
Alif tak pernah menyangka bahwa istri yang dia ceraikan karena dianggap dekil dan tak menarik adalah seorang pemilik tunggal perusahaan tempat dia bekerja.
Alif pun menyesal setelah melihat penampilan Shinta-mantan istrinya berubah menjadi cantik dam elegan.
Bagaimana perjuangan Shinta dalam merebut perusahaan keluarganya dan menemukan cinta sejatinya?
Bab 3
Pov Alif
Pagi ini aku harus tampil rapi. Aku tak ingin harapanku untuk dapat bekerja di kantoran gagal lagi. Cita-citaku sejak dulu adalah bekerja di kantoran. Bukan sebagai pedagang di pasar seperti sekarang ini.
Beruntung aku memiliki teman seperti Raka. Teman semasa SMAku itu memiliki banyak perusahaan. Raka memang berasal dari keluarga berada. Kemarin dia bilang membutuhkan banyak karyawan untuk bekerja di kantor cabangnya yang baru saja dibuka.
Aku dan teman-teman SMAku segera akan melamar ke sana. Raka memang paling beruntung diantara kami. Hanya dia satu-satunya teman sekelas kami yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga keluar negri. Tidak seperti aku. Kuliah di dalam negripun tidak. Aku hanya lulusan SMA. Sejak lulus sekolah hanya meneruskan usaha toko kelontong milik almarhum ayahku di pasar.
Pagi-pagi sekali aku bangun. Biasanya aku bangun sesukaku. Kemudian berangkat ke pasar berjualan. Itu pun aku sering kesiangan. Rasanya sudah bosan hidup serba pas-pasan seperti sekarang ini. Toko kelontong peninggalan Ayah pun tidak terlalu ramai pembeli.
Aku sengaja berangkat lebih pagi, karena akan menjemput Mela lebih dulu. Gadis cantik itu juga akan melamar di perusahaan Raka. Mela juga hanya tamatan SMA seperti aku. Semoga kami bisa satu kantor, lalu akan sering bertemu nantinya. Mela jauh lebih cantik dan menarik dari pada istriku. Wawasannya cukup luas. Sehingga membuat hari-hariku menjadii lebih bersemangat. Pokoknya Shinta tidak ada apa-apanya dibanding Mela.
"Mas, nggak sarapan dulu?" tanya Shinta yang melihatku sudah rapi. Seperti biasa, setiap hari Shinta selalu menyiapkan sarapan untukku sebelum berangkat kerja. Kali ini dia membuat nasi goreng kesukaanku.
"Tolong bungkusin aja. Dua ya!"sahutku seraya beranjak menuju teras.
"Kok dua, Mas? Satu lagi untuk siapa?" tanyanya heran.
"Bawel banget, sih. Ya terserah aku lah." sahutku ketus. Wanita dekil ini selalu saja membuat moodku jadi tidak baik.
Entah mengapa semakin hari dia tampak semakin membosankan. Belum juga kami punya anak, dia sudah tak pandai merias diri. Apalagi kalau nanti direpotkan oleh anak, entah seperti apa tampang istiku itu nanti.
Bagaimana nanti kalau aku sudah kerja di kantoran. Pasti sangat memalukan jika teman-teman kantorku melihat istriku seperti ini.
Ponselku bergetar. Ternyata pesan masuk dari Mela. Kenapa hati ini juga ikut bergetar?
[Lif, jangan kesiangan jemputnya. Aku sudah siap, nih]
[Oke cantik. Aku segera meluncur]
Tanpa menunggu lama, segera menaiki motorku. Dengan hati berdebar segera menuju rumah Mela yang hanya beda dua gang dari rumahku.
Tak kuhiraukan Shinta yang terus memanggiku. Apa sih maunya dia? Berharap aku pamit dan mencium keningnya yang bau asap kompor itu? Mengingat wajah perempuan itu membuatku bergidik.
Jalanan masih belum terlalu ramai. Hanya dalam waktu beberapa menit saja aku sudah tiba di depan rumah wanita cantik itu.
"Hai, Lif. Wah, pangling aku. Kamu terlihat makin tampan dengan kemeja ini." Pujian Mela membuatku melayang.
"Ah, kamu juga tambah cantik," balasku seraya mencubit hidungnya. Mela tampak tersipu malu.
