
Alif tak pernah menyangka bahwa istri yang dia ceraikan karena dianggap dekil dan tak menarik adalah seorang pemilik tunggal perusahaan tempat dia bekerja.
Alif pun menyesal setelah melihat penampilan Shinta-mantan istrinya berubah menjadi cantik dam elegan.
Bagaimana perjuangan Shinta dalam merebut perusahaan keluarganya dan menemukan cinta sejatinya?
Bab 6
Mataku membelalak ketika melihat kertas kecil dalam genggamanku bertuliskan 'call me'. Kertas yang ternyata sebuah kartu nama itu juga tertera jabatan Raka Adipratama sebagai CEO PT Ramajaya, serta nomor ponsel laki-laki itu.
Apa maksudnya? Untuk apa Raka memintaku untuk menghubunginya? Siapa dia sebenarnya?
Aku terus berpikir keras berusaha mengingat-ingat. Tapi sama sekali tak ada titik terang di pikranku.
Aku tidak boleh gegabah. Bisa saja Raka adalah salah satu musuh orang tuaku yang ingin menyingkirkanku. Sebaiknya aku tetap waspada sambil mencari informasi.
Namun bagaimana caranya? Siapa yang harus aku hubungi? Siapa yang bisa aku percaya saat ini?
Untuk sementara nomor ponsel Raka aku simpan di kontak ponselku. Sewaktu-waktu mungkin aku akan memerlukannya.
Sambil menunggu Mas Alif, aku mencoba lagi mengingat-ingat, di mana aku pernah bertemu Raka. Rasanya wajah itu tak asing bagiku. Tapi sungguh aku tak ingat siapa dia sebenarnya.
Dari sikapnya, Raka sepertinya orang baik. Semoga saja dia datang sebagai dewa penolong untukku. Walau demikian, aku tetap harus waspada.
Hingga larut malam Mas Alif belum juga pulang. Ibu, Imah dan Kak May sepertinya sudah tidur. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Apa mungkin Mas Alif masih di rumah perempuan itu? Sungguh hati ini tidak tenang.
Aku berusaha untuk memejamkan mata. Tapi tak bisa. Selama ini Mas Alif belum pernah pulang selarut ini. Apa yang dia lakukan bersama perempuan itu? Berbagai dugaan buruk mulai terlintas di benakku.
Kenapa ibu tenang-tenang saja? Apa Mas Alif sudah menghubunginya? Tapi kenapa suamiku itu tidak memberi kabar padaku?
Tiba-tiba aku bangkit saat mendengar suara-suara dari luar rumah.
"Assalamualaikum, Bu Minah ...! Cepat buka pintunya, Bu ...!"
"Bu Minah ...! Buka pintunya ...!"
Terdengar dari luar beberapa orang berteriak-teriak memanggil nama Ibu. Mereka sambil menggedor-gedor pintu depan.
Aku yang belum tertidur segera keluar dan mengintip dari jendela.
Astagfirullah ... Ada apa malam-malam begini Pak RT dan beberapa warga datang dengan wajah emosi? Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Mas Alif?
Segera aku berlari menuju kamar Ibu dan Kak May yang letaknya bersebelahan. Kemudian gegas membangunkan ibu dan Kak May.
"Bu ... Bu ... Kak May ...! Ada Pak RT ...." Teriakku sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar ibu dan Kak May.
"Ada apa, sih? Berisik banget!" ketus Kakak iparku yang muncul di balik pintu.
"Kenapa, sih? malam-malam ribut aja!" Ibu membuka pintu dan melotot padaku
"Ada beberapa warga dan Pak RT di depan, Bu," sahutku.
"Apaa?" teriak keduanya.
Suara gedoran pintu dan teriakan warga makin keras terdengar. Dengan wajah panik ibu segera berlari keluar diikuti Kak May dan Imah.
"Ada apa ini Bapak-Bapak?" Kami tercengang melihat warga yang sudah banyak di depan rumah.
"Kalian semua harus ikut ke pos RW, karena warga telah memergoki saudara Alif dan Mela telah berzina di rumahnya."
Apaa?? Mas Alif ... Astagfirullahaladzim.
Keterangan dari Pak RT membuat kami semua terkejut. Apalagi aku. Bagai disambar petir , tubuhku bergetar mendengar kabar itu. Kakiku terasa lemas seketika. Rasanya tak sanggup lagi untuk menopang tubuh ini. Seketika aku menyandarkan tubuhku pada dinding.
Ibu dan Kak May langsung ke dalam bersiap untuk pergi.
"Bu ..., A-aku ikk ...." tenggorokanku rasanya tercekat
"Sudah kamu dirumah saja, Shinta! Biar ibu dan May yang kesana! Dasar Alif bikin malu keluarga saja," sanggah Ibu dengan wajah memerah penuh emosi.
Aku tak berani membantah. Mungkin memang sebaiknya aku di rumah saja. Pasti tak akan sanggup melihat Mas Alif berdua dengan perempuan itu di sana.
Kemudian Ibu dan Kak May mengikuti Pak RT, bergegas pergi menuju pos RW yang berada di dekat rumah perempuan itu. Sementara Imah kembali masuk ke kamarnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Aku terduduk di teras rumah. Tak kuhiraukan angin malam yang menusuk tulang. Entah bagaimana nasib rumah tanggaku nanti. Apa Mas Alif akan menceraikanku? Jika itu terjadi, ke mana aku harus pergi? Tanpa terasa air mataku sudah mengalir deras.
