia kecewa.
Beberapa saat kami terdiam. Bang Adam menatapku sedih. Seakan ada sesuatu yang hendak ia katakan. Tidak seperti biasanya kakak iparku itu seperti ini.
"Salma ..., sebenarnya aku ingin ..."
"Ingin apa, Bang?
Bab 6
Bang Adam menatapku sedih. Seakan ada sesuatu yang hendak ia katakan. Tidak
seperti biasanya kakak iparku itu sepert ini.
"Salma ..., sebenarnya aku ingin ..."
"Ingin apa, Bang?
Bang Adam nampak gugup. Keringat mengalir dari keningnya. Tangannya nampak gemetar. Persis seperti ketika Bang Irsan ingin menyatakan cintanya padaku.
Kakak iparku itu menatapku agak berbeda dari biasanya. Apa sebenarnya yang akan dia katakan? Aku menunggu dengan jantung berdebar. Berharap agar tidak ada sesuatu yang serius terjadi.
Tiba-tiba Raihan merengek. Sepertinya benar kata Bang Adam. Anakku ini haus. Raihan mulai rewel dan berontak. Sesekali tubuhnya hendak merosot turun dari gendonganku. Aku mulai kewalahan.
"Bang, maaf, Aku harus segera pulang. Raihan minta ASI," ujarku seraya mengikat kain panjang penggendong Raihan dengan kencang agar tak lepas.
Kemudian aku meraih gerobak yang sudah berisi perlengkapan daganganku itu dan mulai mendorongnya.
Kulihat Bang Adam terdiam menatapku tanpa kata. Sementara Raihan sudah sangat rewel hingga aku kesulitan mendorong gerobak sambil menggendongnya. Raihan terus berontak hingga kain gendongannya nyaris terlepas. Aku kembali membetulkan ikatan gendongannya, namun tenaga Raihan cukup kuat hingga aku harus menahannya dengan kedua tanganku agar tak terlepas atau terjatuh.
"Sini Aku aja yang bawa. Dimana kamu tinggal?" Tiba-Tiba Bang Adam mengambil alih gerobakku. Pria hitam manis itu terlihat cemas pada Raihan. Sesekali satu tangannya mengusap punggung Raihan agar anakku itu bisa tenang.
"Aku dan Raihan tinggal di kontrakan Pak Hasan, Bang!"
Bang Adam mengangguk dan langsung menarik gerobak yang sudah berada ditangannya sejak tadi.
"Sudah jalan duluan sana! Raihan pasti sudah tidak sabar!"
"Baik, Bang. Terimakasih." Gegas aku melangkah cepat menuju kontrakan. Kutepuk-tepuk lengan Raihan agar anakku itu tenang.
Dari kejauhan aku sempat menoleh ke belakang.
Sungguh aku tak percaya Bang Adam mau mendorong gerobakku. Bukankah mereka dari keluarga terpandang? Salah satu keluarga yang mempunyai banyak tanah di kampung ini. Tanpa gengsi dan malu, pria berkemeja rapi itu mendorong gerobakku hingga sampai ke tempat tinggalku. Pria itu tak peduli tatapan heran dari beberapa tetanggaku.
"Terima kasih, Bang."
Bang Adam meletakkan gerobak tepat di depan teras rumah kontrakanku.
"Sudahlah Salma, sana cepat beri Asi anakmu! Aku pulang dulu." Setelah pamit pulang, kakak iparku itu melangkah keluar dan menghilang di ujung jalan kecil kontrakan ini.
Aku pun segera masuk ke dalam rumah dan merebahkan Raihan di kasur busaku. Kemudian Raihan kuberi ASI hingga anak itu tertidur pulas.
.
.
.
Sore ini aku kembali berbelanja bahan makanan berupa sembako dan lainnya di warung Teh Ika. Seperti biasa, sambil membawa Raihan digendongan, aku memesan apa saja yang aku butuhkan.
"Teh Ika, ini catatan pesanan aku. Tolong nanti diantar ke rumah , ya!"
"Iya Mbak Salma. Wah, makin banyak belanjanya. Makin laris ya ..." sahut Teh Ika seraya membaca catatan belanjaanku.
"Alhamdulilah, teh."
"Halah Teh Ika, cuma jualan nasi aja bisa beli apa, sih? Paling-paling juga beli daster kreditan doang." Ternyata Kak Lina sudah berdiri sejak tadi di belakangku.
"Maaf, Kak. Yang suka dengan barang-barang kredit bukannya situ ya?" sahutku, tetap tenang dan tersenyum ramah. Tanpa terpancing oleh ucapannya yang selalu ingin merendahkanku.
Sontak wajah Kakak iparku itu memerah. Akhirnya dia ingat kalau setiap hari ada yang datang ke rumah menagih hutang barang kreditan padanya.
Aku mengulum senyum saat melihat perubahan raut wajah kakak iparku itu.
