Foto Pelakor Bab 1 - 10

15
1
Deskripsi

 

Sera terkejut melihat foto profile aplikasi hijau pada ponsel suaminya, foto seorang wanita muda berpakaian seksi. Apakah benar suaminya telah menghianatinya? 

Apa reaksi Agung-suami Sera saat mengetahui bahwa istrinya ternyata seorang CEO? 

Drama rumah tangga yang mengundang emosi, namun dibumbui kisah romantis cinta sejati. 

Bab 1


"Bunda, kok photo profil hape Ayah foto tante-tante? Ini foto siapa, Bun?" 

Apaaa?
Aku tersentak mendengar pertanyaan Giska, anakku satu-satunya yang berusia tujuh tahun. 

Aku segera membuka kontak ponsel Mas Agung di aplikasi berwarna hijau, dan meng-klik photoprofilnya. Benar saja. Ada foto seorang wanita muda berpakaian seksi dengan rambut sebahu. Segera saja aku save foto itu di galeriku. 

"Oh itu mungkin teman sekantor Ayah Gis, biasa teman-teman Ayah suka pada iseng," jawabku mencari alasan yang tepat. Agar dia tak berburuk sangka pada Ayahnya. 

Dan benar saja, sekitar tiga menit kemudian foto profil itu telah berganti  menjadi gambar kaligrafi. Mungkin saja tadi Mas Agung salah pencet. Tapi kenapa dia bisa menyimpan foto wanita itu. Lalu siapa sebenarnya wanita itu? Aku harus menyelidikinya. 

Akupun mengirim foto tersebut menggunakan aplikasi hijau kepada seseorang. 

[ Do, tolong cek ini foto siapa , cepet nggak pake lama ]

Dido adalah teman sekantor suamiku. Dia adalah orang kepercayaan Om Beni sang direktur utama. Om beni adalah sahabat dekat almarhum Papa. Sejak aku kecil Om Beni sangat menyayangiku. Atas bantuan Om Benilah Mas Agung yang hanya lulusan SMA bisa mendapatkan pekerjaan dan jabatan yang bagus di perusahaan itu. Hanya saja Mas Agung tidak menyadarinya. 

[ Ini sih foto si Yuyun, Ra. Karyawan di sini. Tapi belum lama dia kerja di sini dan belum menjadi karyawan tetap pula. Emang kenapa Ra] 

[ Tolong kirim nomor ponselnya ke aku, Do ] 

Setelah Dido mengirim nomor ponsel si Yuyun, segera aku save di aplikasi berlogo hijau. Kulihat Foto profil wanita itu persis  sama dengan foto profil ponsel suamiku. Tulisan kaligrafi yang sama. 

Aneh. Kok bisa sama? 

Aku memutuskan untuk menghubungi suamiku. 

"Halo , Assalamualaikum Mas." 

(.....) 

Di angkat. Tapi tidak ada suara. 

"Halo,  kamu di mana Mas." 

"Ha-lo maaf , i-ni dengan s-siapa?" Terdengar sahutan dari sebrang sana. 

Deg.
Suara perempuan. Siapa dia? 

"Halo, ini siapa? Kenapa ponsel suami saya ada sama anda?" tanyaku gusar. 

tut ... tut ... tut ... 

Kok di matikan? 
Aku makin penasaran. Apa mungkin kamu menghianatiku, Mas? 

-------------- 

Suara mobil memasuki halaman. Sepertinya Mas Agung pulang. Tumben masih siang sudah pulang. 

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam, Mas. Kok tumben sudah pulang ?" 

"Dek, lihat ponsel Mas, nggak? Sejak tadi dicari-cari nggak ketemu. Sampai-sampai Mas ikut meeting dengan Pak Beni sejak tadi pagi nggak pegang ponsel." 

Apa? Mas Agung sejak pagi meeting dengan Om Beni? 

Diam-diam aku minta Dido untuk mengecek kebenarannya. 

[Pak Agung sejak pagi memang meeting bareng Pak Beni, Ra. Ada apa sih sebenarnya?] 

Aku sedikit lega membaca jawaban Dido. 

"Kamu yakin Mas, nggak tau ponselnya di mana?"selidikku. 

"Iya Dek, tapi kalau nggak ada di rumah, mungkin di kantor. Tadi Mas buru-buru di ajak Pak Beni ke lapangan." Sepertinya Mas Beni tidak berbohong. 

"Hmm ... kayaknya ... ponsel Mas sama Yuyun," ujarku hati-hati. 

"Hah? A-apa ?" Raut wajah suamiku nampak begitu cemas. 

"Kenapa, Mas? Kok kaget gitu ?" 

"Wah bahaya kalau ponsel aku sama Dia, Dek. Dia wanita nggak bener." Mas Agung kelihatan bingung, mondar-mandir. 

"Maksud Mas?" 

"Di-Dia beberapa kali menggodaku di kantor. Bukan cuma aku, tapi beberapa teman di kantor pernah dia ganggu. Bahkan Pak Bandi sampai ribut sama istrinya. Tapi kamu tenang aja. Aku sudah lapor ke Pak Beni. Kemungkinan dia akan di keluarkan bulan depan. 

Aku merasa lega mendengar penjelasan suamiku. Walaupun belum percaya seratus persen. Hal ini bisa aku cek lagi nanti dengan Dido dan Om Beni. 

"Ayo Dek,  ikut ." 

"Loh, kemana ,Mas?" 

"Aku tahu kamu belum yakin dengan penjelasan Mas tadi. Pasti si Yuyun sudah bikin kamu nggak tenang. Sekarang kamu ikut aku ke kantor. Biar kamu yang mintain ponselku ke Yuyun." 

Mas Agung menggandengku ke mobil. Kamipun pergi menuju kantornya. 
Semoga suamiku benar-benar tidak tergoda oleh  Yuyun si pelakor itu. 

Tidak ada percakapan selama perjalanan menuju kantor. Rasa penasaranku pada wanita yang bernana Yuyun itu makin menjadi karena melihat kegelisahan pada sikap suamiku. Mobil ini ber-AC tapi dia berkeringat. Ia membawa mobilnya pun dengan kecepatan rendah. Apa dia sengaja? 

"Selamat sore Pak Agung," sapa security kantor saat kami memasuki pintu utama. 

"Sore Pak Amir, apa semua karyawan sudah pulang?" 

"Sebagian sudah, Pak. Tapi Pak Beni dan  beberapa karyawan masih ada di lantai atas. Oh ya, Pak. Ini tadi ada titipan ponsel milik Bapak dari Mbak Yuyun sebelum dia pulang tadi." Pak Amir memberikan amplop coklat yang berisi ponsel suamiku. 

Aku melihat senyum kelegaan pada wajah Mas Agung. Entah lega karena ponselnya ditemukan atau karena aku tidak jadi bertemu dengan si Yuyun itu.

"Oh ya terimakasih, Pak Amir," jawab suamiku. 

"Dek, Aku ke lantai atas dulu ya." 

"Ya. Mas." 

Aku duduk di depan receptionis. Sudah lama sekali aku tidak ke sini. Om Beni banyak merubah kantor ini menjadi lebih bagus dan tertata rapi. 

"Seraaaa!" Dido histeris terkejut saat melihatku. Sepertinya Ia baru saja dari luar. 

Mataku membelalak melihatnya. Segera aku kedipkan sebelah mataku dengan maksud memberi kode. Syukurlah Dido langsung paham. Karena tidak ada satupun yang mengetahui persahabatanku dengan Dido, termasuk suamiku. Hanya Om Beni seorang yang tahu. Karena Dido di terima kerja di kantor ini atas referensiku. 

Akhirnya Dido hanya tersenyum dan mengangguk sambil berlalu dari hadapanku. Beruntung tidak ada karyawan lain yang melihat. 

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ternyata ada panggilan masuk dari Om beni. 

"Sera, kamu naik ke ruangan Om sebentar ya." 

"Tapi Om...." 

"Sudah ga apa-apa naik aja. kantor juga sudah sepi," sela Om beni. 

"Baiklah Om. Sera ke sana sekarang." 

Aku segera menuju ruangan Om Beni yang berada di lantai atas.
"Bagaimana kabarmu, Sera ?" Om Beni memulai percakapan. Nampak wajahnya serius. 

"Sera baik, Om," jawabku yang duduk di hadapannya kini. Ruangan Om beni sepi.
Di lantai ini sudah tidak ada karyawan. Mungkin mereka sudah pulang. Mas Agung pun tak terlihat batang hidungnya. Di lantai dua aku hanya melihat Dido dan dua orang karyawan. 

"Sera, Om sudah tua. Sudah tidak sanggup memimpin perusahaan Bapakmu ini. Perusahaan ini sudah berkembang cukup pesat. Membutuhkan pemimpin yang lebih muda dan produktif. Sudah saatnya Om kembalikan padamu." 

Sebenarnya Om Beni memang sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin benar sudah saatnya aku memimpin langsung perusahaan ini. 