Hampir tengah malam Ibu dan Kak May tidak kunjung pulang. Beberapa pesan yang aku kirim untuk Mas Alif, satupun tak ada yang dibaca.
Aku putuskan untuk masuk kamar dan melaksanakan salat sunah, memohon petunjuk pada Yang Maha Kuasa. Hingga malam hampir pagi, akhirnya aku terlelap.
-------
Saat subuh aku terjaga, terdengar ada yang mengetuk pintu kamarku.
"Shinta, Shinta, bangun kamu!"
Perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan kemudian membuka pintu.
Nampak wajah kak May dari balik pintu kamar. Sepertinya kakak iparku itu belum tidur sama sekali. Raut kelelahan jelas terlihat dari wajahnya.
"A-ada apa, Kak? Kak May baru pulang?" sahutku.
"Buruan kamu masak yang banyak! Kita akan ada tamu pagi ini!"
"Tamu siapa, Kak? Bagaimana Mas Alif?" tanyaku bingung. Sungguh aku penasaran dan tak tenang belum mendapat kabar tentang Mas Alif.
"Sudah nggak usah banyak tanya! Buruan kerjakan aja!" bentaknya, kemudian berlalu ke kamarnya.
Segera aku mandi dan salat subuh, kemudian memasak bahan-bahan makanan yang ada di kulkas. Sesekali kulihat ponsel, pesanku masih belum dibaca oleh Mas Alif.
"Shinta, tolong ambilkan jas hitam milik Alif di lemari! Cepat!" Entah dari mana tiba-tiba ibu datang menghampiriku ke dapur.
"Astaghfirullahaladzim ..., untuk apa Mas Alif memakai jas, Bu?" tanyaku gemetar.
"Banyak tanya kamu! Nanti juga kamu akan tahu sendiri!" protes ibu dengan nada ketus.
Dengan langkah gontai aku beranjak ke kamar mengambil jas hitam yang terakhir kali di pakai Mas Alif saat menikahiku. Apakah kali ini juga dipakai untuk ...ah.
"Ini jasnya, Bu ..." Aku menghampiri Ibu ke kamar. Ternyata ibu sedang sibuk merias diri.
"Taruh saja di situ," sahutnya seraya menunjuk tempat tidurnya.
Kak May dan Imah juga terlihat rapi dan cantik. Ya Allah, apakah dugaanku ini benar? Tolong kuatkan hati hamba ...
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam ..."
Aku menjawab salam beberapa tamu yang baru saja datang. Entah siapa mereka. Seorang laki-laki setengah tua membawa sebuah map. Dua orang lainnya seperti sepasang suami istri , nampak seumuran dengan Ibu. Sepertinya mereka bukan tetangga di sini. Wajah keduanya seperti sedang marah. Siapa mereka sebenarnya?
"Bapak dan Ibu mau ketemu siapa?" tanyaku ramah.
Sepasang suami istri itu tak menjawab. Wajah merekapun tak bersahabat.
"Kami di minta ke sini, karena akad nikahnya akan dilangsungkan di sini.," jawab laki-laki paruh baya yang membawa map.
Sontak aku terlonjak. Jantungku berdegup kencang.
Akad nikah? Siapa yang akan menikah?
Bab 7
A-paa? Akad nikah? Siapa yang akan menikah?
Ya Tuhan apakah dugaanku ini benar? Mas Alif akan menikahi Mela? Berarti apa yang dikatakan Pak RT semalam benar-benar terbukti. Padahal sejak semalam aku masih berharap, tuduhan terhadap Mas Alif itu adalah salah.
Seketika tubuh ini terasa sangat lemas dan tak bertenaga. Sanggupkah aku menerima kenyataan ini?
"Shinta! Ada tamu bukannya disuruh masuk, malah melamun. Dasar menantu nggak guna!" Tiba-tiba Kak May sudah berada di belakangku. Kakak Iparku itu membentakku di depan para tamu. Matanya nyalang menatapku.
"Ayo silakan masuk bapak dan Ibu!" ajak Kak May dengan sangat ramah. Siapa sebenarnya tamu-tamu ini? Apakah mereka keluarga dari Mela?
Sepasang suami istri dan laki-laki paruh baya itu masuk dan duduk dikursi yang sudah ditata oleh kak May dan Imah. Beberapa makanan dan minuman sudah tersedia di meja tamu. Tak lama kemudian beberapa warga pun berdatangan. Termasuk pak RT dan istrinya..
Sementara aku masih berdiri mematung karena bingung. Aku harus cari tau apa yang sebenarnya terjadi. Aku berhak tau. Bukankah aku adalah istri Alif?
Segera aku melangkah menghampiri Ibu di kamarnya. Aku harus minta penjelasan pada beliau.
Aku mengetuk pintu kamar ibu yang tertutup rapat, dengan tubuh gemetar.
Dada ini terasa semakin sesak. Menyiapkan hati untuk menerima kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan aku dengar nanti.
Terdengar sahutan dari dalam setelah beberapa kali pintu kuketuk.
"Ada apa?" tanya ibu ketus ketika membuka pintu. Tatapan matanya begitu tajam menusuk manik mataku.
"Bu ..., tolong jelaskan padaku. Apa yang di katakan warga semalam tentang Mas Alif benar-benar terbukti?"
Ibu tak menjawab.
Aku memandang ibu dengan tatapan memohon. Sementara jantung ini terus berdetak dengan cepat.