"Kita cari sarapan dulu, yuk!"
"A-apa? Sarapan?" Rasanya aku ingin tepok jidat mengingat sarapan yang tadi disiapkan Shinta, lupa aku bawa. Sepertinya tadi Shinta lari-lari mengikuti seraya berteriak memanggilku untuk memberikan sarapanku yang tertinggal.
Waduh bagaimana ini? Kalau sarapan di luar terpaksa aku harus mengeluarkan uang. Aku sengaja meminta pada Shinta sarapan dua bungkus nasi goreng, agar lebih irit.
"Kenapa, Lif?" Mela terheran melihatku panik.
Mataku membelalak melihat Shinta berlari kecil dari kejauhan.
"Mel, A-aku haus. Boleh minta teh manis hangat?" Aku berpura-pura kehausan sambil mengusap-usap tenggorokanku.
"Oke, sebentar aku ambilkan."
Tak lama Mela masuk ke dalam. Tampak Shinta menghampiriku membawa dua bungkus nasi.
"Mas, sarapannya tertinggal. M-maaf tadi aku disuruh ibu untuk mengantarnya ke sini." Shinta terengah-engah. Sepertinya dia lelah mengejar motorku.
"Ya sudah. Sini nasi gorengnya. Kamu langsung pulang sana!"
Jangan sampai Mela melihat Shinta ada di sini. Wanita itupun menurut dan segera pergi dari hadapanku.
"Ini tehnya, Lif." Mela muncul dari dalam membawa segelas teh untukku.
"Mel, aku tadi bikin nasi goreng khusus untukmu. Yuk, kita makan sama-sama."
Tampak binar di wajah wanita cantik itu.
"Beneran kamu bikin sendiri khusus buat aku?" Senyumnya mengembang , lagi-lagi membuat jantungku berdegub kencang.
"Aku jadi tidak sabar. Sebentar aku ambil piring dan sendok." Dia pun melangkah ke dalam.
Ah, syukurlah Mela mau makan nasi goreng ini. Jadi aku tak perlu mengeluarkan uang untuk makan di luar. Dia pasti suka. Karena masakan Shinta selalu enak di lidah.
Setelah melahap nasi goreng hingga tak bersisa, kami langsung berangkat menuju kantor Raka. Mela tak lupa mengunci pintu sebelum naik ke motorku. Gadis itu memang tinggal sendirian di rumahnya. Karena kedua orang tuanya lebih memilih untuk tinggal di kampung.
-------------------
Setelah mengikuti test tulis, kami diwawancara satu persatu oleh kepala HRD. Entah di mana temanku Raka. Sejak tadi tidak nampak batang hidungnya. Apa benar perusahaan ini miliknya? Perusahaan ini sangat besar dan mewah. Padahal ini hanya kantor cabang. Kantor pusatnya pasti lebih besar lagi. Pasti gajiku tidak sedikit di sini.
"Selamat Saudara Alif, Anda kami terima di perusahaan kami," ujar kepala HRD yang tampaknya sudah berumur itu.
"Terima kasih. Apa jabatan saya, Pak?" tanyaku tanpa beban. Aku yakin Raka akan memberiku jabatan bagus di perusahaannya.
Laki-laki dihadapanku itu tertawa.
"Tidak ada jabatan untuk lulusan Sekolah Menengah Atas. Saudara kami terima sebagai staf biasa di sini. Itu pun sudah sangat beruntung. Karena staf kami lainnya hampir semuanya sarjana," jelasnya panjang lebar.
Ah, percuma saja aku sahabatan dengan Raka yang katanya pemilik perusahaan. Masa diterima hanya sebagai staf biasa?
Sepertinya aku harus bicara pada temanku itu.
"Baiklah, Pak. Terimakasih," sahutku lemas
, kemudian keluar dari ruangan HRD.
Sampai di depan kantor, aku langsung menghubungi ponsel Raka.
"Hallo Raka. Apa kamu tidak bisa memberiku jabatan di kantormu?"
"Sudahlah, Lif. Terima saja! Posisi itu sangat cocok untukmu saat ini. Yang penting kamu bisa kerja di kantoran. Ya, kan?" sahutnya dari sebrang sana. Entah dimana dia berada saat ini
Aku membuang napas kasar. Benar juga katanya. Yang penting tiap hari aku bisa rapi berkemeja. Tidak seperti kemarin-kemarin kepanasan di pasar. Setidaknya setiap hari aku bisa berdekatan dengan Mela, wanita cantik yang mengisi mimpi-mimpiku saat ini.