"Baiklah, Om. Tapi aku mohon hal ini tetap di rahasiakan dulu. Jangan sampai Mas Agung tau dulu bahwa sebenarnya aku pemilik perusahaan ini." 

"Kalau memang itu maumu, Om ikuti permainanmu saja. Jadi, kapan kamu mulai bisa aktif ? untuk laporan keuangan dan lainnya kamu bisa minta Dido kirim email ke kamu." 

"Sera akan mengabari secepatnya. Kalau begitu Sera pamit ya, Om. Takut nanti Mas Agung nyariin." Aku segera pamit untuk keluar menemui Mas Agung. 

Ting 

Sebuah pesan dari Dido.
[Ra , Aku lihat suamimu lagi berdua sama Yuyun di belakang kantor] 

APA? Bukannya tadi Yuyun sudah pulang ? Sebaiknya aku cek sendiri sekarang. Dido nggak mungkin bohong. 

Dengan langkah cepat aku langsung menuju ke belakang kantor. Di sana sebenarnya adalah tempat parkir motor karyawan. Sedangkan mobil Mas Agung ada di depan kantor. Berarti dia memang sengaja menemui pelakor itu. 

Aku menatap nanar sepasang manusia yang sedang berbicara di bawah pohon besar itu. Dari tempatku berdiri ini tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Tapi nampak keakraban yang tak wajar di antara mereka. 

Wanita itukah yang bernama Yuyun?  Masih muda, tapi menurutku tidak begitu cantik. Namun sikapnya berbicara dengan suamiku seperti wanita penggoda. Sesekali mereka saling menyentuh. Hebat kamu Mas. Pintar sekali kamu menutupi kelakuanmu selama ini. 

Baiklah, Mas. Silahkan lanjutkan permainanmu. Kamu akan pingsan jika tau siapa aku sebenarnya. Tidak salah aku merahasiakan ini semua selama delapan tahun. Tunggu pembalasanku. 

bersambung


Bab 2



"Dek, ayo pulang!" Mas Agung menghampiriku di ruang reseptionis yang sudah sepi. 

Dengan langkah gontai akupun mengikuti suamiku menuju mobilnya. Sekuat tenaga emosi ini kuredam. Biarlah nanti saatnya tiba akan kuhancurkan mereka. 

Selama perjalanan pulang Mas Agung nampak bahagia. Ia senyum-senyum sendiri. Persis seperti orang sedang jatuh cinta. Tapi lebih mendekati seperti orang gila menurutku. 

Sementara aku sedang berkirim pesan dengan Corri, asisten pribadiku yang pastinya tidak pernah di ketahui Mas Agung. 

Corri mengurus semua bisnisku. Termasuk bisnis properti yang selama ini aku jalani    secara diam-diam. Teknologi dan alat komunikasi yang canggih sangat membantuku menjalankan bisnis ini dari rumah. Tentunya di saat Mas Agung ke kantor dan pekerjaan rumah terselesaikan. 

Mobil memasuki halaman. Kamipun sampai di depan rumah ibu mertua. Ya, sejak menikah kami memang menumpang dengan mertua. Mas Agung selalu beralasan tabungannya belum cukup setiap aku memintanya untuk membeli rumah. 

"Sera, kamu dari mana saja? Ibu cari-cari kamu dari tadi. Ini Giska juga nanyain kamu terus." Ibu sudah berdiri di pintu saat kami tiba. 

"Maafin Sera Bu, tadi Mas Agung mendadak ngajakin ke kantor. Sera tadi mau pamit, tapi ibu lagi tidur." 

"Halah alasan aja kamu. Tuh rumah berantakan belum ada yang beresin." 

"Iya, Bu." 

Aku mulai merapikan rumah. Mulai dari dapur yang berantakan. Heran, tadi sebelum aku pergi semua masih rapi dan bersih. Kenapa banyak sekali piring dan gelas yang kotor menumpuk. Di rumah ini hanya ada aku, Mas Agung, Ibu dan Giska. 

"Bu, apa tadi ada tamu? Kenapa  banyak  sekali  piring dan gelas yang kotor?" tanyaku. 

"Tadi Lastri ke sini sama anak-anaknya. Lastri kan sekarang kerja. Jadi dia nggak sempat masak. Tadi dia makan di sini" 

Apaa? Jangan-jangan masakanku di meja sudah habis. Segera ke ruang makan dan membuka tutup saji. Lemas rasanya. melihat masakanku sudah tak bersisa. Padahal aku dan Mas Agung belum makan sama sekali. 

"Bu, Mbak Lastri itu kalau nggak sempat masak kenapa nggak beli aja sih? Kok malah ngabisin makanan di sini. Mana nggak mau nyuci piring lagi sehabis makan," kataku kesal. 

"Kamu itu kok perhitungan sekali. Ingat Sera!  kamu itu cuma menantu yang numpang di sini. Agung aja yang nyari duit nggak masalah," sahut ibu dengan suara yang meninggi seperti biasanya, setiap bicara denganku. 

"Iya, Dek. Nggak apa-apalah sekali-sekali mbak Lastri makan di sini," sela Mas Agung. 

Percuma rasanya berdebat dengan mereka. Semoga Mbak Lastri kakak tertua Mas Agung itu besok tidak makan di sini lagi. Dia memang tinggal hanya beberapa meter dari rumah ibu. 

"Sera, sekarang kamu masak. Ibu lapar." 

"Aku capek Bu. Ini rumah juga masih berantakan. Kita pesan makanan online aja ya." 

"Jangan boros-boros, Dek. Kamu masak aja sana," seru Mas Agung dari dalam kamar. 

Huh! aku membuang nafas kasar. 

Baiklah, Mas. Sekarang aku masih mau di suruh-suruh oleh keluarga yang nggak punya hati ini. Akan tetapi nanti, suatu saat mereka akan kejang-kejang jika tahu siapa aku. 

Malam telah larut. Lelahpun menyapa. Seperti biasa aku menemani Giska tidur di kamarnya. Sambil membaca email dari Dido dan Corri. Berlanjut mengecek saldo rekeningku. Tersenyum puas melihat angka yang fantastis hasil keuntungan penjualan beberapa  apartement minggu ini. 

Malam ini aku memutuskan untuk tidur di kamar Giska. Biarlah Mas Agung tidur  sendiri malam ini. Sejujurnya aku masih sangat kecewa atas kelakuannya di kantor tadi sore. 

Hmm ... Yuyun, bersiaplah menerima pembalasanku wahai pelakor. 

bersambung

Bab 3


Hari ini aku sengaja masak pagi-pagi sekali. Rencananya sepulang mengantar Giska ke sekolah, aku akan meeting dengan Om Beni dan beberapa pemegang saham perusahaan. 

Om beni mengadakan rapat di salah satu kantor cabang. Bersyukur nanti aku tidak bertemu dengan Mas Agung atau pun dengan si Yuyun yang berada di kantor pusat. 

"Assalamualaikum." Terdengar ucapan salam dari luar. Siapa yang pagi-pagi sudah bertamu? 
Lalu terdengar riuh suara anak-anak di ruang tamu. 

Mataku membelalak melihat Mbak Lastri dan Mas Joko-suami Mbak Lastri, serta ketiga anaknya yang langsung duduk di meja makan. Tanpa rasa malu mereka ikut sarapan bersama Mas Agung ,Ibu dan Giska. 

Apa-Apaan ini! Semakin lama mereka makin seenaknya. 

Untunglah aku dan Giska sudah sarapan duluan. Aku melongo melihat tamu-tamu tak diundang itu makan tanpa perasaan. 
Masakan yang aku masak tadi pagi habis tak bersisa. 

Aku yakin, setelah ini Mbak lastri tidak akan mau membereskan piring bekas makan anak-anaknya. 

"Giska, ayo berangkat. Nanti kesiangan," ajakku pada Giska yang sudah selesai sarapan. 

"Giska biar diantar sama Agung. Kamu di rumah saja beres-beres, Sera!" perintah ibu. 

"Maaf, Bu. Sera ada rapat di sekolah Giska. Mungkin Mbak Lastri bisa bantu merapikan meja dulu sebelum berangkat kerja," Aku melirik pada Mbak Lastri yang langsung melotot padaku. 

"Enak aja kamu. Kamu nggak lihat?  aku sudah rapi dan cantik kayak gini masa di suruh cuci piring. Nanti kalau baju aku kotor bagaimana?" jawabnya dengan suara meninggi. 

Sombong sekali kakak iparku ini. Entah apa pekerjaan barunya, sampai begitu tebal riasan wajahnya. 

Akhirnya aku membuang nafas kasar. 

"Ya sudah. Nanti biar Sera yang beresin pulang dari sekolah Giska. Aku pergi dulu, Mas, Bu ." 

Aku pamit menyalami Ibu dan Mas Agung yang masih saja duduk santai. Padahal Ia harus sudah sampai kantor sebelum jam delapan. Tapi ini sudah pukul setengah tujuh dia belum mandi. Hampir setiap hari seperti itu. Sungguh kinerja yang buruk. 