Ibu membuang napas kasar. Lalu kembali ke meja rias melanjutkan merias diri tanpa menjawab pertanyaanku.
"Tolong jawab, Bu! Aku berhak tahu. Aku ini istrinya," teriakku tak tahan.
"Hei, pelankan suaramu!" bentak ibu dengan mata melotot.
"Jadi benar semua itu, Bu? Jadi benar Mas Alif terpaksa harus menikahi perempuan itu? Iya kan, Bu?" cecarku mendekati ibu dengan air mata mulai mengalir.
Ibu tetap bergeming.
"Siapa bilang Aku terpaksa menikahi Mela? Asal kamu tahu, kami sudah saling mencintai." Aku terlonjak mendengar suara yang sangat kukenali itu.
Perlahan aku membalikkan badan, menatap laki-laki yang masih menjadi suamiku. Hatiku seakan diremas melihat Mas Alif memakai kemeja putih lengan panjang, dengan dasi panjang berwarna navi. Ia menatap seakan meremehkanku. Tak peduli betapa sakitnya hati dan perasaan ini.
Aku menekan dada yang kian terasa nyeri. Bagai tertusuk ribuan jarum yang sangat tajam.
"Astaghfirullahalladzim ... kamu tega sekali, Mas," lirihku seraya kembali mengurut dada yang terasa makin penuh.
Air mata semakin deras mengalir di pipiku Apa yang aku takutkan ternyata menjadi kenyataan.
"Sudahlah, Shinta. Sebaiknya kamu diam dulu. Tidak enak di dengar orang. Sudah banyak tamu di depan. Kalau kamu tidak sanggup menyaksikan ini. Kamu di dalam saja!" Kali ini Ibu berbicara agak lembut padaku. Mungkin ibu mulai merasa iba padaku.
"Awas kalau sampai kamu membuat malu, Aku akan ..." Mas Alif tidak meneruskan kata-katanya. Sementara dia semakin geram menatapku.
"Sudah-sudah, jangan ribut! Cepat kamu pakai jas ini dan segera temui calon mertuamu di depan!" sanggah Ibu seraya memberikan jas hitam Mas Alif.
Suamiku pun menuruti permintaan ibu. Dengan cepat dia memakai jas hitam itu dan melangkah menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu pun menyusul Mas Alif ke ruang tamu.
Tinggallah aku sendiri yang terduduk di atas ranjang ibu. Berusaha menguatkan hati. Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh menangis. Mereka akan semakin semena-mena padaku. Aku harus secepatnya mengambil keputusan. Aku memang miskin dan tidak punya siapa-siapa. Namun aku masih punya harga diri.
Aku merasa tidak dihargai sama sekali di sini. Suatu saat aku akan balas kalian semua.
Aku putuskan untuk tetap akan berada di ruang tamu. Bukankah seharusnya mereka meminta izin aku dulu sebagai istri sah Mas Alif? Tapi kenapa justru mereka seperti menganggapku tidak ada.
Setelah menghapus sisa-sisa air mataku, dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tempat ijab kabul akan dilangsungkan.
Semua sudah berkumpul. Calon istri Mas Alif itu ternyata juga sudah hadir. Memang perempuan itu terlihat cantik dan seksi dengan lekuk tubuhnya yang menonjol. Mungkin karena kebaya putih yang di kenakannya agak sempit. Tentu saja, Si Mela itu pasti belum mempersiapkan kebaya baru. Karena pernikahan ini sangat menedadak.
Mas Alif nampak sumringah, Mela pun terlihat selalu mengembangkan senyum. Mereka sama sekali tidak terlihat sebagai korban penggerebekan. Justru tampak sangat bahagia menghadapi pernikahan dadakan ini.
Salah satu tamu yang tadi datang ternyata seorang penghulu. Pria paruh baya memakai peci hitam itu membuka pembicaraan untuk memulai berlangsungnya ijab kabul.
"Maaf Pak Penghulu, saudara Alif ini sebenarnya sudah punya istri. Apa tidak sebaiknya meminta izin dulu pada istrinya ini ?" Tiba-tiba Pak RT menyanggah pembicaraan Pak penghulu seraya menunjukku.
Sontak semua yang berada di ruangan itu menoleh padaku. Terlihat jelas raut kesal pada wajah ibu dan Mas Alif.
"A-apa? Istri?" Mela langsung berdiri dan menatap tajam padaku.
Sepasang suami istri yang ternyata kedua orang tua Mela itu juga berdiri.
"Bukankah dia itu pembantumu, Lif?" tanya Mela tak terima seraya menunjukku.
Mas Alif menarik napas panjang.
"Maafkan Aku, Mela. Memang benar dia Istriku," lirih suamiku itu sambil tertunduk di depan Mela.
"Pokoknya kamu harus tetap menikahi anak kami, Lif. Kamu harus bertanggung jawab!" Bapak Mela ikut berbicara dengan suara bergetar. Sementara disampingnya sang ibu telah berlinang air mata. Tak tega melihat kedua orang tua itu. Mereka pasti sangat kecewa dengan perbuatan Mas Alif dan anaknya itu.
"Bagaimana Mbak Shinta? Apakah pernikahan ini bisa di laksanakan? " tanya Pak RT kemudian.
Mas Alif dan Ibu terus melotot padaku. Sedangkan perempuana itu masih terlihat kesal dengan wajah cemberut. Berbeda dengan kedua orang tua Mela yang masih terisak, memandangku dengan tatapan memohon.