Sungguh tak sabar rasanya setiap hari pergi dan pulang kerja bersama wanita cantik berambut gelombang itu.
Bab 4
Suara motor Mas Alif terdengar di depan rumah. Berarti suamiku itu sudah pulang. Ingin rasanya kutanyakan padanya, kenapa pagi tadi dia berada di rumah perempuan itu. Kalau saja Ibu tidak menyuruhku mengantar , aku tidak akan tahu kalau rumah itu adalah milik Mela.
Apa si Mela itu benar-benar tidak tahunasi kalau Mas Alif sudah beristri? Memang ketika kami menikah enam bulan yang lalu, tidak ada acara resepsi. Hanya selamatan kecil-kecilan keluarga Mas Alif dan tetangga kanan kiri. Aku yang hanya sebatang kara, hanya didampingi oleh ibu panti dan beberapa anak panti seangkatanku.
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam."
Mas Alif masuk ke dalam rumah dengan wajah tampak bahagia. Senyum mengembang di wajahnya.
"Bu ..., Aku diterima kerja di kantornya Raka." ucapnya bersemangat seraya melangkah menghampiri kami.
Mas Alif langsung menemui Ibu dengan antusias. Di tangan kanan dan kirinya terdapat beberapa bungkusan. Lagi-lagi dia berbelanja tanpa mengajakku. Selama menikah dengan Mas Alif, satu kali pun aku belum pernah diajak belanja olehnya.
"Wah hebat kamu, Lif. Kamu harus undang Raka makan malam di sini. Sekalian kenalin sama Imah. Siapa tau adikmu berjodoh dengannya. Ibu kepingin punya menantu kaya raya seperti si Raka itu," sahut Ibu bangga.
Imah tampak tersipu. Wajahnya bersemu.
Benar dugaanku. Sejak kemarin Imah memang berusaha mencari perhatian Raka. Ternyata mereka memang ada maksud tertentu.
Aku gegas ke dapur membuatkan minum untuk suamiku. Walaupun sikapnya tak pernah lembut padaku, tapi aku tetap selalu melayaninya dengan baik.
"Kamu belanja apa, Mas?" tanyaku seraya membawa segelas teh hangat untuk Mas Alif.
"Beberapa kemeja dan celana panjang. Aku harus tampil rapi kalau kerja di kantoran." Laki-laki itu membuka belanjaannya dan memamerkannya pada kami. Tiga buah kemeja lengan panjang dan dua celana panjang berbahan kain. Sepertinya harganya cukup mahal.
Ternyata Mas Alif juga membeli beberapa kaos untuknya.
"Tapi ini kok ada kaos juga?" tanyaku kesal melihat banyaknya baju baru yang di belinya, tapi tak satupun untukku. Sedangkan pakaian Mas Alif sangat banyak di lemari. Bahkan ada beberapa kaos yang belum dia pakai sama sekali.
Tidak seperti Aku. Yang hanya memiliki beberapa pakaian, itupun sebagian besar daster warisan ibu dan Kak May jika mereka sudah bosan memakainya. Kadang harus aku jahit dulu karena ada beberapa bagian yang robek.
"Memang kenapa kalau aku beli kaos? Kamu ngiri? Minta dibeliin juga?", sahutnya kesal. Mas Alif tampak tak suka aku protes.
"Halaah! Kamu cuma di dapur aja, nggak perlu pakai baju baru! Lagian kamu bisa makan aja di sini sudah bagus. Harusnya kamu bersyukur, Shinta. Bukannya nyusahin suami minta ini dan itu!" ketus ibu.
Sontak Mas Alif dan Imah tertawa mengejekku.
Ya Allah, Aku belum berkata apa-apa mereka sudah bilang nyusahin suami. Sampai kapan aku bisa bertahan hidup di tengah keluarga ini.
"Kamu pakai baju apa pun bentuknya tidak akan berubah. Tetap aja dekil!"
Mereka kembali terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Mas Alif.