Aku tiba di sekolah Giska. Memastikan pada wali kelasnya bawah mulai hari ini Giska akan ikut mobil antar jemput sekolah. Juga memesan katering sehat untuk makan siangnya di sekolah. 

Aku tidak ingin Giska terlantar karena kasibukanku yang makin bertambah. 

Setelah urusan Giska di sekolah selesai, Aku segera meluncur ke kantor cabang dengan menggunakan taksi online.
Beruntung letak kantor cabang yang aku tuju tidak begitu jauh. 

Sepuluh menit kemudian aku tiba di sana. Dido sudah mempersiapkan semuanya. Para pemegang saham pun sudah menungguku di ruang meeting. 

Om Beni menyambutku. 

"Selamat datang CEO baru kita , Ibu Sera." 

Aku mengangguk hormat dan menyalami mereka satu-persatu. Kemudian memperkenalkan diri. 

"Selamat pagi. Saya Serani Gunawan, sebagai CEO baru di perusahaan yang didirikan almarhum Bapak saya , Bapak Heri Gunawan. Semoga nantinya kita semua bisa bekerjasama dengan baik." 

Untungnya mereka sangat ramah. Aku yang baru pertama kali masuk ke dunia kerja awalnya tentu sangat gugup. Namun mereka sangat menghargai aku. 

Sangat banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan. Mungkin nanti aku akan belajar banyak dengan Dido. 

Meeting berjalan lancar. Om beni memintaku untuk mulai aktif di kantor pusat mulai bulan depan. 

Berarti mulai bulan depan aku akan  sekantor dengan Mas Agung. Dan tiap hari akan melihat si Yuyun itu. Jika memang Mas Agung benar-benar menghianatiku, aku akan membuktikannya. Dan jika itu terbukti. Aku akan bertindak. 

Diam-diam aku menyusun rencana untuk memberi kejutan untuk mereka. 

Siang menjelang sore aku sudah sampai di rumah. Benar saja, setibanya di rumah, aku mendapatkan pemandangan luar biasa. Rumah seperti kapal pecah. Anak-anak Mbak Lastri berlari kesana-kemari. 

Aku ternganga melihat dapur dengan piring dan gelas yang hampir habis karena kotor semua. Sampah berada di mana-mana. Sepertinya mereka tadi memasak mie instan. Karena makanan untuk siang yang aku masak tadi pagi sudah ludes. 

Aku menghampiri Giska yang sedang belajar di kamarnya. 

"Giska sudah makan?" 

"Sudah Bunda. Tadi makan katering di sekolah." jawabnya. 

"Bagaimana? Menu kateringnya Giska suka?" Giska mengangguk. 

"Alhamdulilah. Kalau begitu Giska bantu Bunda beres-beres rumah, yuk." ajakku. 

"Oke, Bun" 

Giska memang aku ajari mandiri sejak dini. Aku tidak mau anakku seperti anak-anak Mbak Lastri yang bisanya membuat rumah selalu berantakan tanpa di ajari utk bertanggung jawab  membereskannya kembali. Padahal usia mereka lebih besar dari pada Giska. 

Aku segera memulai merapikan rumah. Sebelum Ibu mertua terbangun dari tidur siangnya. 

bersambung


Bab 4


"Seraaa ...!" 

"Ya, Bu ..." 

"Kamu kemana aja, sih? Ibu laper. Pusing kepala liat rumah berantakan. Anak-anaknya Lastri itu nakal-nakal banget." Ibu yang baru bangun tidur berjalan keluar kamar menghampiriku. 

"Rumah sudah aku rapikan, Bu. Ibu sabar ya. Masakan sebentar lagi matang." 

"Dasar si Lastri seenaknya aja nitip anaknya disini," gumam ibu. 

Sungguh uniknya ibu mertuaku ini. Jika di depan Mbak Lastri pasti tidak akan berani  bicara seperti itu. Justru sebaliknya. 

Tapi walau bagaimanapun juga. Aku tetap harus  menyayangi dan menghormati beliau. 

"Bu ...Ibu ..." Terdengar teriakan Mbak Lastri dari luar. 

"Kalau masuk ke rumah itu ucapkan salam. Jangan malah teriak-teriak," gumamku. 

"Hey ini rumahku. Suka-suka aku dong. Kamu cuma numpang di sini. Nggak usah ngatur," ketus Mbak Lastri sambil melotot ke arahku. 

"Santai, Mbak. Itu muka udah serem jangan di serem-seremin lagi," jawabku tenang. 

"Eeh ... Lastri, Joko. Ayo sini makan sekalian," sambut ibu yang sedang makan bersamaku. 

"Nggak usah, Bu. Lastri buru-buru mau pergi arisan. Ini mau ambil anak-anak," jawab Mbak Lastri sambil melangkah ke dapur.

Eh, Kok tumben. Biasanya nyari gratisan melulu. Alhamdulilah masakanku aman. 

Tidak lama kemudian Mbak Lastri muncul dari dapur dengan membawa beberapa lembar plastik kiloan. 

"Itu plastik untuk apa, Mbak? tanyaku dengan kecurigaan yang meronta-ronta. 

"Buat bungkus lauk sama nasi. Nanti aku makan di rumah aja," jawabnya seraya membungkus lauk di meja tanpa perasaan. 
Karena jelas-jelas ibu dan aku masih makan
Tapi meja sudah ia bersihkan, lauknya. 

Terdengar ibu membuang nafas dengan kasar. Aku lirik beliau dengan sudut mataku. Tidak ada senyum seperti ketika Mbak Lastri datang tadi. 

Untung saja aku sudah antisipasi, memisahkan lauk untuk Giska dan Mas Agung makan malam. 

### 

Malam sudah larut. Ibu dan Giska sudah terlelap. Tapi Mas Agung belum juga pulang. Aku coba hubungi ponselnya, tapi  tidak aktif. 

Lagi-lagi terbayang wajah si Yuyun. Aku coba membuka profile kontak pelakor itu. Masih foto tulisan kaligrafi.
Aku cek statusnya di aplikasi warna hijau, Betapa terkejutnya aku melihat ada foto suamiku sendiri disana, dengan caption 'jadikan aku yang pertama' , entah apa maksudnya. 

Mas Agung memang tampan. Wajahnya yang  berahang tegas, mata sedikit sipit dan rambut ikal. Dengan jambang yang tumbuh di sekitar pipi dan dagu, membuat wajahnya semakin menawan. 

Huh ! Dasar pelakor nggak tau malu. Pasang status kok foto suami orang. 

Menjelang tengah malam Mas Agung baru saja pulang. 

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam. Malam sekali, Mas." 

Mas agung masuk dan langsung membersihkan diri. 

Aku mencoba sabar untuk mendengar penjelasannya. 

"Mau aku siapin makan?" 

Ia menggeleng. 

"Aku capek. Seharian meeting di luar. Aku Mau istirahat," ujarnya, lantas naik ke pembaringan. 

Aku mengernyitkan dahi. Apa benar ada meeting hingga larut malam begini. 

Terdengar dengkuran halus Mas Agung. Pertanda ia sudah pulas. . 

Perlahan aku membuka ponselnya. Sayangnya terkunci. Ini mencurigakan. Karena sebelumnya ia tidak pernah pakai pasword. Suamiku ini sangat pelupa untuk hal-hal demikian. 

Tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk. Walau tidak bisa di buka, tapi terlihat nama si pengirim pesan dengan nama Yuyun. Sepertinya mereka sebelumnya saling berkirim pesan. Atau malah mereka baru saja bertemu? 

Karena rasa penasaranku yang begitu membara, aku mencoba terus membuka ponsel suamiku. Namun pasword apapun tidak berhasil. Dari mencoba tanggal ulang tahun Giska, aku dan Mas  Agung. Tidak ada yang berhasil. 

Aku coba mengirim pesan ke Dido. 

[Do, lo tahu tanggal  lahirnya Yuyun nggak?] 

Lama tidak dibalas. Akhirnya aku mencoba melakukan panggilan ke ponsel Dido berkali-kali . Dan akhirnya  pesanku di balasnya. 

[Lo gila! Tengah malam telphon gue cuma buat nanyain gituan] 

[Gue pecat lo ! Ngatain CEO gila. Udah buruan cari tahu ] 

Aku ngakak guling-guling, puas ngerjain Dido. 

Tak lama pesan dari Dido masuk. Ia memberikan tanggal itu. 

A-apa?? Tanggal delapan Mei? Berarti hari ini dong. 

Yuyun hari ini berulang tahun? 

Tanpa menunggu lama aku mencoba membuka kunci ponsel Mas Agung. 

Ternyata ... 

Bersambung

Bab 5

Tanpa menunggu lama aku mencoba membuka kunci ponsel Mas Agung. Dan ... yess terbuka. 

Mataku membelalak melihat chat dari Yuyun berada paling atas. Langsung aku buka, ternyata hanya ada satu chat dan  belum di baca. 

[ oke. sampai besok ya, Mas ] 

Ini seperti pesan balasan. Berarti sebelumnya mereka saling berkirim pesan. Tapi sudah di hapus lebih dulu oleh Mas Agung. 