Sepertinya aku sudah tak sudi menjadi istri Mas Alif lagi. Aku harus mencari pekerjaan dan segera pergi dari sini. Sudah saatnya aku mengakhiri semua penderitaan ini.
"Bagaimana Nak Shinta? Kami mohon Nak Shinta mau merestui pernikahan anak kami!" Dengan tergugu, Ibu Mela memohon padaku.
Aku masih terdiam. Kemudian menarik napas panjang. Semoga keputusanku ini adalah benar.
"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang.
Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi.
Bab 8
"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang.
Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi.
Kemudian aku berdiri. Lalu melangkah mendekati kedua calon pengantin itu. Semua orang di ruangan itu masih menatapku. Mas Alif terlihat bingung.
"Tapi ... saya ada satu permintaan, Pak penghulu," tegasku seraya melirik pada kedua calon pengantin yang sepertinya sudah sangat tidak sabar itu.
"Apa-apaan kamu, Shinta? Sudah aku bilang jangan bikin malu!" bisik Mas Alif dengan geram seraya melotot padaku.
"Hey! Siapa sebenarnya yang sudah bikin malu ? Aku atau kamu, Mas ? Siapa yang sudah melakukan perbuatan menjijikkan itu?" Entah keberanian dari mana aku bisa berbicara lantang di hadapan laki-laki itu.
"Dasar perempuan kampungan! Berani sekali kamu berbicara seperti itu. Lihat saja dirimu! Sungguh memalukan. Pantas saja orang-orang mengira kamu pembantu," hardik Mela sambil bertolak pinggang menatap sinis padaku.
Astaga ...! Ingin rasanya aku tarik konde yang ada di kepalanya itu.
"Sudah ... sudah, jangan ribut ! Sebaiknya mari kita dengarkan permintaan dari Mbak Shinta ini. Silakan Mbak Shinta." Pak RT mencoba menenangkan situasi.
Aku menarik napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Berusaha menenangkan hati yang sudah mulai panas bergejolak.
"Mas Alif, sebelum kamu menikahi perempuan ini ..., Aku minta ... ceraikan aku terlebih dahulu!" tegasku.
"Talak Aku sekarang juga, Mas!" lanjutku lagi seraya menatap tajam pada suamiku itu.
Sontak Ibu mertua dan para iparku tercengang mendengar perkataanku. Sepertinya mereka tak menyangka aku melakukan hal ini. Aku yang sehari-harinya sangat penurut dan tidak pernah membantah. Tiba-tiba memberanikan diri berkata lantang di depan umum.
"Alif ..., buruan talak perempuan ini!!" Mas Alif yang juga tercengang menatapku, tiba-tiba tersentak oleh sentakan Mela yang berada di sebelahnya.
Ibu menggeleng lemah seraya menatap Mas Alif. Apa maksudnya?
Laki-laki itu juga sepertinya ragu dengan permintaanku. Bukankah selama ini mereka selalu membenciku?
"Shinta ... maaf, Aku tidak bisa ...," lirihnya.
"Apaa? Kenapa tidak bisa, Mas? Bukankah aku ini istri yang memalukan? Hingga kamu tak sudi memperkenalkanku pada teman-temanmu," pekikku kesal.
"Sudahlah, Shinta. Biarkan Alif menikahi Mela. Toh dia tetap akan bertanggung jawab menafkahi kamu nanti," pinta Ibu lembut mencoba mempengaruhiku.
"Lagian kalau kamu dicerai, mau tinggal di mana? Mau makan apa kamu? Apa nggak malu kalau balik lagi ke panti asuhan itu?" Tandas Kak May dengan nada ketus.
"Itu urusanku. Kak May tidak perlu memikirkan hal itu!" sanggahku.
"Ayo Pak penghulu, silakan laksanakan ijab kabulnya!" pinta Ibu.
"Tidak bisa! Mas Alif harus menceraikan aku dulu!" pungkasku.
"Jangan keras kepala kamu, Shinta!" bentak Kak May. Wajahnya sudah terlihat sangat emosi
"Maaf Bapak dan Ibu, sebaiknya ada kesepakatan dulu sebelum pernikahan ini di laksanakan," ujar Pak RT.
"Lekaslah, Lif ... Segera talak perempuan kampungan ini!" Mela mulai gusar melihat Mas Alif yang ragu-ragu.
"Hm ... Baiklah!" gumam Mas Alif.
"Alif ....!" bentak ibu seraya melotot pada anak laki-lakinya itu.
"Maaf, Bu. Saya harus menceraikan Shinta," ujar Mas Alif.
Kenapa Ibu terlihat panik? Bukankah selama ini Ibu tidak menyukaiku? Seharusnya beliau mendukung aku bercerai dengan Mas Alif. Tapi ... , Ada apa sebenarnya?
"Alif ... Jangan ...!! teriak Ibu melihat suamiku mulai membuka mulut.
"Maafkan aku, Bu."
"Cepat, Lif! Talak dia!" Bentak Mela dengan gusar.
"Baiklah ..., Shinta Humaira ..., saat ini juga aku talak kamu. Mulai sekarang kamu bukan istriku lagi." Dengan suara bergetar akhirnya Mas Alif mengeluarkan kata-kata itu.
"Alif ... Apa-apaan kamu! Habislah kita ...!" pekik ibu histeris.
Semua menoleh padanya. Mela menatap tak suka pada Ibu.
Sikap ibu sungguh aneh. Ada apa sebenarnya? Kenapa ibu berteriak seperti itu?