Istri dekil, panggilan itu yang telah disematkan Mas Alif untukku. Harusnya mereka sadar bahwa penampilanku sepertj ini karena mengurus keluarga ini siang dan malam. Tidakkah Mas Alif tau bahwa tamplil cantik itu memerlukan modal?
"Cepat kamu hubungi Raka, Lif! Kalau bisa malam ini dia makan malam di sini. Sekalian kamu undang Mela ya!" pinta Ibu seraya menatap sinis padaku.
"Undang Mela juga, Bu?" tanya Mas Alif antusias.
Ibu mengangguk seraya tersenyum.
Kenapa ibu juga mengundang perempuan itu? Tapi baguslah. Biar si Mela itu nanti tahu bahwa aku adalah istrinya Mas Alif. Aku akan perkenalkan diri pada mereka nanti. Lihat saja nanti, Mas. Teman-temanmu akan tahu bahwa aku adalah istrimu. Aku ingin lihat reaksimu nanti.
------
Ibu langsung menyuruhku ke pasar berbelanja bahan makanan cukup banyak. Demi menyambut tamu yang istimewa, Ibu rela menghabiskan uang hingga ratusan ribu untuk menjamu mereka.
Ibu memintaku masak banyak sore ini. Karena ternyata Raka dan Mela jadi datang untuk makan malam di sini. Semua aku kerjakan sendiri. Mulai dari meracik bumbu sampai semua masakan telah matang sempurna.
Aku sengaja memasak dengan cepat. Karena aku juga ingin tampil rapi nanti malam. Semoga aku berhasil memperkenalkan diri pada mereka nanti. Dengan demikian mereka tak lagi mengira aku adalah pembantu di rumah ini. Khususnya Mela, semoga setelah dia tahu bahwa aku ini adalah istri Mas Alif, wanita itu tidak lagi mau didekati oleh suamiku.
Aku mulai menata makanan di atas meja. Menyiapkan peralatan makan seperti piring, gelas dan sendok garpu. Setelah memastikan semuanya beres, selepas salat maghrib aku merapikan diri di dalam kamar. Mungkin sedikit merias diri agar tidak bikin malu Mas Alif nantinya.
Aku meringis ketika menemukan bedak padatku yang sudah hancur dan tinggal sedikit. Lipstikku yang sudah patah dan nampak putih-putih. Mungkin sudah rusak karena sudah sangat lama. Perlahan kuraba wajahku yang mulai kering dan kasar. Kapan aku bisa beli skincare untuk merawat wajahku ini?
"Ngapain kamu di depan kaca? Mau dandan? Kamu mau cari perhatian lagi di depan Raka, hah?" Tiba-tiba Mas Alif masuk kamar dan berdiri di belakangku seraya berkacak pinggang. Tatapan tajamnya menghujam manik mataku. Kenapa Mas Alif selalu berburuk sangka padaku.
"Astagfirullah ..., Mas. Mana mungkin aku seperti itu. Aku hanya tidak ingin membuatmu malu di depan teman-temanmu nanti," sahutku bergetar. Kenapa dia selalu menuduhku seperti itu. Begitu burukkah aku dimatanya?
"Halah alasan saja. Awas saja nanti kalau kamu cari gara-gara lagi di depan Raka! Asal kamu tahu ya, Raka itu orang kaya dan terpandang. Dia tidak akan sudi melirikmu, apalagi berkenalan denganmu."
Ya Tuhan. Tega sekai Mas Alif berkata seperti itu padaku. Tapi menurutku Raka bukan seperti itu. Buktinya kemarin dia mau membantuku membersihkan pecahan kaca di lantai. Tanpa gengsi laki-laki itu mau mengepel lantai yang basah.
Padahal saat itu penampilan Raka paling rapi dan kekinian. Dia terlihat berbeda dari teman-teman Mas Alif lainnya. Raka jelas terlihat dari keluarga berada. Namun sikapnya sangat rendah hati dan tulus.
Yang masih aku pikirkan sampai saat ini. Perhatian Raka saat itu padaku. Kenapa dia memanggilku dengan sebutan Maira? Apa benar dia mengenal masa kecilku?
Aku harus cari tahu siapa sebenarnya laki-laki yang bernama Raka itu. Apakah dia salah satu orang kepercayaan orang tuaku? Atau jangan-jangan justru salah satu dari orang-orang yang dulu membuangku?