Aku membuang nafas kasar. Kecurigaanku belum terbukti. 

"Dek, matikan lampunya. Sudah malam." Aku terlonjak mendengar suara Mas Agung. Perlahan aku letakkan kembali ponselnya ketempat semula. 

### 

Pagi ini seperti biasa kegiatan rutinku sudah menanti. Mungkin mulai bulan depan aku akan mencari asisten rumah tangga. Agar Giska juga ada yang mengurus. 

Ibu sedang berbincang dengan Mas Agung di ruang makan. Sepertinya sangat serius. Jiwa kekepoanku semakin meronta-ronta. Akhirnya aku mendekat dengan membawa nasi goreng saus tiram untuk sarapan. 

"Kamu masih ingat dengan tante Sania sahabat ibu yang di bandung, Gung?" 

" Ya bu. Ingat." 

"Anak perempuannya ternyata kerja di jakarta ini. Kemarin kost di dekat kantornya tidak betah. Tante Sania mau menitipkan anaknya di sini," jelas ibu kepada Mas Agung. 

"Kalau aku terserah Ibu aja," Sahut Mas Agung. 

"Tapi kan tidak baik kalau ada perempuan tinggal di sini, Bu. Bukan muhrim dengan Mas Agung," sela aku keberatan. 

"Eh, Sera, kamu kok bisa-bisanya ngomong begitu. Ini rumah Ibu dan Agung. Kamu tuh di sini cuma menantu yang numpang!" protes ibu tidak terima. 

Selalu saja begitu jawabnya. Mentang-mentang aku numpang di sini. Sebenarnya bisa saja aku segera pindah ke apartement mewahku yang berada di lokasi segitiga emas kota ini. Tapi belum saatnya aku membuka siapa diriku sebenarnya. 

"Lagian anaknya Tante Sania akan tinggal di paviliun samping. Bukan satu rumah dengan kita. Sore ini dia akan membawa barang-barangnya ke sini," jelas ibu lagi. 

Syukurlah. Tapi tetap saja perasaanku tidak enak. 

"Ya bu. Nanti sore saya usahakan pulang lebih cepat," sahut Mas Agung. 

"Buat apa pulang cepat, Mas?" tanyaku heran. 

"Kamu kenapa sih, Dek? Curiga terus. Aku cuma mau temani ibu menerima tamu." Mas Agung nampak kesal. 

Ya sudah biar saja kalau dia mau pulang cepat. Justru bagus. Jadi tidak ada kesempatan untuk bertemu dengan Yuyun di luar. 

"Dek, Giska sekarang naik jemputan, kenapa kamu tidak kompromi dulu denganku?" Tiba-tiba Mas agung bertanya saat ia sedang sarapan. 

"Oh, ya Mas. Mulai bulan depan aku akan bekerja. Lebih aman jika Giska pakai mobil antar jemput sekolah." 

"Sebenarnya aku mau membicarakannya padamu. Tapi akhir-akhir ini kamu selalu pulang larut malam," lanjutku. 

"Halaahh sok-sok mau kerja segala. Kamu iri ya dengan Lastri?  Kalau si Lastri wajar dia kerja. Dia pernah kursus setelah lulus SMK. Jadi bisa diterima di kantoran. Lah kamu? Nggak jelas lulusan apa? Gaya-gayaan mau kerja." Ibu dan Mas Agung tertawa terbahak-bahak. 

Silahkan tertawa yang puas kalian sekarang. Awal bulan depan kalian akan ternganga melihatku. Gemes aku. 

"Terserah kamu, Dek. Asalkan kamu sendiri yang bayar ongkos antar jemput Giska nanti." 

Dasar! jadi suami perhitungan banget. 

"Aku berangkat dulu. Pamit ya, Bu." Mas Agung pun menaiki mobilnya dan berlalu.


### 

Sejak siang tadi Ibu begitu repot mempersiapkan segala sesuatu untuk kedatangan tamunya. Aku di minta masak makanan lebih banyak. Juga membersihkan paviliun samping yang telah lama kosong. 

"Assalamualaikum." Sepertinya tamu yang di tunggu-tunggu ibu sudah datang. 

Aku masih di dapur mendengar ibu yang begitu senang menerima tamunya. Aku jadi penasaran. Perlahan aku ke depan dengan membawa dua gelas teh dan setoples cemilan. 

"Bagaimama kabar mama?" 

"Alhamdulilah baik, Tante. Mama kirim salam buat Tante," sahut wanita itu. 

Kenapa Aku merasa sangat familyar dengan wajah wanita itu ? Seperti kenal. Tapi di mana? 

"Jangan panggi Tante. Panggil Ibu saja. Biar lebih akrab. Sera, kenalkan ini anak tante Sania. Namanya Yuyun." 

A-APA ...? YUYUN ...?  

Pantas saja aku kok seperti pernah lihat. 

"Kok malah diam kamu Sera? Nggak sopan banget kamu sama tamu !" Ujar Ibu kesal  melihatku terdiam karena terkejut.

Oke baiklah. Sepertinya aku harus lebih waspada menghadapi pelakor seperti Yuyun ini. 

bersambung

Bab 6



"Kenalkan, saya Yuyun." Wanita itu menyodorkan tangannya padaku. Terlihat kuku-kuku panjangnya yang berwarna merah menyala. 

"Saya Sera." Akhirnya aku bersalaman juga dengannya. 

"Ternyata kamu cantik sekali Yuyun, persis ibu kamu waktu muda dulu," puji Ibu membuat wanita itu tersenyum bangga. 

Yuyun memang memiliki wajah cantik dan berkulit putih. Tubuhnya tinggi dan langsing. Tapi sayangnya kelebihan yang ia miliki digunakan untuk menggoda  suami orang. 

Apa Mas Agung sudah tahu kalau tamunya adalah si Yuyun ? 

Terdengar suara mobil memasuki halaman. Sepertinya Mas Agung baru saja pulang. Aku sangat penasaran melihat ekspresi Mas Agung saat melihat Yuyun nanti. 

"Assalamualaikum." Suara Mas Agung mengucapkan salam dari luar. 

"Waalaikumsalam." Kami serempak menjawab salam. 

"Loh, kok Mas Agung ada di sini?" 

" Yuyun ...?" 

Mas agung dan Yuyun nampak terkejut dan saling menunjuk. 

Sepertinya mereka memang benar-benar tidak menyangka akan bertemu di sini. 

Wajah wanita bermake up tebal itu nampak berbinar ketika melihat suamiku. 

"Syukurlah kalau kalian saling kenal," ujar ibu dengan wajah bahagia. 

"Yuyun ini anaknya tante Sania, Gung," lanjut ibu. 

"Oh ya? Yuyun ini satu kantor denganku, Bu," jelas Mas Agung 

"Wah hebat kamu bisa kerja di kantoran," puji ibu kepada Yuyun. 

" Udah cantik, kerja di kantoran pula." Ibu tak henti-hentinya memuji pelakor itu. 

"Gung, tolong bawa barang-barang Yuyun ke paviliun samping," pinta Ibu kemudian. 

Mas Agung membawa barang-barang wanita itu ke paviliun, lewat pintu tembus yang ada di ruang makan. 

"Yuyun di kantor divisi apa?" tanyaku. 

"Emang kalau Yuyun jawab kamu paham, Ra?" serobot ibu dengan senyum mengejek. 

"Paham dong, Bu." jawabku yakin. Jelaslah aku paham dengan perusahaanku sendiri. 

"Memang Mbak Sera kerja di mana?" tanya Yuyun dengan senyum miring meremehkan. 

"Perusahaan property," jawabku 

"Pasti jadi sales ya hahaha ?" tebaknya seraya tertawa. 

"Silahkan di minum, aku ke kamar dulu." Sebelum emosiku memuncak, lebih baik aku meninggalkan mereka. Belum saatnya aku membalas si pelakor itu. Biarlah sekarang ia tertawa puas. 

Saat di kamar, "Mas, si Yuyun itu yang kamu pernah bilang perempuan nggak bener suka ganggu laki-laki di kantormu, kan?" 

"I-iiyya. Tapi ternyata aku salah sangka. Yuyun itu wanita baik-baik, kok." 

"Sepertinya Mas kenal dekat dengannya?" pancingku. 

Mas Agung nampak mulai emosi. 

"Kamu kenapa sih? Cemburu ya? Makanya Dek, kamu itu harus pandai merias diri seperti si Yuyun itu, wangi dan menarik." 

Aku terhenyak mendengar ucapan Mas Agung barusan. 

"Tega sekali kamu membanding-bandingkan aku dengan perempuan itu, Mas," seruku setengah berteriak. 

"Kalau kamu mau aku dandan cantik dan wangi, ya modalin dong. Asal kamu tau, uang yang kamu kasih selama ini hanya cukup untuk makan semua keluarga ini. Belum lagi kalau kakakmu itu sering makan gratis di sini satu keluarga." Emosiku semakin meluap-luap. 