"Baiklah. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi di rumah ini. Sebaiknya mulai hari ini aku pergi," tegasku, lalu membalikkan badan untuk beranjak menuju kamar.
"Jangan, Shinta! Tolong kamu jangan pergi. Tetaplah disini!" Tiba-tiba ibu menghalangiku.
"Kenapa, Bu? Apa ibu khawatir karena tidak ada lagi yang melakukan tugas pembantu di sini? Karena tidak ada lagi yang akan ibu marah-marahi nanti?" cecarku.
"B-bukan begitu, Shinta ..." sahut ibu bergetar. Terlihat panik pada raut wajahnya.
"Sudah biarkan dulu Shinta, Bu. Sebaiknya kita segera lanjutkan pernikahan ini," ajak Kak May.
Akhirnya ibu kembali duduk di belakang Mas Alif. Sementara aku memutuskan untuk masuk ke kamar.
Ada kelegaan yang kurasakan. Namun sejujurnya aku masih sangat bingung akan kemana tujuanku setelah ini. Tiba-tiba aku teringat ponselku. Semoga saja Raka sudah membaca pesan yang kukirim sejak tadi.
Ya, Aku terpaksa mengirim pesan pada Raka menanyakan mungkin ada pekerjaan untukku. Setidaknya aku tidak akan bingung setelah keluar dari rumah ini.
Kubuka ponselku. Walau tidak secanggih milik Imah dan Kak May, minimal aku masih bisa membuka beberapa media sosial di sana.
Saat membuka aplikasi hijau, ternyata sudah ada balasan dari Raka. Laki-laki itu memintaku untuk bertemu siang ini. Dia bilang akan ada supir yang menjemputku sekitar jam setengah satu siang. Semoga saja keputusanku saat ini benar. Semoga laki-laki yang bernama Raka itu orang baik.
Saat ini jam dinding menunjukkan pukul sebelas siang. Masih ada waktu untuk membereskan baju-bajuku yang tidak banyak itu. Mungkin setelah salat dzuhur nanti aku bersiap untuk keluar dari sini.
Masih terdengar banyak suara-suara dari ruang makan. Pasti ijab kabul mereka sudah selesai. Saat ini mungkin para tamu sedang makan siang. Tumben Ibu tidak memanggilku. Biasanya tak henti-hentinya menyuruhku ini dan itu.
Setelah melaksanakan salat dzuhur, aku bersiap-siap untuk keluar kamar dengan membawa satu tas ransel pakaian. Tas usang ini yang aku bawa dari panti dulu. Baju-baju warisan bekas Ibu dan Kak May aku tinggalkan di lemari. Aku hanya membawa beberapa gamis yang masih layak aku pakai. Beberapa potong gamis dan hijab yang aku pernah beli sebelum menikah dengan Mas Alif.
Perlahan membuka pintu. Kemudian melangkah menuju ruang tamu. Bagaimanapun juga aku harus pamit pada mereka.
"Ibu, Kak May, Imah ... Aku pamit," ujarku mantap.
Sontak mereka berdiri. Ibu melangkah mendekatiku.
"Tidak, Shinta. Kamu tidak boleh keluar dari rumah ini! Kamu tidak akan kemana-mana." Kenapa ibu nampak semakin panik.
"Shinta, jangan pergi. Maafkan aku tadi. Setelah ini kita akan rujuk kembali. Percayalah!" Tiba-tiba Mas Alif pun menghampiri dan memohon padaku.
Aneh sekali keluarga ini. Kemarin mereka selalu memaki dan menghinaku. Seakan-akan mereka tak suka aku berada disini. Namun sekarang kenapa seolah-olah mereka keberatan aku pergi?
"Kamu pikir aku ini apa, Mas? Seenaknya saja kamu cerai kemudian di rujuk kembali. Kamu pikir ini permainan? Selama ini mungkin kalian lupa bahwa aku ini manusia yang punya perasaan." paparku kesal.
"Selamat siang, saya di suruh atasan saya untuk menjemput Ibu Shinta." Tiba-tiba saja seorang laki-laki setengah tua berpakaian rapi muncul di depan pintu.
Mungkin ini adalah supir yang dimaksud Raka.
"Ya, Pak. Saya Shinta," sahutku.
"Silahkan Bu Shinta. Mobil sudah siap!" Ujar supir itu.
Semua mata membelalak melihat sebuah mobil mewah telah terparkir di depan rumah ibu.
Bab 9
Pov Alif
"Selamat siang, saya di suruh atasan saya untuk menjemput Ibu Shinta." Tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berpakaian rapi muncul di depan pintu.
Siapa laki-laki ini? Siapa atasan yang dia maksud?
"Ya, Pak. Saya Shinta," sahut mantan istriku itu. Ya, beberapa jam yang lalu Shinta resmi kutalak.
"Silahkan Bu Shinta. Mobil sudah siap!" Ujar laki-laki itu seraya membungkuk seperti memberi hormat.
Mataku membelalak ketika melihat sebuah mobil mewah toyota alphard keluaran terbaru telah terparkir di depan rumahku. Siapa sebenarnya pemilik mobil seharga satu milyar itu. Siapa sebenarnya atasan laki-laki yang menjemput Shinta ini?
"Baiklah, Aku pergi," tegas Shinta seraya melangkah keluar pintu.
"Shinta ... tunggu! Tolong jangan pergi!" sanggahku.
"Apa-apaan kamu, Lif? Biarkan saja dia pergi!" teriak Mela yang tiba-tiba muncul dari dalam.
