
Entah siapa yang memulai, Neil dan Tiara melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Neil tidak menyangka Tiara masih perawan, hingga sekretarisnya itu menuntut minta dinikahi. Neil menolak karena telah memiliki istri.
Namun latar belakang kehidupan Tiara membuat Neil simpati pada sekretarisnya itu.
Bagaimana nasib rumah tangga Neil? Apakah Tiara berhasil meminta Neil untuk menikahinya?
Part 1
"Ambillah ini. Lalu lupakan kejadian semalam!"
Dengan gusar Neil meletakkan sejumlah uang di dalam amplop ,di atas ranjang hotel. Kemudian kembali mengenakan pakaiannya yang tercecer di lantai kamar. Sungguh dia tak habis pikir dengan apa yang baru saja dia lakukan. Dalam hati pria bertubuh ateltis dengan tinggi diatas rata-rata itu terus mengumpat.
"Nggak bisa gitu dong, Pak! Bapak sudah merenggut kesucian saya. Maaf-maaf aja, nih, kalau segini mah, kurang!" tolak Tiara yang sedang berusaha menutup rapat tubuh polosnya dengan selimut, seraya menepis amplop coklat yang cukup tebal dari tangan pria berwajah bule itu.
Neil melotot pada wanita yang sudah tiga tahun menjadi sekretarisnya itu.
"Loh, saya kan nggak sengaja. Lagian kamu juga menikmatinya tadi. Hayoo, ngaku aja kamu!"
Wanita berambut sebahu itu menggeleng, membuat rambutnya bergerak hingga nampak kembali leher jenjangnya yang putih dan mulus.
Neil menahan salivanya melihat itu.
"Tiara, kamu jangan mancing-mancing saya lagi, ya!" gumamnya seraya mengatur napasnya yang mulai memburu. Ia tak ingin hasratnya kembali terpancing.
"Dih, siapa yang mancing? Emangnya bapak ikan?" pungkas Tiara, gadis itu membuang pandangannya dari Neil. Sungguh diapun nyaris kembali tergoda melihat Neil belum memasang kancing kemejanya.
Neil mulai panik karena Tiara menolak pemberiannya yang berupa sejumlah uang sebesar tiga kali lipat dari gaji sekretarisnya itu.
"Oke, katakan jumlah yang kamu inginkan. Saya akan transfer sekarang juga." Neil meraih ponselnya dan membuka menu mobile banking.
"Bukannya saya menolak rezeki ya, Pak. Tapi maaf, kesucian saya ini nggak bisa dinilai dengan uang," jelas Tiara tegas.
"Astaga Tiara ...! Kamu bikin saya pusing." Neil mengacak-acak rambutnya.
"Apalagi Saya, Pak. Belum lagi kalau saya sampai hamil."
"Haaaa, apaaa? Hamil?" Wajah bule itu memucat dengan mata melotot.
Tiara mengangguk. Wajahnya terlihat sangat panik.
Tiba-tiba Neil teringat perkataan Maminya yang selalu bilang ingin punya cucu. Sementara Erika selalu menolak untuk.hamil karena takut bentuk tubuhnya berubah menjadi tak menarik. Hingga dua tahun menikah, mereka belum juga punya anak. Erika yang keras kepala tak mau mengalah walau maminya sudah berkali-kali membicarakan hal ini padanya.
"Kalau Tiara hamil anakku, malah bagus, dong? Keinginan Mami untuk punya cucu tercapai. Aku juga nggak harus berdebat terus sama Erika tentang rencana memiliki anak.
Astaga, mikir apa aku ini!" bathin Neil seraya menepuk pelan keningnya.
"Nah, Bapak pusingkan? Apalagi Saya loh, ,Pak," ujar Tiara yang ternyata sejak tadi memperhatikan tingkah bosnya yang super tampan itu.
"Bagaimana ini, Pak? Saya harus bilang apa sama orang tua saya kalau saya beneran hamil?" Tiara menutup wajahnya, membayangkan jika orang tuanya mengetahui hal ini.
"Halah! sudah-sudah! Sebenarnya Kamu
maunya apa, sih?"Neil semakin kalut dan panik.
"Gampang, Pak! Nikahi saya!"
"Apaaa?" Neil terlonjak. Dia tidak menyangka Tiara akan berkata demikian.
