
Entah siapa yang memulai, Neil dan Tiara melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Neil tidak menyangka Tiara masih perawan, hingga sekretarisnya itu menuntut minta dinikahi. Neil menolak karena telah memiliki istri.
Namun latar belakang kehidupan Tiara membuat Neil simpati pada sekretarisnya itu.
Bagaimana nasib rumah tangga Neil? Apakah Tiara berhasil meminta Neil untuk menikahinya?
Bab 4
Neil terjaga dari tidurnya. Saat matanya terbuka, dia menemukan Erika masih terlelap di sampingnya . Entah pukul berapa semalam istrinya itu pulang. Neil tidur lebih dulu karena merasa sangat lelah.
Tanpa membangunkan Erika, Neil bergegas beranjak dari ranjang dan melangkah menuju ke kamar mandi hendak membersihkan diri. Entah kenapa hari ini dia begitu bersemangat untuk berangkat ke kantor.
Erika terjaga saat ranjangnya terasa ada pergerakan.
"Sayang, mau ke mana?" tanya Erika tanpa bangkit menghampiri suaminya.
"Aku mau mandi. Pekerjaanku banyak menumpuk di kantor," sahut Neil asal seraya membuka kancing piyamanya.
"Mau ikut?" Neil melirik nakal pada istrinya.
Erika menggeleng malas.
Neil masuk ke kamar mandi dengan seringai dibibirnya. Dirinya merasa kecewa karena penolakan berkali-kali dari Erika. Entah kenapa Erika yang dulu sangat agresif, belakangan ini tampak tak pernah bersemangat setiap dirinya ingin meminta kebutuhan biologisnya.
Setelah menyelesaikan kegiatan mandinya, Neil kembali mendapatkan Erika yang kembali terlelap. Namun pria berhidung mancung itu hanya tersenyum tipis tak peduli. Sejak awal menikah memang Erika tak pernah mengurusnya. Neil terpaksa mengurus dirinya sendiri.
Saat sebelum.menikah, hampir setiap pagi Tiara ke rumahnya untuk mempersiapkan segala keperluannya. Namun sejak menikah, atas permintaan Erika, Tiara tidak lagi mengurusnya demi menjaga perasaan Erika.
Neil melangkah menuju ruang makan. Di sana sudah ada beberapa pelayan yang menyiapkan sarapannya. Seperti biasa Neil sarapan sendiri. Erika hanya menemani sesekali, jika dia juga akan ada acara pagi. Namun kali ini Neil tidak berselera. Pria tampan yang tampil memukau dengan jas kerjanya berwarna biru tua itu hanya minum secangkir kopi saja.
Setelah sarapan, Neil kembali ke kamarnya hendak mengecup kening Erika. Bagaimanapun juga dia tetap memperlakukan Erika dengan baik. Dia mengorbankan seluruh perasaannya hingga dia memutuskan untuk menikahi wanita itu dulu.
Langkah Neil terhenti di depan pintu kamar, saat mendengar suara Erika bicara dengan seseorang.
"Kalian semua tenang aja, aku yang bayar. Pagi ini aku ke sana! Kita bikin pestanya seheboh mungkin!"
Neil berdecak kesal mendengar obrolan istrinya dengan seseorang lewat ponsel. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk.
"Lebih baik aku langsung saja ke kantor. Bodo amat dengan Erika. Wanita itu nggak ada gunanya!" umpat Neil dalam hati.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Neil terus memikirkan istrinya itu.
Hampir dua tahun menikah dengan Erika, Neil berharap Erika bisa berubah dari kebiasaannya menghambur-hamburkan uang. Neil berharap Erika bisa menjadi seperti wanita idamannya yang keibuan dan melayaninya dengan baik. Namun fasilitas yang Neil berikan justru membuatnya semakin menggila.
-----
"Selamat pagi, Pak Neil. Apa bapak sudah sarapan?"
Neil terpaku melihat wanita di depannya yang hampir setiap pagi menanyakan apakah dia sudah sarapan.
"Su .. eh, belum Tiara." Tiba-tiba saja Neil ingin sekali menggoda sekretarisnya itu.
"Belum? Bapak mau makan apa? Biar saya carikan."
"Saya mau makan kamu, Tiara." Jawab Neil dan tentunya hanya dalam hati.
"Pesankan saya bubur ayam dua porsi!"
"Apaaa? Dua porsi? eh ... baik, Pak." Tiara segera memesan bubur ayam lewat aplikasi online.
"Pagi Tuan Neil. Pagi ini kita ada meeting dengan perusahaan tambang batubara yang akan mengajukan kerjasama dengan kita." Seorang pria tinggi berkulit putih dengan mata agak sipit tiba-tiba saja masuk ke ruangan Neil.
" Tunggu sampai aku selesai sarapan!"
"T-tapi mereka sudah datang sejak tadi, Tuan!"
"Dengar, Joe! Katakan pada mereka, jika tak mau menunggu silakan pergi. Aku tidak pernah meminta untuk bekerja sama dengan mereka!" Suara Neil mulai meninggi.
"iy-iyyaaa, Tuan. Saya akan meminta mereka menunggu." pria yang yang dipanggil Joe itu memucat akibat pagi-pagi sudah kena bentakan sang Bos tampan. Asisten pribadi Neil itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruang meeting menemui para tamunya.
"Kalau begitu saya permisi keluar," ujar Joe seraya melirik pada Tiara yang melangkah masuk dengan sebuah nampan berisi dua mangkuk bubur ayam.
Joe membalikkan badan dan melangkah menuju pintu. Dia sempatkan mengedipkan sebelah matanya pada Tiara saat melewati wanita cantik itu.
Tiara tak menghiraukan godaan Joe. Dia terus berjalan masuk ke ruang pribadi Neil dan menyiapkan sarapan Bos bulenya itu. Sejak dulu Joe memang sering menggodanya. Namun Tiara tak pernah menganggapi.
Jantung Neil berdetak cepat saat melihat gerakan tubuh Tiara yang begitu lincah dan cekatan saat mondar-mandir menyiapkan sarapannya. Tanpa disadarinya bayangan permainan panasnya bersama Tiara malam itu kembali berkelebat di benaknya. Hingga dia pun kembali harus menahan hasrat yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Entah kenapa sejak malam itu, dia melihat Tiara sangat berbeda.
"Silakan, Pak. Sarapannya sudah siap. Jika butuh apa-apa silakan panggil saya lagi!" ujar Tiara seraya hendak melangkah keluar.
"Tunggu!"
Tiara menghentikan langkahnya.
"Temani saya makan!" lirih Neil seraya membuang pandangan ke tumpukan dokumen yang berada di mejanya..
"Haaa ...? Beneran, Pak?" Tiara terheran namun hatinya menghangat.
"Kamu pikir aku bakal sanggup ngabisin dua mangkuk bubur ayam itu?" ujar Neil datar dan pura-pura acuh.
Tiara ternganga mendengar ucapan.Neil.
Sebenarnya Neil sedang mencari waktu untuk menanyakan tentang preman yang kemarin bersama Tiara. Namun Neil sedang mencari cara agar Tiara tidak berpikir macam-macam tentangnya.