"Tidak, Shinta tidak boleh keluar dari rumah ini!" bantah ibu.
Sementara Shinta terlihat tak peduli. Wanita itu terus memakai kaos kaki dan sepatunya. Ya Tuhan, itu sepatu yang dulu dia bawa dari panti. Karena aku memang belum pernah membelikannya yang baru.
"Kenapa sekarang ibu malah membela wanita kampungan itu?" teriak Mela.
"Karena dulu dia ...." Tiba-tiba ibu terdiam.
Aku bernapas lega. Untung saja ibu tidak meneruskan kata-katanya.
"Assalamualaikum semua ... Ayo mari kita berangkat, Pak!' pamit mantan istriku itu tanpa menoleh lagi pada kami, lalu melangkah keluar diikuti laki-laki setengah tua tadi.
Aku terus mengikuti Shinta ke depan rumah. Tak peduli Mela terus memanggil-manggilku.
Ibu terus saja berteriak memanggil Shinta. Begitu juga aku. Berharap dia tidak jadi pergi. Karena akan berakibat fatal pada keluargaku nanti.
Namun wanita itu tidak menghiraukan kami. Sungguh menyesal aku menceraikannya. Andai tadi Mela tidak mendesakku. Andai saja tadi aku mendengarkan permohonan ibu.
Mobil mewah itu telah berlalu dari hadapan kami. Melaju dan menghilang di ujung jalan. Wajah ibu nampak sangat kecewa. Sepertinya ibu kesal padaku.
Kami kembali masuk. Di dalam sudah mulai sepi. Beberapa tetangga yang tadi hadir sudah kembali ke rumah masing-masing bersama kepergian Shinta tadi.
Hanya tersisa Mela dan kedua orangtuanya.
Saat aku masuk, Mela terus menampakkan wajah cemberut. Kenapa wanita itu kini jadi menyebalkan? Sejak tadi wajah cantiknya sungguh membuatku muak. Dia pikir aku ini siapa, main bentak-bentak saja.
Tidak hanya aku, ibu juga ikut dibentak oleh istri baruku itu. Sungguh keterlaluan.
"Bu Minah, kami pamit dulu." Kedua mertuaku menghampiri Ibu.
.
"Kenapa buru-buru sekali, Besan?" sahut ibu berusaha ramah.
"Sore ini kami akan kembali ke kampung, Bu. Pekerjaan di sana tidak bisa ditinggal lama-lama."
Kami saling bersalaman. Aku mencium tangan kedua mertuaku.
"Tolong jaga Mela ya, Nak Alif. Tolong sabar menghadapi dia. Mela anak kami satu-satunya, sudah terbiasa dimanja sejak kecil. Maklumlah ...." pesan bapak mertua padaku ketika aku mencium tangan beliau.
"Baik, Pak."
Lalu Mela mengantar kedua orang tuanya hingga depan pagar.
"Bagaimana ini, Lif. Jika orang-orang itu marah, bisa-bisa kita nggak dapat jatah bulanan lagi dari mereka. Kamu kan tau kebutuhan hidup kita seperti apa." Lagi-lagi Ibu terlihat gusar dan kesal.
"Sebaiknya jangan kita bahas di depan Mela, Bu. Perempuan itu emosinya sering meledak-ledak," ujarku setengah berbisik pada Ibu.
Syukurlah ibu tak membahas kembali kepergian Shinta. Saat ini aku ingin fokus pada Mela dulu. Wanita itu masih saja mendiamkanku.
"Mas Alif, bantuin doong! Capek, nih." keluh Imah ketika aku ke dapur. Adikku itu sedang mencuci banyak piring dan gelas bekas tamu-tamu tadi.
"Mana istri barumu itu, Lif? suruh dong dia bantu-bantu. Jangan cuma duduk-duduk saja kayak ratu!" ketus Kak May yang baru saja selesai menyapu dan membersihkan dapur.
Kak May adalah kakakku satu-satunya yang sampai saat ini belum menikah. Karena sifat judesnya, banyak laki-laki yang enggan mendekatinya.
"Mungkin Mela masih lelah Kak," sahutku berusaha lembut.
"Halaah, alasan saja! Lelah ngapain? orang kerjanya cuma duduk-duduk saja sejak pagi tadi," protes Kakakku itu.
"Alif .., tolong ambilkan gelas,dong! Tiba-tiba terdengar teriakan Mela dari ruang tengah.
"Huh, dasar perempuan manja! Ambil gelas ke dapur aja males. Malah nyuruh-nyuruh suami," gerutu Kak May.
Segera meraih gelas di rak piring dan kemudian melangkah menghampiri istri baruku itu.
"Mel ..., kamu di sini tolong bantu-bantu kak May dan Ibu, ya ...!" pintaku pada Mela dengan hati-hati.
"Enak saja. Ingat ya, mulai besok aku sudah mulai masuk kerja. Kalau nanti aku kecapean gimana?" sahutnya seraya masuk dan membanting pintu kamar.
Ya Tuhan. Kenapa Mela sekarang berbicara selalu ketus dan bersikap kasar? Tidak selembut dan manja seperti biasa. Apa dia masih marah padaku?
"Ya sudah terserah kamu saja," sahutku pasrah. Entah dia dengar atau tidak. Aku tidak ingin membuat keributan. Sungguh lelah rasanya hari ini.
"Bu Minah ... Alif ....Keluar kalian semua!!"