Selama tiga tahun bekerja padanya, mereka selalu profesional. Walau Tiara termasuk gadis yang sangat cantik, bertubuh sintal dan juga cerdas, tidak pernah terjadi apapun di antara mereka.
Entah mengapa semalam mereka sampai lupa diri.
Setelah pertemuan dengan relasi bisnis di salah satu restoran di hotel ini semalam, mereka melanjutkan pekerjaan yang belum rampung di kamar Neil. Saat ini mereka sedang bertugas di kota Surabaya. Sebenarnya mereka menyewa dua kamar yang berbeda. Namun hingga malam Tiara masih berada di kamar Neil dengan setumpuk pekerjaan. Lalu entah siapa yang memulai, hingga semua ini terjadi dan berakhir dengan saling menyalahkan.
"Saya tidak mungkin menikahi kamu, Tiara. Saya sudah punya istri."
"Tapi bapak sudah merenggut satu-satunya yang saya jaga selama ini." Tiara tak kalah ngotot.
Neil tak menyangka Tiara masih segel. Namun dia tak dapat berhenti begitu saja di saat hasratnya sedang memuncak. Diam-diam dia mengakui kecantikan sekretarisnya itu semalam. Sungguh suatu sensasi yang luar biasa yang belum pernah ia rasakan selama ini. Bahkan dengan istrinya sekalipun. Dirinya merasa bodoh baru menyadari sekarang kecantikan yang ada pada diri Tiara. Setelah sekian tahun wanita yang selalu berpenampilan modis itu menjadi sekretarisnya.
Neil tahu, Tiara adalah seorang wanita yang baik dan kuat. Dia tak mungkin berniat menghancurkan rumah tangganya.
Neil meremas rambutnya frustasi. Apa.yang harus dia lakukan? Bagaimana jika Erika sampai tau? Istrinya itu tentu tidak akan terima jika dia menikah lagi. Erika memiliki karakter yang keras, Neil tak akan sanggup menghadapinya nanti.
Sesaat keduanya terdiam. Neil yang kini duduk di sofa kamar itu, terus berpikir dan mencari cara untuk menyelesaikan masalahnya. Sementara Tiara duduk bersandar pada sisi ranjang seraya memainkan ponselnya.
"Tiara, kamu bantu mikir, dong!"
"Iyaaa, ini juga dari tadi mikir, tapi jawabannya tetap sama, Bapak harus nikahi saya pokoknya, titik!"
"Astaga Tiara , sebenarnya Bosnya di sini saya apa kamu, sih?" Pria gondrong itu semakin sewot.
"Oooo, jadi mentang-mentang Bapak Bos di sini, bisa seenaknya nidurin saya dan nggak mau tanggung jawab?" Suara Tiara meninggi membuat Neil semakin kalut.
Neil semakin frustasi. Sepertinya dia tak punya pilihan lain. Namun, bagaimana mungkin dia harus menikah lagi? Selama ini dia sudah berusaha keras untuk setia pada Erika.
"Hmmm..., begini saja." Tiba-tiba Neil berkata sambil menatap Tiara dengan serius.
"Tiara, Apa kamu mau jadi simpananku saja? Kita menikah secara siri." Neil yang sudah nampak putus asa akhirnya mengalah.
Tiara berpikir sejenak.
"Sepertinya menarik. Tentunya aku akan dapat jatah uang nafkah setiap bulan, dan bisa membeli barang-barang mahal sesukaku. Tanpa harus berhemat dan menabung seperti biasanya," bathinnya.
"Ya, Pak. Saya mau. Awas ya, Bapak jangan bohong!" tegas Tiara seraya menatap tajam pada atasannya yang merupakan CEO tempat dirinya bekerja.
"Hhh ....iyaaaa ... iyaaa !" Neil meghempaskan napas kasar. Sungguh tak dapat dia bayangkan akan memiliki istri simpanan. Selama ini Neil adalah pria setia yang selalu bertanggung jawab pada istrinya.
Yang membuatnya tak habis pikir, yang akan menjadi istri simpanannya adalah Tiara. Sekretarisnya sendiri.
Sementara itu, Tiara yang tadinya terlihat sangat panik, kini wajahnya berubah berbinar. Membayangkan jika dia akan mendapatkan barang--barang yang sejak lama dia inginkan tanpa harus bersusah payah bekerja. Tiara yang berasal dari keluarga sederhana mengharuskan dirinya untuk selalu berhemat.