Sungguh keterlaluan kamu Mas.
Aku memang tidak pernah berdandan berlebihan. Namun untuk perawatan tubuh dan wajah, rutin aku lakukan. Itupun dengan uang sendiri. 

"Nggak usah bawa-bawa Mbak Lastri. Memang dasar kamu saja yang nggak bisa mengatur uang dengan baik," sahutnya seraya berjalan keluar kamar. 

Awas kamu, Mas. Tidak lama lagi semua ini akan berakhir. Aku mencoba  untuk lebih bersabar saat ini. 

### 

Pagi ini Dido akan memperkenalkan aku dengan seseorang yang akan menjelaskan semua tentang perusahaan. 

Selama ini aku memang terlalu cuek dan tidak perduli. Bersyukur orang-orang kepercayaan papa tidak ada yang berkhianat. 

Setelah semua pekerjaan rumah rapi dan Giskapun sudah berangkat ke sekolah. Aku segera bersiap-siap. 

Sepertinya aku harus membeli banyak baju untuk bekerja nanti. Baju yang biasa aku pakai memang hanya gamis dan hijab instan model bergo yang praktis. 

Aku memang jarang membelanjakan uangku sendiri. Khawatir Mas Agung dan Ibu curiga. Aku hanya memakai uangku  sendiri untuk perawatan rutin di salon. 

Mas Agung sepertinya sudah berangkat. Mungkin Yuyun juga berangkat bareng dengan Mas Agung. Sengaja aku tidak keluar. Masih terasa kesal dan sakit hati mengingat perkataannya semalam. 

"Bu, aku berangkat dulu." Ibu nampak terkejut melihat aku berpakaian sangat rapi dan memakai riasan wajah. Padahal riasan wajahku tidak setebal Yuyun ataupun Mbak Lastri. 

"Mau ke mana kamu?" 

"Aku diminta datang ke kantor yang menerimaku kerja, Bu." 

Ibu masih nampak tercengang. 

"Aku pamit ya bu." Aku menyalami Ibu yang masih menatap penuh tanya. 

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam." 

### 

Aku baru saja sampai di Cafe tempat aku dan Dido akan bertemu. 

[ Langsung masuk aja. Gue udah di dalam ] 

Pesan dari Dido 

Melangkah memasuki Cafe yang terbilang mewah ini. Di sudut, nampak Dido dengan seorang pria memakai jas berwarna abu. 

"SERA ...Sini!"  Ampun deh si Dido nggak ada sopan-sopannya sama CEO. 

"Hai Sera, Apa kabar?" sapa laki-laki yang duduk di sebelah Dido. 

Suaranya .... Kenapa aku sangat mengenali suara itu. 

"Kamu pasti lupa denganku, Rani." Laki-laki itu tersenyum. 

"Ka-kamu ... Arief ?" tebakku seperti mengingat seseorang di masa lalu. Satu-satunya pria yang memanggilku Rani. 

"Hahaha ....betul. Kamu makin cantik saja Rani." 

"Ra, Arief ini ternyata anak Pak Ilham. Salah satu pemilik saham di perusahaan kita. 

Sejenak terlintas  bayangan masa lalu. Ketika Arief dan aku berpisah setelah lulus SMA. Saat itu aku memutuskan melanjutkan pendidikan di jerman. 

Dulu kami sangat dekat. Aku, Arief dan Dido. 

bersambung

Bab 7


"Aku nggak menyangka kalau pemilik perusahaan ini adalah Ayahmu, Ran." Arief menyeruput kopi latte kesukaannya sejak dulu. 

"Aku juga nggak menyangka kamu ikut andil mengembangkan perusahaan Papaku, Rief," sahutku sambil mengaduk lemon tea panas kesukaanku. Aromanya menguar menyegarkan. 

"Yang nggak habis pikir itu gue. Selama bertahun-tahun kerja bareng. Baru ini tahu kalau Arief budiman anak Pak Ilham itu adalah teman satu SMA gue," lanjut Dido. 

Kami tertawa. Sungguh kebetulan yang luar biasa bagi kami. Tiga sekawan di waktu SMA, kembali bersama setelah sekian tahun lamanya. 

"Maklumlah. Selama ini gue belum pernah ikut meeting bareng direksi," ujar Dido. 

"Tapi mulai sekarang, lo jadi asisten gue, Do! Ini perintah," tegasku. 

"Siap, Bu CEO." 

Arief ternyata sangat menguasai seluk beluk perkembangan perusahaanku. Pak Ilham, Ayah Arief selama ini juga sangat berjasa pada kemajuan perusahaan. 

"Rief, aku minta kamu dampingi aku dulu selama beberapa bulan kedepan. Bisa?" 

"Siap, Cantik. Apa sih yang nggak buat kamu," jawab Arief seraya mengedipkan sebelah matanya. 

" Woi ..., bini orang tuh," sela Dido. 

"Apa? Kamu udah menikah, Ran?" Arief terkejut mendengar ucapan Dido. Ia menatapku tajam seakan  tak percaya. 

"Iya, aku juga sudah punya anak," jawabku. 

Kenapa aku seperti melihat kekecewaan pada raut wajah Arief. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. 

"Oke. Meeting kali ini sudah selesai. Tinggal persiapan acara malam perpisahan untuk Pak Beni minggu depan. Aku serahin semua pada Dido. Aku ingin semua karyawan dari semua divisi kita undang." 

" Baik, Ra." 

" Aku pamit ya." Aku berdiri dan menyalami dua pria di hadapanku. 

"Ran, kamu bawa mobil?" tanya Arief. 

Aku menggeleng. Sebenarnya Om beni menawarkanku untuk membawa mobil inventaris perusahaan. Tapi aku menolak. Belum saatnya.

"Ya sudah. Ayo aku antar," ajak Arief. 

"Apa nggak merepotkan?" 

"Tidak ada yang repot buat kamu, Rani." Arief menjawil hidungku. 

"Heey ..! Kebiasaanmu dari dulu nggak berubah ya. Masih aja seneng jawilin hidung cewek-cewek," Arief terbahak- bahak melihat aku melotot. 

"Cewek-ceweknya juga nungguin minta aku jawilin. Hahahaha ... Mana ada yang bisa menolak pesona orang tampan kayak gini." 

"Dasar tuan sok tampan!" gerutuku. Walau sebenarnya aku mengakui Arief memang sangat tampan mempesona. Dulu aku pikir dia akan menjadi artis atau model. 

"Kebiasaan dari dulu juga Lo berdua,  kalau udah berduaan, lupa sama gue." 

Kali ini aku yang terkikik melihat wajah kesal Dido. 

Kami berpisah dengan Dido di area parkir. 

Aku menaiki mobil mewah milik Arief.
Ia membukakan pintu mobilnya untukku. Sikapnya masih seperti dulu. Manis. 

Karena masih siang, aku minta Arief menurunkanku di mall yang tidak jauh dari rumah. Aku ingin membeli beberapa pakaian kerja, dan perlengkapan make up. 

"Makasih tumpangannya."  

Arief mengangguk. Ia tersenyum.
"Hati-hati, Ran," ucap Arief saat aku keluar dari mobilnya. 

" Oke. Daah ....!" aku melambaikan tangan padanya. 

Mobil arief pun berlalu. Lalu aku masuk ke dalam mall dan menuju beberapa toko. 

Aku melihat sosok yang sangat familiar. Baju yang di pakai laki-laki itu tampak tidak asing bagiku. la menggandeng seorang wanita muda. Karena cukup jauh dari jarak tempat aku berdiri, wajah mereka tidak begitu jelas. 

Karena penasaran, perlahan aku mendekat untuk memastikannya. Namun ramainya pengunjung membuatku kesulitan mendekati mereka. Dan akhirnya aku kehilangan jejak. 

Aku tersadar bahwa ini adalah jam makan siang. Pantas saja pengunjung sangat ramai. 

Setelah lelah berbelanja. aku putuskan untuk pulang. Karena sore ini Bu RT akan memperkenalkan saudaranya yang akan menjadi art di rumah. 

Ketika turun dari taksi. Aku melihat mobil Mas Agung pun baru saja masuk ke halaman rumah. Sepertinya ia pulang lebih cepat hari ini. 

Rumah nampak ramai. Ternyata ada Mbak Lastri dan anak-anaknya. 

Mas Agung turun dari mobil. Mataku membelalak saat melihat pelakor itupun turun dari mobil suamiku. 

Dan ... aku tambah terkejut lagi, saat melihat baju yang di pakai Mas Agung dan Yuyun persis sama dengan sosok yang aku lihat di mall tadi. 

Dengan bangganya Yuyun melangkah menjinjing belanjaan yang begitu banyak. Namun sayangnya bukan barang-barang branded seperti yang aku jinjing saat ini. 

Aku tahu dari kemasan plastiknya, itu adalah barang-barang discount yang ada di pameran bazar hall lantai dasar mall tadi. 

"Kamu sama Yuyun habis belanja, Mas?" tanyaku kesal. 

"Iya. Sekalian lewat pulang kerja tadi Yuyun minta di antar mampir di mall. Apa salahnya aku antar sebentar," jawabnya santai. 