Beberapa tetangga yang berada di sana ikut tersenyum mendengar sahutanku. Hampir satu kampung ini tau kakak iparku yang satu itu punya tagihan di mana-mana. Sayang saja sepertinya suaminya dan ibu mertua tidak tahu.
Ibu memang jarang keluar rumah, sedangkan suaminya bekerja lebih sering keluar kota. Pekerjaan suami Kak Lina sama dengan Almarhum Bang Irsan, yaitu supir truk barang antar kota.
-----
Sore ini aku berencana hendak mengambil sisa barang-barangku di rumah Ibu. Ada beberapa kado mainan juga yang belum aku buka. Mungkin bisa untuk Raihan main agar anak itu tidak rewel. Beberapa surat penting milik Raihan juga belum aku bawa.
Saat aku tiba, ada dua mobil mewah terparkir di depan rumah Ibu mertua. Mungkinkah sedang ada tamu? Lebih baik aku lewat pintu belakang saja. Kebetulan kamar yang aku tempati kemarin juga ada di belakang.
"Hei Salma! Mau apa lagi kamu datang ke sini?" Kak Norma berteriak ketika aku memasuki pekarangan belakang rumah Ibu.
"Saya mau ambil barang-barangku, Kak," jawabku sambil melangkah mendekati pintu belakang rumah Ibu.
"Barang-barang apa? Isi kamarmu itu hanya ada sampah saja. Nggak ada lagi barang-barangmu di sini." Kak Norma menatapku sinis seraya melipat tangannya di depan dada.
"Memang bukan barang-barang bagus, Kak. Tapi masih sangat berguna untukku."
"Pokoknya kamu tidak boleh menginjakkan kaki lagi ke rumah ini!" Kak Norma menghalangiku untuk masuk.
"Astaghfirullah, Kak! Aku nggak akan balik ke sini lagi. Aku cuma mau ambil surat-surat penting di dalamnya. Aku mohon hanya sebentar, Kak!"
"Diam kamu di situ!" ancam kak Norma dengan telunjuk tangannya mengarah pada kakiku agar berhenti melangkah. Kemudian wanita berbadan gemuk itu masuk ke dalam.
Aku masih menunggu di halaman samping. Tampak beberapa orang laki-laki berpakaian rapi sedang mengukur sepanjang tanah milik Ibu. Mungkin tanah ibu ini sudah ada pembelinya.
Tentunya para iparku itu sangat senang karena mereka akan mendapatkan warisan.
"Hei, Salma! Ini barang-barang kamu! Sana cepat pergi pergi! Hush ..hush ..!"
"Awww ....!" Aku terhuyung dan nyaris jatuh saat Kak Norma melemparkan kardus yang cukup besar ke badanku. Beruntung aku sempat melindungi tubuh Raihan yang berada dalam gendonganku.
"Hei, hati-hati !" Terdengar teriakan seorang laki-laki tepat dibelakangku.
Sontak aku terkejut saat tubuhku tak jadi jatuh karena tertahan oleh seseorang di belakangku. Sepasang tangan kekar meraihku dari belakang. Bersyukur aku dan Raihan tidak jadi jatuh.
"Norma! Apa-apaan kamu? Bikin malu saja!" bentak Ibu yang tiba-tiba muncul dan membentak Kak Norma. Namun kakak Iparku itu malah menuduhku yang tidak -tidak.
"Ini Si Salma main masuk-masuk aja lewat belakang. Pasti dia mau mencuri lagi, Bu!"
Dengan berkacak pinggang Kak Norma kembali melotot padaku yang masih berusaha berdiri tegak seraya menengkan Raihan yang sempat terkejut dan menangis.
"Astaghfirullah!" seruku yang tak habis pikir dengan kelakuan iparku yang satu ini. Apa salahku hingga dia terus memfitnahku seperti ini.
"Anakmu tidak apa-apa?" Spontan aku menoleh mendengar suara yang sepertinya aku kenal.
Astaga! Laki-laki yang menolongku barusan ternyata ...
Bab 7
"Anakmu tidak apa-apa?" Spontan aku menoleh mendengar suara bariton yang sepertinya aku kenal. Mataku melebar saat melihat pria itu. Tiba,-tiba saja dadaku berdebar.
Astaga! Laki-laki yang menolongku barusan ternyata ... Tuan Yuda.
Kami sama-sama tersentak dan saling menatap beberapa saat. Kemudian tersadar dan saling membuang pandangan. Dadaku terus berdegup kencang.
"T-tidak apa-apa, Tuan. Terima kasih," sahutku tertunduk.
Kenapa Tuan Yuda ada di sini? Ya Tuhan, Ada apa denganku? Ada debaran yang tak biasa yang aku rasakan saat ini. Tidak ...! Aku tidak boleh punya perasaan seperti ini. Sadarlah Salma! Kamu harus sadar diri!
"Mari saya antar ke depan lagi, Tuan." Entah sejak kapan, Bang Safwan ternyata sudah berdiri di dekat Tuan Yuda. Wajah kakak iparku itu nampak tak suka padaku.