Bab 5
Sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan rumah. Ibu, Imah dan Kak May mengikuti Mas Alif menuju teras. Tampak Imah sudah tampil berbeda dengan riasan tebal dan pakaian sedikit terbuka. Entah kenapa Ibu justru menyuruhnya berpakaian seperti itu. Menurut beliau pakaian orang kaya memang seperti itu.
Aku yang mengintip dari balik pintu, melihat sosok Raka keluar dari pintu mobilnya. Saat ini penampilannya lebih formal. Raka tampak lebih berwibawa dengan stelan jas abu tua. Wajah Ibu tampak sumringah melihat penampilan sahabat Mas Alif itu. Sepertinya Raka baru saja pulang dari kantor kemudian langsung menuju ke sini.
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam ..."
"Ayo silakan masuk, Nak Raka!" sapa ibu dengan sangat ramah. Sementara Imah yang berada di samping Ibu ikut tersenyum pada laki-laki itu.
"Terima kasih, Bu, Dek Imah," sahut Raka.
"Ayo silakan masuk, Bos!" Mas Alif merangkul Raka ke dalam.
Kemudian terdengar obrolan basa basi mereka di ruang tamu. Jelas sekali terlihat sikap ibu yang berlebihan pada Raka.
Aku segera masuk menuju dapur, hendak membawa minuman yang sudah kubuat sejak tadi. Namun tiba-tiba saja Imah menghadangku di depan pintu dapur.
"Minggir! Aku aja yang bawa!" tiba-tiba Imah merebut nampan berisi minuman yang sudah berada di tanganku.
"Tumben?" tanyaku heran seraya mengernyitkan dahi.
"Berisik! Udah kak Shinta di sini aja disuruh ibu. Nggak usah keluar!" tegas Imah sebelum dia keluar membawa minuman.
Hmm ..., enak saja aku disuruh diam di dapur. Sedangkan semua pekerjaan sudah aku selesaikan. Perlahan aku melangkah menuju ke ruang tamu.
Ibu melotot ketika melihatku ikut duduk disalah satu kursi di ruang tamu. Sementara Mas Alif juga menatapku kesal. Sebaiknya aku tidak menghiraukan tatapan mereka.
"Assalamualaikum ...." Terdengar suara seorang wanita mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam ....,"
Ternyata si Mela itu datang juga. Kini wajah Mas Alif yang tampak berseri-seri melihat kedatangan perempuan itu. Ibu langsung menghampiri dan memeluk Mela. Sesuatu yang belum pernah beliau lakukan padaku, menantunya.
Aku hanya bisa menahan sesak melihat perlakuan istimewa mereka terhadap Mela. Kak May yang terkenal sangat judes pun bersikap sangat ramah padanya.
"Maaf, bisa tolong antar ke toilet?" tiba-tiba Raka menghampiriku.
"Oh ya, mari silakan!" sahutku sambil melangkah ke belakang. Raka mengikutiku.
Sepertinya Mas Alif, Ibu dan lainnya tidak memperhatikan. Mereka sedang sibuk menyambut Mela.
"Tunggu! Siapa kamu sebenarnya?" Aku tersentak ketika tiba-tiba Raka menepuk pelan lenganku hingga langkahku terhenti.
Sontak aku menoleh ke belakang. Apa maksud pertanyaannya? Apa ada hubungannya dengan panggilan nama kecilku kemarin?
Raka menatapku penuh tanda tanya. Sesaat kami saling menatap dalam diam.
"Maksud kamu ...?" tanyaku kemudian.
"Siapa kamu sebenarnya?" tegasnya lagi dengan tatapan tajam, membuat jantungku berdebar. Kenapa mata itu seperti tidak asing bagiku? Seakan aku pernah melihatnya.
"Dia yang bantu-bantu kita di sini. Sudahlah, nggak penting juga. Mas Raka mau ke toilet ya? Yuk Imah antar!" Ternyata Imah sudah berada di belakang kami.
Raka terus melangkah mengikuti Imah. Namun sesekali menoleh padaku.
Eh, tadi Imah bilang apa? Aku pembantu di sini? Kurang ajar sekali adik iparku itu. Ya Tuhan, sampai kapan mereka seperti ini.
Aku harus berusaha keras mencari orang-orang kepercayaan orang tuaku. Setidaknya jika aku pergi dari sini, ada tempat yang menjadi tujuanku. Aku tidak mungkin kembali ke panti dan membuat susah Ibu panti.
---------
Selama makan malam berlangsung, ibu tak henti-hentinya menyuruhku ini dan itu. Pasti beliau sengaja agar aku tak dapat bergabung dan memperkenalkan diri pada Mela dan Raka.
Namun aku merasa Raka seringkali mencuri pandang padaku. Sepertinya dia juga sedang mencari kesempatan untuk berbicara padaku. Namun Ibu dan Imah sibuk mengajaknya bicara.
"Nak Raka, ngomong-ngomong makasih sudah terima Alif bekerja di kantoran. Wah, pasti gajinya gede dong." Ibu membuka pembicaraan.
"Ya, Bu. Semoga Alif betah kerja di sana," sahut Raka.
"Nak Raka kenapa belum menikah? Belum ada calonnya?" Ibu sepertinya aktif sekali bertanya-tanya pada laki-laki itu.
"Hehehe .... Calonnya masih saya cari, Bu," sahutnya seraya tertawa. Namun aku menangkap lirikan matanya padaku. Entah berapa kali kami bertemu mata tanpa ada tegur sapa.
"Sering-seringlah main ke sini, Nak Raka. Nanti biar si Imah masakin yang enak-enak seperti tadi. Imah ini masih muda, tapi sudah pandai memasak."
Apa ibu bilang? Jelas-jelas semua ini aku yang masak. Si Imah hanya bermain ponsel saja kerjanya dari pagi. Adik iparku itu memang hobinya rebahan sambil pegang ponsel.
Imah tampak salah tingkah mendengar pujian ibu.
"Sepertinya sudah malam. Saya pamit pulang dulu." Terdengar suara Raka yang sepertinya akan pulang.
Aku yang berada di ruang makan bersebelahan dengan ruang tamu, bisa dengan jelas melihat laki-laki itu melirik padaku.
"Mbak, bisa minta tolong ambilkan tissue?" Aku terkejut karena tiba-tiba Raka menghampiriku.
Nampak raut wajah tak suka dari Ibu dan Mas Alif. Aku pura-pura tidak melihatnya.
"Sebentar saya ambilkan," sahutku sambil beranjak ke meja makan mangambil beberapa helai tissue.
Tapi Raka justru perlahan melangkah seperti mendekatiku.
"Ini tissuenya." Aku menyerahkan tissue pada laki-laki yang ternyata sudah berada di sebelahku.
Sontak aku hampir terlonjak. Ketika Raka menyelipkan sesuatu ke tanganku ketika tissue itu berpindah tangan. Seperti sebuah kertas. Aku jadi paham maksudnya meminta tissue padaku. Segera kumasukkan kertas itu ke kantong gamisku. Beruntung tidak ada yang melihatnya.
"Maaf tadi mobil saya ketumpahan air minum, jadi agak basah. Saya baru ingat di mobil tidak ada tissue hahaha ...," jelasnya sambil tertawa.
"Iya ...nggak apa-apa, Bos." sahut Mas Alif.
Mas Alif mengantar Raka sampai ke mobilnya. Raka melambaikan tangannya saat mobilnya mulai melaju. Ibu dan imah sangat bersemangat membalas lambaiannya. Ibu dan anak itu tersenyum bahagia. Mereka sangat yakin akan mendapatkan Raka.
"Bu, Imah, Kak May, Aku pamit pulang juga ya ...." Tak lama kemudian si Mela juga berpamitan.
"Lif ..., antar Nak Mela pulang!" teriak Ibu pada Mas Alif yang masih di depan.
Dengan semangat Mas Alif langsung menghampiri Mela.
"Oke. Yuk! Aku antar," ajaknya. Kemudian melangkah menghampiri motornya.
Tak lama kemudian terdengar suara motor Mas Alif menjauh. Mungkin dia sudah pergi mengantar Mela.
Setelah merapikan sisa-sisa makan malam dan membersihkan rumah, Aku masuk ke dalam kamar. Mas Alif belum pulang. Padahal rumah Mela sangat dekat.
Tiba-tiba aku teringat kertas yang di selipkan Raka ke tanganku. Dengan penasaran kurogoh kantong gamisku. Dan ternyata ....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