----
"Urusan kita sudah selesai, sebaiknya kita segera kembali ke Jakarta." Neil mengenakan pakaian yang sudah disiapkan oleh Tiara .
"Baik, Pak. Saya ambil barang-barang saya dulu. Kita ketemu di lobby setengah jam lagi!" Tiara yang masih memakai kimono, keluar dari kamar Neil lalu berjalan menuju kamarnya yang berada di sebelah.
Neil menghela napas lega, pasalnya sejak tadi dia tak tahan melihat Tiara hanya memakai kimono dengan belahan dada yang terlihat jelas. Neil sangat yakin Tiara sedang tak memakai apapun di dalam sana.
Perlahan pria yang memiliki wajah kebarat-baratan itu berusaha mengontrol hasrat yang mulai meguasai tubuhnya sejak tadi.
"Sial, Tiara! Kenapa dia terlihat sangat berbeda sekarang ini" gumamnya.
Neil menerima panggilan dari Erika pada ponselnya. Saat ini dia sedang duduk di lobby sambil menunggu Tiara, sekretarisnya.
"Jangan lupa oleh-olehku!" pinta Erika dari sebrang sana.
"Aku kerja, Erika. Bukan jalan-jalan. Mana sempat mencari oleh-oleh pesananmu?" Neil kesal karena Erika selalu memaksa meminta oleh-oleh setiap dia pulang bekerja dari luar kota.
"Haalaah! Cuma mampir sebentar kan bisa, Neil. Kalau kamu tidak mau, aku akan suruh sekretarismu yang beli!"
"Ja-jangan Erika, Ha-hallo ...!"
Erika telah menutup panggilannya secara sepihak. Neil jadi gelisah. Bagaimana jika Erika tahu kejadian semalam? Bagaimana jika istrinya tahu kalau dia akan memiliki istri simpanan?
Mata Neil melebar, jantungnya berdegup kencang kala melihat Tiara dengan dress selutut berwarna merah muda melangkah menghampirinya seraya menarik sebuah koper.
" Ayo, Pak. Kita ke penghulu sekarang!"
"A-apaa? Ke penghulu?
bersambung
Part 2
"Apaa? Ke penghulu?"
Tiara mengangguk cepat. "Bapak sudah janji, loh!"
"Ya ampun, Tiaraaa. Kamu pikir mencari penghulu itu seperti kamu cari tukang gorengan yang ada di mana-mana?"
"Tapi bapak kan sudah janji mau nikahi saya!"
"Ssstt ... tolong pelankan suaramu, Tiara!" sanggah Neil seraya memandang sekelilingnya.
"Sebaiknya kita segera ke bandara. Taksi sudah menunggu kita!" Neil melangkah keluar melalui pintu kaca diikuti Tiara di belakangnya.
Supir taksi membukakan pintu untuk mereka.
Taksi mulai melaju menuju bandara Juanda. Selama perjalanan menuju bandara, Neil melihat wajah Tiara murung. Tidak seperti biasanya sekretarisnya itu diam membisu. Sesekali Neil melirik wajah putih dengan pipi yang menggemaskan itu. Namun Tiara terus memandang ke luar jendela.
"Sial, kenapa dia diam saja?" Entah kenapa Neil merasa sangat canggung berada di dekat Tiara saat ini. Apalagi sejak tadi gadis itu hanya diam membisu.
"Ehm ... apa jadwalku besok pagi, Tiara?" Neil mencoba memecah kesunyian.
"Semua jadwal Bapak udah saya kirim lewat email," sahutnya datar tanpa menoleh.
Sungguh Neil merasa bingung dengan sikap Tiara yang acuh padanya.
"Astaga, ada apa dengan diriku? Kenapa aku jadi tidak tenang dengan sikap acuhnya?" gerutu Neil dalam hati.
Selama berada di Bandara, Tiara masih memilih diam tidak seperti biasanya.
"Tiara, mana minumku? Aku haus." Neil mencoba untuk membuka pembicaraan saat di ruang tunggu. Dia merasa sangat aneh. Tiara yang biasanya cerewet padanya, kini membeku dengan wajah yang murung.
Tiara meraih botol minuman pada tas ransel yang dibawanya, tanpa berkata sepatah katapun.
Neil meraih botol minuman itu. Tanpa sengaja tangannya menggenggam jemari sekretarisnya itu. Bagaikan magnit, tangan Neil seakan enggan untuk melepaskan jemari lentik yang terasa begitu lembut.
Bagaikan magnit pula, tatapan mereka seakan terkunci satu sama lain. Hati Tiara berdesir. Entah kenapa sentuhan jemari Bosnya kini terasa berbeda. Tiba-tiba saja bayangan tentang malam itu kembali terlintas dibenaknya. Entah kenapa sejak malam itu, pikiran Tiara tak pernah lepas dari bosnya yang bernama Neilson Patrick itu. Seketika Tiara tersadar dengan pipimya yang memerah. Sontak dia hendak melepaskan jemarinya. Namun ternyata Neil menahannya dan masih menatapnya lekat dan tak berkedip.
"Pak, ... Pak Neil! Maaf, tangan saya, Pak!"
"Oh, Astaga! M-maaf ... "
Keduanya merasa canggung dan salah tingkah.
Suara operator memberikan informasi bahwa agar mereka segera menaiki pesawat. Keduanya kembali melangkah dalam diam.
"Tiara, Saya tau, Kamu takut saya akan membohongi kamu. Tenanglah, Saya tidak akan mengingkari janji." Neil memulai kembali pembicaraan saat mereka sudah berada di pesawat.
Tiara hanya mengangguk.
"Jadi tolong, jangan diamkan saya seperti ini. Entah kenapa rasanya sangat tersiksa," ungkap Neil dan tentunya hanya dalam hati. Dia tak mungkin mengakui perasaan yang dia rasakan ini pada sekretarisnya. Mau di taruh di mana mukanya.
"Jadi kapan Bapak akan menikahi saya?" Tiba-tiba saja Tiara bertanya dengan wajah serius.
"Pokoknya ... secepatnya. Kamu tenang aja."
Neil terus berpikir keras bagaimana dan kapan dia akan menikahi Tiara. Rasanya dia sudah gila memikirkan hal yang tidak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Menikahi Tiara secara diam-diam bukanlah hal yang mudah.
Mereka sudah tiba di Bandara international soekarno Hatta. Neil sengaja tidak meminta supirnya menjemput. Kali ini dia memilih untuk naik taksi karena dia ingin mengantar Tiara sampai ke rumahnya. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merasa khawatir melepas sekretarisnya itu. Padahal biasanya dia selalu menyuruh Tiara untuk pulang sendiri dengan taksi.
"Kenapa tidak dijemput Pak Toto saja, Pak?"
"Tidak usah. Naik taksi saja. Saya antar kamu dulu!"
"Apaa? Bapak mau antar saya?" Tiara terheran. Sekian tahun menjadi sekretaris di perusahaan Neil, baru kali ini Bosnya itu mau mengantarnya.
Diam - diam hati Tiara menghangat.
"Di mana alamatmu?"
" Di ... Kampung Senggol, Pak."
Neil cukup terkejut mendengar tempat tinggal Tiara. Pasalnya dia tidak yakin sekretarisnya itu tinggal di sana.
Mereka naik taksi yang memang sengaja membawa penumpang dari bandara. Perjalanan menuju kampung senggol memakan waktu satu jam perjalanan.
Taksi memasuki pemukiman padat penduduk. Neil yang belum pernah mendatangi daerah itu memandang heran keluar jendela. Dia tak menyangka selama ini Tiara sekretarisnya itu tinggal di tempat yang menurutnya jauh dari kata layak.
"Berhenti di depan gang kecil itu saja, Pak!"
"Yang mana rumahmu, Tiara?"
"Saya tidak punya rumah, Pak. Disini saya ngontrak."
Neil ternganga mendengar penuturan Tiara. Kenapa Tiara mengontrak di tempat seperti itu? Bukankah gaji yang dia berikan selama ini cukup besar?
Tiara pamit turun saat taksi berhenti.
"Saya turun, Pak. Terimakasih!" .
Neil mengangguk. "Besok pagi jangan sampai terlambat!"
"Baik, Pak."
"Tiaraaa! Kemana aja lu?" Neil menoleh pada seorang pria yang tiba-tiba saja menghampiri Tiara saat keluar dari taksi.
"Aku habis tugas dari Surabaya, Bang!"
"Buruan pulang! Gue laper, nih!" Pria berjambang lebat dengan gaya pakaian seperti preman itu meraih tangan Tiara dan membawanya masuk ke dalam gang kecil.
Neil memyaksikan dengan jelas dari dalam taksi dengan napas memburu.
"Siapa pria itu? Kenapa Tiara sepertinya takut pada pria itu?"
Entah kenapa Neil merasa seperti tidak terima ada pria lain yang dekat dengan Tiara.
Apakah dia cemburu?
Neil menggeleng-geleng sendiri.
"Mana mungkin aku cemburu. Aku tidak mencintai Tiara," bathinnya.
"Jalan, Pak! Kita ke Pondok Indah!"
Part 3
"Buruan pulang, gue laper!"
"Hei, Rohmat! Si Tiara napa lu tarik-tarik begitu? Kasianan kaan." Seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan menegur pria yang dipanggil Rohmat.
"Nggak usah ikut campur! Ini urusan gue!" sahut Rohmat tenang tanpa menoleh.
"Ganteng-ganteng, tapi kasar sama perempuan!" Wanita itu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kasar Rohmat pada Tiara.
"Aduh, Baaang! Sakit tau. Pelan-pelan, kek!' Tiara berjalan terseok-seok mengikuti langkah Rohmat, sambil satu tangannya menarik koper.
"Diamlu! Kayak lagi gue apain aja pake teriak-teriak gitu!' gumam pria yang dipanggil Bang Rohmat oleh Tiara.
Mereka sampai di depan rumah kontrakan yang berderet dengan bentuk dan besar yang sama. Rohmat membuka pintu salah satu rumah.
"Sana lu masuk, terus bikinin gue makan. Awas, kaga pake lama!"
"Iya, bawel! Dasar cowok nggak sabaran! Ribet!" umpat Tiara. Netranya memandang kesal pada pria bermata teduh itu.
Sementara Rohmat tak peduli dengan ocehan Tiara. Pria berambut panjang itu masuk ke dalam kontrakan yang berada tepat di sebelah kontrakan Tiara.
Tiara bergegas ke dapurnya yang hanya berukuran dua kali satu meter. Dia memutuskan untuk membuatkan mie instan untuk Rohmat. Karena hanya ada stok beberapa mie instan saja di lemarinya.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi nada notifikasi pesan masuk.
Tiara meraih ponselnya dan membuka pesan yang ternyata dari Bosnya
[ Kamu baik-baik saja?]
Tiara mengerutkan dahinya karena bingung.
"Tumben. Aneh banget."
[Bapak salah sambung, ya?]
Tiara mengirim balasan pada bosnya, kemudian melangkah keluar membawa semangkuk mie instan dan membawanya ke kontrakan sebelah.
"Ini makannnya!" Tiara meletakkan mangkuk putih berisi mie instan campur telur di atas meja yang berada di depan Rohmat. Kemudian kembali berjalan menuju pintu.
"Mau kemana lu?"
"Istirahat. Capek!"
"Bentar temenin gue dulu!"
Tiara berdecak malas, namun tetap kembali menghampiri pria berbadan kurus tinggi dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai.
Tiara menjatuhkan tubuhnya diatas kursi yang berada di hadapan Rohmat.
"Lu nggak makan?" Rohmat mulai mengaduk mie instan yang masih panas.
Tiara menggeleng seraya membuka kembali ponselnya. Entah kenapa dia penasaran dengan pesan dari bosnya tadi.
"Mau gue suapin?" Pria berkarakter tenang namun tegas itu menyodorkan sesendok mie ke mulut Tiara.
"Gue kenyang, Bang. Tadi udah makan." Tiara menepis pelan sendok di depannya.
Wajah Rohmat menggelap menerima penolakan dari Tiara.
"Siapa laki-laki yang nganterlu tadi? Lu pasti habis diajak makan sama dia?" Jangan murahan jadi perempuan!" tanya Rohmat yang berusaha tenang seraya mulai menyuap mie instan ke mulutnya.
Tiara langsung menoleh dan memadang Rohmat dengan kesal.
"Dia Bos gue. Iya, tadi gue habis diajak makan enak sama dia. Puaslu?"
Rohmat langsung melepaskan sendoknya begitu saja dan dibiarkan terjatuh.
"Lu jangan macem-macem, Tiara! Selama utang-utang orang tua lu belum lunas, lu masih milik gue. Masih bagus lu nggak gue apa-apain. Ngerti lu?" Suara Rohmat tiba-tiba saja menggelegar.
Tiara gemetar melihat wajah Rohmat yang merah padam. Telunjuk Rohmat saat ini berada tepat di depan wajahnya.
"Iy-iyaa, Bang. Gue ngerti."
Rohmat menarik napas panjang. Kemudian berdiri menghampiri Tiara yang masih memucat..
"Maafin gue. Lain kali jangan bikin gue emosi!" Rohmat berusaha menahan emosinya. Setelah mengacak-acak pelan rambut Tiara, pria gondrong itu melangkah menuju pintu dan berlalu pergi.
Tiara berdiri terpaku memandang punggung tegap milik Rohmat. Entah sampai kapan dia akan hidup dengan pria yang emosinya tak pernah stabil itu. Kembali hatinya merasa sedih mengingat hutang - hutang orang tuanya yang tak habis-habis dia bayar. Sementara dia pun tetap harus mengirim uang setiap bulan untuk sekolah ketiga adik dan pengobatan Ayahnya di desa.
Tiara tersentak oleh suara ponselnya. Sebuah panggilan masuk yang ternyata dari orang yang sejak tadi membuatnya penasaran. Dirinya tersenyum melihat foto bosnya yang super tampan terpampang pada layar ponselnya.
"Hallo, Pak. Ada yang bisa saya kerjakan?"
"Kamu dimana Tiara?"
Tiara mengerutkan dahinya.
"Dirumah lah, Pak. Kan tadi Bapak yang antar Saya pulang?"
"Kamu baik-baik aja, kan? Kamu nggak diapa-apain sama preman tadi?"
Tiara tersenyum mendengar pertanyaan bosnya itu. Diam-diam hatinya menghangat mendapat perhatian yang tak biasa dari seorang Neilson Patrick.
"Tiara ..., kamu masih di sana?"
"Iya- iya, Pak. Saya baik-baik saja, kok."
"Hmm, ya sudah kalau begitu. Besok jangan terlambat!"
"B-baik, Pak!"
Tiara terlonjak senang setelah menutup panggilan dari Neil. Entah kenapa tiba-tiba saja hatinya berbunga-bunga. Seketika kembali terbayang olehnya kejadian malam itu. Hatinya mendadak gelisah. Bagaimana jika dia benar-benar hamil?
---
Sementara Neil yang masih berada di taksi merutuki dirinya sendiri.
"Kenapa juga aku harus telpon Tiara? Bisa-bisa nanti dia salah paham," gumamnya menyesali diri.
Entah mengapa dia sangat khawatir pada sekretarisnya itu. Sebenarnya Neil sangat penasaran dengan pria yang menarik tangan Tiara tadi.
"Siapa Dia? Kenapa dia kasar pada Tiara?" Neil terus bertanya dalam hati. Kepalanya mau pecah terus memikirkan Tiara dan pria itu. Dia seakan tak sabar ingin bertemu sekretarisnya itu besok pagi dan menanyakan hal itu..
Taksi berhenti di depan rumah mewah berlantai tiga. Seorang satpam menghampiri saat Neil turun dari taksi.
"Sore, Tuan. Tumben tidak ada yang jemput?" Satpam itu membantu menurunkan koper Neil dan mengikuti majikannya melangkah masuk ke dalam.
"Tidak apa-apa, Pak Ujang. Kebetulan driver kantor sedang libur," sahutnya asal.
"Kemana istri Saya?" tanya Neil ketika tak menemukan mobil Erika di depan rumahnya.
"Nyonya keluar sejak pagi, Tuan. Tidak bilang mau kemana."
" Erika masih belum berubah. Dia sering tidak di rumah setiap aku pulang. Padahal dia tahu aku pulang hari ini," geram Neil dalam hati.
Neil melangkah masuk ke kamarnya. Sebuah foto dirinya dan Erika dengan pakaian pengantin terpampang jelas pada dinding kamar. Entah kenapa hatinya merasa berbeda saat melihat foto itu.
"Pernikahan macam apa ini?" gumamnya.
Tiba-tiba terlintas kembali dibenaknya kejadian malam itu. Neil tak habis pikir. Kenapa bayangan sang sekretaris terus berputar di kepalanya. Ada apa dengannya?
"Tiara ..." tanpa sadar Neil bergumam menyebut nama wanita yang tak bisa lepas dari ingatannya sejak tadi.
bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