Sakit hatiku melihat Mas Agung yang merasa tidak bersalah. 

"Kamu dari mana, Dek? Uang dari mana kamu belanja begitu banyak?" Mas Agung menatapku heran. Mungkin ia baru menyadari penampilanku yang berbeda hari ini. 

"Dari tempat kerja," jawabku malas. 

Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam rumah. Sepertinya Mbak Lastri sedang berbicara serius dengan Ibu. 

Wajah keduanya nampak tegang. Apalagi Mas Joko yang terlihat bingung di sudut ruangan. 

Ada apa gerangan? 


bersambung

Bab 8



"Assalamualaikum" 

"Waalaikumsalam." Ibu menjawab salamku. 

Aku menyalami ibu yang matanya tak lepas dari barang-barang bawaanku. Sementara Mbak Lastri juga melotot. Ia pasti paham tas belanjaanku bertuliskan merk barang-barang branded yang ada di dalamnya. 

Aku pura-pura tidak peduli, lalu sengaja meletakkan semua belanjaanku di atas meja makan. 

Mas Agung menyusulku ke kamar. 

"Dek, uang dari mana kamu belanja begitu banyak, hah? tanyanya dengan wajah memerah. 

" Ya uangku dong," jawabku tegas. 

" Dari mana uang segitu banyak? Yang kamu beli ini barang-barang mahal, kan?" 

"Kamu gimana sih, Mas. Kemarin kamu bilang aku nggak bisa beli baju-baju bagus karena tidak pandai mengatur uang. Sekarang aku sudah beli kamu malah marah-marah. Kamu kan yang menyuruh aku berubah menjadi cantik." Aku mencoba lebih tenang. 

Mas Agung terdiam. 

" Gung ..., sini !" Terdengar teriakan ibu memanggil dari ruang tamu. 

Mereka sepertinya terlibat pembicaraan serius. 

"Rumah ini satu-satunya harta milik keluarga kita, Mbak. Aku nggak setuju jika di jadikan jaminan di bank." Terdengar suara Mas Agung mulai emosi.

"Tapi Mas Joko butuh modal untuk buka usaha. Kami sudah  tidak kerja lagi sekarang." Terdengar sahutan Mbak Lastri dengan nada suara yang juga sudah mulai meninggi. 

Apaa? Mbak Lastri sudah berhenti bekerja? Kenapa? Bukankah dia baru pindah ke tempat kerja yang baru? 

"Bagaimana kalau usaha Mas Joko gagal? Mau bayar pakai apa?" tanya Mas Agung. 

Sepertinya semua terdiam. Aku yang masih di dalam kamar mencoba mengintip dari balik pintu. Wajah semuanya terlihat tegang. 

"Aku akan cari kerja lagi. Barangkali di perusahaanmu ada lowongan, Gung? tanya Mbak Lastri kemudian. 

Mas Agung membuang nafas kasar. 

"Aku nggak bisa janji," jawabnya malas. 

Sepertinya Ia sangat berat jika rumah ibu di jadikan jaminan bank. Apalagi saat ini Mas Agung belum bisa membeli sebuah rumah. 

"Permisi." 

"Eh Yuyun, sini!" panggil ibu ketika Yuyun masuk lewat pintu tembus dari paviliun. 

" Lastri, kenalin ini Yuyun anaknya tante Sania. Ternyata dia sekantor sama Agung, lho," jelas ibu pada Mbak Lastri. 

"Yuyun." Pelakor sok cantik itu mengulurkan tangannya kepada Mbak Lastri. 

"Lastri," sahut kakak iparku menerima uluran tangan Yuyun dengan senyuman. 

"Yun, di kantormu ada lowongan nggak? aku mau ngelamar dong." tanya mbak Lastri. 

Hello ...! Bosnya tuh di sini lho. Bukan si Yuyun. Aku terkikik sendiri di dalam kamar. 

"Bikin lamaran aja, Mbak. Nanti aku  bawa ke kantor. Aku banyak kok kenal bos-bos di kantor." 

APA? Yuyun banyak kenal bos-bos katanya? Wow ...! Aku spontan menutup mulutku menahan tawa. 

"Waaah, makasih banyak ya, Yun." Mbak Lastri terdengar sangat senang. 

Aku tersenyum sendiri. Sepertinya aku punya ide untuk ngerjain balik kakak iparku yang satu itu. 

Aku segera menghubungi Dido. 

---------- 

"Assalamualaikum Bu Sera!" Seperti suara Bu Rt memanggilku. 

"Waalaikumsalam. Eh ada bu Rt. Mari masuk." Ibu mempersilahkan masuk Bu RT dan seorang wanita yang sepertinya berumur empat puluh tahunan. 

Aku keluar menghampiri mereka. 

"Bu Sera, ini Bik Sum yang mau kerja di sini." 

Mata ibu membulat menatapku mendengar ucapan Bu Rt. Beliau seakan-akan minta penjelasan. 

"Oh ya. Bik Sum kenalkan ini Ibu mertua saya" 

"Bu ..., Aku minta Bu Rt membawakan orang untuk bantu-bantu kita di sini selama aku kerja nanti." Aku mencoba menjelaskan pelan-pelan pada Ibu. 

"Kamu nggak salah, Sera? Memangnya gaji kamu berapa sok-sokan mau pakai jasa art?" sela Mbak Lastri dengan gaya sombongnya. 

"Itu urusanku, Mbak," jawabku kesal. 

"Tapi dia tidak menginap di sini, bu. Datang pagi-pagi dan pulang sore atau malam setelah aku pulang kerja," jelasku lagi. 

Bagaimanapun aku harus tetap izin dengan Ibu. Walau sikap ibu kurang baik padaku selama ini. Namun beliau satu-satunya orangtuaku saat ini. 

"Ibu terserah kamu sajalah. Asalkan kamu yang bertanggung jawab membayar gajinya. Jangan sampai membebani suamimu," jawab ibu dengan nada ketus, seperti biasanya. 

"Ibu tidak usah khawatir masalah itu." Aku tersenyum ibu telah memberi izin

"Baiklah Bu RT, mulai besok Bik Sum sudah mulai bisa bekerja di sini. Agar dpt menyesuaikan dulu dengan pekerjaan serta anggota keluarga di sini." 

Bik Sum dan Bu RT pamit pulang. 

Aku melihat Mbak Lastri dan Mas Agungj masih bersitegang membicarakan sertifikat rumah ibu yang akan di jadikan sebagai jaminan.  Aku melihat kesedihan dari raut wajah ibu. Sepertinya ibu pun tidak setuju, namun selama ini Ibu selalu mengikuti kemauan anak-anaknya. Beliau tidak bisa berbuat apa-apa. 

Pada akhirnya, dengan berat hati Mas Agung menyetujui permintaan Mbak Lastri. 

Kakak iparku dan suaminya pulang dengan wajah berbinar membawa sertifikat rumah ibu. 

Seandainya keadaannya tidak seperti sekarang ini. Seandainya mereka selalu bersikap baik dan menghargai aku sebagai anggota keluarga di sini. Seandainya Mas Agung tidak menghianatiku. Tentunya dengan senang hati aku akan membantu kesulitan yang dialami keluarga ini. 

Namun aku hanyalah manusia biasa yang punya perasaan dan harga diri. Selama delapan tahun sudah mereka bersikap seenaknya padaku. Selama itu pula aku berusaha sabar. Karena untuk membantahpun percuma. Justru akan memperuncing keadaan. 

Aku adalah tipikal orang yang tidak suka ribut. Namun justru hal inilah yang sering di manfaatkan oleh mereka. 

Sudah saatnya kini aku memulai permainan ini. Ingin rasanya membuat mereka ternganga. Aku yang selama ini siang malam mereka suruh-suruh seenaknya. Aku yang selama ini menjadi istri yang mudah di bohongi oleh suamiku sendiri. 

Mulai minggu depan. Di acara perpisahan Om Beni, Aku akan di perkenalkan sebagai CEO baru di depan seluruh karyawan. Sungguh tidak sabar  melihat raut wajah mereka nanti. 

------------- 

Sejak pukul enam pagi Bik Sum sudah datang. Giska nampaknya cocok dengannya. Bik sum sangat telaten dan cekatan mengurus Giska dan membantu pekerjaan lainnya. 

"Bik Sum di sini fokus mengurus Giska ,Ibu dan kerjaan rumah saja ya. Selain itu nggak usah di kerjakan. Apalagi kalau ada yang nyuruh-nyuruh selain saya dan Ibu," jelasku. 

"Baik,  Bu Sera," sahut Bik Sum seraya mengangguk. 

Aku dan Bik Sum sedang memasak di dapur. Terdengar suara Mbak Lastri dari ruang tamu. Karena penasaran aku mencoba mendekat. 

" YUYUN ...! 

" Ya, Mbak Lastri." 

" Ini aku sudah bawa lamaranku. Tolong di bantu ya. Makasih lo, kamu baik banget mau nolongin aku. Coba dari dulu kamu ketemu sama Agung. Pasti enak punya adik ipar baik kayak kamu, Yun." 