Astaga! Siapa yang berteriak sambil mengedor-gedor pintu rumahku? Terdengar suara beberapa laki-laki terus berteriak memanggil namaku dan Ibu.
"Alif ... ce-cepat lihat s-siapa di luar?" Ibu yang sejak tadi di kamar tiba-tiba keluar dengan ketakutan.
"Jangan-jangan ... orang-orang itu sudah tahu tentang kepergian Shinta ...," lirih Ibu gemetar. Wajahnya memucat.
"Sudahlah! Ibu tenang saja. Biar aku lihat keluar dulu."
Perlahan aku beranjak ke ruang tamu. Kemudian dengan jantung berdebar membuka pintu. Jujur aku pun punya pikiran yang sama dengan Ibu. Jika itu benar ... Matilah aku!
Aku terkesiap saat membuka pintu. Wajah-wajah sangar yang sangat aku kenali itu kembali datang ke rumah ini. Namun kali ini wajah mereka penuh emosi. Tidak seperti enam bulan yang lalu. Ketika itu mereka dengan ramahnya menawarkan kami untuk melakukan sesuatu dengan imbalan yang menggiurkan.
"Kurang ajar! Berani-beraninya kalian membantah perintahku!" Seorang laki-laki bertubuh besar dengan kulit hitam legam, menarik kerah kemejaku dengan paksa.
"A-ampun ... ampun ...Pak ...!" teriakku.
Mana mungkin aku berani membalas tiga orang menyeramkan ini. Tubuh mereka dua kali lipat lebih besar dariku.
"Jangan ... Pak! Saya mohon Anak saya jangan di apa-apakan!" Tiba-tiba Ibu muncul dan berteriak histeris.
"Pokoknya Kalian harus segera cari perempuan itu dan bawa kembali ke rumah ini!" bentak salah satu dari mereka.
Ibu terus tergugu. Nampak Kak May dan Imah mengintip dari dalam dengan wajah memucat.
"Ada apa sih ribut-ribut? Ganggu orang tidur aja!" Sontak aku terlonjak ketika tiba-tiba mendengar suara Mela dari dalam rumah.
Bagaimana ini?
Gawat!
Mela jangan sampai tahu yang sebenarnya.
Bab 10
MasyaAllah ..., ternyata seperti ini rasanya naik mobil mewah. Hampir tidak terasa getarannya. Sejuk dan sangat nyaman. Apalagi saat ini aku duduk di belakang seperti majikan dan supirnya.
Bapak supir yang memperkenalkan diri dengan nama Pak Pardi itu yang memintaku untuk duduk di kursi belakang.
"Maaf, Pak. Saya akan bertemu Mas Raka di mana?" Aku mencoba membuka percakapan.
"Tuan Raka tadi menelpon saya, agar Bu Shinta di antar ke rumahnya saja. Karena tiba-tiba Tuan Raka ada meeting mendadak sampai malam."
"A-apaa? Ke rumahnya?" sahutku terkejut.
Pak Pardi mengangguk.
Sebenarnya ini suatu kebetulan . Karena sampai saat ini aku belum memilki tujuan setelah keluar dari rumah Mas Alif. Apalagi tempat tinggal. Aku mana punya uang untuk mengontrak. Kalau dipikir-pikir aku ini nekad sekali.
Apa mungkin pekerjaan yang akan Mas Raka berikan padaku adalah menjadi ART? Makanya aku diminta untuk ke rumahnya.
Biarlah. Untuk sementara menjadi ART tidak mengapa. Mungkin aku bisa sambil mencari keberadaan orang-orang kepercayaan orang tuaku.
Aku sangat berharap Raka adalah kunci dari pencarianku. Karena dia tahu nama kecilku. Namun aku tetap harus waspada. Karena belum tau yang mana orang kepercayaan orang tuaku dan mana musuhku.
Mobil memasuki sebuah gerbang tinggi berwarna coklat kayu yang sepertinya terbuka otomatis. Setelah melewati pos keamanan, nampaklah sebuah rumah tiga lantai yang sangat mewah.
Aku ternganga melihat desain rumah bak istana itu? Mirip seperti yang pernah aku lihat di televisi.
Pak Pardi memberhentikan mobil persis di depan rumah, setelah melalui halaman hijau yang begitu luas.
"Silakan, Bu Shinta." Pak Pardi membukakan pintu mobil untukku.
Perlahan aku turun, lalu melangkah menuju pintu utama. Seorang wanita berumur sekitar empat puluhan membuka pintu.
"Silakan masuk Non Shinta!" sapanya ramah dengan senyum yang menenangkan.
"Terima kasih, Bu ..."
"Panggil saja Bu Nuri!" pungkasnya.
"Baik Bu Nuri. Saya Shinta. Assalamualaikum ...," ujarku seraya menangkupkan kedua tanganku di depan dada.
" Waalaikumsalam ....."
"Iya,.Tuan Raka sudah memberitahu saya. Mari kita masuk, Non!"
"Jangan panggil Non, Bu. Panggil Shinta saja," pintaku yang merasa tidak nyaman dengan panggilan itu.
Bu Nuri hanya tersenyum memandangku.
Aku mengikuti langkah wanita itu. Lagi-lagi aku ternganga melihat perabot rumah yang begitu unik dan serba mewah. Barang-barang elektronik yang canggih dan modern. Bahkan banyak yang aku tidak paham kegunaannya.
Di tengah-tengah ruang tamu yang sangat luas, terdapat sebuah tangga memutar dengan ukiran jati pada bagian kanan dan kirinya.
Beberapa wanita muda berpakaian seperti pelayan tampak sesekali melewati ruangan.
Mereka mengangguk sopan padaku.
Saat melewati ruang besar yang aku duga adalah ruang keluarga, terlihat sebuah kolam renang yang cukup luas berada di samping rumah ini. Sebuah pintu kaca menjadi pembatas ruangan menuju kolam renang tersebut.
Sebuah lukisan foto keluarga yang cukup besar berada pada dinding sekitar tangga. Sepertinya aku pernah melihat lukisan itu. Namun entah di mana. Karena jauh, Aku tak bisa melihatnya dengan jelas.
"Ini kamar Non Shinta. Silakan jika ingin beristirahat dulu. Baju-baju di dalam lemari silakan dipakai. Itu masih baru semua. Jika perlu apa-apa silakan beritahu salah satu pelayan di sini." Bu Nuri menjelaskan panjang lebar
"Terima kasih, Bu Nuri."
Wanita itupun beranjak meninggalkanku di depan pintu sebuah kamar. Perlahan aku memutar gagang pintu. Aku tercengang melihat kamar yang begitu luas.
Sebuah tempat tidur berukuran kingsize berada di tengah sisi kanan kamar. Televisi layar datarpun melengkapi isi kamar ini. AC yang dingin membuatku merasa asing dan tak biasa.
Aku merasa kamar ini tak pantas untukku. Apa Bu Nuri tidak salah menunjukkan kamar? Segala fasilitas yang berada dalam kamar ini tidak mungkin untuk seorang ART.
Aku penasaran dengan lemari besar di sudut kamar. Memberanikan diri untuk membukanya. MasyaAllah ... banyak sekali gaun mewah dengan model kekinian tergantung. Sedangkan lemari sebelah kanan berisii berbagai pakaian dengan bermacam model gamis, piyama dan gaun tidur.
Milik siapa semua pakaian ini? Kenapa Bu Nuri tadi mempersilakan aku untuk memakainya? Sungguh membingungkan.
Sebaiknya aku mandi. Setelah itu aku akan menanyakannya pada wanita itu.
Aku berdiri cukup lama di dalam kamar mandi yang luas ini. Peralatan mandi yang yang sangat lengkap cukup membuatku bingung.
Setelah membersihkan diri, salat ashar dan maghrib. Aku mencoba menemui Bu Nuri. Saat keluar dari kamar seorang berpakaian pelayan menghampiriku.
"Bu Shinta, ditunggu Bu Nuri di ruang kerjanya. Mari saya antar !" ujarnya seraya agak membungkuk dan mengulurkan tangannya ke arah tujuan kami.
Kenapa mereka berlaku seperti itu padaku? Seakan-akan aku ini adalah orang yang harus dihormati.
Aku mengikuti langkah pelayan wanita yang masih remaja itu. Mungkin usianya tidak terpaut jauh denganku.
Kami melewati beberapa ruangan dan lorong. Mungkin jika sendirian, Aku akan tersesat di sini.
Mataku tertuju pada sebuah foto cukup besar yang di pajang di atas sebuah meja pojok. Ada beberapa foto di pajang di sana.
Sontak aku terlonjak ketika melihat sebuah foto yang nampaknya seperti keluarga besar.
"Pelayan, maaf. Bisa berhenti sebentar?" pintaku.
Pelayan itu menuruti permintaanku.
Aku kembali melihat foto yang didalamnya ada beberapa orang yang tidak asing bagiku
Perlahan aku raih foto itu dan memandangnya lebih jelas
Astagfirullah ..., Bukankah ini adalah Ayah dan bunda? Mereka menggandeng seorang gadis kecil yang tak lain adalah aku. Mungkin saat itu umurku baru lima tahun.
Air mataku mulai menetes. Sesaat rindu pada Ayah Bunda aku rasakan kembali. Lalu siapa orang-orang yang juga berfoto bersamaku? Seorang anak laki-laki yang sepertinya lebih besar dariku, berada di sebelah Bunda. Wajahnya seperti tak asing bagiku. Apakah ini Raka?
Ya Tuhan. Siapa sebenarnya Raka? Mengapa foto masa kecilku berada di sini?
Tiba-tiba tanganku gemetar. Air mataku terus mengalir Seandainya Ayah dan Bunda ada sini. Ingin sekali aku memeluk mereka.
Tanpa kusadari foto itu terlepas begitu saja dari tanganku, hingga menimbulkan suara yang begitu keras. Pigura foto itu hancur berantakan.
"Astagfirullahaladzim ..."
"Ada apa, Non Shinta?" Sontak aku menoleh. Bu Nuri ternyata sudah berada di belakangku.
"M-maaf ... Aku merusak foto ini!" ucapku ketakutan. Menyesali perbuatanku yang ceroboh. Pigura itu pasti sangat mahal.
"Sudah tidak apa-apa, Nona. Ini hanya masalah sepele. Sebaiknya anda bersiap-siap. Karena Tuan Raka akan segera pulang dan makan malam ingin ditemani oleh Nona."
Apa? Menemani Raka makan malam?
Baiklah. Ini adalah kesempatanku untuk menanyakan yang sebenarnya pada laki-laki itu.
Bu Nuri memintaku memakai sebuah gaun berwarna marun. Dengan sangat mahir wanita itu meriasku. Untuk apa semua ini?
Raka, untuk sementara aku akan ikuti keinginanmu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