Tiara dan Neil duduk saling berhadapan seraya menikmati bubur ayam.
Tiara pun sebenarnya ingin sekali menanyakan perihal tanggung jawab bosnya itu yang akan menikahinya. Namun dia pun sedang mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya.
"Apa aku tanyakan saja sekarang?"pikir wanita yang selalu berpenampilan elegan dan menawan jika di kantor.
"Pak saya ...."
"Tiara saya ...."
Sontak mereka mengulum senyum saat mereka yang sejak tadi makan dalam diam, tiba-tiba bicara bersamaan.
"Silakan Bapak saja dulu!"
Neil menghela napas panjang sebelum kembali berbicara.
"Siapa laki-laki preman yang kemarin menarik-narik tanganmu?"
Tiara mengernyitkan keningnya. Tak biasanya Neil bertanya tentang kehidupan pribadinya. Diam-diam hati Tiara berdesir mendapat perhatian lagi dari Bosnya yang tampan ini.
"Hai Sayang!. Kamu di sini rupanya!"
Sontak Neil dan Tiara menoleh pada wanita seksi yang baru saja masuk ke dalam ruang pribadi Neil.
"Tiara! Nagapain kamu di ruang pribadi suamiku?" Wajah Erika menegang. Raut wajah tak suka terpancar jelas dari wajahnya.
Tiara menatap istri bosnya dengan wajah pias. Tubuhnya gemetar.
Bab 5
",Tiara! Nagapain kamu di ruang pribadi suamiku?" Wajah Erika menegang. Raut wajah tak suka terpancar jelas dari wajahnya.
Tiara menatap istri bosnya dengan wajah pias. Tubuhnya gemetar. Jantungnya berdebar kencang. Wanita cantik itu nampak sangat ketakutan.
"Keluar kamu! Bisa-bisanya kamu makan satu meja dengan Suamiku. Kamu sadar nggak sih kamu itu siapa? Kamu cuma bawahan. Ngerti?"
Erika menaikan alisnya dengan mata melotot pada wanita yang usianya lebih muda darinya.itu.
"Erika! Apa-apaan kamu!" Tanpa sadar Neil yang tidak tega melihat Tiara, spontan berdiri dan membentak Erika.
Sementara Tiara perlahan berdiri dan melangkah mundur.
"Jangan-jangan kamu memang mau jadi pelakor ya?" Erika melotot pada Tiara seraya berkacak pinggang, tanpa mempedulikan bentakan Neil.
Tiara menggelengkan kepalanya dengan wajah ketakutan.
"Sudah Erika! Hentikan! Tiara, kembali ke ruanganmu!"
Tiara gegas berlari keluar dari ruangan Neil menuju ruangannya yang berada di sebelah. Air mata wanita itu sudah tumpah tak tertahankan. Dia tak peduli pandangan Joe yang kebetulan satu ruangan dengannya.
Joe spontan berdiri dan melangkah mendekati wanita yang sejak lama menarik perhatiannya.
"Ada apa Tiara? Kenapa kamu menangis?"
Tiara yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya, hanya menggeleng tanpa menjawab.
Joe menarik sebuah kursi mendekat pada Tiara. Pria tampan dengan wajah mirip salah satu artis korea itu berusaha menenangkan Tiara yang terus tergugu.
"Aku bukan pelakor. Aku bukan pelakor. Bukaaaan !" Ingin sekali rasanya Tiara berteriak. Namun dia hanya sanggup menjerit dalam hati.
Terlintas kembali di kepalanya bayangan kejadian malam itu. Tiara semakin panik. Apa yang harus dia lakukan jika Erika mengetahui kejadian itu?
----
Sementara Erika dan Neil masih bersitegang.
"Erika, kamu keterlaluan!" Tanpa sadar Neil membentak Erika yang baru saja mengusir Tiara.
"Jadi Kamu memilih membela sekretarismu itu dari pada aku?" Suara Erika meninggi..
""Dengar Erika, Aku yang memintanya menemaniku makan di sini."
Mata Erika melebar mendengar pengakuan Neil.
"Kenapa harus dia? Kenapa selalu dia yang kamu minta melakukan apapun untuk melayani kebutuhammu? Kenapa bukan aku istrimu, Neil?"
Akhirnya Erika mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini menjadi beban pikirannya. Sejak awal menikah dia merasa terganggu oleh kehadiran Tiara yang selalu ada di samping suaminya.
"Apa kamu bilang? Kenapa bukan kamu? Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untukku, Erika? Bukankah kamu hanya peduli dengan teman-teman pestamu? Bukankah kamu hanya bisa menghambur-hamburkan uang saja?"
Erika terhenyak mendengar penuturan Neil barusan. Tatapan tajam dari manik mata Neil seakan menghunus iris matanya hingga jauh ke dalam. Dia tak menyangka Neil mengatakan hal ini padanya. Selama ini dia mengira Neil tidak masalah jika dia menggunakan uang sesukanya. Toh kekayaan Neil yang berlipat-lipat tidak akan membuatnya miskin karena itu.
Erika terduduk di sofa ruang pribadi Neil. Sesaat dia teringat tujuannya untuk datang ke kantor Neil adalah untuk meminta uang. Dia akan mengadakan pesta sore ini..Namun saat ini Neil justru sedang marah dan membicarakan tentang dia yang sering meminta uang.
"Bagaimana caranya lagi aku memnta uang jika seperti ini?" pikir Erika dalam hati. Kemudian dia berpikir hendak melakukan sesuatu.
Neil yang sedang tersulut emosi terkejut melihat Erika yang tiba-tiba menangis.
Entah kenapa Neil iba melihat Erika tergugu di sofa seraya menunduk menutup wajahnya. Dia berpikir mungkin telah melukai perasaan istrinya karena ucapannya barusan. Sontak Neil dihantui rasa bersalah. Penyesalan pun muncul dari hatinya.
Perlahan dia mendekati istrinya dan duduk di sebelahnya.
"Sudahlah Erika. Jangan menangis lagi. Aku ... Aku minta maaf," bujuk Neil yang sudah mulai melunak. Satu tangannya membelai lembut punggung Erika.
Erika mulai tenang. Wanita itu menurut saja saat Neil merengkuhnya ke dalam pelukan. Entah siapa yang memulai, merekapun saling menyentuh. Erika pun mulai melakukan aksinya hingga memancing hasrat suaminya.
"Maaf Erika, jangan di sini." Neil mencoba menghentikan Erika yang mulai membuka satu persatu kancing kemejanya.
"Tapi, bukankah kamu menginginkannya tadi pagi, Sayang?" sanggah Erika..
Neil menarik napas panjang. Mencoba menahan sesuatu yang mulai menguasai dirinya. Hawa panas sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia tak mungkin menolak permintaan istrinya.
"Rapikan pakaianmu, kita ke hotel terdekat!" Neil
merapikan kembali pakaiannya.
Erika tersenyum penuh kemenangan. Misinya berhasil. Dia yakin setelah ini Neil akan memberikan apapun yang dia minta.
Erika mulai merapikan rambutnya yang sudah berantakan. Meraih tissue dan menghapus noda lipstik yang sedikit mengenai wajah suaminya. Mereka tersenyum penuh hasrat. Ada kerinduan yang membuncah diantara keduanya.
Erika bergelayut manja pada Neil. Mereka melangkah mesra keluar dari ruangan CEO melewati ruangan Joe dan Tiara yang berdinding kaca.
Hati Tiara mencelos saat melihat kemesraan Neil dan Erika dari balik dinding kaca ruangannya. Dadanya bergemuruh dan terasa sesak.
Joe bergegas keluar hendak menghampiri atasannya itu.
"Tuan Neil, sudah ditunggu di ruang meeting!"
"Astaga! Kenapa aku bisa lupa," gumam Neil seraya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruangan Joe dan Tiara.
Erika cemas Neil akan membatalkan kepergiannya. Wanita seksi itu menatap Neil dengan wajah memohon.
Neil bimbang..
"Joe, kamu kan asistenku. Tugasmu menggantikanku di saat aku sibuk!"
ujar Neil seraya menyempatkan matanya melirik Tiara yang tertunduk di mejanya..Entah.kenapa ada rasa bersalah yang menguasai hatinya saat melihat wajah sedih Tiara.
"Ayo, Sayang!" Erika menarik manja lengan Neil.
Neil tak dapat menolak ajakan Erika. Dia tak mau Erika menangis lagi. Pria bule super tampan itu pun melangkah mengikuti Erika. Namun matanya terus menatap Tiara yang semakin nampak sedih dan terluka.
Bab 6
Sudah tiga minggu sejak kejadian di Surabaya malam itu. Tiara belum mendapat kepastian mengenai janji bosnya untuk menikahinya. Walau dia sadari hal ini memang tak mudah. Namun dia tetap ingin Neil bertanggung jawab atas perbuatannya. Bagaimanapun juga, Tiara telah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya yang selama ini dia jaga baik-baik.
Ingin rasanya Tiara menanyakan hal ini pada atasannya itu. Ingin rasanya menagih janji pada Neil yang katanya ingin menjadikannya sebagai Istri simpanan. Namun kesibukan mereka akan pekerjaan seakan tidak ada waktu dan kesempatan untuk bicara berdua.
Siang itu Tiara memutuskan untuk berbicara pada Neil empat mata. Dengan dada berdebar wanita berpenampilan elegan dan selalu tampil modis itu mengetuk pintu ruangan Neil.
"Masuk!" Suara sahutan dari dalam membuat Tiara semakin berdebar..
"Siang, Pak!'
"Masuk, Tiara. Duduklah!"
Tiara melangkah masuk dan duduk tepat di hadapan Neil.
"Ada apa?" Neil bertanya dengan mata masih tertuju pada lembaran kertas yang menumpuk di depannya. Sementara tangannya masih menandatangani berkas-berkas dimejanya.
"Sa-saya ... mau menagih janji B-bapak." akhirnya terlontar juga apa yang sejak kemarin menjadi beban pikirannya.
Sontak pena yang berada di tangan Neil terlepas begitu saja. Seketika pria berhidung mancung dengan bibir tipis itu ternganga dan menatap tajam pada Tiara.
Wajah wanita cantik berkulit putih itu sontak menjadi pias. Apakah Pak Neil marah? Apakah Pak Neil tidak mau menepati janjinya?
Wajah Neil menegang. Dia tak menduga Tiara menanyakan hal ini. Sementara dia masih belum memikirkan masalahnya yang cukup rumit ini.
"Ke-kenapa, Pak? A-apa Bapak mau lepas tanggung jawab?" Suara Tiara bergetar dan mulai parau. Buliran bening telah menggantung di sudut matanya
Neil menatap lekat sekretarisnya. Sungguh dia sangat bingung. Namun dia pun tak tega melihat wajah sedih Tiara..
Neil terdiam sejenak seraya menatap lekat wajah yang baru belakangan ini dia sadari begitu cantik.
Neil menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan
"Tiara ..., Saya tidak akan lepas tanggung jawab. Tapi, coba kamu pikirkan lagi tawaran Saya. Saya akan memberikan apapun yang kamu minta."
"M-maksud Bapak?" Jantung Tiara berpacu cepat. Dia menduga bosnya itu akan mengingkari janjinya.
"M-maaf, sepertinya Saya tidak bisa menikahimu."
Sontak Tiara membekap mulutnya agar tak berteriak. Sesak dadanya seakan terhimpit batu yang sangat besar. Dugaannya benar. Apa yang dia cemaskan terjadi. Bosnya tak mau menikahinya. Dia sadar. Dia hanyalah seorang gadis kampung. Tentu bosnya yang merupakan anak seorang konglomerat itu tidak akan mau menjadikan dirinya seorang istri, meskipun hanya istri simpanan.
"K-kamu tenang saja. Saya tidak akan lari begitu saja. Sebut saja jumlah yang kamu minta sebagai permintaan maaf saya," ucap Neil hati-hati. Sejujurnya dia pun dapat merasakan kesedihan Tiara. Namun dia tak mungkin menikahi Tiara walaupun hanya sebagai istri simpanan seperti yang dia katakan kemarin. Bagaimana jika Erika tau? Bagaimana jika orang tuanya tau? Bagaimana jika ada rekan bisnisnya ada yang tau tentang hal ini. Mau ditaruh dimana mukanya.
Dada Tiara semakin bergemuruh. Napasnya memburu. Dia tak menyangka Neil tak menepati janjinya. Saat ini ingin rasanya dia berteriak untuk menumpahkan kekesalannya. Ingin rasanya menangis meraung-raung untuk meluapkan kesedihannya.
Namun dirinya sadar siapa dirinya. Apapun yang dia lakukan hanyalah sia-sia.
Perlahan Tiara berdiri. Sesak didadanya semakin menjadi. Hingga dia tak mampu berkata-kata. Sekuat mungkin dia menahan diri untuk tidak menangis. Sekuat tenaga dia menahan rasa amarah dan kecewa. Menangis dan marah bukanlah cara yang tepat saat ini.
"Kalau demikian keputusan Bapak. Saya bisa apa. Saya permisi." Tiara membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju pintu.
Neil terkejut melihat Tiara keluar dari ruangan, tiba-tiba dirinya berdiri dan terhenyak memandang tubuh wanita itu hingga menghilang di balik pintu.
Neil tak habis pikir. Tiara masih belum menyebutkan jumlah uang yang dia inginkan. Kenapa wanita itu menolak pemberiannya. Sejauh yang dia tahu, banyak wanita yang telah kehilangan kesuciannya. Bahkan istrinya Erika sudah tak suci lagi saat menikah dengannya. Namun mereka seakan merasa itu adalah hal yang sudah biasa. Entah kenapa Tiara sangat khawatir dengan hal ini.
Tiara tak langsung masuk ke ruanganya. Dia memutuskan untuk ke toilet terlebih dahulu. Wanita itu tergugu menumpahkan rasa penuh di dadanya. Apa yang akan dia lakukan kini? Masa depannya sudah hancur. Akankah ada pria yang nanti mau menikahi wanita yang sudah tak suci lagi seperti dirinya?
Tiara menatap wajahnya di cermin. Raut penyesalan tersirat di sana.
Seharusnya dia terima saja lamaran Bang Rohmat beberapa bulan yang lalu. Tentunya nasibnya tidak akan seperti ini. Walaupun mereka dekat, hingga saat ini Bang Rohmat tak pernah menyentuhnya. Pria bertampang preman itu menyetujui permintaan Tiara untuk mencicil saja hutang-hutang orang tuanya.
Setelah kembali merasa tenang, Tiara kembali ke ruangannya dengan mata sedikit sembab.
Joe terheran melihat Tiara yang seperti.habis menangis. Pria mirip oppa - oppa korea itu ingin bertanya, namun urung saat mendengar ponsel Tiara berbunyi.
Tiara berbicara serius dengan seseorang di ponselnya.
"Apaa? baiklah Aku akan pulang sekarang."
Tiara menutup ponselnya.Wajahnya tampak sangat cemas.
"Ada apa? Kamu kelihatan bingung?" Joe menghampiri Tiara yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
"Bapakku sakit, Joe. Aku harus pulang kampung."
"Aku temani!"
"Jangan. Siapa nanti yang bantu pekerjaan Bos?"
"Setidaknya aku antar kamu ke stasiun," sanggah Joe..
"Aku izin Bos dulu." Tiara melangkah keluar dari ruangannya. Sejenak dia lupakan masalahnya dengan Neil. Saat ini yang terpenting adalah kesehatan Bapaknya.
"Pak Neil...."
Neil tersenyum melihat Tiara kembali. Dia menduga wanita itu berubah pikiran. Perlahan Tiara mendekat.
"Duduklah, Tiara!"
Tiara menggeleng.
"Maaf, Pak. Saya hanya ingin izin mau pulang kampung."
"Apaaa?" Neil sontak berdiri. Dia menduga Tiara marah padanya perihal yang tadi hingga wanita itu ingin pergi.
"T-tolong jangan pergi Tiara. S-sayaa ...minta maaf jika telah menyakitimu tadi. Kita bisa bicarakan lagi baik-baik, oke?" Neil terlihat sangat panik dan cemas.
"Bapak saya sakit, Pak. Saya harus pulang!" jelas Tiara singkat.
Dia tak ingin berlama-lama. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah Bapak, ibu dan adIk-adiknya. Mereka tentunya sangat membutuhkan dirinya saat ini.
Neil terkesiap. Sungguh dia malu karena telah salah sangka.
"Berapa lama?"
"Mungkin beberapa hari, Pak."
"Bersiaplah. Kita bawa Bapakmu ke rumah sakit secepatnya!" Neil bangkit dari kursinya.
"A-apaa? Kitaa?" Mata Tiara melebar melihat atasannya itu menutup laptop dan melangkah menghampirinya.
Bab 7
Tiara terheran melihat Neil menutup laptop, lalu meraih jas yang berada di sandaran kursi dan memakainya. Kemudian pria bule itu melangkah mendekat.
"Ayo berangkat. Dimana kampungmu?"
"Garut, Pak," sahut Tiara yang masih bingung dengan sikap bosnya.
"Ayo! Tunggu apalagi, Tiara?" Wanita itu sontak melangkah mengkuti Neil yang telah berjalan lebih dulu melewatinya.
Tiara bingung. Apa Neil akan mengantarnya pulang? Apa kata orang tuanya nanti? Lalu bagaimana dengan Bu Erika?
Wanita cantik itu terus berpikir sambil melngkah.
Tiara menyempatkan berlari meraih tasnya di ruangannya, tanpa mempedulikan Joe yang menatap bingung melihat Tiara buru-buru tanpa menghiraukan panggilannya.
Tiara lalu kembali melangkah di belakang Neil hingga masuk ke dalam lift. Neil menekan tombol menuju lobby. Saat ini mereka hanya berdua saja di dalam lift khusus Direksi.
"B-bapak mau ke mana?" Tiara akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Ya antar kamulah!' sahut Neil tanpa menoleh. Sementara tangannya sibuk mengetik pesan di ponsel.
Seketika hati Tiara menghangat. Dia tak menyangka Neil perhatian dan khawatir padanya.
Diam-diam wanita cantik itu tersenyum.
"Kenapa senyum-senyum?" Tiara terlonjak saat Neil menoleh padanya.
"Ish Bapak ngagetin aja. Suka-suka sayalah!" sahut Tiara seraya membuang pandangannya karena malu.
Neil gemas melihat pipi sekretarisnya yang sudah semerah tomat. Tiba-tiba saja terlintas keinginannya untuk mencium pipi yang menggemaskan itu.
Neil tersadar saat pintu lift kembali terbuka. Pria berbadan tinggi di atas rata-rata itu segera melangkah keluar lift menuju lobby yang sudah nampak dari kejauhan. Tiara terus mengikuti langkah panjang bosnya yang super tampan itu.
Langkah Neil tiba-tiba saja terhenti saat sampai di lobby. Seorang laki-laki berambut panjang dengan jambang lebat, berdiri tepat di depan reseptionis. Pria tinggi tegap memakai jaket kulit berwarna hitam itu sedang berbicara dengan salah seorang karyawan.
"Saya mau ketemu dengan Tiara. Dia sekretaris di sini."
Neil menatap geram pria yang pernah menarik paksa Tiara sore itu.
"Bang Rohmat?"pekik Tiara spontan saat melihat pria tampan namun terkesan seperti preman itu.
Rohmat menoleh dan netranya langsung jatuh pada Tiara dan Neil secara bergantian.
"Pulanglu, Bapak sakit!" Tanpa senyum ataupun basa -basi, Rohmat dengan tegas berkata pada Tiara, tanpa menghiraukan Neil yang berdiri disamping Tiara.
Neil semakin kesal melihat sikap Rohmat yang dia anggap tidak sopan.
"Tiara saya yang antar!" tegas Neil, membuat karyawan di sekitar mereka menoleh dan terkejut.
"Nggak perlu. Orang tuanya menitipkan Tiara sama gue. Jadi cukup gue yang antar dia pulang kampung. Ayo Tiara!" sahut Rohmat dengan gaya acuhnya, seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar melalui pintu kaca.
"Dasar nggak punya sopan santun!" geram Neil
dengan menatap tajam pada pria yang menjemput Tiara.
Wajah Sekretarisnya memucat dan ketakutan.
"S-saya ..., pulang dulu, Pak!' ucap Tiara gemetar lalu perlahan melangkah menyusul Rohmat yang sudah berada di luar lobby.
"T-tiara ...!" Tubuh Neil.menegang. Dia tak menyangka Tiara memilih pergi bersama Rohmat dan meninggalkannya.
Pria bule itu menatap punggung ramping namun seksi milik Tiara dengan merasakan gemuruh di dada, hingga menghilang dari pandangan.
"Astaga! Ada apa dengan diriku? Apa yang baru saja aku lakukan?" gumam Neil dalam hati seraya, menepuk dahinya
Seketika dia tersadar akan tatapan beberapa karyawan yang berada di lobby. Perlahan Neil berbalik dan melangkah kembali menuju lift khusus direksi..
Neil tampak gelisah.
"Sial! Kenapa aku terus memikirkan perempuan itu? Bukankah aku justru memintanya untuk melupakan kejadian malam itu? Tapi kenapa aku seakan tak rela jika dia pergi bersama pria preman itu?" Neil terus meracau di dalam lift seorang diri.
"Huff ...! Aku harus tenang. Tiara bukan siapa-siapa aku. Dia hanya wanita yang tidak sengaja aku tiduri. Ya, Aku tidak boleh peduli padanya." Neil tak henti-hentinya merutuki dirinya dalam hati.
Neil kembali ke ruangannya dan meneruskan pekerjaannya. Joe terheran melihat Neil yang terlihat gelisah dan tidak konsentrasi. Beberapa kali Neil salah membaca laporan yang dia berikan.
"Joe, kamu cari tau alamat kampung Tiara!'
"Untuk apa, Tuan?" Joe mengernyitkan keningnya karena heran.
"Jangan banyak tanya! Cepat carikan saja!" bentak Neil kesal.
"B-baik, Tuan. Segera saya cari tau."Joe gegas kembali ke ruangannya dan menghubungi orang-orang kepercayaannya.
------
"Lu ngapain pake jemput gue sih, Bang?" Tiara cemberut sambil menghentak-hentakkan kakinya disamping Rohmat.
"Kenapa? Lu seneng ya dianter sama bule itu?"
Tiara diam tak menjawab. Dalam hatinya dia membenarkan perkataan Rohmat. Saat ini hatinya kesal Rohmat menggagalkan rencana Neil untuk mengantarnya. Padahal dia berharap Neil bisa merubah keputusannya setelan ini. Dia tetap berjuang agar Neil jadi menikahinya.
"Taksi sudah datang! Ayo!" Rohmat menarik tangan Tiara dan mengajaknya masuk ke dalam taksi online yang dia pesan.
Sepanjang jalan mereka tak banyak bicara. Rohmat khawatir melihat wajah Tiara yang pucat dan berkeringat dingin.
"Lu sakit?" tanyanya
"Nggak tau nih, Bang. Tumben banget kok gue mual gini. Nggak biasanya begini." Tiara sekuat tenaga menahan agar isi perutnya tidak keluar. Padahal tadi pagi dia sudah sarapan.
Rohmat memandang cemas pada wanita cantik di sebelahnya, seraya memijit kepala Tiara dengan penuh perhatian.
"Mau berhenti dulu makan?"
Tiara menggeleng. Dia terheran karena tidak pernah merasakan mual yang hebat seperti ini.
Sesaat dia melihat tanggal yang tertera pada layar ponselnya. Matanya membelalak saat mengingat tanggal yang dia nantikan telah lewat.
"Astaga! Apakah aku ...?"
Bab 8
Jantung Tiara berdegup cepat. Keringat dingin semakin deras mengalir di wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ketakutan dan kecemasan merajai hatinya saat ini. Mungkinkah apa yang dia khawatirkan akan terjadii?
"Ada apa? Kenapa makin pucat gitu mukalu?" Rohmat terlihat panik melihat kondisi Tiara.
"Kita ke rumah sakit aja, Pak!"
"Ja-jangan! Nggak usah!" sanggah Tiara cepat. Dia tak ingin masalahnya semakin rumit jika Rohmat sampai tahu keadaannya.
"Nggak bisa, kalau lu pulang keadaan sakit begini, apa kata orang tualu nanti. Lu itu tanggung jawab gue."
"Pokoknya gue nggak mau. Titik. Paling juga masuk angin. Lagian udah enakan, kok. Gue mau merem aja." Tiara terpaksa berpura-pura kuat di depan Rohmat. Dengan menahan mual, wanita itu memejamkan mata seraya bersandar pada sandaran jok mobil.
"Dasar susah diatur!" gumam Rohmat sambil geleng-geleng kepala menghadapi Tiara yang dia anggap keras kepala.
Perjalanan pun mulai diteruskan. Sepanjang jalan Tiara tertidur. Rohmat menjaganya agar kepala Tiara tak terbentur. Sesekali pria gondrong itu membetulkan posisi kepala wanita yang diam-diam telah memenuhi isi hatinya.
Beberapa kali Rohmat menatap.lekat wajah cantik yang sedang terlelap itu. Entah kenapa Tiara menolak lamarannya dulu. Apa Tiara tak pernah mencintainya?
Dia tak pernah memaksa Tiara untuk menerima lamarannya. Padahal, jika Tiara mau menjadi istrinya, wanita itu tak perlu kelelahan bekerja untuk membayar semua hutang orang tuanya.
Rohmat menghela.napas panjang. Sesungguhnya dia pun tak tega jika Tiara harus membayar hutang orang tuanya yang begitu banyak. Namun Rohmat tak mungkin membebaskannya. Karena amanat dari almarhum orang tuanya.
Setelah melewati lima jam perjalanan, akhirnya mereka telah tiba di depan sebuah rumah sederhana. Sawah yang mulai menguning terhampar luas di seberang rumah bercat kuning gading itu.
"Stop di sini, Pak!"
"Tiara, sudah sampai. Ayo turun!" Rahmat menepuk-nepuk lembut wajah Tiara.
Tiara menggeliat. Tubuh Rohmat menegang. Dia memilih membuang pandangannya ke jendela, dari pada kembali menahan hasrat akibat gerakan Tiara yang meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.
Sebenarnya, tanpa sadar wanita di hadapannya ini sangat sering memancing hasratnya jika mereka sedang berdua. Namun rasa cinta yang begitu dalam membuat Rohmat selalu ingin menjaga Tiara sampai dia bisa mempersunting wanita cantik itu.
"Udah sampe?" Tiara mengucek matanya, lalu melihat ke jendela.
"Lu udah enakan?"
Tiara mengangguk. Wanita itu tersenyum saat menyadari bahwa mereka telah tiba di depan rumah orang tuanya. Perlahan keduanya turun..
"Makasih, Pak!" Rohmat memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu pada supir taksi online.
Hari sudah menjelang petang saat tiba di kampung halaman Tiara. Wanita itu melangkah cepat memasuki rumahnya.
"Assalamualaikum, Ibuu ...!"
Langkah kaki seseoang terdengar dari dalam.
"Tiara ... kamu pulang, Nak?"
"Ibuu ...!" Tiara sontak memeluk tubuh ibunya yang semakin kurus.
Rohmat memandang mereka seraya bersandar di pintu.
"Nak Rohmat, terima kasih sudah mengantar Tiara. Ayo silakan masuk!" Wanita tua yang merupakan ibu kandung Tiara itu menyapa Rohmat dengan sangat sopan.
"Nggak usah, Bu. Aku langsung pulang ke rumah aja. Tiara sepertinya kurang sehat. Besok pagi Aku kesini lagi!" Pria berambut panjang itu membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah meninggalkan rumah Tiara.
"Apa benar kamu sakit, Tiara?" Ibu menelisik wajah dan tubuh Tiara dari atas ke bawah..
"Aku nggak apa-apa, Bu. Cuma masuk angin aja. Bang Rohmat aja berlebihan. Bapak bagaimana, Bu?"
"Itu berarti Rohmat sangat perhatian denganmu. Bapak sudah tua. Beliau ingin sekali bicara dan bertemu denganmu." Ibu menggandeng tangan Tiara menuju kamar Bapak yang berada tak jauh dari ruang tamu.
Namun saat baru tiba di depan kamar bapak. Langkah Ibu terhenti.
"Sana bersihkan dulu tubuhmu. Baru temui Bapakmu di kamar. Biar ibu temani dulu Bapakmu sambil menunggu adik-adikmu pulang mengaji dari musholla."
"Baik, Bu."
Tiara gegas melangkah ke belakang untuk membersihkan diri.
"Oeekh ...!" Akhirnya Tiara memuntahkan semua isi perutnya di kamar mandi, setelah berjam-jam menahannya sejak tadi.
Tiara merasa lebih lega. Namun tak lama kemudian dia kembali merasa mual. Sekuat mungkin dia tahan. Dia tak ingin kedua orang tuanya sampai tau. Dia juga belum bisa memastikan kondisinya saat ini seperti apa.
"Tiara, kamu masih pucat. Ayo temui Bapakmu dulu, kemudian istirahatlah!"
Tiara mengangguk saat keluar dari kamar melihat ibunya sudah berdiri menunggunya.
Dua wanita berbeda usia itu melangkah bersama menuju kamar yang berada di paling depan.
Pintu perlahan dibuka. Seorang pria nampak terbaring lemah di atas ranjang tua namun tetap berdiri kokoh. Pria yang terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya itu menoleh pada dua wanita yang baru saja masuk.
"Tiara ...!" lirihnya.
"Bapaak ...!" Tiara menghambur memeluk tubuh Bapaknya. Hatinya terasa diiris saat merasakan tubuh itu bertambah lemah dan kurus.
"M-maafkan Tiara, Pak!" Tiara tergugu. Hatinya tak tega melihat keadaan Bapaknya.
"Ayo kita ke rumah sakit sekarang. Ayo, Bu!" jerit Tiara tertahan.
Bapak menggeleng lemah.
"Jangan buang-buang waktu. Bapak hanya ingin hutang-hutang Bapak lunas sebelum ajal menjemput." Parau suara Bapak menahan sesak karena beban pikiran yang begitu berat.
"Maksud Bapak apa ...?" tanya Tiara di sela-sela isak tangisnya.
"Menikahlah dengan Rohmat. Hanya dengan cara itu Bapak bisa pergi dengan tenang!"
Sontak Tiara terdiam. Namun tubuhnya menegang. Bagaimana jika dia benar hamil? Apakah Rohmat masih mau menerimanya? Kepala Tiara seakan berputar. Sungguh dirinya tak sanggup.memikirkan hal ini.
Bab 9
Sejak semalam Tiara masih terus memikirkan permintaan Bapaknya. Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus memenuhi permintaan bapaknya itu?
Pagi ini Tiara izin pada ibunya untuk ke apotik di kecamatan. Diam-diam dia hendak membeli test kehamilan. Dia harus memastikan bahwa dia benar hamil atau tidak. Jika dihitung, datang bulannya sudah terlambat lebih dari satu minggu.
"Bu, Aku mau ke apotik beli obat sakit kepala. Obat-obatan Bapak biar sekalian aku beli."
"Suruh saja adikmu yang ke apotik. Indra, sana belikan obat untuk kakakmu!" Ibu memanggil Indra-adik Tiara yang masih sekolah di sekolah menengah pertama.
"Tidak usah, Bu. Biar Tiara saja!" sanggah Tiara.
"Ya sudah. Obat bapakmu masih banyak. Ibu sudah membelinya setelah mendapat kiriman uang darimu tempo hari.
Tiara pamit pada ibunya sebelum Rohmat datang. Dia tak mau sampai Rohmat menemaninya ke apotik nanti.
‐-------‐
"Neil, kamu mau ke mana?" Erika yang baru saja terjaga heran melihat Neil memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper.
"Tumben kamu nanya. Biasanya kamu tak pernah peduli aku akan ke mana. Menyiapkan pakaianku saja kamu tidak pernah," sahut Neil kesal.
"Hei ... kamu kenapa, sih? Pagi-pagi kok sudah ngajak ribut. Aku kan cuma nanya." Erika terlihat kesal. Kemudian wanita itu kembali merebahkan tubuhnya tanpa sedikitpun ingin membantu Neil yang sepertinya sedang terburu-buru.
" Beberapa hari kedepan aku akan keluar kota."
"Sama sekretarismu itu lagi?" tanya Erika dengan wajah menyelidik.
"Tiara sedang pulang kampung."
Erika tersenyum sinis saat suaminya menyebut nama Tiara. Entah kenapa dadanya terasa panas setiap mendengar Neil menyebut nama Tiara. Sejak awal menikah, Erika sudah tidak suka dengan keberadaan Tiara. Dia merasa kedekatan Tiara dengan suaminya sangat berlebihan.
"Erika, bisakah kamu bangun dan buatkan aku sarapan?" Neil berdiri menatap tajam.pada istrinya.
Erika bangkit. Wanita dengan tubuh tinggi seperti model itu berdecak kesal seraya berjalan ke dapur.
"Pelayan, segera siapakan sarapan untuk tuan!" teriaknya dari pintu dapur. Ruangan yang hampir tidak pernah dia datangi. Selama ini Erika hanya meminta pelayan melakukan semua pekerjaan. Termasuk menyiapkan keperluan suaminya.
Erika yang masih memakai pakaian tidur kembali ke kamar. Namun ternyata Neil memanggilnya lagi.
"Mana sarapanku?"
"Sabar dong, Sayang. Sedang disiapkan pelayan."
"Kenapa pelayan yang melakukannya? Aku ingin kamu yang memasak sekaligus menyiapkannya untukku!" sahut Neil geram.
"Astaga Neil! Kamu lagi kenapa, sih? Nggak biasanya kamu kayak gini." Tiara yang tadi hendak merebahkan dirinya kembali ke kasur empuknya, sontak berdiri lagi.
"Ya, Aku sudah muak dengan sikapmu selama ini. Aku ingin seperti suami-suami lainnya. Yang dilayani langsung oleh istrinya. Bukan oleh pelayan." Neil berbicara lebih tegas kali ini.
"Kenapa baru sekarang kamu bilang begitu sama Aku? Kenapa nggak dari dulu?" Erika mulai emosi.
Dengan angkuhnya dia berdiri di depan Neil seraya berkacak pinggang. Wanita itu menatap nanar pada manik suaminya.
"Seharusnya kamu bisa merubah dirimu sendiri, Erika!" seru Neil tak kalah ngotot.
Erika semakin emosi. Dadanya naik turun. Napasnya memburu.
"Tapi, Neil ..."
"Sudah, sudah ...! Aku nggak mau ribut. Bisa-bisa hilang konsentrasiku untuk meeting pagi ini."
Erika hanya menatap nanar punggung tegap suaminya yang melangkah keluar. Seorang pelayan mengikutinya sambil membawa koper dan tas.
Erika semakin kesal saat tau bahwa Neil tidak jadi sarapan. Suaminya langsung pergi begitu saja.
"Dia pasti kesal karena tidak ada sekretarisnya yang sok cantik itu." umpat Erika.
"Tidak biasanya Tiara tidak ikut dalam meeting. Biasanya jika akan keluar kota, sejak malam Sekretarisnya yang kampungan itu telah mengatur semuanya. Sampai-sampai pakaian Neil pun dia yang atur. Tiara akan berkoordinasi dengan beberapa pelayan untuk menyiapkan perlengkapan Neil. Huh! Gara-,gara perempuan itu Neil jadi melimpahkam kekesalannya padaku. Sial! "
Erika tak jadi mengantuk. Suasana hatinya sedang tak baik-baik saja. Dia memutuskan untuk mandi kemudian keluar berkumpul dengan teman-temannya. Kemudian menghabiskan waktu dengan berbelanja menggunakan kartu debit pemberian Neil sepuasnya.
------
Di kantor, lewat dinding kaca, berkali-kali Neil
memandang meja kosong yang berada diruang sebelah. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang hilang dan hampa. Hatinya tak pernah tenang sejak pagi itu. Sejak Tiara meminta izin untuk pulang kampung.
Neil gelisah sejak pagi. Wajah Tiara terus berputar-putar di kepalanya. Sekuat tenaga dia berusaha untuk melupakan gadis itu. Namun semakin kuat pula bayangan itu bertahan di benaknya
"Tuan Neil, sepuluh menit lagi anda harus segera ke Bandara!" Joe menghampiri atasannya yang masih sibuk dengan laptopnya.
"Apa ada kabar dari Tiara? Kapan dia kembali?" Entah kenapa tiba-tiba saja Neil ingin tau kabar gadis itu.
"Belum, Tuan. Tiara pernah bilang kalau di sana susah sinyal."
Neil menghempas napas panjang.
"Berangkat sekarang, Tuan?" Joe yang kali ini bertugas menemani Neil tugas luar kota juga telah bersiap-siap.
Tanpa menjawab, Neil bangkit berdiri dan melangkah menuju lift.
"Kamu tetap saja di kantor. Di sini jangan sampai kosong!" ucap Neil pada Joe.
"Baiklah, Tuan!" Joe terpaksa menuruti perintah Neil.
Neil terus melangkah menuju lobby utama. Hari ini dia harus terbang ke Samarinda tanpa Tiara. Entah kenapa dia merasa tidak bersemangat. Padahal proyek yang akan dia kerjakan di sana bukanlah proyek sembarangan.
Dalam kebimbangan dan hati tak menentu, dengan terpaksa Neil menuju bandara.
Sesekali dia melihat tiket pesawat yang menunjukkan bahwa waktu keberangkatannya tinggal satu jam lagi. Biasanya dia akan minta supir untuk ngebut dan marah-marah. Namun sekarang justru dia tak peduli jam berapa akan tiba di sana.
Sepanjang jalan bayang-bayang wajah Tyara makin nyata di kepala Neil. Kembali terbayang olehnya kecantikan Tyara di hotel malam itu. Hingga tanpa sadar dia telah merenggut kesucian gadis itu..
"Astaga ...lama-lama bisa gila aku gara-gara Tyara!" umpatnya dalam hati.
Neil meraih ponselnya dan menghubungi Joe.
"Batalkan penerbanganku ke Samarinda. Tunda dulu proyek yang di sana. Aku ada urusan mendadak beberapa hari ke depan."
Joe hanya bisa ternganga mendengar ucapan Neil pada ponselnya. Bertahun-tahun dia bekerja dengan Neil, baru kali ini bos bulenya itu menunda proyek yang bernilai milyaran.
"Kita putar balik, Pak. Tidak jadi ke bandara!"
"Baik. Kita mau kemana, Tuan?"
"Kampung Duri, Garut."
Sang supir pun sempat ternganga sesaat. Pasalnya baru kali ini Neil memintanya ke daerah pedesaan. Namun pria setengah baya itu tak berani bertanya. Dia hanya mencari alamat yang ditunjukkan oleh Neil.
"Tyara ...., kamu benar-benar telah membuatku gila. Proyek senilai milyaran aku tunda karena ingin bertemu denganmu.
Astaga! Ada apa dengan diriku?"
Neil terus-terusan tak habis pikir dengan keputusannya sendiri.
Sepanjang jalan jantungnya berdebar-debar. Wajah Tyara selalu membayangi di setiap tarikan napasnya.
Bab 10
Tiara kembali merasakan mual yang sangat hebat. Saat ini dia baru saja masuk ke dalam sebuah apotik.
"Mbak, ada tes kehamilan?"
"Ada Teh. Mau yang merek apa?" sahut wanita berhijab petugas apotik seraya mengeluarkan tiga macam tes kehamilan dengan merek yang berbeda.
"Yang paling bagus dan akurat aja, mbak." jawab Tiara seraya menahan perutnya yang terus bergejolak, hendak memuntahkan semua isinya.
"Mbak maaf boleh numpang ke toilet?"tanya Tiara sambil membekap mulutnya.
"Ada di klinik sebelah, Mbak."
Tiara langsung berlari ke arah klinik. Dia terus berlari sesuai arah panah yang menunjukkan tempat toilet berada. Sampai di toilet, Tiara langsung memuntahkan semua isi perutnya. Keringat dingin mengalir di wajahnya. penglihatannya mulai berkunang-kunang. Setelah dirasa perutnya sudah lebih baik, perlahan Tiara berusaha keluar dari toilet.
Namun kali ini dia merasa kepalanya terus berputar, hingga dia pun terhuyung.
"Eh ... teteh hati-hati ....!" Seorang petugas kebersihan mencoba menahan tubuh Tiara agar tak jadi jatuh.
"Tolong bawa ke ruang periksa!" ujar seseorang saat melihat Tiara hampir terjatuh.
Tiara merasa tubuhnya di angkat oleh beberapa orang lalu dibawa masuk ke sebuah ruangan. Saat ini dia telah berbaring di atas brankar.
Matanya berkunang-kunang. Dinding klinik seakan berputar hebat mengelilinginya.
"Permisi, Saya periksa dulu, Bu." Seorang wanita setengah baya memakai jas dokter menghampiri dan memeriksa kondisinya.
"Namanya siapa, Bu?"
"Tiara, Dok!"
"Kapan terakhir ibu datang bulan?"
Tiara tersentak. Kenapa dokter itu menanyakan hal itu padanya?
Dokter dan perawat memeriksa dan menanyakan beberapa hal pada Tiara. Kemudian mereka membiarkan Tiara istirahat di ruang periksa itu hingga pusingnya berkurang.
"Suster, apa saya sudah bisa pulang?" Tiara bertanya pada salah seorang perawat yang sejak tadi mondar mandir melayani pasien, setelah dia merasa sudah lebih baik.
"Sebentar, saya panggilkan dokter Ayu." Perawat itu beranjak meninggalkannya.
Tak lama kemudian, dokter yang tadi memeriksanya masuk dan menghampirinya.
" Bagaimana Bu Tiara, apa sudah merasa enakan?"
Tiara mengangguk. "Sudah, Dok."
"Menurut diagnosa Saya, usia kehamilan Bu Tiara sudah empat minggu. Tapi untuk jelasnya saya sarankan untuk segera konsultasi ke dokter kandungan."
"A-apaa? S-saya ha ...mil, Dok?" Tiara terkejut bukan main. Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi.
"Iya. Selamat ya, Bu. Ini saya berikan surat pengantar untuk ke dokter kandungan. Ini resep untuk obat mual dan vitaminnya. Makanlah makanan yang bergizi, buah-buahan dan susu," jelas dokter setengah baya yang bernama Ayu itu seraya memberikan sebuah amplop berisi surat keterangan dan selembar resep obat yang harus ditebus.
Tiara masih ternganga mendengar penjelasan dokter di hadapannya. Sungguh dia masih belum percaya dengan apa yang dia dengar barusan.
Dia menerima kertas dari dokter Ayu tanpa berkata apapun.
"Jika Bu Tiara masih pusing. Silakan istirahat dulu saja di sini!" ucap dokter itu.
" T-terima kasih, Dokter. Tapi saya harus pulang," sahutnya gemetar. Kemudian perlahan bangkit dan melangkah pelan menuju kasir untuk membayar biaya pemeriksaan. Kemudian dia kembali ke apotik untuk menebus resep dari dokter tadi.
Ponselnya terus-menerus bergetar sejak tadi. Dia melihat nama Rohmat di sana. Tiara sengaja tidak mengangkatnya. Dia tidak mau masalahnya akan bertambah rumit.
Saat ini Tiara panik luar biasa. Apa yang harus dia katakan pada Ibunya nanti? Bagaimana jika Bapaknya sampai tau?
"Ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Aku harus segera minta pertanggung jawaban Pak Neil. Tapi ... Apa dia mau bertanggung jawab? Bukankah kemarin dia bilang tidak bisa menikahiku?" bathinnya.
Tiara terus berpikir keras. Wanita cantik itu gelisah sampai mengeluarkan keringat dingin.
"Ibu Tiara!"
Seorang petugas apotik memanggilnya. Tiara mendekat ke depan etalase menghampiri petugas yang memanggilnya.
" ini obat mualnya, Bu. Diminum jika mual saja, sebelum makan. Dan ini vitamin, diminum sekali sehari aja," jelas wanita muda petugas apotik itu.
"Baik, Mbak. Terima kasih!" Tiara memasukkan obatnya ke dalam tas, kemudian pergi meninggalkan apotik.
Langkah kaki Tiara ragu untuk pulang. Namun bagaimanapun juga dia tetap harus pulang. Bukankah dia pulang atas permintaan bapaknya?
"Astaga! Bagaimana jika Bapak memaksaku untuk menikah dengan Bang Rohmat? Apa yang harus aku katakan? Bagaimana jika Bang Rohmat sampai tau kalau Aku sedang hamil?"
Tiara meremas rambutnya. Sungguh saat ini dia sangat bingung memikirkan masalahnya.
"Ojeg, Teh Tiara?"
Seorang tukang ojeg yang juga tetangganya menghampiri.
"Ya. Antar aku pulang!" Tiara pun naik ke motor tetangganya itu.
Sepanjang jalan Tiara terus berpikir .
"Sebaiknya kehamilanku ini aku rahasiakan dulu. Jangan sampai Bapak tau. Aku khawatir kesehatan Bapak semakin menurun gara-gara Aku." Diam-diam Tiara memantapkan diri dalam hati.
Ojeg yang mengantar Tiara telah tiba di depan rumahnya. Dia berdecak kesal melihat motor yang sangat dia kenali telah terparkir di halaman rumahnya.
"Sudah kuduga. Bang Rohmat pasti telah menungguku sejak tadi," gumamnya.
Setelah membayar ongkos ojeg, dengan berusaha tenang seperti tidak terjadi apa-apa, Tiara masuk ke rumahnya.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam. Darimana aja lo? Bikin khawatir aja!" Ternyata benar dugaan Tiara. Rohmat sudah menunggunya sejak tadi. Pria itu terlihat kesal memandang Tiara.
"Ya ampun Tiaraaa, ke apotik kecamatan aja kamu sampai sore gini? Kemana aja kamu? Eh, kamu nggak apa-apa, kan? Mukamu kok pucat?" Ibu menghampiri dan memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
"Aku ke klinik sebelah apotik, Bu. Kepalaku sakit banget. Jadi aku putuskan untuk ke dokter aja."
"Nak Rohmat tadi nyusul kamu. Tapi kok nggak ketemu," sanggah ibu.
"Apaaa? Nyusul?" Tiara terkejut. Namun dia bersyukur karena Rohmat tidak menemukannya. Entah apa yang terjadi jika Rohmat menemukannya di klinik tadi.
"Sudah, sudah! Cepat temui Bapakmu. Selagi Rohmat ada di sini, Bapak mau bicara denganmu di kamar!"
"Bapaaak!' Dengan langkah cepat Tiara langsung menghampiri Bapaknya yang berada di kamar.
Hati Tiara teriris melihat Bapaknya terbaring lemah.
"Tiara ... kamu sakit, Nak?" lirih laki-laki tua dengan rambutnya yang sebagian sudah rontok.
Tiara menggeleng. Tenggorokannya tercekat.
"Maafkan Tiara, Pak. Tiara hamil. Tiara telah mengecewakan Bapak!' jerit Tiara dan tentunya hanya dalam hati. Namun air matanya terus mendesak ingin keluar.
"Sini, Nak!" Tiara mendekat. Digenggamnya jemari yang sudah keriput dan lemah itu. Lagi-lagi hatinya perih melihat tubuh Bapaknya yang semakin kurus.
"Bagaimana dengan permintaan Bapak semalam, Nak? Kamu mau kan menikah dengan Rohmat?"
Lidah Tiara terasa kelu. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Bapaknya. Saat ini dia sangat bingung. Dia harus jawab apa?
Tiba-tiba saja Ibunya masuk. Ternyata sejak tadi wanita paru baya itu melihat keraguan dari wajah Tiara. Dia tak ingin suaminya sedih.
"Pak ..., Biar Tiara bicara dulu dengan Rohmat. Sana Tiara, Rohmat sejak tadi sudah menunggumu!" ucap Ibu lembut.
Tiara melangkah menuju ruang tamu. Namun tiba-tiba ada pesan masuk diponselnya.
Matanya melebar saat melihat nama yang sejak tadi berada dibenaknya, tertera pada ponselnya.
[Share location, segera!]
Jantung Tiara tiba-tiba berdebar saat membaca pesan dari Neil. Untuk apa bos bulenya itu memintanya untuk share location?
bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