Yuyun terlihat senyum-senyum nggak jelas. Mungkin dia kegeeran. 

Kakak iparku yang cantik. Tenang aja, kamu pasti di terima di perusahaanku. Karena aku juga ingin mellihat wajah cantikmu ternganga bertemu denganku nanti. 

Aku juga sudah mempersiapkan posisi yang sangat cocok dan pas untukmu,  Mbak Lastri. Aku terkikik sendiri mengingat pekerjaan yang akan di berikan kepada kakak iparku itu nanti. 

bersambung
 

Bab  9

"Mbak Lastri, besok diminta datang ke kantor untuk test "  Tiba-tiba yuyun masuk melewati pintu tembus dari paviliun, ketika kami sedang makan malam. 

"Wah, beneran, Yun?" Wajah Mbak Lastri berbinar.  

"Makasih loh, Yun. Ngomong-ngomong kok bisa cepet ya Lastri dapat panggilan? Hebat banget kamu, Yun." Ibu ikut menimpali. 

"Bukannya Yuyun banyak kenal bos-bos, Bu?" selaku. 

"Iya dong. Kalau kerja itu harus supel kayak aku. Jangankan level manager, sampai level direkturpun aku kenal." Yuyun berkata dengan nada sombong. 

"Tuh Sera,  contoh itu Yuyun. Besok kalau kamu kerja, sering-sering belajar sama Yuyun." Ibu menasehatiku. 

APA? Aku nggak salah denger? Mau ngakak sambil salto rasanya. 

"Betul, Bu. Yuyun kalau di kantor itu ramah dengan semua orang. Makanya banyak yang salah paham dengannya." ujar Mas Agung sambil melirikku. 

Eh, Apa maksudnya? 

"Habisnya kamu itu sudah ramah, cantik pula. Pantas aja banyak yang kegeeran. Iya kan?" puji Mbak Lastri. 

"Sera, kamu belajar dandan sana sama Yuyun. Biar suami kamu betah di rumah. Nggak pulang malam terus." Ibu berkata sambil tertawa mengejekku. 

"Nggak perlu," jawabku singkat. Lalu segera menghabiskan makan malamku. 

"Halah, dia mau diapain juga tetap aja kayak gitu, Bu. Kampungan. Hahahaha ...," sahut Mbak Lastri dengan tawa bahagianya. 

Tertawalah sepuasnya sekarang Mbak.

--------- 

"Memang kamu mau kerja di mana sih, dek?" Tanya Mas Agung ketika sudah di kamar. 

"Perusahaan properti, Mas" 

"Kapan mulai masuk kerja?" tanyanya lagi. 

"Lusa," Jawabku menahan kantuk. 

"Aku ngantuk, Mas,"lanjutku. Aku melihat Mas Agung masih asik dengan ponselnya. 

Tak lama kemudian aku pun terlelap. 

Saat tengah malam, aku terjaga karena merasa haus. Saat duduk, aku merasa ada yang berbeda. Benar saja, Mas Agung tidak ada di sampingku. Menyalakan lampu dan melihat jam, ternyata sudah jam empat pagi. 

Aku cek ke kamar mandi, tapi suamiku tidak ada. Lalu melangkah keluar, masih dengan tujuan yang sama. Mencari keberadaan Mas Agung. Mendadak rasa hausku hilang. Berganti menjadi rasa penasaran. 

Aku membuka kamar mandi tamu. Namun tetap tidak ada laki-laki itu di sana. Pikiranku makin kacau. Dugaan-dugaan buruk hadir di kepalaku. 

Perlahan aku ke dapur. Barangkali Mas Agung ada di sana. Namun nihil,  laki-laki itu juga tidak berada di sana. 

Sebenarnya ada satu tempat yang aku curigai sejak tadi. Namun aku harus pastikan dulu ke kamar Ibu dan Giska. 

Aku mengintip dari balik pintu yang sedikit terbuka. Ibu terlelap di sana. Lalu aku beralih ke kamar putriku. Giska pun sangat nyenyak sekali. 

Aku membuang nafas kasar. Jantung ini berdegup kencang. Badanku gemetar. Apakah dugaanku ini benar? 

Ya Allah. Tolong kuatkan aku. 

Memantapkan hati agar bisa kuat menerima kenyataan. Perlahan aku melangkah ke ruang tamu. Tampak jelas olehku pintu tembus ke paviliun di sana. 

Aku terhenti. Sekali lagi menarik nafas panjang. Lalu membuangnya perlahan. 

Kembali melangkah. Lalu berhenti tepat di depan pintu tembus itu. 

Aku terperanjat mendengar suara-suara ....
Ya Ampun ... Itu suara desahan. 
Aku spontan  menutup mulutku yang ternganga. Hampir saja aku berteriak. 

Kalau saja dirumah ini tidak ada Giska, Aku sudah berteriak sekencang mungkin. Agar semua orang terbangun. Dan melihat perbuatan bejat dua manusia di dalam paviliun ini. Bahkan digerebek orang sekampungpun aku setuju. 

Tidak. Aku tidak ingin merusak psikologis anak perempuanku satu-satunya. Biarlah aku menanganinya dengan caraku sendiri. 

Perlahan aku membuka pintu tembus itu. Tak peduli pemandangan seperti apa yang akan aku lihat nanti. Jantungku terus berdetak dengan cepat. 

Pintu terbuka. 

"MAS ...!" 
"Astagfirullahaladzim ...! 

"Mbak Sera !"pekik Yuyun yang posisinya memang menghadap ke arahku berdiri. 

Mas Agung langsung melompat turun dan dengan terburu-buru memungut pakaiannya yang berceceran di lantai. 

Yuyun nampak sedikit lebih tenang. Aku heran dia bisa setenang itu. Malah tersenyum sinis kepadaku. 

Emosiku tersulut. Aku lantas menghampirinya. 

PLAK !
Satu tamparan berhasil aku hadiahkan untuknya. 

"ÀAWW ...!" Yuyun menatapku nyalang seraya memegang pipinya. Sepertinya tidak menyangka aku akan berbuat seperti itu. Selama ini Ia pikir aku adalah wanita lemah. 

" Dasar wanita pelac*r !" bentakku. 

"mDek, sudah- sudah. Nanti Ibu bangun. Ayo kembali ke kamar" Mas Agung menarik tanganku keluar dari paviliun. 

"Dasar perempuan udik. Makanya kalau dandan jangan kampungan," seru Yuyun yang masih diatas ranjangnya, berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut. 

Mataku melotot.  Aku kembali ingin menghampirinya dan menamparnya sekali lagi. Namun tenaga Mas Agung lebih kuat  menarikku untuk keluar kamar. Awas kamu Yuyun. Aku bakal balas kalian berdua. 

Aku berusaha melepaskan tanganku yang di tarik Mas Agung. 

" LEPASIN !" 

"Aku sudah nggak sudi di pegang kamu. Jijik tau nggak !" akhirmya cengkraman Mas Agung di tanganku terlepas. 

"Ada apa ini ribut-ribut?" Tiba-tiba ibu keluar dari kamar. Memang waktu sudah hampir subuh. 

"Mas Agung tidur di kamar Yuyun, Bu" jawabku lantang. 

Suamiku melotot ke arahku. 

"Benar itu, Gung?" jerit Ibu. 

Mas Agung mengangguk 

"Agung ... berarti kamu sudah menodai Yuyun? Tega kamu sama dia. Apa yang harus ibu bilang sama Tante Sania?" ucap Ibu histeris. 

Loh ...loh....Ibu bagaimana sih? Di sini yang tersakiti itu adalah aku. Kenapa malah nggak tega sama si pelakor  itu ?  

"Bu, Sera mau pisah sama Mas Agung." 

"A-apaaa?" pekik Ibu dan Mas Agung serentak. 

"Sera, memangnya kamu mau makan apa kalau pisah dari Agung? Kamu mau tinggal di mana? Aku nggak tega nanti cucuku hidup susah sama kamu." 

"Ibu nggak usah khawatir soal itu,"sahutku. 

"Mas ..., talak aku sekarang juga!" lirihku dengan suara bergetar. 

Mas Agung terdiam menatapku.
Lalu ... 

bersambung

Bab 10



"Mas, talak aku sekarang juga!" lirihku dengan suara bergetar. 

Mas Agung terdiam menatapku.
Lalu Ia menyeringai. 

"Kamu itu tidak punya siapa-siapa di dunia ini, Sera. Apa jadinya kamu jika pisah dariku. Mentang-mentang baru dapat kerja, sudah minta cerai. Belum tentu gajimu bisa memenuhi kebutuhanmu dan Giska." Mas Agung berkata seraya tersenyum miring seakan meremehkan. 

"Sudahlah Sera. Kalau Agung mau menikah lagi dengan Yuyun,  ya biarin aja. Yang penting kamu tidak dicerai. Kamu tetap bisa tinggal dan numpang hidup di sini."  Ibu ikut menimpali. 