Namun Tuan Yuda tidak menghiraukannya. Laki-laki itu masih menatapku. Namun aku tak berani membalas tatapannya yang semakin lekat. Detak jantungku terasa tak baik-baik saja di dalam sana.
Teringat dengan kardus yang dilempar Kak Norma tadi, segera berusaha kuraih dengan susah payah menggunakan sebelah tanganku. Kak Norma dan Ibu mertua hanya memandang sinis padaku. Padahal aku berharap mereka sedikit membantuku yang kesulitan meraih kardus itu. Karena aku harus menunduk atau berjongkok. Sedangkan saat ini aku sedang menggendong Raihan.
Sementara Raihan masih nampak gelisah dan mulai rewel karena terkejut dengan lemparan kardus tadi.
"Tunggu !" Yuda menghentikan gerakanku. Wajah pria itu nampak kesal melirik Kak Norma dan Ibu jjmertua.
"Ada apa, Tuan," tanyaku heran.
"Pak Diman, tolong antar wanita ini pulang!" Ternyata Yuda meminta supirnya untuk mengantarku pulang.
Apa aku tidak salah dengar?
"Baik Tuan", sahut seorang pria paruh baya yang dipanggil Pak Diman. Supir Yuda itu gegas melangkah menghampiriku.
Sementara Kak Norma terus memandang kesal padaku. Ibu pun terlihat heran karena sikap Yuda yang seolah-olah telah mengenalku. Wajah ibu mertuaku seperti ingin meminta penjelasan dariku. Namun aku masih berusaha menenangkan Raihan.
"Tidak usah repot-repot, Tuan. Biar saya saja yang antar Salma dan anaknya!"
Tiba-tiba saja Bang Adam keluar dari dalam. Laki-laki pendiam itu meraih kardusku yang tergeletak di bawah. Kak Norma dan Ibu mertuaku semakin melotot melihat sikap Bang Adam padaku.
"Ayo, Salma aku antar!" ajaknya seraya melangkah ke luar dengan wajah datar.
Sementara aku melihat ada aura kemarahan dari wajah Tuan tampan itu. Aku bergidiik ketika mendapatkan tatapan yang begitu tajam darinya.
Tuan Yuda, Ada apa denganmu? Apakah kamu juga merasakan apa yang sedang aku rasakan?
Aku melangkah tertunduk mengikuti Bang Adam yang sudah duduk di motornya.
"Naik motor, Bang?"
"Iya! biar cepat."
Gegas aku naik ke motornya. Kuberanikan untuk menoleh ke belakang sekali lagi.
Ya Tuhan, ternyata Tuan Yuda masih menatapku. Tiba-tiba saja jantungku kembali berdegup kencang. Tanpa sadar kami terus saling menatap, hingga menghilang dari pandangan.
Bang Adam mengantarku sampai rumah. Bersyukur Raihan sudah kembali tenang dalam gendonganku. Saat turun, Kakak iparku itu membantu membawakan kardusku.
"Boleh aku masuk?"
"M-maaf, Bang. Jika ada yang ingin dibicarakan. Di sini saja," sahutku ketika kami sudah berada di teras.
Bang Adam menghela napas kasar.
Kami pun duduk di kursi teras. Sepertinya ada hal penting yang hendak dia katakan.
"Setelah tanah warisan Ayah terjual, Aku akan usahakan agar Raihan mendapatkan haknya sebagai pewaris dari Irsan. Setelah itu ... izinkan aku membawamu pergi. Aku akan menjagamu dan Raihan."
Aku tercengang mendengar penuturan kakak iparku ini. Sungguh aku tak mengira Bang Adam membicarakan hal ini padaku.
"Maksud Abang, Apa itu artinya kita ..."
"Ya, aku akan menikahimu." Bang Adam menatapku begitu dalam.
Benarkah saat ini Bang Adam telah melamarku?
Aku menarik napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. Entah kenapa aku biasa saja mendengar ucapan Bang Adam barusan. Mungkin tidak ada perasaan istimewa yang aku rasakan saat bersamanya. Namun Raihan, anak itu sangat dekat dengan Bang Adam. Raihan seperti menemukan sosok seorang Ayah pada diri Bang Adam. Terkadang aku pun sempat berpikir menerima semua kebaikan Bang Adam demi Raihan. Namun, bagaimana nanti dengan Ibu Mertuaku? Apa mereka sudi menerimaku kembali?
Lalu bagaimana dengan diriku yang terlanjur telah terluka oleh fitnah yang mereka ciptakan?
"Keluarga Abang tidak suka padaku," lirihku datar.
"Aku akan membawamu pergi dari mereka.'
Ternyata Bang Adam tidak main-main. Dia bicara sangat yakin dan antusias.
"Aku akan pikirkan lagi, Bang. Saat ini aku ingin berjuang sendiri dulu."
Bang adam terdiam. Raut kecewa terlihat jelas dari wajahnya yang hitam manis.
"Baiklah. Jaga dirimu dan Raihan baik-baik," ujarnya seraya mengacak-acak rambut Raihan.
Anak itu tampak senang dan selalu tersenyum setiap Bang Adam mendekatinya.
.
.
.
Pagi ini aku kembali berjualan di depan puskesmas. Semua masakan telah siap dan tersusun rapi di atas meja.
"Silakan nasi ramesnya, Pak, Bu. Sepuluh ribu aja!"
Hari ini aku buka lebih cepat. Pesanan nasi bungkus sudah aku antar. Pasien puskesmas sudah banyak yang antri. Pembeli mulai berdatangan. Beruntung Raihan tertidur di dalam gerobak dengan nyaman.
"Permisi, Neng ... " Tiba-tiba seorang Bapak tua menghampiriku.
"Iy-iya, Pak."
Kenapa aku seperti mengenal bapak tua ini. Tapi entah di mana. Walau sudah tua, bapak ini terlihat sangat rapi dan bersih. Dari pakaiannya jelas beliau adalah orang berada.
"Apa ... Neng pernah tolong bapak-bapak tua di dalam gerobak?"
"Astaghfirullahaladzim ... Ini Bapak yang pernah saya tolong?" tanyaku antusias.
"Alhamdulilah. Akhirnya saya menemukan orang yang saya cari-cari sejak kemarin."
"Silakan duduk, Pak. Saya buatkan nasi ya, pak." ujarku seraya memberikan satu bangku plastik untuknya.
"Ya boleh, Nak."
Dengan semangat aku menyendokkan sepiring nasi beserta lauk pauk untuk bapak ini. Tak lupa segelas teh hangat juga aku hidangkan.
"Silakan dicicipi, Pak"
"Wah, kelihatannya enak, nih!"
Aku tertawa. Rasanya sangat senang melihat bapak ini sudah sehat kembali.
"Siapa namamu, Nak?"
"Salma, Pak."
"Ternyata kamu tidak hanya cantik, tapi hatimu juga sangat tulus, Nak. Kalau saja kamu tidak menolong Bapak waktu itu, entah bagaimana nasib Bapak sekarang."
"Sudah, Pak. Jangan dipikirkan. Yang terpenting Bapak sekarang sudah sehat lagi. Kalau boleh tau, apa yang terjadi pada Bapak waktu itu?"
"Bapak dirampok, Nak. Waktu itu Bapak mau menemui anak bapak. Tapi setelah turun dari taksi, beberapa orang menghadang dan merampas semuanya. Mereka memasukkan Bapak ke dalam sebuah gerobak. Bapak juga sempat mereka pukuli."
"Astaga ...! Tega sekali mereka itu," geramku.
"Salma, Kamu wanita baik. Saya akan kenalkan kamu dengan anak saya."
Bab 8.
Siang ini kembali aku mengantar lima puluh bungkus nasi rames ke proyek.
Seperti biasa aku membawanya dengan menggunakan gerobak bersama Raihan yang juga berada di dalamnya. Bocah lucu itu sangat mengerti kesulitan yang aku hadapi. Anak itu justru senang berada dalam gerobak beserta beberapa mainannya. Sementara beberapa kantong plastik berisi puluhan nasi bungkus aku gantung pada tepi gerobak, agar tidak disentuh oleh Raihan.
Aku telah sampai di gerbang masuk proyek. Perlahan kudorong gerobak melewati beberapa pekerja yang istirahat. Kembali terlihat mobil mercy hitam milik Yuda terparkir sempurna di depan kantor proyek. Semoga saja aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. Entah mengapa, sejak kejadian di rumah ibu mertua beberapa hari yang lalu, tanpa kusadari, wajah tampan laki-laki itu selalu terbayang di benakku.
Pandangan mataku menelusuri sekitar para pekerja untuk mencari Mandor Haris, namun tidak terlihat sama sekali.
"Permisi ..., Mandor Haris kemana, Pak?" Aku mencoba bertanya pada salah satu pekerja.
"Nggak lihat, Neng. Coba masuk aja di dalam."
Apaa? Masuk ke dalam? Lalu ketemu Tuan Yuda?
Tidak!
Aku nggak mau ketemu pria itu lagi. Cara dia menatapku membuatku tak bisa tidur. Apa dia memang selalu seperti itu jika menatap wanita?
"Hei kenapa ada perempuan di sini? Siapa kamu?" Seorang wanita cantik dengan riasan wajah tebal memakai dress pendek tanpa lengan, keluar dari kantor proyek. Wajahnya yang angkuh memandangku dengan tatapan tak suka.
"Saya Salma, Bu. Mau bertemu Mandor Haris. Ini Nasi bungkus pesanannya,"Jawabku seraya menunjuk beberapa kantung nasi pada gerobakku.
"Ibu, ibu! Kamu pikir aku Ibumu? Panggil saya Nona!" sahutnya ketus.
Astaga! Wanita ini ...! Aku hanya bisa mengurut dada melihat sikapnya.
"Iy-iyaa, maaf, Nona. Mandor Harisnya apa ada di dalam, Nona?"
"Mana saya tahu kemana Mandor Haris. Kamu pikir saya siapa, ha?"
Ya Tuhan, wanita ini kenapa ketus sekali? Jelas aku tidak tahu siapa dia. Aneh.
"Biasa aja kali, Non. Saya kan cuma nanya," ujarku malas seraya memutar bola mataku.
"Hei perempuan miskin! Baru jadi tukang nasi bungkus saja sudah kurang ajar kamu!" teriaknya.
Wanita tinggi berkulit putih itu menghampiriku seraya berkacak pinggang. Teriakannya membuat para pekerja menoleh pada kami.
Aku membuang napas kasar. Malas rasanya menghadapi orang-orang seperti ini. Sebaiknya aku titipkan saja pada salah seorang pekerja di sini.
"Untuk apa kamu turunkan nasi-nasi itu?" tanya wanita itu seraya menaikkan alisnya dan mata melotot padaku.
"Saya mau titipkan saja pada Bapak ini, Nona," sahutku tanpa menoleh dan terus memberikan bungkusan-bungkusan itu pada mereka.
"Tidak usah! Bawa pulang saja lagi nasi-nasi itu. Dan mulai besok kamu nggak usah lagi antar nasi bungkus itu ke sini. Proyek ini tidak mau berlangganan dengan pedagang kurang ajar seperti kamu. Dasar orang miskin tidak sopan!"
"Nasi-nasi ini sudah dibayar, Nona. Mana mungkin saya bawa lagi," sahutku kesal. Karena sikap dan teriakan wanita itu, Raihan jadi ketakutan dan menangis.
Gegas aku meraih Raihan dari dalam gerobak dan menggendongnya.
"Sudah sana cepat pergi! Berisik, tau nggak!" bentaknya lagi membuat tangis Raihan semakin kencang.
Aku kesulitan mendiamkan tangis Raihan yang semakin keras. Anak ini terus mengamuk dan berkali-kali gendongannya terlepas.
Para pekerja melihatku dengan wajah serba salah dan bingung. Mungkin mereka hendak membantuku, namun takut pada wanita sombong itu.
Bagaimana caranya aku bisa kembali membawa gerobak ini, sedangkan Raihan tidak bisa tenang. Untunglah aku membawa botol susu berisi ASI yang kadang aku siapkan untuk saat berjualan. Aku memang tidak bisa menyimpan stok ASI lebih banyak karena tidak punya pendingin.
Raihan pasti turut merasakan tidak terima dihina seperti ini. Perlahan-lahan akhirnya anakku itu berangsur tenang.
"Eh, Mbak Salma, maaf tadi saya diminta bos ke bank." tiba-tiba Mandor Haris masuk dari pintu gerbang. Dengan berlari kecil pria itu segera menghampiriku.
"Nasi bungkusnya sudah aku titip Bapak itu." ujarku sambil menunjuk pada salah satu pekerja.
Mandor Haris mengangguk ramah.
"Baik mbak Salma. Terima kasih. Jangan lupa besok antar lima puluh bungkus lagi. Ini uangnya," sahut Mandor Haris sopan, sambil menyodorkan sebuah amplop padaku.
"Apa-apaan ini? Saya sudah cancel. Mulai besok jangan beli nasi bungkus sama perempuan kurang ajar ini lagi!" ketus perempuan berambut pendek tadi seraya menepis tanganku yang hendak meraih amplop itu.
Mandor Haris tampak bingung. berkali-kali pria itu memandangku dan wanita seksi itu secara bergantian.
"Ya sudahlah. Aku permisi." Aku pamit seraya menggendong Raihan dan mulai mendorong gerobak. Tanpa mengambil amplop yang masih berada di tangan mandor Haris.
Untunglah Raihan sudah tenang dengan botol susunya.
Aku tak habis pikir dengan sikap wanita itu.
Dari penampilannya yang glamour, jelas dia adalah orang kaya harta yang seharusnya bisa membantu kaum lemah dan miskin sepertiku. Ternyata semakin banyak harta bisa menjadikan manusia semakin tidak berakhlak.
Aku mendorong gerobakku hingga sampai ke pintu gerbang. Tiba-tiba terdengar suara yang tak begitu asing di tekingaku.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Astaga! Akhirnya laki-laki itu keluar juga dari kantornya. Seketika saja jantungku berdegup dengan cepat.
Segera kupercepat mendorong gerobak dan keluar dari proyek ini.
Bab 9.
POV Yuda
Ayah terlihat masih kurang sehat sejak peristiwa perampokan beberapa waktu lalu. Namun pria yang sudah berumur enam puluh tahun itu masih saja bersikeras ingin pergi mencari wanita yang menolongnya.
"Sudahlah, Ayah. Wanita itu sudah aku beri uang banyak. Itu sudah lebih dari cukup."
"Enak saja kamu bicara! Bahkan kebaikannya tak bisa dinilai dengan apapun. Wanita itu telah menyelamatkan nyawaku!" tegas Ayah yang sedang bersandar pada sofa di ruang keluarga.
Rumah sebesar ini hanya aku dan Ayah serta beberapa pelayan yang tinggal di sini.
"Ayah terlalu berlebihan. Bukankah nyawa seseorang hanya Allah yang mengetahui."
"Yuda, andai waktu itu wanita itu tidak mau menolong Ayah. Entah apa yang akan terjadi pada Ayahmu ini. Coba kamu bayangkan! Wanita itu mendorong gerobak sambil menggendong anaknya. Bahkan dia sampai berlari agar Ayah bisa segera tertolong." Lagi-lagi Ayah mengulang-ulang kembali kekagumannya pada wanita itu.
Aku jadi penasaran. Seperti apa wanita itu?
"Pokoknya kita harus cari wanita itu sampai ketemu!" tegas Ayah.
"Kalau sudah ketemu Ayah mau apa?" tanyaku penasaran.
"Aku akan angkat dia jadi anakku. Atau jika dia belum bersuami, Aku akan jadikan dia menantuku. Kamu akan beruntung mendapatkan istri berhati tulus seperti dia."
"Itu tidak mungkin, Ayah. Bukankah Ayah bilang dia sudah punya anak? Itu artinya dia sudah bersuami!. Jangan ngadi-ngadi deh Yaah!" sahutku asal, seraya berbaring pada salah satu sofa tak jauh dari tempat Ayah duduk.
Sementara itu, pria tua yang hobi nonton itu masih asik mengganti-ganti saluran televisi layar datar yang berada di hadapan kami.
"Dari pada perempuan yang sering bersamamu yang bernama Tania itu. Pakaiannya saja selalu kurang bahan. Sudah pasti akhlaqnya juga kurang."
Entahlah, sejak dulu Ayah memang tidak menyukai Tania. Wanita itu memang kerap memakai pakaian terbuka. Tania berasal dari keluarga yang terbiasa tinggal di amerika dengan budaya barat. Sampai saat ini memang dia wanita yang cukup dekat denganku.
"Besok Ayah akan kembali lagi ke puskesmas itu," lanjutnya lagi.
"Ayah masih belum sehat betul. Sebaiknya nanti saja!' saranku.
"Tidak. Pokoknya besok Ayah harus kembali ke sana."
"Tapi besok aku nggak bisa antar, Yah. Ada meeting di kantor pusat."
"Ayah biar diantar supir saja."
"Terserah Ayah sajalah," sahutku, seraya beranjak menuju kamarku yang berada di lantai atas.
Aku membaringkan tubuhku pada ranjang berukuran kingsize. Menatap langit-langit yang berwarna putih.
Kembali aku teringat pada wanita penjual nasi itu. Entah kenapa wanita sederhana itu mampu memenuhi isi kepalaku dalam beberapa hari ini. Wanita itu terlihat istimewa di mataku. Kecantikannya sungguh berbeda. Tidak seperti para wanita aku kenal selama ini.
Sayangnya, menurut Haris, wanita itu telah bersuami dan memiliki seorang anak. Padahal dia masih sangat muda dan kelihatan seperti masih gadis.
Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi terbayang wajah juteknya. Dasar udah cantik. Jutek aja manis, apalagi kalau dia senyum. Pasti makin cantik.
Hmm ... aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkan wanita itu.
.
.
.
Siang ini di proyek. Baru saja aku menutup panggilan ponsel dari salah satu relasi bisnisku di Amerika. Bisnis yang sangat penting hingga aku harus meluangkan waktu beberapa lama untuk membicarakan perkembangan kerjasama kami.
Tiba-tiba saja Aku mendengar keributan di luar kantor. Masalah apa lagi yang diciptakan oleh Tania? Suaranya terdengar hingga ke ruanganku. Apakah dia memarahi para pekerjaku lagi? Padahal sudah berkali-kali kutegur untuk tidak ikut campur dalam proyekku.
"Ada apa ribut-ribut?" tanyaku sambil membuka pintu.
Aku tertegun ketika mataku bertemu pada wajah oval wanita cantik berhijab itu.
Wanita si penjual nasi itu dengan cekatan mendorong gerobak sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sungguh luar biasa. Wanita yang kuat dan tak kenal lelah. Kekagumanku semakin bertambah padanya. Lagi-lagi debaran itu kurasakan saat menatap wajahnya yang cantik. Sepertinya wanita itu mulai menguasai hati dan pikiranku.
Astaga! Kenapa aku jadi teringat dengan cerita Ayah tentang wanita yang menolongnya?"
Apa jangan-jangan ... Ya Tuhan, Apa benar dia adalah wanita yang Ayah maksud?
"Sayang, ngapain ngeliatin perempuan kampung itu?" Aku tersentak saat Tania meraih pinggangku.
"Haris, ada apa dengan penjual nasi itu?" tanyaku penasaran
"Eh .. anu Tuan ...itu ...!" Haris gelagapan dan gugup.
"Bicara yang jelas! Lalu kenapa amplop itu masih berada ditanganmu? Kenapa tidak kamu berikan pada wanita itu?" tanyaku kesal.
"Aku yang mencegah Mandormu agar tidak memberikan uang itu!" sanggah Tania.
Sudah kuduga. Ternyata Tania memang membuat masalah lagi.
Aku membuang napas kasar karena kesal.
"Apa maumu, Tania?" Aku memandang Tiara dengan amarah tertahan. Sungguh aku tak tega dengan wanita tadi. Pasti Tiara sudah berbuat tidak baik padanya.
"Perempuan kampungan itu sikapnya tidak sopan padaku. Aku nggak suka!" Tania merajuk.
Karena kesal, aku tak hiraukan ocehan Tania selanjutnya.
"Haris, kejar wanita itu, berikan uangnya! Antar gerobaknya sampai ke tempat dia berjualan! Mulai besok, suruh saja salah satu pekerja untuk mengambil pesanan ke sana!"
Haris mengangguk dan langsung berlari menyusul perempuan penjual nasi itu.
"Yuda! Kamu lebih membela perempuan nggak jelas itu dari pada aku?" jerit Tania.
"Ini kantorku! Bukan urusanmu, Tania!" balasku seraya beranjak masuk kembali ke kantor.
Bab 10
"Yuda ... Ayah sudah menemukannya!"
Ayah menghampiriku dengan wajah sumringah, ketika aku baru saja pulang dari kantor.
Aku mencium tangan Ayah dengan takzim.
Ayah adalah satu-satunya yang paling berharga aku miliki di dunia ini. Di usianya yang sudah senja, Aku belum bisa membahagiakannya.
Ayah sangat ingin aku segera menikah. Namun Ayah tidak pernah setuju setiap aku memperkenalkan teman dekat wanitaku padanya.
Aku menghempaskan tubuhku pada kursi empuk di samping Ayah.
"Tadi Ayah bilang menemukan siapa?" tanyaku seraya membuka kancing lengan kemeja dan menggulungnya hingga ke siku.
"Ayah sudah bertemu dengan wanita yang menolong Ayah waktu itu."
"Lalu?" tanyaku lagi, sambil melangkah ke lemari pendingin dan meraih sebuah minuman kaleng, lalu meneguknya.
"Pokoknya kamu harus segera menikahi wanita itu."
"uhuk ... uhuk ... uhuk ...!" Spontan aku terbatuk-batuk karena tersedak.
"Hei, hati-hati minumnya!" Ayah menepuk-nepuk ringan punggungku.
"Ayah, memangnya sudah kenal betul dengan wanita itu?"
"Yuda, Di dunia ini jarang orang memiliki hati tulus seperti dia. Ayah yakin dia adalah perempuan yang baik. Sstt ... dia juga cantik, loh!" bisik Ayah, lalu laki-laki itu senyum-senyum mencoba menggodaku.
"Ayah yakin kalau dia tidak punya suami? Bukankah Ayah bilang dia sudah punya anak?"
"Tenang, Ayah sudah selidiki. Dia seorang janda. Suaminya sudah meninggal hampir setahun yang lalu."
"Apaa? Janda? Ayah nggak becanda kaan?" Aku tak percaya, tega-teganya Ayah menjodohkan aku yang masih perjaka ini dengan seorang janda.
"Memangnya kenapa kalau janda?" Ayah menatap tajam padaku.
"B-bukan gitu, Yah." Mendadak aku gugup. Sepertinya untuk hal ini Ayah pantang untuk di bantah.
"Bukankah sebaiknya aku dan wanita itu saling mengenal dulu satu sama lain?" bujukku
Ayah menghela napas kasar.
"Ayah ..., wanita itu belum tentu juga mau menikah denganku. Bisa jadi dia sudah punya calon suami," jelasku hati-hati pada Ayah.
Tiba-tiba wajah Ayah tampak murung. Sungguh aku menyesal mengatakan hal ini barusan.
Lebih baik aku ikuti saja dulu keinginannya.
"Baiklah, kira-kira kapan kita akan menemui wanita itu?"
Sontak wajah Laki-laki yang sangat aku sayangi itu berbinar.
"Besok ya!"
"Apa? Besok, Yah?"
Ayah mengangguk cepat. Sebenarnya besok aku ada meeting penting. Namun tak tega rasanya jika kembali membuatnya sedih. Biarlah meeting itu aku tunda dulu.
"Baiklah. Besok pagi Ayah ikut aku ke kantor pusat dulu. Setelah briefing pagi, kita ke rumah wanita itu."
Ayah tertawa senang.
"Terimakasih, Nak!" ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Sepenting itukah wanita itu untuk Ayah? Aku jadi tambah penasaran dengannya.
.
.
.
"Yuda ... Yud ..., bangun sudah subuh!"
Aku terjaga mendengar suara Ayah mengetuk-ketuk pintu kamarku. Tidak biasanya Ayah mau membangunkan aku. Biasanya laki-laki itu tak peduli aku sudah bangun atau belum. Sejak Ibu tiada, Ayah mengajarku untuk mandiri dan bertanggung jawab. Hingga aku bisa sukses seperti sekarang ini.
"Ada apa, Yah? Tumben pagi-pagi bangunin aku.," tanyaku setelah membuka pintu.
"Loh, katanya kita mau menemui wanita yang menolong Ayah waktu itu."
"Ayaah, ini masih subuh kali," sahutku asal seraya merebahkan kembali bobotku pada ranjang.
"Eeh ..., salat subuh dulu, sana! Kok, malah tidur lagi!" Ayah menarik lenganku hingga aku kembali terduduk.
"Yudaa, kamu akan berterima kasih sama Ayah, jika telah melihat gadis itu. Parasnya cantik, walau sederhana. Sikapnya juga sangat santun. Walau dia bukan dari keluarga berada, tapi dia mampu menghargai dirinya sendiri."
Lagi-lagi Ayah memuji wanita itu.
"Sana siap-siap. Setelah salat, Ayah tunggu di meja makan."
Ayah beranjak keluar dari kamarku. Lalu aku menuruti perintah Ayah untuk segera bersiap-siap.
.
.
.
"Jangan lama-lama briefingnya!"
"iyaaa, Ayah tunggu di ruangan aku aja ya!" ujarku ketika kami baru saja sampai di kantorku.
"Ayah di sini saja!" sahut Ayah yang sudah duduk di kursi ruang tunggu, depan resepsionis. Ayah memang baru kali ini aku ajak ke kantor.
"Nila, titip Ayah saya! Setelah briefing, Saya akan ajak beliau ke sesuatu tempat. Jadi tolong cancel semua pertemuan hari ini dan saya tidak menerima tamu siapapun hari ini!"
"Baik, Pak." Nila bagian reseptionis kantor itu mengangguk.
Kemudian aku naik ke lantai tiga menuju ruang briefing.
Tidak sampai satu jam briefing selesai. Jangan sampai aku membuat Ayah terlalu lama menunggu di lobby.
Tiba-tiba telphon di mejaku berdering.
"Ada apa, Nila? Apa? Sudah saya bilang kalau saya tidak menerima tamu hari ini."
Aku menutup telphon dengan kesal.
Tiba-tiba tanpa diketuk, pintu ruanganku terbuka.
"Hai, Yuda Sayang!"
Mataku membelalak melihat seorang wanita cantik berpakaian elegan masuk ke ruanganku.
"Angel ...!" desisku.
Ternyata Angel yang memaksa ingin masuk ke ruanganku.
"Yuda ... aku rindu." Wanita cantik berdarah Belanda itu langsung duduk diatas pahaku.
"Angel, bukankah tadi resepsionisku sudah bilang, aku tidak menerima tamu hari ini." ujarku menahan hasrat melihat bibirnya yang sangat menggoda berada tepat di depan wajahku.
"Tega sekali kamu, Yuda. Dua tahun tidak bertemu, apa kamu tidak merindukanku?"
Aku menghela napas panjang. Entah kenapa wanita di hadapanku ini selalu membuatku sulit menahan diri agar tidak merengkuhnya.
Sementara aku terus memikirkan Ayah yang sedang menungguku di bawah.
Ah, mungkin Ayah bisa menungguku sebentar lagi.
Aku tak kuasa menolak Angel untuk saling melepas rindu. Wanita yang dulu pernah sangat dekat denganku. Namun sejak dua tahun yang lalu, dia pergi meninggalkanku.
Aku tersentak setelah melihat jam di pergelangan tanganku.
Astaga! Ayah ...! Aku mengabaikannya hingga lebih dari satu jam.
"Angel, Aku pergi dulu!"
Gegas aku melepaskan tubuh wanita itu dan berlari menuju lift dan turun ke lobby. Tak kuhiraukan Angel yang terus berteriak memanggil-manggil namaku.
Jantungku berdebar melihat kursi yang diduduki Ayah tadi sudah kosong.
"Nila, kemana Ayah Saya?" tanyaku dengan napas memburu.
"Maaf, Pak. S-saya tidak melihatnya" sahut Nila memucat.
Bodoh! Anak macam apa aku ini! Aku terus merutuki diri sendiri.
Berkali-kali aku menghubungi ponsel Ayah. Namun tidak aktif. Ya Tuhan. Kemana Ayah pergi?
Aku kerahkan semua security untuk mencari Ayah di sekitar kantor ini.
bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