"Aku lebih baik tinggal di kolong jembatan dari pada satu rumah dengan perempuan pelakor itu," sergahku. 

Aku segera kembali ke kamar. Mengingat belum mengerjakan kewajiban subuhku. 

### 

Pagi ini aku tidak menyiapkan keperluan Mas Agung seperti biasa. Hatiku sudah terlanjur patah. Tekadku sudah bulat ingin berpisah. Tak ada lagi yang pantas untuk aku pertahankan di sini. 

Diam-diam, aku sudah memasukan beberapa pakaian Giska dan keperluan sekolahnya ke dalam koper. Serta beberapa pakaianku. 

"Sera ...! Mana baju dan celanaku?" 

"SERA...! 

Mas Agung teriak-teriak dari kamarnya, saat aku sedang berada di kamar Giska. 

"Cari saja sendiri. Atau suruh gundikmu itu yang menyiapkan." Aku menghampirinya sambil melipat tangan di dada. 

"Aku ini masih suamimu ...!" teriaknya lagi dengan mata melotot. 

Akhirnya emosimu terpancing. Teruslah marah Mas. Agar keluar kata-kata itu dari mulutmu. 

"Suami macam apa, Mas?" Suami bejat seperti kamu nggak pantas dihargai!
Lebih baik aku tidak punya suami. Dari pada di sakiti terus-terusan. Aku lelah. Capek !" sahutku lantang. 

"Kurang ajar" geram Mas Agung. Matanya nyalang memandangku. 

"Istri nggak tahu terima kasih. Mau hidup susah kamu di luar sana, hah? Bukannya bersyukur kamu nggak aku ceraikan." Mas Agung  berkata penuh emosi. 

"Mana ada istri yang bersyukur ketika suaminya selingkuh?" sahutku lagi. 

Dengan susah payah Mas Agung mencari pakaian kerjanya. Hampir semua isi lemari diobrak-abrik olehnya. 

Aku memandanginya sambil bersandar pada dinding kamar. Dalam hati aku tertawa, rasain kamu, Mas. Sejak menikah hingga kemarin, sekalipun aku tidak pernah mengabaikanmu, Mas. Aku selalu mengurusmu dengan baik. Aku rela menjalani hidup penuh cacian dan hinaan dari keluargamu. Tapi justru penghianatan yang aku dapat. 

"Gung ....! Mbak ikut sama kamu ke kantormu, ya." Lagi-lagi teriakan Mbak lastri sudah membahana di pagi hari. 

Mas Agung tidak menjawab. Ia sedang kerepotan mencari kaos kaki dan saputangannya. Wajahnya terlihat masih sangat kesal. 

Aku keluar kamar, Ibu dan Mbak Lastri sepertinya sedang berbicara serius di dalam kamar ibu. Mungkin mereka sedang membicarakan kejadian sebelum subuh tadi. 

"Maafkan Agung ya, Yun. Mungkin dia khilaf lihat kamu cantik begini" terdengar suara Ibu dari dalam kamar. 

Astaga, ternyata di dalam kamar itu juga ada Yuyun. Mereka sedang bicara bertiga rupanya. 

Aku yang tidak habis pikir dengan pemikiran mereka. Sudah jelas di sini aku yang di sakiti. Tapi kenapa malah kepada Yuyun ibu meminta maaf. Justru pagi tadi Yuyun terlihat sangat senang melakukannya dengan Mas Agung. 

Bi Sum baru saja pulang dari mengantar Giska ke  tempat mobil jemputan. 

"Ssstt...., Bi Sum sini." panggilku. 

"Ya, Bu." 

"Bibi pulang dulu, ambil beberapa pakaian. Nanti ikut saya tinggal di apartement." Setengah berbisik aku berbicara pada Bi sum. 

"Bibi tenang aja. Apartementnya nggak jauh kok. Itu yang seberang mall di depan jalan besar . 

"Baik, Bu." 

Aku memang sudah memberitahu Corri, agar tidak jadi menjual unit apartement itu. Mengingat lokasinya sangat dekat dengan sekolah Giska. 

"Sera ..., mana sarapan kita?" Lagi-lagi kakak iparku itu berteriak. 

Empat orang tak punya perasaan itu sudah duduk manis di meja makan yang kosong.

"Seraa ...!" 

"Bik Sum ...!" 

"Kenapa  harus teriak-teriak, sih?" Akhirnya aku menghampiri mereka. 

"Hei, sarapan mana? Laper nih!" bentak Mbak lastri. 

"Laper, Mbak? Sana masak sendiri!" sahutku. 

Mbak lastri lantas melotot kepadaku. 

"BI Sum mana?" tanya ibu. 

"Bi Sum aku suruh pulang," jawabku. 

"Loh, kenapa kamu suruh pulang? Kerjaannya kan belum beres? Kamu ini gimana sih, Seraaa ...?" tanya ibu penuh emosi. 

"Bi Sum itu kerja sama aku, Bu. Aku yang gaji dia. Terserah aku dong," jawabku lantang. Maafkan aku, Bu. Rasa hormatku lenyap sudah pagi ini. 

"Lama-lama kamu makin kurang ajar ya  sekarang!" Mas Agung pun berdiri dan membentakku. 

"Kenapa nggak kamu ceraikan saja wanita ini, Mas?" sahut Yuyun. 

"Ia Gung.  Sudah ceraikan saja. istri kurang ajar kayak dia," timpal Mbak Lastri. 

Mas Agung terdiam. Aku tahu sebenarnya dia masih berat untuk menceraikanku.  Mungkin karena Giska. 

"Kenapa diam, Mas?"tanyaku. 

Tanpa rasa malu, Yuyun meremas jemari Mas Agung. Seolah-olah ingin memberi kekuatan. 


"Pergi kamu dari sini ! Serani Gunawan, mulai hari ini kamu bukan istriku lagi," ucap Mas Agung dengan suara bergetar. 

Aku terperanjat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki yang pernah berjanji akan menjagaku seumur hidupnya. 

Kata-kata yang aku tunggu akhirnya keluar dari mulut laki-laki itu. Namun tetap saja, menyakitkan sekali rasanya. 

Sekuat tenaga aku tahan agar air mata ini tidak lolos. Sera yang sekarang adalah wanita yang kuat. Mereka tidak akan bisa lagi semena-mena padaku. 

Aku mellihat senyum kepuasan dari wajah Yuyun dan Mbak Lastri. 

Berbeda dengan Ibu. Wajah ibu nampak gusar. "Jangan kau bawa cucuku." Suara Ibu parau. 

"Bagaimanapun juga Giska masih cucu Ibu. Tapi aku sebagai ibu kandungnya tidak akan rela anakku di asuh oleh dua penghianat ini." Aku menunjuk dua manusia yang sedang berpegangan tangan di depan mataku. 

"Aku minta maaf, Bu. Aku pamit," lirihku setelah mencium tangan Ibu. 

Aku melangkah ke kamar Giska. Semua yang sudah aku siapkan segera aku keluarkan dari kamar Giska. 

Aku tidak membawa banyak barang. Hanya yang aku anggap penting-penting saja. 

Bi Sum sudah aku kabarin agar menungguku di depan rumah saja. 

"Sera ...." Mas Agung menghampiriku ke kamar Giska. 

"Kamu akan bawa Giska kemana. Tinggal di mana kamu nanti?" Suaranya sudah mulai melunak. 

"Kamu nggak usah khawatir, Mas. aku jamin Giska tidak akan hidup susah denganku. Hanya dia yang aku punya saat ini," jawabku. 

"Maasss ..., ayo berangkat sudah siang." Yuyun menghampiri Mas Agung ke kamar Giska. Betul-betul tak tahu malu wanita itu. 

Ia menarik tangan Mas Agung keluar kamar. 

[Mobil dan supir sudah nunggu di depan rumah] 

Sebuah  pesan masuk dari Dido. 

Aku segera keluar menemui Bik Sum. 

"Ibu Sera ?" Seorang laki-laki setengah tua menghampiriku. 

"Iya betul. Pak Yono, ya? " 

laki-laki itu mengangguk. 

Sebuah mobil Toyota Alphard sudah terparkir di depan rumah Ibu. Pak Yono membawakan koperku. Tidak lama kemudian Pak yono membukakan pintu untukku dan Bik Sum. 

Sementara itu Mobil Mas Agung baru saja keluar pagar. Nampak mata mereka membelalak melihat aku menaiki mobil mewah itu. Mungkin mereka mengira itu taksi online. Entahlah. 

Kemudian Pak Yono melajukan mobil menuju sekolah Giska. 

bersambung


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Foto Pelakor Bab 11 - 20
37
15
Sera terkejut melihat foto profile aplikasi hijau pada ponsel suaminya, foto seorang wanita muda berpakaian seksi. Apakah benar suaminya telah menghianatinya? Apa reaksi Agung-suami Sera saat mengetahui bahwa istrinya ternyata seorang CEO? Drama rumah tangga yang mengundang emosi, namun dibumbui kisah romantis cinta sejati.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan